CHAPTER IV
WHITE EVENING
♦
"Aku selalu bertanya tentang satu hal, apabila cahaya itu terdiri dari bermacam-macam jenis. Mungkinkah di kisahku ini juga memilikinya? Mungkinkah aku bisa memecah sebuah solid putih menjadi beberapa bagian warna cerita yang kuinginkan sendiri? Ataukah, semuanya masih membicarakan cerita Tuhan dengan takdirnya?"
♦
Ⅰ
DAY 4
Cahaya Matahari di luar sepertinya tidak ingin masuk ke area kamarku. Aku sudah bangun ... tentu saja karena mimpi yang baru saja terekam di ingatan baru ini.
Lagi? Huh ... kenapa mimpiku hanya berisi sosok misterius itu, ya?
Aku mencari jam yang biasanya ada di samping tempat tidur, akan tetapi tidak ada. Ke mana perginya jam itu, bukankah biasanya ada di meja? Oh—jatuh rupanya. Aku membalik jam tersebut dan melihat jarum jam yang ditunjukkan menetap di angka delapan.
HAAAH?!! DELAPAN?!!
Aku menggosok kembali kelopak mata ini untuk memastikan— benar saja, sudah jam delapan pagi. Gorden yang semula menutupi permukaan jendela kamar, perlahan aku menggesernya.
Pantas saja tidak ada cahaya yang masuk, rupanya di luar sedang mendung. Aku berpikir tentang sesuatu, tapi apa ya—benar, di mana You?
"Kenapa You tidak membangunkanku? Apakah dia sudah berangkat kuliah dulu? Atau jangan-jangan—" Pikiranku tiba-tiba saja memikirkan sesuatu yang buruk.
Aku berlari keluar dari ruangan ini dan menuju ke kamar You. Perlahan pintunya terbuka, kemudian terlihatlah sosok You— yang masih tertidur pulas. Syukurlah dia tidak kenapa-kenapa, hatiku tentunya sangat lega.
Melihatnya tertidur pulas, tiba-tiba saja otakku menjadi tidak tenang—hehehe.
Benar, saatnya balas dendam.
Aku perlahan menutup pintu kamar You dan bergegas mencari senter di seluruh penjuru rumah ini, lalu menemukannya di bawah rak televisi. Sekarang, tubuh ini berada di depan pintu kamar You yang tertutup, mempersiapkan balas dendam yang akan kubuat. Tidak lupa, pikiran ini mengadopsi sebuah senyuman jahat yang kemudian terpancarkan di wajahku.
Bersiaplah You.
"Loh, Mave, apa yang kau lakukan di depan kamarku? Kenapa tersenyum seperti itu? Eh—kau?! Dasar mesum!!?" Sosok You muncul di depanku setelah pintu kamarnya terbuka sebelum sesaat menendang lututku.
Sial. Sial. Sial. Kenapa?! Kenapa gagal lagi??!
Persetan dengan balas dendam, sepertinya aku tidak diizinkan oleh Tuhan untuk balas dendam.
"Ah—tidak, You, aku hanya kebetulan lewat saja, kok. Kenapa kau malah menendangku??" Aku menyembunyikan senter dan meletakannya saku celana.
"Oh begitu ... tumben kau bangun awal? Lagi pun, kenapa kau tersenyum seperti tadi?"
Suara You yang bercampur dengan menguap itu tidak lama kemudian kembali tercampur oleh suara petir di luar.
"Apa?!!" You melompat ke tubuhku dan membuat kami terjatuh. "Hei tenanglah!? Itu hanya suara petir." Aku menyingkirkan tubuh
You yang berada di atasku sebelum sesuatu yang buruk terjadi.
You berdiri, "Eh? Aku kira suasana gelap ini karena masih pagi, ternyata karena mendung ...." You masuk ke kamarnya dan duduk di kasur.
Aku menatapnya dengan aneh, "You, kenapa kau tenang begitu?" tanyaku.
"Apa maksudmu?"
Jadi begitu ... dia belum tahu masalah pagi ini.
"Coba lihat jam!" perintahku.
You berdiri dan mencari keberadaan jam di kamarnya. Ah—dia sudah melihatnya. Reaksi apa yang akan kau timbulkan, You?
Hehe.
Wajah You menunduk agak lama, kemudian dia memutar wajahnya menatapku panik.
"KENAPA?! KENAPA SUDAH JAM DELAPAN LEBIH?!!" Suara You terdengar keras di telingaku.
"Mana kutahu, sepertinya kita tidak bisa kuliah hari ini."
