"Nggak ada dedek emes yang bolos apa ya? Kok sepi banget nih kantin," Bondan menatap ke sekeliling kantin yang hanya ada mereka berlima saja.
"BonBon oon deh. Lupa kalo sekarang masih jam pelajaran? Dedek emes lagi pada belajar biar pinter. Kalo pinter, entar bisa ngerubah keturunan gue kelak," tutur Amran.
"Sok banget luu. Emang ada adek kelas yang mau sama lo?" ejek Bayu.
"Ada lah. Besok kalo gue udah mandi pake air dari tujuh sumur yang berbeda selama tujuh hari tujuh malam. Langsung dah muka gue kinclong kayak oppa-oppa koreyah," ujar Amran percaya diri.
"Ada juga elo-nya masuk rumah sakit gara-gara kelamaan mandi," timpal Bondan.
"Udah sih nikmatin aja kejombloan lo. Sampe si Camelia mau jadi pacar lo," kekeh Bayu.
Amran menggelengkan kepalanya. "Gue tuh seleranya engga muluk-muluk deh. Cuma pengin yang seiman dan seamin aja gue udah alhamdulillah bangeeettt."
"Lah. Tumben otak lo jernih. Habis disedot pake apaan?" tanya Bondan.
"Pake pesona kecantikan—"
"Hai!"
Amran, Bayu dan Bondan menoleh saat mendengar sapaan dari salah satu teman perempuan di sekolahnya.
"Eh ada Neng Kayla sama Neng Gina. Ada apakah gerangan para dinda dinda ini menghampiri kanda?" tanya Amran melebarkan senyuman di wajahnya.
"Jijik tau, Ran!" komentar Lula. "Gue yang nyapa, kenapa lo balik nyapa ke Kayla sama Gina?"
"Kan dirimu maunya dibales sama Pak Fathur. Iyee kan iyeee?" goda Amran.
Lula senyum-senyum tidak jelas. "Apaan sih. Orang gue nggak—"
"Boleh ikutan duduk?" tanya Kayla sebelum Lula kembali berdeklarasi.
"Boleh dong boleh. Sini sini Gina duduk sebelah gue," Amran menggeser sedikit tempat duduknya untuk Gina.
Namun belum sempat Gina duduk di sebelah Amran, tangan Bondan sudah menarik satu tangan Gina dan membuatnya duduk di sebelah Bondan.
"Gue nggak mau duduk samping lo," Gina mengajukan protes. Hendak berdiri tapi tangannya masih di tahan oleh Bondan.
"Udah duduk sini aja, Na. Gue di sebelah lo biar bisa mandangin wajah gantengnya Fathur," kata Lula yang sudah duduk manis di sebelah Gina, dan tepat di depan tempat yang diduduki Fathur.
"Amran geser dikit ke sana," pinta Kayla supaya Amran menggeser tubuhnya mendekati Bayu.
Tapi yang justru Amran lakukan adalah bergeser menjauhi Bayu. Membuat ruang kosong untuk Kayla di sebelah Bayu.
"Kok malah geser ke sini?" gumam Kayla menatap tajam Amran dan dibalas cengiran tanpa dosa.
"Mau duduk kok ribet," sindir Bayu sambil mengaduk es teh di depannya.
Merasa kesal dengan ucapan Bayu, Kayla dengan cepat mendudukkan dirinya di tempat yang sudah ada di depannya.
"Baek baek deh kalian berdua. Lagi sebelahan gini jangan pada diem-diem doang. Udah gue kasih kesempatan, awas aja kalo lo sia-siain," peringat Amran yang jelas ditujukan untuk Bayu.
Lima menit setelah Lula dan kedua temannya bergabung, hanya terdengar suara Lula yang memuji Fathur dan Amran yang heboh dengan ocehannya.
"Pada bisa diem kalo di depan doi," kata Fathur membuat semua orang di meja tersebut menoleh—kecuali Revan.
"Lo nyindir siapa?" tanya Bayu dan Bondan serempak.
"Ngapain ikut-ikut gue sih?" kesal Bondan.
"Mana ada ikut-ikut. Elonya aja yang pengin copas ucapan gue," ujara Bayu tak kalah kesal.
"Halah pada cemen banget kalian berdua. Mau nembak doi aja dari setahun yang lalu gabisa mulu. Huuuu!" Amran menyoraki kedua temannya.
