A Brand New World (3)

Aku sudah bisa melihat rumah di depan sana, di sebelah masih ada dua pengawal baruku. You dan Libiena. Kami memutuskan untuk menggunakan kendaraan umum karena jarak alun-alun ke rumah yang cukup jauh.

Kenapa tidak berlari lagi? Jawabannya sederhana, bukan? Tentu saja karena Libiena yang tidak memakai peralatan olahraga di tubuhnya. Dia hanya memakai kaos dan celana pendek layaknya perempuan pada umumnya.

Sampai juga di rumah, syukurlah tidak ada tetangga yang sedang berada di luar. Kondisi aman.

"Kalian berdua masuk saja dulu, aku ingin berada di luar untuk sementara waktu." Aku menyuruh mereka berdua masuk ke dalam rumah.

"Baiklah." Mereka berdua menganggukan kepalanya.

Aku berjalan menuju kursi yang berada di teras rumah kemudian duduk dengan nyaman, sementara mereka berdua sudah masuk ke dalam rumah.

Jujur saja aku butuh waktu sendiri untuk memikirkan kejadian yang telah dialami dua hari terakhir ini.

Bagaimana aku memulai diskusi diri sendiri ini?

Baiklah, dimulai dari kejadian mimpiku, seseorang yang misterius mengatakan sesuatu. "Kau tidak sendirian di dunia ini, aku ada di sini, tepat di hatimu yang akan berisi kehangatan."

Kasus kedua adalah ketika aku jatuh pingsan ketika diajak oleh You menuju pantai yang ada di dekat sini. Kemudian sosoknya menghilang setelah mengatakan, "Bukankah, itu yang harus kau ingat kembali?" Sama seperti kejadian baru saja, bedanya kalimat itu dikatakan oleh Libiena.

Huh ... pada akhirnya, aku yang harus mencari jawaban itu.

Aku berjalan menuju ke dalam rumah dan langsung mencium aroma masakan yang familiar. Masakan You adalah yang terbaik.

"You, ada yang bisa kubantu?" Aku bertanya kepada You setelah sampai di dapur.

"Tidak perlu, Mave, kau istirahat saja sebentar. Syukurlah ada Libiena yang membantuku di sini." You menoleh ke arahku sembari menumbuk bumbu yang ada di wadah depannya.

Aku lantas melihat ke arah Libiena. "Ada yang bisa kubantu, Libiena?" tanyaku.

"Ah tidak perlu, Rii, sebaiknya kau istirahat saja." Libiena menggelengkan kepalanya.

Baiklah aku seperti jadi orang jahat di sini. Lalu mau bagaimana lagi? Mereka yang memintaku untuk tidak mengkhawatirkannya.

Aku kembali melihat mereka berdua dalam langkahku meninggalkan dapur. Di dalam hatiku seperti berkata bahwa mereka berdua adalah nyawaku, jika mereka tiada maka aku harus tiada.

Perasaan macam apa lagi ini? Untuk menyegarkan perasaanku, lebih baik aku mandi saja.

●●●

Kami bertiga masih duduk di meja makan dan saling menatap satu sama lain. Kami sudah selesai makan, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan setelah ini. Mungkin dua orang di depan itu memiliki jawabannya.

"Omong-omong, setelah ini kalian mau melakukan apa?" Aku membuka pembicaraan.

"Hmmm, aku ingin bersama Rii dan Yuukiho saja sudah cukup." Libiena menjawab pertanyaanku.

"Ayo kita habiskan waktu hari ini di rumah dengan bermain game bersama-sa—" You tiba-tiba terdiam.

Wajah You terlihat tegang. Sementara itu, aku dan Libiena bertukar pandangan lalu kembali menatap You.

"You, kenapa wajahmu begitu? Ada masalah apa?" Aku berdiri dan mendekati You.

"Yuukiho, ada apa?" Libiena menyusul langkahku.

"Gawat, Mave, Libiena!!" Wajahnya masih terlihat tegang.

Aku dan Libiena sudah berdiri di depan kursi yang You duduki.

"Katakan padaku!!" Aku menatap You dengan khawatir.

"Besok kan aku Ospek ...." You kembali terdiam.

"Lalu kenapa, Yuukiho?" Libiena memegang kedua tangan You.

