Ruang apartemen Yuji terkesan lebih modern dengan nuansa minimalis. Abu-abu, putih dan hitam menjadi warna utama di sana. Ruangan-ruangan di apartemennya diadaptasi dari hotel dan apartemen yang sempat ia tempati saat berkuliah di Kanada. Semua interior, ia pesan khusus karena tak banyak dapat ditemui di Kota Del. Meski ia begitu memuja kota kelahirannya itu membuatnya merasa bersalah dan menjadi pengkhianat saat memasukan kesan negara lain pada dekorasi yang ia buat. Namun, ia memaksakan diri karena terlanjur menyukai interior dan dekorasi itu.
Pagi ini, pria itu telah terbangun dari tidurnya. Berdiri sambil menunggu kopi yang dibuat siap dinikmati seraya membaca data kasus yang sedang ditanganinya. Setelah kopi miliknya siap, ia berjalan menuju ruang tengah, duduk di sana menikmati hari libur. Sabtu ini tak ada rencana lain selain di rumah, rebah dan beristirahat. Meski ia terlihat pulang seperti biasanya, tapi malam-malam yang ia lalui tetap sekadar pekerjaan. Map-map yang menumpuk di kamar berisi goresan tinta dari pena adalah salah satu bukti jika Yuji tak cukup beristirahat beberapa hari ini. Ia sibuk dengan pekerjaannya, selalu seperti itu ketika menangani sebuah kasus. Ia mengorbankan waktu beristirahat demi totalitasnya bekerja dan mempertahankan kredibilitasnya sebagai salah satu pengacara handal.
Kopi dan roti panggang dengan selai madu dengan taburan kacang almond yang kini menemani paginya. Yuji berasal dari kalangan bangsawan meski hanya berkerabat jauh. Nenek dari Yuji adalah kakak dari raja sebelumnya. Namun, sang nenek melepaskan gelar bangsawannya demi menikah dengan pria pilihan dan tentu saja pria itu menjadi kakek Yuji.
Tok tok tok
Ketukan dari pintu membuat ia segera beranjak lalu berjalan untuk membukakan pintu. Saat pintu terbuka menunjukan sosok yang begitu familiar baginya.
"Ayah?" gumamnya heran karena tak biasanya sang ayah datang berkunjung.
"Kau tak mempersilahkan masuk?"
"Silakan masuk." Yuji mempersilakan Theo masuk.
Theo Foster, pria berusia 58 tahun itu berjalan masuk dengan mengamati sekitar. Menatap ruangan demi ruangan dari apartemen milik anak sulungnya. Seperti sang ibu yang juga melakukan hal yang sama memerhatikan sekitar, mengamati jika saja ada sesuatu yang berbeda, berbahaya atau sebagainya.
"Ibumu meminta aku mengamati tempat tinggalmu. Ia takut jika kau melakukan sesuatu yang aneh karena kau tinggal sendirian."
Yuji mendesis, sedikit kesal karena sang ibu masih saja bersikap seolah dirinya adalah remaja yang masih membutuhkan banyak perhatian dan suka melakukan sesuatu yang aneh. Tentu saja hal bodoh itu tak lagi ia lakukan. Dulu saat belasan tahun, ia memang sering melakukan hal aneh dan menyimpan barang aneh di kamarnya. Seperti besi dari jari-jari sepeda yang ia tempelkan di dinding, jelas itu membahayakan. Namun, entah mengapa dulu ia merasa apa yang ia lakukan itu keren.
"Tak ada apa pun di sini, Ayah. Aku tak mungkin melakukan kebodohan."
"Tapi dulu kau melakukannya." Theo mengingatkan.
"Baiklah, dulu aku memang melakukannya." Yuji mengakui dosa yang ia lakukan dulu.
Si pucat itu lalu mengajak sang ayah menuju meja makan, tempatnya tadi saat ia menikmati paginya. Theo kemudian duduk di sana seraya melirik pada kertas laporan milik Yuji yang tergeletak di meja.
"Ayah mau sesuatu?"
"Tidak. Aku sudah cukup sarapan dan menikmati teh madu pagi ini. Duduklah, ada yang ingin Ayah bicarakan," kata Theo membuat anak sulungnya kembali duduk dan menatapnya.
Yuji tahu ada hal serius yang ingin Theo katakan maka ia memilih diam dan menunggu sang ayah buka suara.
"Kau datang ke rumah lusa, kita adakan makan malam besok."
"Besok atau lusa?"
"Dua hari lagi," jawah Theo kesal.