"Sial, baru kali ini aku ketiduran seperti ini, Mave."
"Jika kemarin masih Ospek, berarti sekarang belum mulai kuliah biasa, kan?" tanyaku
You menarik nafas dalam-dalam, "Kita beruntung, Mave, kemarin aku dengar hari ini hanya sosialisasi untuk semua angkatan saja," tuturnya.
"Begitu? Syukurlah, aku ingin tidur lagi." Aku lantas berjalan meninggalkan kamar You.
"Hei jangan bodoh, sih!! Ayo kita manfaatkan kekosongan ini dengan pergi ke festival di kota!!" teriak You dari kamarnya.
Festival? Bukankah itu semacam pameran tentang beragam hal? Sepertinya seru.
Aku berbalik dan berdiri di depan pintu kamar You. "Sepertinya menarik. Pukul berapa festival itu dimulai?"
"Pagi ini sudah dimulai, puncaknya malam nanti dengan pesta kembang api."
Wow!!
Pesta kembang api, biasanya orang-orang yang gila cinta akan memanfaatkan momen tersebut untuk menjalin hubungan dengan pasangannya lebih jauh lagi. Tidak sedikit dari mereka yang berakal nakal memanfaatkan momen itu untuk berbuat hal yang tidak baik terhadap pasangannya.
"Di mana festivalnya?"
"Hanya beberapa menit dari sini, kita bisa jalan kaki."
"Baiklah, sepakat?! You, kau mandi dulu saja! Aku ingin membereskan kamar yang sudah sangat kotor."
"Yokai."
Kami berdua lantas menuju ke masing-masing tempat yang ditargetkan. Tentu saja alasanku akan membersihkan kamar adalah untuk meminimalisir kejadian ceroboh setelah dia mandi.
●●●
Sekarang, aku dan You sedang berada di teras rumah. Kesalnya—hujan yang sangat lebat sedang turun sejak beberapa menit yang lalu.
"Sial-sial-sial, kenapa hujan, sih!?" You menghentakkan kakinya ke lantai beberapa kali.
"Jangan protes, tunggu saja hingga reda."
"Hujan selebat ini redanya pasti sore nanti."
"Kau benar sekali …." Aku mengernyitkan dahi setelah mendengar ucapannya.
Hujan itu memang lebat, aku bisa sendiri melihat bahwa mungkin jutaan tetes air turun per detiknya. Hujan ini adalah hujan pertama yang pernah kualami dengan ingatan baru ini, kan? Namun rasanya, aku seperti memiliki rasa sedih bercampur marah akan datangnya hujan.
Aku memutuskan untuk duduk di kursi teras, sepertinya memang akan lama jika menunggu hujan reda.
"Sudahlah, You, duduk saja sekarang. Kalau kau terus di situ, nanti tubuhmu akan bau hujan, loh."
You melirik ke arahku, "Percuma aku mandi, apakah mereka jadi datang atau tidak, ya?" Matanya kembali menatap ke jalan di depan.
Mereka? Jangan bilang Libiena dan Miyu.
Kenapa otak bodoh ini merasa aneh akan mereka bertiga, ya, bukankah mereka itu rival? Apakah sesama rival harus bersahabat? Mungkin aku saja yang terlalu percaya diri dikejar oleh mereka, bisa saja mereka hanya bersandiwara memperebutkanku.
"Siapa yang kau maksud 'mereka'?"
"Tentu saja, kan, Libiena dan Miyu."
Tepat, bukan?
Mana mungkin You memiliki teman lain dengan kondisi traumanya itu. Dibilang trauma agak aneh, sih … itu karena sifat hiperaktifnya itu.
"Mereka tidak akan datang, hujannya saja semakin deras," prediksiku.
Buih-buih air yang bertebaran di aspal malah tambah banyak, ini buruk. Langit di atas juga semakin menghitam karena awannya.
Flash!?
Petir itu mulai menunjukkan eksistensinya lagi, cahaya yang memiliki kecepatan 300.000 kilometer per detik selalu akan mengawali kedatangan petir dibanding dengan suara petirnya. Itu karena kecepatan suara yang hanya memiliki nilai sebesar 343 meter per detik, sehingga kalah jauh dengan kecepatan kilatannya.
Blarrr!!
Suara petir itu menuntun You duduk di sebelahku.
"Jangan bilang kau takut petir?" Aku menatapnya serius.
"Ma—mana mungkin."
"..." Aku menatapnya heran.
Sudah jelas sekali eskpresinya seperti itu, kenapa masih saja mengelak ….
