♦
Ⅳ
♦
Kami memasuki salah satu area pusat perbelanjaan yang ada di kota. Aku tidak ingat bahwa ada perbelanjaan di dekat pantai yang saat itu aku kunjungi. Ternyata memang benar ada sebuah pusat perbelanjaan. Aku bisa melihat berbagai jenis barang tersedia dengan lengkap layaknya situs perbelanjaan pada umumnya di sini.
"You, di mana letak barang-barang yang akan dibeli?!" Aku berbicara dengan agak keras karena suara musik yang keras juga.
"Di lantai dua, Mave!?" balas You.
Libiena berhasil menjalankan perintahku tadi, sekarang sosok You sudah kembali normal.
"Rii, kau yakin mau ikut ke lantai dua?" Libiena menatapku khawatir.
Memang kenapa dengan lantai itu? Itu kan hanya lantai dua biasa, apa ada larangan tertentu di lantai itu? Seperti dilarang masuk untuk lelaki? Atau area khusus wanita-mungkinkah, dilarang membawa dua wanita??
"Memang kenapa? Ada apa di lantai dua?" Aku bertanya kepada Libiena.
"Itu karena ...." Libiena menghentikan ucapannya.
Karena apa? Jangan buat aku takut dong!
"Karena?" tanyaku.
"Karena ...."
"Karena?"
"Kau tidak berani naik eskalator." Libiena mengangkat dua jari telunjuknya kepadaku.
A—
A—apaan itu? Hahaha
Serius begitu? Ah aku tidak percaya, masa cuma melewati tangga yang bergerak itu takut?
Sudah jelas ini adalah dusta dari seorang Libiena. Mudah sekali ditebak.
"Haha—aku tidak percaya, bohong juga ada batasannya Libiena. Jangan kira dengan tubuhku yang hilang ingatan, aku masih bisa dibodohi!?" Aku tertawa meremehkan.
"Serius, Mave, yang diucapkannya bukan bohong. Mungkin kau adalah orang terkuat yang pernah kami berdua temui, tapi sosok itu menjadi berubah ketika berhadapan dengan eskalator." You mengatakan itu tanpa keraguan.
Setelah mendengarnya dari You, aku langsung berpikir dua kali tentang ucapannya.
Masa, sih ... aku takut dengan eskalator? Jika memang benar-benar takut, lantas kenapa aku harus menghindarinya? Bukankah aku harus melawan ketakutan itu?
"Tidak, aku akan tetap ikut ke lantai dua!" ucapku tegas.
"Hee … resiko kau tanggung sendiri, ya, Mave." You melirik ke arahku dan tertawa mengejek.
"Tidak apa-apa, You, biar Rii aku yang urus nanti." Libiena tersenyum kepadaku.
Kami bertiga masih berjalan untuk mencari di mana letak eskalator berada. Setelah mencari selama lima menit, tangga yang berjalan itu sudah ada di depan kami.
Aku melihat ke arah eskalator di depan, tangganya berjalan dan melipat tangga lain. Itu seperti ular yang melahap mangsanya untuk membuatnya lebih panjang dan besar.
Lalu aku berpikir ....
Bagaimana jika kakiku terjepit di sana? Apakah tubuhku juga akan ikut masuk dilahap oleh mesin itu ke dalam? Lalu setelah itu, tubuhku akan dikeluarkan dalam kepingan tulang dan ceceran darah, mengalir setiap sisi di eskalator.
Bagaimana jika mesin itu rusak saat aku menaikinya, akankah dia berputar menjadi cepat dan memotong kakiku? Setelah kaki, maka kepala ini akan terbentur, mesin itu akan langsung meremukkan tengkorakku dan mengeluarkan otak ini, bukankah itu bakal terjadi?
Loh?! Kenapa tiba-tiba otak ini menjadi eror? Kenapa tanganku menjadi dingin? Kenapa aku mengeluarkan keringat di tubuh? Untuk pertama kalinya dalam hidup baru ini, aku merasakan apa yang dinamakan ketakutan.
