Di depan kamar Kim dan Fred masih berdiri menunggu ini sudah lebih dari tiga puluh menit. Biasanya kegiatan Freya dan pelanggannya akan berlangsung selama empat sampai lima puluh menit. Sampai teriakan lega terdengar dari dalam buat Fred terkejut hingga menutup mulut. Fred membayangkan apa yang terjadi, pergumulan seperti apa yang dilewati keduanya. Sementara Kim masih sama berdiri dengan wajahnya yang datar, tanpa ekspresi seolah tak mendengar apapun. Kim hanya bersikap profesional setidaknya itu yang harus ia lakukan.
"Kau tak mendengar itu?" tanya Fred menatap Kim takut-takut seraya berbisik.
"Apa yang harus aku dengar?' tanya Kim, menoleh pada Fred tanpa perubahan ekspresi yang berarti.
Fred tersenyum di sudut bibir mencemooh kekakuan Kim. "Kau benar-benar tak mendnegar itu?"
Sindiran itu membuat Kim bereaksi. Pria berkacamata itu menoleh, menata Fred dengan tatapan kesal. "Bukankah pekerjaan kita menuntut kita tutup mulut dan telinga? Kau harus tau Bagaimana bersikap dan berbicara. Jika Tuan Loody tau, kau bisa saja kehilangan pekerjaan karena mulut besarmu itu."
Fred geram, tangannya mengepal menahan amarah karena ucapan Kim padanya barusan. Hanya saja secara sadar ia mengakui kalau apa yang dikatakan Kim adalah kebenaran atas pekerjaannya menjadi seorang pengawal. Hanya saja ketika Kim yang berbicara padanya ia merasa dipermalukan.
Saat itu pintu terbuka menunjukan Freya yang berjalan ke luar seraya merapikan gaunnya yang tak berantakan. Ia melirik ke arah Kim dan segera berjalan meninggaklan tempat itu. Fred masih terpaku mencium aroma tubuh Freya wangi yang elegan dan lembut seperti campuran almond, amber dan woody yang dipadu buat siapa saja yang menciumnya menoleh.
"Ayo." Suara berat Loody buat Fred menoleh kemudian ikut berjlan meninggalkan tempat itu
Mobil hitam itu melaju kembali ke tempat di mana biasanya ia berada. Sepanjang jalan Freya hanya menatap keluar jendela. Tak ada senyum hanya tatapan sendu yang biasa ia lakukan. Kesadarannya kembali saat Kim memanggilnya .
"Nona, kita telah sampai."
Freya menatap orang kepercayaannya, lalu mengangguk seraya sedikit tersenyum. Pemilik bibir tipis itu lalu ke luar dari mobil saat Kim membukakan pintu mobil untuknya. Tak ada yang tau apa yang sebenarnya dirasakan Freya. Kesendirian seolah telah menjadi caranya bertahan. Bahkan pada William sahabatnya semasa kuliah, Freya tak banyak bicara seputar perasaan atau tentang kehidupan pribadinya. Bahkan yang William ketahui jika sahabatnya itu adalah benar seorang konkubine atau perempuan panggilan untuk kalangan bangsawan.
Langkah perempuan itu terhenti saat melihat seseorang berdiri di dekat lift. Pria berambut pirang dengan senyum kotak andalannya, dia William Carter anak ke dua dari Raja Alland Carter dan Ratu Briana Carter. Si pembangkang yang tak suka dengan kekuasaan. William lebih suka lingkungan sosial biasa tanpa memandang sesiapa dari kalangan apa dan lain sebagainya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Freya begitu ia berada dekat dengan Will.
Pria itu menggeleng, lalu angkat bahunya. "Tentu saja aku tak tau. Angin membawaku ke sini, he he he."
Freya terlihat malas, kemudian lift terbuka, Will masuk diikuti Freya kemudian Kim menyusul di belakang menekan tombol tiga menuju lantai tujuan mereka. Will berdiri seraya menyilangkan tangannya di depan dada sesekali melirik Freya yang terdiam. Bel berbunyi dan lift rerbuka perempuan itu berjalan diikuti Will di samping kanannya dan Kim tepat berada di belakang.
Kemudian ketika ketiganya hampir sampai, Kim berjalan mendahului, ia membuka pintu dan segera menyalakan lampu. Freya takut gelap dan ruangan sempit maka Kim selalu melakukan ini sebelum sang atasan berjalan masuk ke dalam ruangan.
"Terima kasih Kim," ucap freya pada Kim yang berdiri di sisi pintu.
Will mengikuti dari belakang ia menepuk bahu Kim saat melewati pria dingin itu. "Tersenyumlah, kau kaku sekali."
Tak menjawab Kim memilih menutup pintu kemudian berjalan ke belakang menuju kamarnya. Saat Freya memiliki tamu ia memang menyingkir membiarkan perempuan itu mendaptkan privasi yang lebih luas.
Will masih mengikuti Freya dari belakang seperti anak bebek yang mengikuti induknya. Mereka menuju ruang tengah lalu keduanya duduk di sana. Freya menatap kesal pada pria di hadapannya. Ia tau si bodoh yang kini sibuk tersenyum sejak tadi. Freya yakin Will pasti melakukan sesuatu yang buruk lagi hingga merasa sisi-sisi istana mengapit sang pangeran dan buat dada sahabatnya itu sesak dan memilih melarikan diri.