"Ehehe … aku belum beli barang untuk Ospek tersebut." You tersenyum tidak bersalah dan menatap kami berdua.

Mataku tidak bisa berkedip dan mulut ini langsung ternganga.

Hanya karena itu?

Aku pikir dia bakal pingsan sepertiku karena memperlihatkan wajah tegangnya tadi.

Tunggu—besok dia Ospek? Lalu dia belum beli barang-barang untuk Ospek? Hebat, adikku ini memang hebat.

Apakah ada yang bisa mengalahkan sifat ceroboh dari seorang You? Kurasa tidak ada.

"Kenapa baru bilang sekarang? Seharusnya tadi kita beli sekalian saat pulang dari alun-alun." Libiena bertanya kepada Yuukiho.

"Aku ... lupa, hehe," ucap You sembari memegang kepalanya.

Sebenarnya ... yang hilang ingatan itu dia atau aku, sih?

"Baiklah, biar aku temani saja Yuukiho, Rii tetap di rumah, ya." Libiena menatapku.

Sejak kapan dia yang memutuskan? Mereka saja tadi tidak meminta bantuan ke orang lain karena alasan yang sangat ambigu. Terlebih lagi, aku tidak ingin suatu hal buruk terjadi pada You saat aku tidak berada di sisinya.

Dan yang paling penting ... aku bosan di rumah.

"Kutolak." Aku menatap kembali Libiena.

"Tapi kau harus istirahat, Rii!" tutur Libiena.

"Sudah kubilang aku baik-baik saja, aku ingin melindungi kalian berdua. Hatiku yang menyuruh seperti itu."

"Mave ...." Wajah You terlihat bahagia.

"Baiklah ... Rii boleh ikut!!?" Wajah Libiena merengus kesal.

"Aku ingin mandi dulu, kalian berdua tunggu di ruang keluarga saja." You berdiri dan mulai berjalan ke kamar mandi.

Semoga saja kejadian beberapa waktu yang lalu tidak terulang kembali. Jika itu terjadi, aku berharap melihat milik Libiena ….

Aku memutar pandanganku ke arah Libiena. "Kau tidak ikut mandi?"

"Sembarangan kau!? Bilang saja kalau kau ingin melihat indahnya tubuhku ini, kan?" Wajahnya memerah dan kembali merengus.

"Memangnya seindah apa tubuh wanita yang hanya memiliki tinggi sekitar 150 sentimeter."

Wajah Libiena kian memerah. "Aku akan menyalurkan wajah merahku kepadamu nanti, lihat saja!!"

Haha, aku sangat suka wajah itu. Kadar cantiknya akan bertambah ketika dia malu dan kesal, mirip seperti wajah You ketika kesal.

Sempurna.

Aku beranjak pergi menuju ke ruang keluarga bersama dengan Libiena yang berada di samping. Kuambil remot televisi dan mulai menyalakannya, lalu duduk di sofa dengan Libiena. Berita yang disampaikan kini adalah tentang prediksi bencana alam yang akan terjadi sehari ke depan, itu adalah gempa bumi.

Aku mencari di sisi layar televisi untuk lokasi yang akan diprediksi terkena gempa bumi dan mendapatkan bahwa kota kami akan terkena bencana itu, bahkan yang paling parah. Untungnya tidak ada keterangan gempa bumi itu terjadi di laut, tapi buruknya, itu adalah laut dekat kota ini. Alasan aku mengetahui kota ini adalah karena aku telah melihat nama kota ini di alun-alun saat berlari tadi.

"Apakah berita itu benar?" Aku bertanya kepada Libiena yang sedari tadi memandangiku, bukan televisi.

"Aku tidak peduli sama berita, aku hanya peduli padamu, Yuukiho, dan adikku saja." Libiena menggeser tubuhnya semakin mendekat.

Kini, Libiena tepat berada beberapa sentimeter di sampingku.

"Tapi berita itu mengatakan gempa akan terjadi di laut, dan kota ini akan terkena dampaknya!" Aku mencoba fokus dengan menonton layar televisi.

"Rii?" Libiena memanggilku dengan suara yang sangat lembut.

Aku menoleh ke samping, lalu—sedetik kemudian mendapatkan ciuman manis darinya, ini bukan di pipi lagi—ini di bibir. Apa yang harus kulakukan? Aku benar-benar lupa cara untuk mencium seorang wanita karena hilang ingatan. Aku masih terdiam merasakan ciuman tersebut, sampai Libiena melepaskan bibirnya dariku.