Jadi benar ... aku takut akan benda di depan ... itu?
Tidak mungkin!!!
Aku mencoba melangkah ke depan, tapi kaki itu tidak ingin menuruti kemauan otakku.
"Bukankah aku sudah bilang, kau itu takut eskalator, Mave." You berjalan mendahuluiku dan mulai naik escalator, merasa belum puas, dia melambaikan tangannya kepadaku.
"Sialan!?? Hei—jangan tinggalkan aku sendiri, You, setidaknya tunggu kakakmu ini!?"
Dasar adik durhaka!!
"Rii, ayo pegang tanganku dan tutup matamu." Libiena mulai menggandeng tanganku menuju eskalator.
Tidak—jangan, aku tidak ingin naik eskalator ini. Jangan tarik badanku Libiena!!
"Tidak, aku tak mau, kau saja!!" Aku melepaskan genggaman Libiena.
"Tutup matamu saja, atau kau mau bersender di dadaku?"
Bodoh! Tinggimu saja hanya segitu, mana mungkin aku bisa bersender?!
"Ba—baiklah. Aku akan tutup mata."
Aku mulai menaiki eskalator itu dengan kaki yang gemetar dan tangan yang menggenggam Libiena erat sekali.
"Kau tidak menutup matamu?" Libiena menoleh ke arahku.
Ternyata, mata ini tidak bisa tertutup. Aku tidak bisa, jika aku bisa menutup mataku, sudah kulakukan dari tadi. Sekarang yang ada di pikiranku hanyalah jangan sampai Libiena melepaskan tangannya, itu saja.
Jika Libiena melepaskan tangannya, maka semua imajinasi otak tadi akan menjadi nyata.
"Libiena, tolong jangan lepaskan tanganmu, ya!" Aku menatap Libiena dengan wajah melas.
"Tentu, kau kan takut eskalator." Libiena membalasku dengan senyuman.
Syukurlah dia tidak jahil. Dia benar-benar seperti orang yang berpikiran dewasa.
Akhirnya sampai juga di lantai dua.
Eskalator bedebah!! Aku akan naik tangga biasa saat pulang nanti. Aku bersumpah.
"Selamat, Mave." You menyambutku dengan tepuk tangan kecil.
Astaga seperti anak kecil saja, banyak pasang mata yang melihatku. Banyak juga reaksi mereka, ada yang heran, tertawa, maupun acuh.
Sial, aku benar-benar tidak ingin menaiki eskalator lagi.
Selamanya!!!
"You hentikan itu, malu dilihat orang lain." Aku berbisik kepadanya.
"Ehehe dasar penakut," ejek You.
Sial. Apakah aku benar-benar menunjukkan sisi lemah? Jadi ini adalah kelemahan diriku entah yang terdahulu maupun sekarang.
Tubuh kekar dan tinggi ini ... takut akan eskalator?
"Sudah, sudah, ayo kita cari perlengkapan yang dibutuhkan You untuk besok." Libiena mendorong kami berdua menuju ke suatu tempat.
Berjalan melalui kerumunan orang, ditambah dengan adanya dua wanita di samping, membuat diriku menjadi aneh. Tidak heran bahwa selama perjalanan kami menuju ke tempat yang You tuju, banyak pasang mata yang memandang aneh.
"Hei!? Ada boneka kucing!?" Libiena berlari ke arah boneka itu berada.
Tunggu—bukankah Libiena adalah sosok yang dewasa? Kenapa sifatnya berubah menjadi anak kecil?
"Wooa!? Aku akan membelinya!!" You mendekati Libiena.
Apa-apaan mereka berdua!?
"Hei, ingat tujuan awal kita!?" Aku mendekati mereka berdua.
"Tidak!? Aku mau boneka itu!?" Libiena merengek.
Dasar, aku tidak tahu apa yang merasuki tubuh wanita ini. Bukankah tadi dia bersikap dewasa?
