■
Ⅴ
■
Seluruh badanku sakit, bukan karena benturan mobil tadi. Namun karena cubitan dari tiga wanita mesum yang kini ada di depan itu. Menatap makanan mereka dengan santainya, saling tersenyum satu sama lain.
Kenapa sekarang rumah yang awalnya hanya ada aku dan You—menjadi ramai sekali?
Ada tiga wanita di depan sana, aku bisa melakukan apa pun pada mereka, loh. Namun tetap saja, aku tidak bisa melakukan tindakan buruk seperti itu.
"Rii, maafkan aku ya karena mencubitmu sampai merah begitu." Libiena menatap manja kepadaku.
Aku melihat kedua lengan. Memang ada tiga bekas cubitan dan satu gigitan yang bahkan lebih sakit dari pukulan anak pagi tadi. Bonus yang diberikan You kepadaku berupa gigitan tersebut. Ketiga wanita mesum itu tidak segan-segan memperlakukan tubuh ini seperti budaknya.
Sialan!!!
Lalu ... kenapa wanita yang paling mesum itu adalah adik Libiena? Jika You tingkat kemesumannya adalah satu, Libiena adalah dua, dan Miyu adalah tiga, bahkan empat. Dia seperti iblis wanita penggoda manusia yang diciptakan Tuhan untuk menguji imanku.
"Mave, maafkan aku juga." You menundukkan kepalanya.
Dua surat permintaan maaf sudah aku terima, kurang satu lagi yang masih berada di konsep.
"Kak, ayo kita lakukan yang seperti tadi kapan-kapan? Mau yang lebih menantang permainannya?"
Idiot. Benar-benar pikiran bocah ini, aku tidak habis pikir. Jadi ini adalah bentuk permintaan maafnya?
Seseorang, tolonglah aku untuk keluar dari situasi seperti ini. "Hei, hei, ingat. Rii hanya milikku dan Yuukiho. Kau kan pendatang baru."
Astaga. Ingin aku pukul ketiga wanita ini, jiwa ini bukan barang yang bisa kalian perebutkan. Sebegitukah sayangnya kalian kepadaku? Padahal aku sendiri sedang hilang ingatan, loh.
"Hei kalian bertiga, begini ya ... aku itu tidak mengingat kalian semua, loh. Masa iya kalian memperebutkan lelaki yang bahkan tidak mengingat kalian. Bukankah itu terlalu menyakitkan?"
"Aku dulu yang bicara!" You menghentakkan sendok ke meja. "Mave bagiku sudah seperti dunia yang tidak bisa kulupakan. Aku juga yakin pada Mave, di dalam hatinya pasti masih ada ingatan tentangku," lanjut You.
"Wanita mesum terakhir saja!" Libiena memukul meja dengan kedua telapak tangannya. "Rii, meskipun kau hilang ingatan. Bukankah itu hanya pada dirimu saja? Selama aku masih bisa mengingatmu, seburuk apa pun dirimu akan selalu kubukakan pintu agar kau kembali ke sisiku. Karena apa? Kau sudah menyelamatkanku," tutur Libiena.
Tunggu, bahkan sel di kepala ini tidak mengerti apa yang kalian bicarakan. Sungguh, sebenarnya aku sendiri tidak tega karena sudah melupakan semua kenangan itu. Jika terus begini, pikiran ini khawatir akan kelanjutan hidup baru ini, bukankah terlalu jahat ya ... diriku ini?
"Jadi sekarang giliranku," Miyu memainkan jari telunjuknya di bibir mungil itu. "Aku sih tidak peduli tentang ingatanmu itu, aku sudah bisa bertemu denganmu, lalu menggodamu saja sudah sangat bersyukur." Miyu menutup matanya dan tersenyum kepadaku.
Apa dasar dari ucapannya itu? Kenapa lagi-lagi aku harus mendengarkan ucapan yang menyayat hati? Aku tidak mengerti, sungguh.
Bukankah ucapan Miyu itu sangat berlebihan?
"Ternyata aku orang yang penting untuk kalian, tetapi bodohnya, sekarang aku tidak mengingat kalian. Maafkan aku." Aku melihat ketiga wanita itu dan melemparkan senyuman.