Rasa bibirnya itu, masih terasa di bibirku, apa yang harus kulakukan? Aku bisa merasakan panas di wajahku, sepertinya warna wajah itu sudah berubah menjadi merah.

"Rii?!! Kenapa tidak membalas ciumanku?!" Tangan Libiena memegang pipinya dan wajahnya memerah.

Bagaimana bisa membalasnya? Aku bahkan masih terkejut dengan kejadian baru saja.

"Aku terkejut kau akan melakukan serangan mendadak itu, Libiena. Lain kali bilang dulu, dong!!" Aku memalingkan wajahku dan kembali menonton televisi.

"Rii meskipun hilang ingatan, tetapi sosokmu yang dulu masih ada, ya." Libiena tertawa kecil.

Syukurlah jika begitu.

Bagaimanapun juga, sebenarnya aku juga tidak ingin kehilangan sosok lamaku. Namun kenyataannya, otak ini benar-benar kehilangan sosok lama itu. Ini hanyalah tubuh baru yang kutemukan pada malam hari di lapangan gelap itu.

"Hei Libiena, apakah aku dulu adalah orang yang jahat?" Aku memegang punggung tangannya dan menatapnya.

"Rii? Jahat? Sama sekali tidak, kau adalah sosok yang paling baik di dunia ini setelah adik dan ibuku. Setelah itu juga ada You, bahkan kalian berdua lebih baik dari orang tuaku." Libiena menundukkan kepalanya.

"Libiena, jangan berkata seperti itu. Orang tua itu pasti adalah oran yang paling baik di dunia ini."

"TIDAK, KAU SALAH. ORANG TUAKU ADALAH YANG TERBURUK!!!" Libiena berteriak dengan menutup wajahnya dan mulai menangis.

Aduh bagaimana ini?

Libiena tiba-tiba menangis saat membahas orang tuanya. Jika You sampai mengetahui ini, pasti aku akan dimarahi olehnya.

"Hei Libiena, sudah jangan menangis. Aku memang belum mengingat tentangmu, tentang orang tuamu. Aku minta maaf jika perkataan tadi menyinggung perasaanmu." Aku mengelus-elus pundaknya dengan pelan.

"Maaf, Rii, aku lupa kau belum mengingat semuanya. Aku sempat heran kenapa kau mengatakan orang tuaku adalah orang baik, padahal dulu kau ingin sekali membunuhnya." Libiena mengusap air matanya dan mencoba memberikan senyuman kepadaku.

Mataku terdiam, aku menahannya untuk tidak berkedip.

Aku ingin membunuh orang tuanya?

Mana mungkin aku melakukannya, aku bukan seorang pembunuh, kan?

Di saat tengah terpaku oleh ucapan Libiena baru saja, seseorang menepuk pundakku dari belakang.

"Kenapa Libiena berteriak? Kalian berdua bicara tentang ap—Eh Libiena?? Kenapa kau menangis?" You berjalan mendekati kami.

Habis sudah ... setelah ini aku pasti kena omelan dari You.

"Tidak apa-apa, aku hanya kelilipan tadi, Yuukiho," balas Libiena kepada You.

"Benarkah seperti itu? Tapi kau tadi berteriak, loh!" You kemudian menatapku.

"Aku baru saja menyinggung tentang orang tuanya dan dia langsung menangis." Aku berkata apa adanya kepada You.

"Mave, lain kali tidak usah menyinggung tentang orang tua Libiena, ya. Mereka sekarang sudah di penjara seumur hidup." You kemudian duduk di samping Libiena.

"Penjara? Kenapa?" Aku malah penasaean dengan pernyataan You barusan.

"Hei, kau ini!! Sudah kubilang jangan dibahas di depan Libiena." You menatapku dengan garang.

Sial. Mode itu lagi?

"Tidak apa-apa, You, mungkin itu bisa membuat ingatan Rii pulih." Libiena mengutarakan pendapatnya.

"Kau yang membuat mereka di penjara, Mave," ucap You sembari mematikan televisi.

Aku kembali terkejut—sebenarnya aku itu orang yang seperti apa, sih? Kenapa sepertinya banyak sekali masalah yang dialami?