Aku menatap You, tangannya masih mengangkat boneka kucing yang lain. Layaknya detektif, dia mulai meneliti komponen-komponen dari boneka itu.
Aku kesal. Aku ingin marah.
Kenapa orang-orang bisa berubah menjadi sosok yang berbeda?
"Ayo kita pergi!?" Aku menggapai masing-masing lengan mereka berdua.
"Uwaaa!?"
Sial. Lagi-lagi aku dibuat bingung oleh sifat mereka berdua. Semoga saja ke depannya, mereka tidak bersikap seperti anak kecil lagi.
●●●
Sekarang sudah pukul 12 siang, di tanganku ini ada tas berisi peralatan yang You butuhkan untuk Ospeknya besok. Aku bersama dua wanita di depan berjalan menuju kafetaria untuk makan siang, sayang sekali ... tidak bisa makan masakan buatan You.
"Sampai juga," ucap You.
"Katanya masakan di sini enak-enak, loh," balas Libiena.
Aku hanya memerhatikan mereka berdua, mereka memang seperti sepasang kakak-adik. Mendengar suara mereka saja hatiku bisa menjadi setenang ini, bukankah itu berarti mereka adalah sosok berharga dalam hidup lamaku? Namun, mereka menyebalkan juga jika lagi aneh.
Aku masih mengikuti mereka mencari meja kosong di kafetaria ini. Setelah menemukan meja kosong, aku langsung duduk di depan mereka. Libiena menggeser kursinya agar tidak jauh dariku, meskipun dia masih berada di depan, tepatnya serong kanan dari tubuh ini. You juga melakukan hal yang sama, dia kini berada di serong kiri.
"Jadi, apa masakan yang lebih enak dari milik You?" Aku bertanya kepada Libiena.
"Ummm … kata orang-orang sih di sini paling enak Nasi Goreng Katsu." Libiena mengetukkan jari telunjuknya ke bibirnya.
Aku melihat gestur Libiena. Tidak—tiba-tiba saja aku teringat soal ciuman tadi pagi. Aku masih ingat bagaimana dia dengan ahlinya mencium bibir ini, sedangkan aku yang bingung hanya bisa terdiam.
"Sebenarnya aku hanya suka masakan You, tapi karena kalian sudah lapar, jadi aku ikut saja," ucapku.
"Mave, aku hargai pujianmu itu. Namun, aku juga harus belajar memasak lebih giat lagi untuk membuatmu selalu menyukai masakanku." You memberikanku senyuman.
"Yah tentu, sampai kapan pun aku akan tetap menyukai masakanmu."
Dan sepertinya juga dirimu ....
Tahan, dia adalah adikmu sendiri!! Kau juga sudah punya pacar!!!
Aku menunggu mereka yang sedang menulis pesanan mereka dalam secarik kertas. Sampai saat giliranku memesan, tangan ini menuliskan nasi goreng katsu dan cola, kemudian kuberikan kertas itu kepada Libiena.
Setelah menunggu waktu yang lumayan, makanan itu akhirnya ada di depan kami. Biar aku coba masakan yang katanya lebih enak dari masakan You.
Sayang sekali, aku lebih menyukai masakan You. Masakan ini memang enak, tapi bumbu yang digunakan tidak sebaik yang You sajikan. Meskipun You dua hari ini membuatkanku makanan dengan kuah, akan tetapi tekstur dan bumbu yang diciptakannya benar-benar berbeda dari makanan di depan.
"Bagaimana, Rii? Enak atau tidak?" tanya Libiena.
"Enak, tapi aku masih lebih suka masakan You."
"Wah, sepertinya You masih memiliki sosok kakaknya yang dulu, ya?" Libiena tertawa kecil.
"Yah begitulah, aku merasa bahwa masakan You masih lebih enak," balasku.
Di depanku, You masih sibuk mengunyah makanannya sembari memerhatikan kami berdua.
"Karena Mave sudah memuji masakanku enak, makan malam nanti akan aku buatkan Ramen Pedas Ayam Spesial." You mengacungkan ibu jarinya kepadaku.