"Pelanin dikit suara lo bisa nggak? Sakit telinga gue dengernya," protes Kayla.
"Ampun Nyonya Anggara ampun!" Amran sengaja menyebut Kayla dengan nama belakang keluarga Bayu.
"Manggil gue kayak gitu lagi, gue kick lo dari grup line!" ancam Kayla.
"Eh jangan dong, Kay. Kalo di kick, gue gabisa baca chatnya dedek dedek emes lagi dong. Jangan ya jangan," ujar Amran memohon.
"Revan itu bibirnya kenapa kok berdarah? Habis berantem ya?" tanya Lula melihat Revan sejak tadi hanya diam.
"Nggak usah sok care sama Revan. Ntar balik ke kelas, lo mewek gara-gara dicuekin," sahut Gina.
"Diobatin dulu, Van. Daripadi infeksi," Kayla ikut berkomentar. Membuat satu laki-laki di sebelahnya menoleh dengan tatapan tidak suka.
"Mana mau Revan berobat. Lihat tulisan 'UKS' aja dia udah kejang-kejang," ejek Amran langsung mendapat tatapan maut dari Revan.
"Kalian bertiga sujud sungkem di depan Revan pun, gabakal ngebuat diam mau ngobatin lukanya. Percaya deh sama gue."
"Musyrik kalo percaya sama lo," balas Lula.
"Enggak gitu konsepnya, sayang" Amran menatap lembut kearah Lula, namun justru mendapat lemparan serbet dari Lula.
"Ih! Apaan sih, Ran. Jijik tau!" seru Lula tidak suka.
Pertikaian kecil di antara keduanya tidak langsung selesai begitu saja. Amran yang jahil dan Lula yang tidak bisa tinggal diam begitu saja.
"Kalian cuma bertiga?"
Pertanyaan dari Fathur membuat Lula berhenti melempari Amran dengan kacang bawang. Begitu juga dengan mulut Amran yang saat ini sudah tertutup rapat.
"Aeelin nggak tau ngilang kemana," jawab Kayla.
"Ilang? Dicuri maksud lo?" tanya Amran.
"Bukan dicuri dodol," sahut Gina. "Tadi Aeelin ngilang gitu aja pas lihat kalian di sini."
"Yaah. Sangat banget Aeelin nggak di sini," kata Amran.
"Kenapa emang? Mau lo godain juga ceweknya temen?" tanya Bondan kembali bersuara setelah sejak tadi diam.
"Kangen dapat bogeman dari Revan mungkin," sambung Bayu.
"Bukan gitu maksud gue sodara-sodara. Kalo Aeelin di sini, kan Revan pasti mau tuh diobatin lukanya. Ya kali Revan nolak Aeelin," ujar Amran membenarkan maksud ucapannya.
"Mau gue panggilin Aeelin ke sini? Kasihan lukanya kalo dibiarin kayak gitu," Kayla menawarkan diri untuk membawa Aeelin ke hadapan Revan.
"Nggak perlu," tolak Revan. "Gue bisa obati sendiri," imbuhnya lalu mulai berdiri dari posisinya saat ini.
"Duduk!"
Suara perempuan di belakang Revan membuat pergerakannya tertunda. Revan menoleh ke belakang dan menemukan Aeelin yang sudah berdiri dengan satu tangan membawa kotak P3K.
"Gue bilang duduk itu duduk. Paham omongan manusia apa enggak?" heran Aeelin sambil memaksa Revan untuk kembali duduk.
"Fathur bisa geser sedikit?" tanya Aeelin. Tanpa membalas dengan kata-kata, Fathur langsung berpindah tempat di sebelah Lula.
"Makasih," Aeelin tersenyum manis pada Fathur setelah duduk di samping Revan.
"Ganjen banget," sindir Revan tanpa menatap Aeelin.
"Yang bener kalo ngomong." kata Aeelin. "Masih luka gini juga sempet-sempetnya nyindir orang."
"Ngapain lo ke sini? Cuma mau marahin gue? Kalo iya, mending lo pergi aja. Gue lagi nggak pengin denger orang ngomelin gue," tutur Revan penuh penekanan.
Teman-teman Revan dan Aeelin tampak terkejut mendengar ucapan Revan. Kesannya Revan seperti mengusir kedatangan Aeelin. Padahal Revan bilang masih suka sama Aeelin, kenapa malah mengusirnya?
"Gue nggak segabut itu ke sini cuma buat ngomelin lo," balas Aeelin sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Revan.