"Katakan, apa lagi yang kau lakukan?" Freya bertanya, tangannya memijat kening seraya memejamkan mata, lelah ditambah kelakuan temannya itu buat ia makin pusing.
Will terkekeh sebelum menjawab pertanyaan. "He he he, kau pikir aku selalu membuat masalah setiap datang ke mari?"
Freya buka mata, menegakkan tubuhnya, menatap William dengan curiga. "Pikirkan ... Apa yang bisa aku tanyakan selain hal-hal buruk yang kau lakukan dan buat kepalaku sakit Willy?"
"Aish, kau berlebihan." Will mengayunkan tangannya seolah mengatakan kalau Freya terlalu berlebihan. Ia lalu duduk bersandar pada sofa. Sekejap kemudian ia kembali menegakkan tubuhnya.
"Apa?" tanya Freya yang sejak tadi menyaksikan tingkah sahabatnya itu.
"He he he, aku menolak pertunangan."
"Lagi?!"
"Aku masih tiga puluh tah-"
"Kau sudah tiga puluh tahun Willy."
"Kau juga," ketus William mengingatkan.
"Memang, tapi tak ada yang mengira aku sudah berusia tiga puluh tahun," puji Freya pada dirinya sendiri tapi, ekspresi wajahnya datar buat William mengerenyitkan kening.
"Kau itu hantu, puji dirimu dan tersenyum. Kau memuji tapi, wajahmu seolah mencemooh diri sendiri." William berujar lalu merebahkan tubuh di sofa.
"Jangan bilang kau akan menginap di sini?"
Will melirik Freya kemudian menjulurkan lidah. "Istirahatlah, kau pasti lelah. Aku akan berada di sini menginap sekaligus menjagamu."
"Will, kembalilah ke istana Aaron pasti menunggumu. Ia akan tau sejam setelah kau pergi dan ia akan—"
Ponsel Freya berbunyi tepat sebelum ia melanjutkan kata-katanya, Freya mengambil ponsel dari dalam tasnya, melihat siapa yang menghubunginya dan menunjukkan nama Aaron Carter di sana.
"-Menghubungiku." Freya melanjutkan kata-katanya yang tadi terputus. Mengangkat panggilan adalah hal yang ia lakukan selanjutnya. "Hmm, Aaron?"
"Will di sana 'kan?"
"Hmm, tentu saja."
"Tanyakan padanya kenapa ia selalu membuat masalah?"
"Aku juga bertanya hal yang sama tapi, ia hanya tertawa.'"
"Dia memang tak bisa dinasehati. Baiklah Freya, katakan padsa Willy agar kembali sebelum sarapan atau ayah akan sangat marah. Ini adalah perjodohannya yang ke dua belas dan ia lagi-lagi menolak dengan alasan yang tak masuk akal."
"Apa yang ia katakan?" Freya bertanya lalu melirik pada will yang pura-pura tertidur.
"Dia mengatakan kalau ia impoten."
"HAH?! Will kau mengatakan hal bodoh itu?" tanya Freya yang dijawab anggukan oleh Willy. "Demi Tuhan Will!"
"Sudah aku katakan dia gila, bodoh, idiot, pembangkang. Aku taku ayahku akan benar-benar memotong alat kelaminnya karena mengatakan itu pada anak Christine anak dari Tuan Hamper." Aaron terdengar putus asa. Jelas saja ia harus merawat adik yang menyebalkan seperti Will buat kepalanya sakit.
Freya melirik Will. "Ayahmu akan memotong alat kelaminmu jika kau terus seperti ini," ancam Freya buat kedua tangan Will bergerak cepat menutupi bagian yang Freya sebutkan tadi.
"Tolong buat ia kembali sebelum sarapan." Aaron meminta lagi.
"Baik aku akan berusaha membuatnya kembali sebelum sarapan pagi ini."
"Baiklah, terima kasih." Aaron kemudian mengakhiri panggilan.
Freya kesal mendengar kebodohan yang telah dilakukan berulang kali. Will masih pura-pura tidur diikuti lirikan kemarahan dari Freya. Ia berusaha tak terpengaruh sampai akhirnya ia duduk sambil mengacak rambutnya.
"Okay ada apa?" tanya Will kesal.
"Kau masih bertanya ada apa?! Berhenti berbuat bodoh Will!"
Will hela napas. "Aku di sini sampai sebelum sarapan. Sana istirahat!" kesal Will kemudian kembali berbaring.
"Hei! kenapa kau marah? Seolah aku melakukan kesalahan padamu?" tanya Freya bingung, bukankah seharusnya ia yang marah?
Will duduk kembali, menatap sang sahabat dengan wajah bersalah. "Maafkan aku hmm? Aku mohon istirahatlah." Nada bicara Will merendah, lembut, terdengar penuh kasih sayang dan memohon.
"Baik, kau juga." Freya akhirnya mengalah, ia juga merasa lelah, lalu berjalan meninggalkan Willy menuju kamarnya.
Sementara tatapan Will tak berpaling saat perempuan berambut panjang itu perlahan meninggalkan ruang tengah tanpa menoleh kembali padanya.