"Yosh, kelihatannya enak," balasku.
Kami bertiga menghabiskan waktu di kafetaria itu dengan tawa ria. Melihat dua orang cantik di depan itu tertawa ria membuatku tidak ingin mengingat tentang masa lalu.
Namun seberapa keras aku menolak untuk mengingat masa lalu itu, hatiku tidak ingin menurutinya, seperti yang saat ini kurasakan—sakit sekali hati ini. Sama halnya saat mencoba untuk mengingat masa lalu itu, otak ini yang tidak ingin menurutinya.
Posisiku serba salah di sini. Jadi mengikuti alur cerita adalah opsi satu-satunya untukku.
●●●
"Sampai ketemu besok di kampus!" Libiena melambaikan tangannya kepadaku dan You.
Kami sudah berada di luar perbelanjaan tersebut, Libiena mengatakan bahwa rumahnya tidak jauh dari sini. Saat aku menawarkan diri untuk mengantarnya, dia menolak dengan alasan tidak ingin membuatku kelelahan.
"Sampai jumpa, Libiena," ucapku dan You.
Aku memutar badan dan mulai berjalan ke rumah, tapi tiba-tiba dua buah tangan mengikat tubuhku dari belakang.
"Aku masih tidak ingin berpisah denganmu, Rii," ucap Libiena sembari memelukku.
Bukannya masih ada hari esok? Apakah dia takut akan esok yang tidak bisa bertemu denganku.
"Libiena, saat besok You sedang Ospek, kita akan habiskan waktu bersama." Aku melepas pelukannya dan menghadapnya.
You yang dari tadi melihat momen kami bersama sepertinya sudah bosan, dia hanya tersenyum tanpa banyak bicara.
"Janji, ya?" Libiena mengeluarkan jari kelingkingnya.
"Janji." Aku menyambut jari kelingkingnya.
"Sampai bertemu besok, You. Jika ada yang berani kepadamu saat Ospek besok, bilang saja pada Rii, ya!!" Libiena memeluk You dengan sangat erat.
"Kenapa aku?" tanyaku heran.
"Loh, kan kau ketua Komisi Kedisiplinan dan aku wakilnya, jadi besok kita tidak bisa bersama selain saat istirahat Ospek," jawab Libiena.
Tunggu—Hah?!! Aku ketua Komisi Kedisiplinan?! Gila betul, bukankah komisi itu yang isinya cuma marah-marah? Bagaimana aku bisa berimprovisasi besok? Terlebih lagi ... jika sudah tahu seperti itu, kenapa Libiena menyetujui ucapanku tadi dan malah mengikat sebuah janji?
Mana mungkin ketua dan wakil dari Komdis bisa berduaan saat Ospek??!!
Sumpah, dia ini orang yang aneh!!
"Hei Libiena, jika kau tidak memberitahuku, apa yang akan terjadi padaku?" tanyaku kepada Libiena.
Libiena melepaskan pelukannya pada You dan menghampiriku, "Tidak akan ada apa pun, mereka semua takut padamu, hehe. Oh ya, jangan lupa besok, panitia harus berangkat pagi, ya!" Libiena kemudian mencium pipi ini dan berlari menjauhi kami.
Aku masih bisa melihat tubuhnya yang sedang berlari itu, Libiena memiliki tinggi tubuh yang mirip dengan You, sekitar 155 cm. Tinggiku sendiri adalah sekitar 175 cm, sehingga ketika ia mencium pipiku barusan, dia menjinjitkan kakinya.
Aku kembali meraih tangan You dan berjalan pulang.
"You, umurmu sebenarnya berapa?" Aku membuka pembicaraan.
"Umm ... 19 tahun, Mave."
Wow, dia bahkan hanya selisih satu tahun denganku. Pantas saja terkadang aku berpikiran yang tidak benar tentangnya, itu karena jika dia bukan adik sendiri, maka bisa kujadikan seorang kekasih.
"Kau tidak cemburu, kan, You?" Aku meledeknya.
