Pagi seperti biasanya datang begitu saja menyemarakkan sepi yang gelap. Senyap dan sunyi berganti riuhnya kesibukan para masyarakat yang berkegiatan bekerja dengan berbagai bidang masing-masing. Begitulah hidup, menuntut kita untuk aktif dan produktif untuk menghidupi diri dari kebutuhan hidup yang semakin mendesak.
Freya kini telah rapi dengan setelah blouse berwarna peach, dipadu rok span selutut dan sepatu boot putih yang menunjang kaki jenjangnya. Rambut panjangnya disanggul dengan bagian poni depan yang ia biarkan tergerai dibuat sedikit berantakan. Ia menatap pada cermin di hadapannya, lalu memilih tak mengenakan softlens hari ini. Freya mengambil kacamata hitam besar miliknya lalu dengan cepat mengenakan dan segera berjalan ke luar apartemen miliknya.
Perempuan itu sama dengan para penghuni kota menyukai sarapan di Kindley Breaky. Biasanya Kim yang akan membeli sarapan untuk mereka berdua sebelum pelayan datang. Hari ini Kim mengatakan ia harus ke suatu tempat menemui saudaranya yang juga berasal dari Korea, dan akan kembali sore hari. Freya mengijinkan, meski Kim juga merasa berat meninggalkan majikannya itu seorang diri. Freya meyakinkan kalau ia akan baik-baik saja karena hari ini ia juga tak menerima panggilan dari siapapun dan akan beristirahat.
Ia memasuki Kindley Breaky setelah lima belas menit perjalanan dari apartemen miliknya. Rob dan Richie melihat dan menyambutnya.
"Nona Sea." Keduanya menyambut dengan senyum sumringah.
Dari kejauhan Yuji dan Arthur tengah menikmati sarapan mereka. Yuji melihat bagaimana duo R menyambut Freya dan itu buat ia berdecak sendiri. Arthur memerhatikan sambil meneguk teh chamomile miliknya.
"Ada apa?" tanya Arthur.
Yuji menggerakkan wajahnya pelan ke arah Rob dan Richie yang tengah bertanya pada Freya tentang sarapan yang akan ia pesan. Rob bahkan dengan segera menyiapkan meja untuk Freya. Letaknya tak jauh dari tempat Yuji. Freya duduk, dengan jelas mengatakan kalau ia berterima kasih pada Rob yang kemudian segera kembali ke tempatnya tadi.
Arthur juga mengamati apa yang terjadi tadi, lalu kembali menoleh pada Yuji. "Ada apa dengan wanita itu? Kau menyukainya?"
Yuji mendesis, menatap arthur lalu menjawab pertanyaan sahabatnya itu. "Kau gila? Dia jalang."
Arthur terbelalak, bola matanya nyaris saja mencelos dari tempatnya karena apa yang dikatakan Yuji barusan. "Apa?"
"Konkubine, kau tak tau dia? Banyak pejabat dan menteri yang menjadi langganannya. Termasuk mantan suami bibimu ...." Yuji mengatakan, kata-katanya terhenti ia sengaja membuat Arthur penasaran.
"Siapa?" tanya arthur.
"Tuan Loody." Yuji menjawab. "Aku yang menangani tuntutan cerai dari istrinya. Kau pikir apakah Jalang itu penyebabnya?"
"Tidak, aku rasa bibiku saat itu kekurangan kasih sayang. Paman Loody begitu sibuk, tapi dia royal sekali pada bibiku dan ketiga anaknya. Buktinya saat ini ia masih sendiri." Arthur mengemukakan pendapatnya dari cerita yang ia dengar dari sang ayah.
"Tidak mungkin pria tak peduli dengan anak dan istrinya jika tak ada seorang pengganggu. Ya, lihat dia terlihat cantik, anggun, elegan, tapi seorang jalang, gadis murahan, perusak rumah tangga. Aku yakin seratus persen kalau ia yang membuat Tuan Loody berpaling dari bibimu." Yuji mengemukakan semua dengan kesal berdasarkan spekulasi dari pikirannya sendiri.
"Apa kau tak berpikir kalau kau berlebihan? Ini bukan karena dendam yang kau rasakan pada ayahmu dulu 'kan?" tanya Arthur lagi.
Dulu Theo pernah berselingkuh hingga ia nyaris bercerai dengan sang istri. Yuji masih berusia sekitar dua belas tahun saat itu. Hidupnya nyaris hancur karena sang ibu yang menjadi depresi karena merasa terabaikan. Semua telah berakhir baik meski masih terasa menyebalkan untuk Yuji saat ini.
Arthur kemudian berdiri, tangan Yuji menahan langkah sahabatnya itu.
"Mau ke mana?"
"Menambah relasi." Arthur menjawab sambil menatap pada Freya.
"Kau gila?" Yuji bertanya kesal.
