"Katanya nggak suka. Katanya nggak tertarik. Tapi dikasih minuman juga diterima."
"Emang dasar mulut cowok nggak bisa dipercaya."
"Nggak pernah bener kalau ngomong."
"Bilangnya setia tapi kalau ada cewek lain yang kasih perhatian juga dianya oke oke aja."
"Sumpah! Kesel sendiri, kan, jadinya. Ck, tau gitu gue nggak ikut Lula ke lapangan!"
Aeelin terus mendumel sepanjang ia berdiri di depan cermin. Karena terlalu kesal melihat Revan yang sedang berbicara asyik dengan Camelia membuat Aeelin enggan menemui cowok itu. Aeelin pergi ke kamar mandi sedangkan Lula tetap menemui Fathur sesuai dengan rencananya.
"Selera cowok sekarang itu sukanya sama yang bisa pakai make up. Apa bagusnya coba? Ke sekolah menor kayak gitu. Bagusan juga yang natural yang biasa-biasa aja. Kalau mau pergi ke acara resmi baru deh pakai make up."
"Belum juga ada dua tahun gue pergi udah oleng kemana-mana. Cih!"
"Dikira gue nggak bisa apa menemukan cowok lain selain dia? Bisa lah. Banyak yang suka sama gue dan mau jadi pacar gue."
Okeee cukup. Aeelin tidak boleh terus menerus mengomel tak jelas dan tidak ada manfaatnya seperti ini. Yang Aeelin omeli juga orangnya tidak ada di depan Aeelin. Sama saja Aeelin tidak lega.
Tidak lama setelah Aeelin selesai mendumel panjang lebar, ia mencuci mukanya dan mengeringkannya dengan tisu. Setelah itu Aeelin berjalan keluar kamar mandi untuk kembali ke kelasnya.
"Udah puas marah-marahnya?"
Langkah Aeelin terhenti saat mendengar suara dari arah belakang.
Mampus! Aeelin salah tempat untuk melampiaskan amarahnya. Kenapa harus ketahuan sih?!
Aeelin tidak boleh gugup. Ia tidak boleh takut tapi harus berani melawan seseorang yang sedang berusaha untuk mengejek Aeelin. Tanpa menunggu waktu lama Aeelin berbalik dan menemukan cowok bernama Revan yang sedang berdiri tidak jauh darinya.
"Ada yang cemburu tapi tidak mau mengaku," Revan berjalan mengahampiri Aeelin untuk menepis jarak di antara keduanya.
"Yang duluan bilang kalau udah nggak suka siapa? Kalau nggak suka harusnya nggak cemburu dong."
Aeelin tersenyum sinis. "Lo pikir gue cemburu sama lo? Kurang kerjaan banget."
"Jadi nggak cemburu? Kalau gue jalan sama Camelia, lo nggak akan marah-marah kayak barusan?" tanya Revan.
"Enggak lah," jawab Aeelin. "Lagian lo itu bukan siapa-siapanya gue. Nggak ada alasan buat gue marah-marah sama lo cuma karena lo jalan sama cewek lain."
Tinggi sekali memang egonya Aeelin. Tinggal bilang cemburu saja susahnya minta ampun.
Tapi tidak apa. Revan masih sanggup menghadapi sikap Aeelin yang sok jual mahal seperti ini.
"Kalau gue pacaran sama cewek lain …" Revan menjeda ucapannya. "Satu tangannya merangkul pundak Aeelin dan membuat beberapa siswa yang melihat kejadian itu menjerit histeris.
Helloooo! Sejak kapan Revan mau menyentuh perempuan? Didekati saja Revan selalu menghindar. Tapi coba deh kalian lihat sekarang. Revan sedang merangkul salah seorang murid baru.
"Revan." Aeelin melirik tajam ke arah Revan supaya cowok itu melepaskan rangkulan tangannya.
"Apa sayang?" balas Revan dengan senyum miring di wajahnya.
Fix! Revan sudah gila!
"Sayang sayang pala lo peang! Kita udah putus Revan. Lo kalau mau sayang-sayangan jangan sama gue deh," kesal Aeelin yang terus berusaha melepaskan tangan Revan dari pundaknya namun selalu gagal.
Bagaimana kalau ada guru yang melihat kejadian ini? Apalagi Aeelin dan Revan sedang berada di depan kamar mandi. Semakin tidak jelas nantinya pikiran orang-orang yang melihat mereka.
"Revan lepasin tangan lo," geram Aeelin.