Putus asa.
"Tidak masalah, lupakan itu." Mereka mengatakan hal yang sama secara bersamaan.
Seperti satu orang saja, dasar kalian bertiga.
"Sekarang sudah jam 8 malam, kalian berdua bukankah harus segera pulang?" Aku menyingkirkan piring di meja depan.
"Iya, kami akan segera pulang." Libiena berdiri dan mulai membereskan meja makan.
"Biar aku antarkan, aku juga ingin tahu rumah kalian berdua." "Bilang saja kau ingin mencuri kesempatan bersamaku, kan, Kak?"
Miyu beranjak dari duduknya.
"Bukan bodoh. Mana mungkin aku memiliki pikiran seperti itu."
Hmmm—oh ya, Libiena dan Miyu adalah saudara kandung.
Namun kenapa Libiena tidak berangkat ke kampus bersama Miyu? Terlebih lagi, ekspresi Libiena sangat kaget saat di tempat parkir tadi ketika melihat Miyu. Bukankah itu aneh?
"Miyu, kenapa kau tidak berangkat ke kampus bersama Libiena? Apakah kalian tidak tinggal bersama?" tanyaku.
"Hmm ... itu karena kemarin aku baru pulang dari luar kota. Lalu aku tidak sempat pulang ke rumah karena harus membeli barang untuk Ospek, pada akhirnya aku menginap di hotel."
"Padahal kemarin kami berbelanja juga untuk Yuukiho," sahut Libiena.
"Eh?? Curang kalian berdua. Jika aku tahu, pasti tidak akan berbelanja sendiri dan menginap di hotel!?"
"Sudahlah, kan itu kemarin." Aku berdiri dan bersiap untuk mengantar mereka berdua.
Aku merasa You mengikuti arah berjalan kaki ini di belakang, suara kakinya seperti mengisyaratkan sesuatu kepadaku.
"Ada apa, You?" Aku menoleh ke arah You.
"Aku ikut denganmu, ya?"
"Kau lebih baik jaga di rumah saja, You. Ini sudah malam, aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu."
"Kenapa aku merasa bahwa Mave akan semakin menjauh dariku, ya ...." You memegang telapak tanganku, aku berhenti berjalan.
Aku berbalik kepadanya, tangan kanan ini mengusap kepalanya dan mata ini menatapnya lemah, "You, hingga ingatanku kembali pulih, aku akan berusaha terus untuk mengingatmu, selalu," tuturku.
"Ya, aku pegang janji itu." You tersenyum dan menarik lenganku memimpin jalan.
Jika diperlukan, aku akan meminta maaf jutaan kali kepada kalian bertiga.
Mereka yang telah menganggapku berharga, akan tetapi otak dungu ini tidak bisa mengingat mereka. Aku ... merasa sangat bersalah.
Hatiku benar-benar sakit.
Sekali lagi ... hanya permintaan maaf yang bisa aku tuturkan.
●●●
Sekarang kami bertiga sudah berada di jalan yang katanya menuju ke rumah Libiena dan Miyu. Namun, di samping kami hanya ada pepohonan lebat yang menjuntai sangat tinggi.
Apa mereka menuntunku ke jalan yang benar? Jangan-jangan—lupakan, tidak jadi.
"Kenapa banyak sekali pohon di sini?" Aku bertanya kepada mereka yang berjalan di depanku.
Miyu menghiraukanku dan Libiena yang menoleh ke arahku, "Ini jalan pintas, Rii, nanti kau pulangnya lewat jalan raya juga bisa."
"Oh ... baiklah."
Aku melanjutkan berjalan di belakang mereka, memastikan mereka baik-baik saja adalah alasan untuk mengantarnya. Namun alasan sebenarnya aku di belakang adalah ... aku tidak ingin berada di antara dua wanita.
Cukup mengganggu pikiranku.
"Kak, di sini ada hantu yang tidak memiliki kepala, loh." Suara itu datang dengan santainya dari wanita di depan, lebih tepatnya dari Miyu.
Jangan bercanda bodoh. Bagaimana jika hantu itu muncul tepat di depan kalian?