"So?" tanya Revan.
Aeelin tidak langsung menjawab pertanyaan Revan. Satu tangannya meraih wajah Revan untuk melihat lebih jelas luka yang ada di sudut bibir dan pelipis Revan. Tidak lama setelah itu, Aeelin membuka kotak P3K yang ia bawa dari UKS dan mulai membersikan luka di wajah Revan.
"Berapa kali gue bilang kalo ada masalah itu diselesaikan baik-baik. Pake kepala dingin. Gunain otak bukan cuma otot lo aja," Aeelin menceramahi Revan dengan kedua tangan yang fokus mengobati wajah cowok tersebut.
"Apa untungnya berantem? Muka lo jadi bonyok kayak gini. Jadi tambah jelek tau nggak?"
"Nggak suka kalo gue jelek?" tanya Revan dibalas gelengan kepala oleh Aeelin.
"Bukan gitu Revan," kata Aeelin. "Sayang muka sama diri lo sendiri bisa nggak? Biar nggak sakit gara-gara berantem nggak jelas kayak gini."
"Sayang gue udah habis buat lo doang," balas Revan enteng. Membuat jantung Aeelin berdebar kencang.
"Gue ngomong serius, Van!"
"Iya gue juga. Mana ada gue nggak serius sama lo. Kalau pun lo minta gue seriusin sekarang juga gue udah siap," Revan tersenyum miring di hadapan Aeelin.
Kesal dengan jawaban Revan membuat Aeelin sengaja menekan kapas di atas luka cowok tersebut.
"Yang bener Ai kalo ngobatin," protes Revan meringis kesakitan karena ulah Aeelin.
"Udah tau sakit, masih mau berantem lagi?" tanya Aeelin sambil memasangkan plaster di pelipis Revan yang terluka.
"Kalo nggak berantem, lo nggak bakal perhatian ke gue kayak gini," jawab Revan tanpa melepaskan senyum di wajahnya.
"Nggak jelas banget jawabnya. Tambah gede bukannya tambah dewasa malah balik kayak anak kecil," Aeelin menggelengkan kepalanya seraya merapikan kembali obat ke dalam kota P3K.
"Jangan lupa plasternya diganti pas habis mandi. Kalo besok belum sembuh, dipake lagi plasternya," peringat Aeelin tegas.
"Paham nggak sama penjelasan gue?" tanya Aeelin. "Capek-capek ngobatin tapi malah didiemin. Nggak menghargai banget."
"Kenapa? Nggak ikhlas ngobatin gue?" Revan balik bertanya.
"Menurut lo?" Aeelin berdecak kesal. "Pikir aja sendiri. Udah gede itu otaknya buat mikir yang bener. Bukan cuma buat mikirin berantem doang!"
Aeelin menutup kotak P3K di hadapannya kemudian beranjak berdiri. Berniat pergi namun satu tangannya tiba-tiba ditarik oleh Revan. Membuat Aeelin terjatuh di pangkuan cowok tersebut.
"Mau kemana?' bisik Revan di depan telinga Aeelin.
"YA GUSTIIIII! PENAMPAKAN APALAGI INIII? EH SUMPAH GUE BERASA LAGI NONTON FTV JAM SATU SIANG!"
"Bucin nggak sadar tempat," komentar Fathur.
"Ih! Gue envy. Kok Revan manis banget sih sama Aeelin," Lula tampak mengerucutkan bibirnya.
"Baru tau kalo gaya pacaran Revan seagresif ini," kekeh Bondan.
"Mohon buka hati nurani kalian berdua. Ada jomblo di sini woy! Betah amat deh nempel-nempelnya," seru Amran diikuti gelak tawa.
Wajah Aeelin seketika menjadi merah padam. Malu sekaligus kesal bercampur menjadi satu.
"Lepasin tangan lo, Van!" geram Aeelin.
"Gamau," balas Revan yang justru menempelkan dagunya di atas pundak Aeelin.
"Revan jangan aneh-aneh. Gue malu dilihatin sama temen-temen lo," Aeelin berbisik di dekat wajah Revan, membuat Revan tertawa karenanya.
"Ada yang mau aku omongin."
"Buruan ngomong. Gausah pake lama!"
Revan melebarkan senyumnya. Mengeratkan pelukannya di pinggang ramping Aeelin tanpa peduli sorakan dari teman-temannya.
"Thank's sweety, and i love you forever."
***