"Jawab jujur dulu baru gue lepasin."
"Jawab apalagi?"
"Lo cemburu lihat gue nerima minuman dari Camelia, kan?"
"Di bilang enggak juga. Masih aja ngeyel."
"Kalau nggak cemburu kenapa lo nggak ikut Lula ketemu sama Fathir?"
"Yaa …." Ariel mencoba mencari alasan yang logis. "Mager aja. Gue nggak ada keperluan sama Fathur."
"Tapi ada keperluan sama gue?"
"Ck. Geer!"
"Terus minuman yang barusan lo buat itu buat siapa? Masih segelan. Lo merasa udah kaya raya sampai buang-buang minuman?"
Aeelin benar-benar menyesal karena harus berurusan dengan Revan. Karena sampai kapan pun Revan tidak akan pernah mau mengalah dengan Aeelin.
"Revan mau ngapain?!" Aeelin langsung mendorong wajah Revan saat bibir mereka hendak bersentuhan.
"Jangan buat aneh-aneh di sekolah, Revan. Lo mau kita kena hukuman dari BK?"
Bukannya takut Revan justru tersenyum seperti tidak merasa bersalah sama sekali.
"Di sekolah nggak boleh, kalau di luar sekolah boleh?"
"Nggak!" seru Aeelin. "Otak lo makin nggak bener."
"Makanya dibenerin dong."
"Lo kalau lagi godain cewek pakai cara kayak gini? Nggak mutu banget," sinis Aeelin terdengar meremehkan Revan.
"Nanggung bener godain cewek cuma dirangkul doang," kekeh Revan.
"Terus harus gimana biar nggak nanggung."
"Diajak main di kamar lah."
Sudah cukup dan Aeelin tidak lagi kuat mendengarnya. Dengan sekuat tenaga Aeelin mendorong tubuh Revan sehingga ia bisa lepas dari rangkulan cowok mengerikan ini.
Revan benar-benar sudah berubah. Bukan lagi Revan seperti yang dulu Aeelin kenal. Revan yang Aeelin kenal tidak mungkin mengajak perempuan bermain di dalam kamar.
"Lo lagi membayangkan bagaimana cara gue ngajak cewek main di kamar?" pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Revan. Membuat Aeelin yang mendengarnya merasa malu.
"Gue cuma bercanda kali, Ay. Gue belum pernah make cewek mana pun dan nggak pernah mau disentuh sama cewek mana pun."
Benarkah? Revan sedang berbohong atau memang berkata jujur? Cowok semacam Revan yang berstatus sebagai ketua geng pasti memiliki hobi keluar masuk club malam. Ada kemungkinan kalau Revan pergi ke sana untuk bersenang-senang.
"Yakin belum pernah main sama cewek?" Aeelin bertanya dengan suara pelan untuk memastikan ucapan Revan.
"Perlu bukti? Gue bisa kasih lihat malam ini--"
"NO!" Aeelin dengan cepat menolak. "Nggak perlu. Gue udah percaya."
"Udah nggak marah lagi? Minuman yang tadi nggak gue minum kok. Gue kasih Amran," kata Revan menjelaskan kondisi minuman pemberian Camelia.
Syukur deh kalau tidak diminum. Salah satu sudut bibir Aeelin nampak terangkat. Ingin tersenyum tapi tidak mau sampai terlihat oleh Revan.
"Habis sekolah ada acara apa enggak, Ay?" tanya Revan yang mulai membahas hal lain.
"Nggak ada," jawab Aeelin menoleh ke arah Revan.
"Temenin gue beli baju bisa, kan?"
"Baju buat apa?"
"Petugas upacara."
"Kan, udah dikasih sama sekolah."
"Gue maunya beli sendiri."
"Boros, Revan. Udah difasilitasi sekolah itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya."
"Ya udah kalau nggak mau nemenin tinggal bilang enggak. Ribet bener," cetus Revan lalu ia memalingkan wajahnya dari Aeelin.
Mulai kumat lagi ini anak. Revan yang tadi terlihat cool dengan tampang songongnya bisa langsung berubah seratus delapan puluh derajat menjadi cowok yang kelakuannya mirip balita.
"Gue tunggu di parkiran. Bilang sama David dulu soalnya hari ini gue berangkat ke sekolah bareng dia," ucapan Aeelin jelas memberikan kemenangan mutlak untuk Revan.
"Oke," balas Revan dengan senyum lebar di wajahnya.
***
20082022 (07.12 WIB)