"Kenapa? Kok bisa aku memenjarakan mer—"

Sakit!? Sial, kepala ini benar-benar sakit. Untungnya aku tidak pingsan saat ini.

Kenapa? Apa karena aku ingin mencoba untuk mengingat masa lalunya lebih jauh?

"Mave!? Kau kenapa lagi?"

"Kau benar-benar tidak apa-apa, Rii? Wajahmu pucat …."

Aku mengangguk. "Iya, tidak apa-apa. Ayo kita pergi!"

Aku bisa memenjarakan seseorang? Bagaimana mungkin? Apakah ini adalah kasus baru yang perlu diingat? Di sisi lain, Libiena menangis ketika membahas orang tuanya, seburuk itukah perlakuan orang tua Libiena kepadanya?

Dugaan awalku tentang Libiena adalah dia korban dari keluarga yang tidak harmonis, atau bahkan orang tuanya sering memakai kekerasan kepadanya.

Libiena yang malang.

Aku mengunci pintu rumah sementara mereka berdua sudah berjalan pelan meninggalkanku. Padahal baru jam sepuluh pagi, sudah banyak kisah yang terjadi pagi ini. Setelah beres mengunci pintu, aku menyusul mereka berdua. Tujuan kami adalah pusat perbelanjaan untuk membeli barang-barang Ospek milik You.

Lagi-lagi aku disuruh berada di antara mereka berdua, parahnya kini lenganku digenggam erat oleh lengan mereka, akibatnya aku bisa merasakan betapa kenyalnya benda 'itu'. Seseorang tolong diri ini, jika terus seperti ini, maka aku akan dipandang tidak baik oleh orang lain.

Menyebalkan.

"Apakah lokasinya jauh?" Aku bertanya kepada mereka berdua.

"Lokasinya persis sebelum pantai," ucap Libiena.

"Lebih tepatnya sekitar 15 menit perjalanan jalan kaki," lengkap You.

Aku tidak merasa pernah melewati pusat perbelanjaan pada saat ke pantai waktu itu. Yang terlihat hanyalah gedung-gedung yang belum selesai di bangun. Mungkin saat itu aku tidak melihatnya.

Ada satu lagi pertanyaan yang ingin aku ajukan kepada Libiena. Saat tadi pagi You menyapanya, You mengatakan tentang Libiena yang kini telah sehat, sebenarnya dia sakit apa sebelumnya?

"Hei Libiena, memang kau sakit apa sebelum ini?" Aku melirik ke arah Libiena.

"Ah itu, tubuhku dulu banyak yang rusak, Rii." Libiena mengatakan kalimat itu dengan tersenyum.

Tubuh yang rusak? Berarti benar dia mengalami kekerasan dari orang tuanya?

"Bagaimana kondisimu sekarang? Sudah benar-benar sehat?" tanyaku.

"Sudah, kok, jangan cemaskan aku, Rii," balas Libiena.

"Kalian berdua membuatku seperti pengganggu saja, ajak aku bicara juga, dong!!" You melepaskan tangannya dariku dan berjalan mendahului kami berdua.

"Dia marah tuh, Libiena, tolong tenangkan dia, ya!" Aku menepuk punggung Libiena.

"Tenang, Rii, adik tersayangmu itu akan segera aku tenangkan." Libiena menyusul keberadaan You.

Dasar You, tingkahmu memang selalu di luar kotak. Jika seperti ini, aku bisa melupakan identitasku dan memulai hidup baru. Rasanya cukup untuk melakukannya jika mereka berdua ada di sisiku.

Deg …. Dadaku ….

Apa-apaan?! Rasa sakit ini?

Uhukkk!!

Darah? Yang benar saja? Anehnya aku tidak pingsan, hanya saja hati ini perih sekali. Bahkan sampai batuk darah?

Huh, tapi sepertinya hatiku tidak menyetujui pendapat awal tadi, hatiku langsung sakit ketika mencoba melupakan sosok lama itu.

Yang benar saja, haha, mencoba mengingat ingatan, itu akan menimbulkan sakit kepala. Lalu ini? Mencoba melupakan ingatan, hatiku perih sekali dan muntah darah?

Posisi serba salah apa ini? Baiklah Maverick lama, aku akan kembali mencari ingatanmu yang hilang itu.