"Cukup, jangan lanjutkan cerita itu!"
Belum sempat aku menanggapi ucapan Miyu, Libiena sudah ingin mengakhiri ocehan Miyu.
"Konon katanya, hantu itu matinya dengan cara dipenggal kepalanya oleh pacarnya." Miyu menghiraukan ucapan kakaknya itu dan melanjutkan kalimatnya.
"MIYUU!! HENTIKAN OMONG KOSONGMU!!" Libiena membentak
Miyu dan menatapnya marah. "Kenapa? Kau penakut, kan, Kak?"
Mereka berdua berkelahi? Mana kutahu, rasanya lucu saja melihat mereka seperti itu.
"Jika kau mengucapkan sepatah kata lagi tentang hantu, aku akan—" Libiena menghentikan langkahnya.
"Kenapa kau diam saja, Kak?" Miyu menatap kakaknya heran.
Aku hanya memperhatikan tingkah laku mereka sebelum aku juga mengikuti pergerakannya. Diam di tempat.
Tiba-tiba, Libiena berlari dengan sangat kencang, sampai-sampai aku hampir tidak bisa melihatnya lagi.
"Di sa—sa—samping kalian ada ha—hantu itu!!!" teriak Libiena dengan suara yang makin kabur.
Ha—hantu? Aku menoleh ke arah kanan, kemudian ke kiri.
Sial!
Benar, dong!!
Ada hantu!!!
"He—hei Miyu, se—sebelah kirimu." Aku menatap Miyu dan mengarahkan telunjuk ke arah sosok putih itu berada.
"Kau ini, ya, Kak. Itu bukan hantu." Miyu menghampiriku dan menepuk punggungku.
Mendengar ucapannya, lantas aku memperhatikan lebih detail sosok di pepohonan bagian kiri itu, ada kain berwana putih menggantung di rantingnya.
Benar. Itu hanya kain. Sialan!! Aku tertipu.
"Siapa yang mencoba menakut-nakuti kita??" Aku bergegas menuju kain itu dan mengambilnya.
"Sebenarnya kemarin malam aku lewat sini, dan sudah ada kain itu. Lalu, aku manfaatkan saja kesempatan ini untuk menakuti Kak Libiena yang penakut itu." Miyu tertawa dengan puasnya.
Kejam. Wanita berdarah dingin.
Bocah ini benar-benar membuatku kesal saja, kenapa dia tega melakukan hal ini kepada kakaknya sendiri? Lalu, kenapa Libiena bisa langsung lari secepat itu ketika melihat benda putih yang belum tahu aslinya apa?
Sepertinya aku bisa melakukan hal jahil kepada Libiena juga—hehehe.
"Kau ini, kasihan kakakmu tahu." Aku kembali berjalan mengikuti jalan yang sepi ini.
"Justru aku yang paling sayang kepadanya, kok."
"Sayang apanya?! Kau membuatnya lari seperti kelinci tadi!!"
"Kalau itu beda lagi masalahnya, Kak, hanya itu caranya untuk mengusir lalat pengganggu di antara kita. Syukurlah di sini hanya tinggal kita berdua saja." Miyu menyusul berjalan di sampingku.
Apa maksudnya itu? Dia merencanakan semua ini hanya karena ingin berdua bersamaku?
Dasar aneh.
"Jangan berusaha untuk menggodaku lagi wanita mesum!" "Kita bisa melakukannya, loh."
Melakukan apa bodoh?
Wajahku perlahan memerah—panas sekali sialan. Iblis penggoda ini sebenarnya ingin aku tenggelamkan di sungai sebelah. Namun aku tahu bahwa dia tidak serius mengatakan hal itu.
Di sela-sela wajahku yang masih terbakar malu, sosok di depan itu menghentikan langkahnya.
"Cukup sampai di sini saja, kau bisa kembali ke rumahmu, Kak!" ucap Miyu.
Kami berhenti. Di sini? Aku itu ingin mengetahui rumahmu dan Libiena, kenapa aku hanya harus mengantar hanya sampai jembatan ini?