"Baiklah, berarti lusa dan itu hari senin. Apa Ayah tak bisa mencari hari lain?" tanya Yuji coba bernegosiasi.
Hari senin adalah hari di mana semua kesibukan dimulai. Selalu ada yang harus ia urus di hari senin. Apalagi ia baru saja menerima kasus baru di hari Jumat lalu dan pasti akan ia tindaklanjuti di hari senin.
"Lusa, aku tak mau tahu. Kau harus datang ke rumah lusa." Theo menegaskan dan ia tak mau ada penolakan.
Yuji mengangguk, ia juga bukan anak yang suka membuat masalah terutama dengan sang ayah. "Apa lusa hari pernikahan ayah dan ibu? Bukankah itu di bulan Mei?"
"Aku mengundang keluarga Lloyd," jawab sang ayah membuat Yuji menggaruk ujung pelipisnya.
"Untuk apa?" tanya Yuji.
"Kau dan Ainsley sudah lama berhubungan—"
"Hubungan apa, Ayah?" Yuji memotong ucapan sang ayah.
Kedua sisi alis Theo bertaut mendengar apa yang ditanyakan Yuji. "Kalian berpacaran sudah sejak lama 'kan?"
Yuji menghela napas, bersandar pada badan kursi. Apa yang ia dengar pagi ini cukup membuat gila. Selama tiga puluh tahun lebih ia hidup, tak ada satu wanita pun yang bisa mengisi hatinya. Apalagi Ainsley si manja, cerewet yang selalu mengejarnya. Itu membuatnya malas, Ainsley terlalu menunjukkan perasaannya dan itu tak menarik bagi Yuji.
"Aku tak pernah menjalin hubungan dengan gadis itu," jawab Yuji penuh penekanan.
"Kalau begitu kau bisa memulainya. Kalian bisa membicarakan tentang pertunangan di acara makan malam."
"Pertunangan? Aku bahkan tak memiliki perasaan apa pun padanya."
Theo mendekatkan tubuhnya, menatap putranya dengan serius. "Keluarga Lloyd begitu menyukaimu dan mereka mengatakan kau dan Ainsley memiliki hubungan. Ayolah, ia sudah lama menyukaimu. Sepuluh tahun ia berusaha mengejarmu."
"Sebenarnya tiga belas tahun." Yuji mengkoreksi.
"Tiga belas tahun dan apalagi yang kau tunggu?"
"Aku tak menyukai Ainsley dan dia bukan tipeku. Aku tak suka wanita cerewet yang selalu mengejarku. Aku terganggu dengan semua itu."
Theo menghela napas, tak mengerti apalagi yang dicari oleh si sulung sementara ia sudah cukup usia untuk berumah tangga. Apalagi keluarga Lloyd jelas dari kalangan terpandang dan itu akan membuat karir sang anak lebih baik. Itu yang ada dipikiran Theo. Ya, pada dasarnya orang tua hanya ingin yang terbaik bagi anaknya. Namun, menurut Yuji semua orang berhak memilih siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya.
Ia tak ingin salah mengambil keputusan dalam hal ini. Ia butuh seorang wanita yang bisa membuatnya tergila-gila dan lupa akan dunia. Yuji ingin wanita yang membuatnya bersemangat di kala ia merasa jatuh. Wanita yang akan menyapanya dengan lembut, lalu senyum wanita itu membuat hatinya menghangat meski di musim dingin seperti desember ini, dan jelas jawabannya bukan Ainsley.
"Ini demi karirmu. Menikah dengan keluarga bangsawan akan membuat karirmu semakin baik."
"Aku tak butuh bantuan orang lain untuk itu. Kasus yang aku tangani dengan baik akan menjadi jalan untukku yang menuntun untuk menjadi lebih sukses dengan caraku sendiri. Aku ingin mengandalkan kemampuan bukan dengan bantuan orang lain dengan gelar bangsawan." Yuji menjawab panjang lebar sambil meminum kopinya yang sudah dingin.
Theo berdecak kesal, menyandarkan tubuhnya ke badan kursi sambil mengacak rambutnya frustrasi dengan anaknya yang begitu keras kepala. Yuji melirik, ia tahu sang ayah marah. Hanya saja ia juga tahu sang ayah tak benar-benar marah kali ini. Jika Theo benar-benar marah, pasti ia sudah babak belur karena sang ayah pandai berkelahi sementara ia tak bisa sama sekali.
"Tapi Ayah jangan khawatir, aku akan tetap datang di acara makan malam itu. Asal ibu memasak steak."