"Tentu saja, aku cemburu." You memukul pinggangku pelan.
Aku masih kaget akan jawabannya, dia kan memang suka bercanda.
"Haha, jangan bercanda terus You," balasku.
Kami berhenti berjalan.
You yang sedang bergandengan tangan denganku itu lantas menatap mata ini dengan serius, tidak ada keraguan di matanya itu.
"Aku tidak bercanda, aku memang mencintaimu."
Serius? Ti—tidak mungkin, itu tidak mungkin, bukan?
"Bodoh, kita kakak-adik. Tidak boleh memiliki hubungan yang akan merujuk ke suami-istri." Aku menghentikan langkah dan menatapnya.
"Kan bukan kandung, jadi masih bisa."
Cobaan apa lagi ini?! You bukan adik kandungku? Apakah orang tua kami menikah untuk kedua kalinya?
"Apa yang kau ucapkan itu, apakah tidak bohong?" tanyaku memastikan.
"Aku tidak bohong." You mulai melangkah kembali.
Jika begini, bukankah aku bisa menjalin hubungan dengannya? Eh—tapi bagaimana dengan nasib Libiena? Aku masih belum mencintai mereka berdua karena ingatan lama yang belum pulih, otak yang sekarang tidak tahu perasaan apa yang disimpan oleh ingatan lamaku kepada You dan Libiena.
"Aku bingung dengan pernyataanmu You, bagaimana mungkin aku memilih antara kau dengan Libiena?" tanyaku kepada You.
"Pilih saja keduanya, aku dan Libiena sudah siap menjadi milikmu."
Ap—
Se—semudah itu mengucapkannya?
Sial!! Apa aku bisa mencintai dua orang? Kenapa situasinya menjadi harem begini?
Aku tidak bisa, dengan ingatan yang belum kunjung kembali, aku tidak bisa memutuskan bahwa akan mencintai dua orang. Solusi untuk masalah You yang mencintaiku akan terpecahkan ketika telah mendapatkan ingatan lama itu.
Sekarang jangan fokus kepada urusan cinta, akan tetapi fokuslah kepada cara agar ingatan ini pulih.
Aku akan terus mengatakannya di sepanjang cerita ini, itu karena tujuan utamanya.
Aku berjalan dengan pandangan yang kosong, tidak disangka bahwa You bukan adik kandungku. Tidak dipungkiri lagi hati ini selalu terganggu ketika dia menggodaku, tapi hati ini kembali tidak menyangka bahwasanya dia benar-benar mencintaiku.
Sekarang, benarkah kakak dan adik tiri bisa saling mencintai?
Dalam lubuk hatiku jujur aku bimbang, You baru saja mengatakan bahwa dia mencintaiku. Sikapnya yang diam saat aku mesra dengan Libiena ternyata adalah bentuk kecemburuannya. Namun memang saat aku melihat sikap You, dia menjadi sering menggoda setelah kejadian pingsan pertama pagi itu.
Sebelum kejadian itu, dia bahkan sangat takut dan berpikiran aneh ketika aku memeluknya. Namun—memang dia beneran takut kepadaku? Sepertinya itu hanya trik yang digunakan untuk memikat sang pangeran, dengan sok waspada padahal aslinya dia mau.
Maaf Libiena, maaf You, aku belum bisa memutuskan.
"Hei, You, mau coba balapan lari denganku sampai rumah?" Aku mencoba mencairkan suasana.
"Oke aku berani, tapi dengan satu syarat."
"Apa itu?"
"Syaratnya adalah ... aku akan lari duluan!?" You berlari dengan cepat mendahuluiku yang sedang fokus mendengarkannya.
Sialan!! Dia ini orang yang liciknya tingkat Dewa.
"Woii curang!? Tunggu aku!!" Aku menyusul You yang sudah berlari menjauhiku.
Lihat? Aku harus menyingkirkan tentang cinta di antara kami terlebih dahulu, karenanya tidak ada lagi canggung di antara kami.