"Tidak, aku ingin mengantar sampai ke rumahmu!" Aku bersikeras menentang perintahnya.
Miyu berjalan pelan menjauh melintasi jembatan, "Apa kau sanggup?" Tubuhnya berbalik menghadapku, lalu wajahnya tersenyum.
Apa maksudnya? Apa dia meremehkan kekuatan fisikku? Dilihat dari mana pun, aku adalah orang yang memiliki kekuatan fisik besar. Kenapa dia mengatakan itu?
"Kau menghinaku? Berapa mil jauhnya rumahmu?" Aku mencoba melangkahkan kaki, tapi—
Eh? Kenapa tidak bisa kugerakkan kaki ini? Hei, apa-apaan ini?
"Lihat? Saat itu pun, kau tidak bisa melangkahkan kakimu." Miyu semakin berjalan menjauhiku.
"Apa maksudnya?!"
"Kenapa tanya padaku? Bukankah itu yang harusnya kau ingat sendiri? " Suara Miyu itu terdengar sebelum sosoknya menghilang di ujung jembatan.
Tidak.
Dadaku. Rasa sakit itu kembali bisa dirasakan. Miyu adalah sosok yang perlu kuingat juga? Apa maksudnya ini, Tuhan? Tolong jangan berikan aku cobaan yang berat untuk memperoleh ingatan lamaku kembali.
Aku tidak heran, setelah rasa sakit ini muncul, tubuhku pasti akan kehilangan kesadarannya. Sebelum benar-benar hilang kesadaran, kenapa ada suara yang direkam oleh telingaku?
"Terima kasih, Kak Maverick. Sampai bertemu lagi di lain waktu."
●●●
"Akhh—"
Aku sudah sadar kembali. Eh tunggu—kenapa kepalaku menindih sesuatu yang empuk? Aku mengusap kedua mata ini, masih dengan posisi rebahan. Miyu ada di atas pandanganku. Dia tertidur. Apa yang sudah kulakukan?
Bodoh!? Aku tidur di pangkuannya, sial—kenapa bisa tidak sadar bahwa sesuatu yang empuk di kepalaku adalah pahanya?
Maaf, Miyu. Aku bukan orang yang mesum.
Aku berdiri dan mencoba meregangkan otot yang sedikit kaku. Kuperhatikan sekeliling, ini masih ada di jembatan? Lalu sosok apa yang tadi kulihat?
"Miyu, bangunlah! Jam berapa sekarang?" Aku menggoyangkan pundak Miyu dengan pelan.
Miyu mengusap matanya dan menatapku, wajahnya sedikit aneh, "Kak, aku sudah melakukannya denganmu."
Apa? Apa yang Miyu coba katakan? Melakukan ap—
Aku terdiam. Hanya bisa mengalihkan pandangan ke arah sungai yang airnya berwarna agak merah itu.
Tidak mungkin, aku melakukan hal sebodoh itu ... kan?
"Bercanda. Kenapa bengong seperti itu? Kau ini gampang banget kena tipu, Kak?!"
Ingin aku berkata kasar selain sialan, bodoh, idiot. Namun apa kata kasar yang bisa menggambarkan situasi saat ini?
"Kau ini!? Bodoh!? Sungguh jika kau bukan wanita, aku sudah mengangkatmu dan membuangmu ke sungai ini." Aku mencubit kedua pipinya itu.
"Sungai? Ah—nostalgia ya?"
"Apa maksudmu nostalgia?"
"Aku ada kenangan dengan sungai ini."
"Apa yang terjadi selanjut—"
Lagi dan lagi, saat aku berusaha mencari tahu ingatan itu, rasa sakit tidak karuan ini muncul. Rasa sakit yang untungnya tidak sampai membuatku pingsan.
"Jangan bilang kau ingin pingsan lagi??" Miyu berdiri dan memegang kerah bajuku.
"Tidak, tenang saja."
Miyu melepaskan cengkeraman pada kerah bajuku. "Sudahlah, lagian Kak Maverick ini, tadi aku sedang asyik bercerita, tiba-tiba saja kau terdiam dan terjatuh. Untung saja tidak jatuh ke sungai itu!?"