"Mave, katanya saat sedang hujan. Tuhan akan mengabulkan doamu, loh."
Semoga saja begitu.
Pandanganku tertuju ke depan, ke arah air hujan yang sedang terjatuh mengikis aspal. Bersaing satu sama lain untuk menjadi siapa di antara mereka yang pertama mencapai ke permukaannya.
"Tuhan, kembalikan ingatanku tentang semua yang berkaitan denganku. Berikan aku kemudahan untuk setiap langkahnya, kumohon."
"Amin."
Aku dan You kemudian saling menatap dan tertawa bersama, diiringi dengan suara derap hujan dan petir.
Hatiku tenang. Benar-benar tenang.
"Mave, kau tunggu di sini dulu, aku ingin membuatkanmu coklat panas." You berdiri dan segera masuk ke rumah.
"Makasih, You."
●●●
Setelah menunggu sekitar 5 menit, You datang kembali dengan membawa dua buah cangkir berisi coklat panas.
"Wah!! Pasti akan lezat, ya," tuturku.
"Tentu saja, apalagi menikmatinya saat hujan begini dengan orang yang kau cintai."
Aku terdiam, menahan warna merah di wajah supaya tidak muncul.
Apa-apaan dia!? Kenapa bahas hal begitu lagi?
"Eh, tapi kenapa ya hujannya malah tambah deras?" You duduk dan meletakkan dua cangkir itu di meja.
"Kau lihat saja awan itu, dia berwarna hitam dan sangat padat ukurannya."
"Otakmu ternyata masih pintar, ya, Mave?"
"Apa maksudmu dengan kata 'masih'?" Aku menoleh ke arahnya. You tertawa kecil, "Kau kan jenius," lanjutnya sembari menyeruput coklat itu.
"Aku kira, diriku itu tidak berguna di kehidupan yang lama."
"Tidak!? Kau itu orang paling berguna di hidupku."
"Aku jadi tidak sabar menunggu ingatan itu kembali." Aku tersenyum kepadanya.
Aku memegang cangkir berisi coklat itu, masih panas, tetapi aroma di dalamnya membuat naluriku naik untuk segera meminumnya.
Coklat ini enak.
Mulutku sedang asik menikmati coklat panas, akan tetapi penglihatannya tertuju ke arah lain. Di ujung jalan, aku melihat dua orang yang sedang membawa satu payung terjatuh. Aku tidak bisa melihat jelas muka mereka karena jarak dan juga angin yang sedikit kencang.
Tunggu—dua orang?
Aku meletakan cangkir dan berdiri dari kursi serta melangkah hingga ujung lantai teras, ukuran kelopak mata ini kusempitkan dan mata ini sekarang mulai berkontraksi. Sedikit lagi ... itu dia, sosok yang terlihat oleh kedua mata ini adalah ... Libiena dan Miyu sedang terjatuh.
Bodoh sekali mereka bisa terjatuh seperti itu. "Hahaha!!!"
"Kau sudah gila, ya, Mave? Tertawa sendiri," ucap You yang sedang terduduk di kursi belakangku.
Aku menoleh ke arahnya, "Ke sini, You! Biar aku tunjukkan hal yang menarik." Aku mengayunkan tangan mengajaknya.
You mendekat dan berdiri di sampingku. "Apa hal yang menarik?" Aku masih terkekeh. "Co—coba kau lihat dua orang itu!"
"Siapa orang itu?"
"Coba kau rapatkan kedua matamu tapi jangan menutupnya!" "Kenapa?"
Akh lakukan saja, You!?
"Ketika kau menyempitkan kelopak matamu, maka mata itu akan lebih fokus. Coba kau lakukan itu!" perintahku.
Aku melihat gerak-gerik You, mulai dari mengecilkan kelopak matanya hingga setelah itu ... dia tertawa hebat.
"Ahaha—itu Libiena dan Miyu!! BODOH, KENAPA BISA KALIAN BERDUA TERJATUH!!" You berteriak dengan kerasnya.
Telingaku berdengung kencang.
Sialan, dia ini sudah mirip seperti megafon saja. Namun aku senang, kenapa? You benar-benar menghilangkan sisi traumanya jika bersama orang yang ia kenal, aku bahkan tidak percaya bahwa wanita ini pernah mengalami pelecehan selama SMA.
Aku melihat Libiena dan Miyu mulai berdiri dan mengambil payung, kemudian berlari ke arah kami dengan melawan derasnya hujan.