"Ya, aku harus tau sebelum menghakiminya." Pria itu lalu melepaskan cengkraman tangan yuji dan melanjutkan niatnya untuk melangkahkan kakinya menuju Freya.
"Terserah," kesal si feefle kemudian meneguk air mineral miliknya.
Arthur kini tepat berada di hadapan Freya, membuat wanita itu menatapnya. "Maaf Nona?"
"Sea," jawab Freya ramah meski tak ada senyum dari bibirnya.
"Nona Sea, boleh aku duduk di sini?"
Freya terdiam sejenak. "Jika kau tak ingin mencaciku seperti temanmu itu," ucap Freya terhenti seraya menggerakkan kepalanya ke arah Yuji yang menatap keluar jendela. "Silahkan." Freya melanjutkan ucapannya.
Arthur tersenyum, kemudian duduk. "Sejujurnya aku tak suka mencaci, aku ... Lebih suka mencari relasi dan berteman baik. Bibirku tak terbiasa mencela."
"Meski hati Anda melakukannya?" terka Freya.
Arthur menggerakkan kedua tangannya, "Tidak-tidak Nona Sea. Aku tak suka seperti itu."
"Baik kalau begitu Tuan ..?"
"Arthur, aku Arthur Lloyd." Pria itu ulurkan tangan lalu Freya menyambutnya.
Aroma woody dan peer menyeruak saat Freya bergerak.
"Pear, woody dan amber?" tanya Arthur.
Freya mengangguk, "Maaf Tuan Arthur, apa yang ingin anda tanyakan?"
"Nomor ponselmu. Boleh?" tanya Arthur terus terang.
"Ah, aku tau kalau keluarga Llyod berkerabat dekat dengan keluarga kerajaan. Dan maaf ..,'' ucap Freya terhenti, ia melepaskan kacamata yang dikenakannya. menunjukkan iris matanya yang menawan. "Aku tak ingin berurusan dengan anggota kerajaan."
Sementara Arthur terdiam, manik matanya menatap lekat pada iris mata Freya yang memikat, menyihirnya untuk menatap lamat-lamat. Freya menyadari kesalahanya dan dengan cepat memakai kembali kacamata miliknya.
Arthur terkesiap. "Maaf."
"Tak masalah."
"Baiklah aku menghargai itu dan berharap kita akan bertemu lagi di sini."
"Baik, aku nantikan itu."
Arthur kembali ke tempatnya setelah berpamitan membawa kesan yang baik dan dalam terutama setelah ia menatap manik mata Freya. Jantungnya berdebar karena kecantikan wanita itu buat ia duduk dengan lunglai menahan jantungnya yang berdetak begitu cepat.
Setelah menghabiskan sarapan miliknya, Freya segera kembali ke apartemen miliknya sejujurnya ia merasa terganggu dengan apa yang dilakukan Arthur. Apalagi ia ada hubungan dengan istana. Hanya William yang tak bisa diatur sampai saat ini ia tak ingin menambah beban hidupnya dengan berurusan dengan anggota istana yang lain.
Ia memasuki pintu rumahnya setelah menekan password, ketika pintu terbuka ia melihat sepasang sepatu yang pasti bukan milik Kim Jun, pengawalnya.
"Kau dari mana?" tanya sebuah suara bariton yang dengan jelas ia ketahui siapa pemiliknya.
William berdiri dengan tangan yang terlipat di depan dada, menatap Freya dengan tatapan menyelidik. Gadis itu tak peduli, ia kesal karena tadi berurusan dengan Arthur dan kini Willy si menyebalkan. Sang pemilik rumah lalu meletakkan kacamata dan tas yang ia gunakan tadi.
Will kesal karena merasa diabaikan. Ia menggenggam tangan Freya sedikit menariknya ke tembok, menyudutkan wanita itu hingga ke tembok. "Kau dari mana?"
Freya menatap dengan kesal. "Aku sarapan, kenapa kau bertanya seperti ini?"
Will hela napas lalu membawa Freya ke dalam pelukannya. "Aku khawatir karena tak ada Kim bersamamu."
Freya terdiam sesaat lalu, melepas pelukannya menatap William yang benar-benar terlihat cemas. "Aku tak pergi terlalu jauh Will, kau tak perlu khawatir."
"Baiklah, aku tak khawatir. Kalau begitu biarkan aku yang menjagamu. Kim menghubungiku ia mengatakan mungkin akan kembali besok. Ia coba menghubungimu, tapi kau tak kunjung menerima panggilan. Ia menghubungiku—"
"Dan kau cemas seperti ini?"
William mengangguk. "Aku hanya tak ingin sesuatu terjadi padamu."
Tentu saja terlihat jelas bagaimana perasaan pria itu pada Freya. Setiap apa yang dilakukan William, termasuk penolakan pria itu pada setiap perjodohan yang dilakukan sang ayah. Semua karena ia menyimpan rasa pada Freya, sejak lama sekali hingga kini. Mungkinkah Freya menyimpan perasaan yang sama untuk sang pangeran?