"Benarkah seperti itu? Kapan aku terjatuh?"
"Um—oh benar. Saat aku sudah melewati jembatan ini. Kau langsung terpaku menatapku. Aku tanya kau kenapa, tapi kau malah jatuh pingsan."
Begitu rupanya. Sepertinya ada yang tidak beres dengan hilang ingatan ini. Kenapa duniaku bisa terpecah-pecah seperti ini?
"Lupakan itu! Ayo, aku antarkan saja sampai ke rumahmu!" "Iya." Miyu mengangguk dan memimpin jalan.
Padahal ini hanya jembatan biasa, kenapa tadi aku tidak bisa melewatinya? Dasar payah.
Kami kini melewati jalan yang menyempit, di samping kanan ada pepohonan dan di samping kiri terbentang sawah yang tidak bisa kuukur luasnya. Langkah demi langkah aku lalui dengan pedoman memandang ke kaki Miyu.
Langkah Miyu terhenti, mau tidak mau aku harus mendekat ke sisinya. Wajahnya memandangi rumah besar tradisional yang ada di depannya.
Woah!!!
Bagus sekali rumahnya, besar juga ukurannya. Mungkin hampir mirip dengan ukuran rumahku dan You, hanya saja ini lebih tradisional.
"Hei kau, kenapa masih ada di situ?" Suara Miyu terdengar agak jauh, dia sudah puluhan meter dariku.
Sejak kapan?!
"Eh?! Kau kenapa di sana? Bukankah ini rumahmu?" Aku menatap
Miyu dan mengarahkan jari telunjukku ke rumah besar di depan.
"Kak Maverick ternyata beneran hilang ingatan, ya? Itu bukan rumahku, ini baru rumahku!" Miyu meniru gerakanku, tetapi arah jarinya menunjuk ke rumah di sampingnya.
Lah, kau kira aku bohong?? Aku mendekati Miyu. Woah!!!
Itu rumah yang lebih gila. Bukankah itu sebuah kastil? Tidak pantas untuk disebut rumah. Rumahnya sangat besar, di sekelilingnya dipagari oleh pagar kokoh. Kemudian yang paling menawan adalah, rumahnya memiliki jam dinding yang sangat besar di depannya. Itu mengingatkanku akan suatu lokasi.
Palace of Westminster.
Aku secara otomatis menatap jam besar itu, waktu yang ditunjukkan masih berada pada angka sembilan. Berarti pingsan tadi hanya sebentar, ya? Entah kenapa hati ini menjadi lebih gelisah, sejak adanya hilang ingatan ini, aku jadi sering pingsan. Kemudian sebelum pingsan, ada semacam kejadian dengan orang lain yang sangat membuatku pusing.
Orang lain itu seolah merasuki tubuh Libiena kemarin dan Miyu baru saja, sebenarnya apa yang sedang terjadi?
Apakah itu sebuah petunjuk?
"Ayo masuk dulu, sekarang giliranmu dengan Kak Libiena, kan?" Miyu melenggang masuk melewati pagar sementara aku mengikutinya dari belakang.
Aku menengok ke arah kanan dan kiri, mengamati sekeliling. Wah ... sekaya apa keluarganya? Banyak tanaman hias yang tersusun rapi, ada air mancur di tengah-tengah para tanaman hias itu.
Ini benar-benar seperti istana.
"Hei, Miyu, pasti kau hidup bahagia dengan keluargamu, ya? Rumah saja sudah besar seperti ini," ujarku.
Miyu menghentikan langkahnya, wajahnya tertunduk. "Kau beneran ... bicara seperti itu?" Matanya perlahan menoleh ke arahku.
Tatapan itu kosong, benar, itu sangat kosong. Jika kau memahami arti dari kehampaan ruang di angkasa, mungkin itu bisa menggambarkan keadaan Miyu sekarang.
Gawat aku lupa—kalau tidak salah kan orang tua mereka ada di penjara, itu juga katanya karena aku yang menjebloskannya. Bisa- bisanya aku lupa hal sebesar itu dan keceplosan.
"Maaf."
"Tidak apa." Miyu mengangguk pelan.