"Kalian berdua, kenapa tertawa melihat kami berdua jatuh?!" Libiena berada tepat di depanku, wajahnya mengekspresikan kekesalan.
"Yuukiho, tolong ambilkan handuk untuk kami. Kumohon!" Miyu melonggarkan pakaiannya.
Melihat Miyu memohon seperti itu terlihat aneh.
You mengangguk dan berlari, "Tunggu sebentar, ya," ucapnya sembari membuka pintu.
Mereka berdua kini sudah benar-benar seperti habis berenang. Pikiranku yang awalnya sedang bersemedi, kini menjadi tidak tenang. Aku harus segera kembali duduk dan meminum coklat untuk mengilangkan aura negatif itu.
"Kalian nanti jangan lupa untuk membersihkan lantainya!! Aku tidak mau tahu!!" tegasku.
"Eh?!!" Suara mereka bersatu dengan lebatnya air yang menghantam aspal.
Aku kembali duduk di kursi dan mulai menyeruput minumanku, tapi—kenapa mereka memandangiku?
"Apa?"
"Aku ingin itu ... " ucap Libiena yang kini mengeluarkan cekung pipinya membentuk senyuman manis.
Miyu mengangguk, "Aku juga ..." sambungnya dengan mengadopsi sebuah senyuman di wajahnya itu.
Aku menggelengkan kepala berulang-ulang. Pokoknya, aku tidak ingin berbagi minuman lezat ini, titik.
Kalian memang cantik, kalian memang seksi, kalian memang sangat menggoda. Namun, coklat panas ini 1000 kali lebih berharga saat hujan datang ketimbang tiga aspek yang kalian miliki di atas.
"Tidak!? Kalian keringkan saja dulu bajunya!! Nanti bisa bikin sendiri di dalam."
Miyu melepaskan bajunya dan melemparnya ke depanku. "Ups— sepertinya aku salah melempar. Bisa tolong ambilkan, Kak?" ucapnya sembari menutupi mulutnya.
Tidak lama kemudian, kakaknya melakukan hal yang sama.
Mereka bodoh, ya?
Dua wanita di depan itu kini hanya memakai bra berwarna merah dan biru di bagian atasnya, untungnya mereka masih belum melepaskan celananya, dan lebih untung lagi tidak ada tetangga yang melihat kejadian ini.
Aku ragu ... mereka yang memiliki sifat liar seperti itu pernah mengalami masa kelam dari orang tuanya.
Aku bersikap teguh. "Kau ingin aku ambil baju itu?" tanyaku. Mereka mengangguk.
Jawaban yang bodoh.
Baiklah, saatnya balas dendam—hehehe.
Aku mengambil kedua baju di lantai itu dan membawanya masuk ke dalam rumah. You yang sedang membawa dua handuk berpapasan denganku dan menatap aneh.
"MAVERICK!!" Suara itu terdengar dari teras, tentu saja dari mereka.
"Hahaha. Jangan harap aku adalah sosok yang kemarin. Kalian ingin bercanda denganku? Aku akan membalasnya juga, kok."
Aku meletakkan baju yang basah itu di mesin cuci dan berjalan kembali menuju ruang tamu. Biarkan mereka malu di depan, aku ingin menonton televisi saja.
Setelah duduk di sofa, televisi itu kunyalakan, masih ada beberapa saluran yang memiliki gambar jernih. Hebat juga, di cuaca yang seburuk ini, gambarnya masih berkualitas.
"Apa yang kau lakukan, Mave? Kau melucuti mereka?" Suara You mengagetkanku.
"Mereka yang melepas pakaian mereka, katanya suruh aku letakkan di mesin cuci."
"Oh ... begitu, aku ambilkan bajuku saja kalau seperti itu. Kau jangan berani ke luar rumah!!" You menaikkan nada biacaranya.
"Baik, Bu!!?"
Aku menekan tombol pada remot dan mulai mengarahkannya ke televisi untuk berganti saluran. Alat sekecil ini bisa memancarkan gelombang inframerah yang akan diteruskan ke televisi, lalu setelah itu, televisi mulai mengganti salurannya.
"Berita terkini, hujan deras pagi ini diakibatkan oleh adanya topan di laut utara. Harap waspada karena ada angin kencang yang diperkirakan akan menyusul nanti."
Reporter pada televisi itu memberitahu tentang detail kondisi yang terjadi pada saat ini. Namun sepertinya berita itu salah, itu karena di luar sepertinya sudah tidak hujan sederas tadi. Lalu, angin kencang yang diprediksi?
Mungkin aku akan waspada saat pergi ke festival nanti.