Aku mendekati Miyu yang masih terdiam, wajahnya kini bisa kulihat dengan jelas mengeluarkan ekspresi ketakutan. Dia juga perlahan menangis. Apa perkataan Libiena tentang orang paling buruk adalah orang tuanya itu benar?
Aku mengusap kepala Miyu dan membersihkan air matanya dengan pelan. "Aku tidak akan menyinggung itu lagi, kumohon jangan menangis." Aku kembali mengelap air matanya yang masih terjatuh itu dengan jari kasar ini.
Mana mungkin aku membawa tisu ke mana-mana. Lalu yang kuketahui, tisu itu berlokasi di tempat tertentu saja, seperti ruang makan, ruang tamu, dan juga ... kamar? Yang di kamar, entah digunakan untuk apa.
"Kak, tidak seharusnya aku menangis, kan? Kenapa aku bisa menangis tanpa sebab begini, dasar lemah." Miyu tersenyum dengan mata yang tertutup, seolah menyingkirkan keberadaan air matanya.
"Sepertinya kau perlu istirahat, aku besok saja akan main ke sini. Maafkan aku, ya, Miyu."
"Iya, aku masuk dulu, ya, Kak. Selamat malam dan hati-hati di jalan." Miyu berjalan menjauhiku mendekati pintu istananya.
Aku hanya mengangguk pelan dan memberinya lambaian tangan, "Selamat malam Miyu, katakan pada Libiena aku tidak bisa mampir!?" teriakku.
Miyu menoleh ke arahku dan dengan mata yang sayu, dia juga mengangguk pelan. Kemudian keberadaannya hilang setelah pintu besar itu dioperasikan.
Aku berjalan menuju ke rumah dengan perasaan bersalah kepada Miyu. Pertama, karena aku pingsan tanpa sebab di hadapannya. Lalu yang kedua adalah menyinggung tentang kehidupan bersama orang tuanya.
Sebenarnya seperti apa orang tua mereka berdua, ya? Kenapa mereka sangat membenci kedua orang tuanya? Jika saja aku tidak hilang ingatan, pasti tidak ada banyak pertanyaan di otak bodoh ini.
Hari yang berat, tetapi menyenangkan.
♦
DI ALAM MIMPI
♦
Bulan di atasku berwarna merah, salah satu cahaya tampak yang memiliki panjang gelombang tertinggi. Bulan itu menyebarkan cahayanya ke seluruh penjuru langit.
Aku ingin menamai fenomena itu. Scarlet Sky.
Bagus, kan?
Wanita di samping itu terus berjalan menggandeng tanganku menuju arah yang tidak tentu. Sesekali aku bertanya-tanya, siapakah wanita ini? Wajahnya itu tidak bisa dilihat, aku juga merasa seperti pernah mengenalinya—mungkin hanya perasaan saja.
"Kau lihat warna langit itu?" tanya wanita itu.
"Tentu, aku punya mata untuk melihat."
"Ada dua cara melihat pemandangan itu, pertama adalah kau memandangnya sebagai keburukan. Lalu yang kedua, kau memandangnya sebagai keindahan."
Aku tidak mengerti apa yang wanita ini bicarakan. "Apa maksudmu?"
"Kau hanya perlu menghilangkan sisi yang menurutmu buruk. Kau bisa memilih fenomena itu sebagai keburukan maupun keindahan, hanya satu pilihan saja."
"Hmm ... keindahan menurutku."
"Keindahan itulah sebuah kilauan yang kau cari, sekarang kau telah mendapatkannya di dunia ini." Wanita itu tersenyum kepadaku.
Badanku terhenti secara mendadak, tidak ada suara apa pun di sekitar sini. Sosok itu kini berjalan menjauhiku.
"Pulanglah, kau sudah menemukan kilauanmu, kan? Jika kau enggan, aku akan membantumu karena kau tidak sendirian di dunia ini, aku ada di sini, tepat di hatimu yang akan berisi kehangatan"
Wanita itu menghilang.
Aku terbangun dari tidur. Aku bermimpi tentang sosok itu lagi.
Apa arti dari kalimat itu, ya?