■
Ⅱ
■
"...."
Dua orang di depan menatapku sinis dan aku bisa merasakan aura kemarahan mereka.
"Mave, sepertinya mereka sangat marah." You berbisik kepadaku.
"Biarkan saja."
Libiena dan Miyu kini berada di ruang tamu, ada minuman coklat dan camilan di depan mereka. Beberapa detik kemudian, mereka menatapku marah.
"Rii, ka—kau lakukan itu padaku karena ingin melihat tubuhku, kan?"
Bodoh sekali. Bukankah dirimu sendiri yang melepaskan pakaianmu? Kenapa malah aku yang ingin melihat tubuhmu? Dasar Libiena aneh.
"Aku kira teknik penggoda itu akan berhasil, inikah yang dinamakan kegagalan?" Miyu meratapi nasibnya.
"Kalian ini!? Bukankah sudah tahu itu bukan saatnya untuk menggodaku?" tegasku.
Mereka mengangguk, "Ini semua salah Miyu." Libiena mengarahkan jarinya ke Miyu.
"Kenapa jadi aku?"
"Kau kan yang memulainya."
Miyu berdiri. "Tidak, tidak, ini karena lubang di jalan tadi. Jika saja jalan itu tidak tergenang air dan kau tidak menginjaknya dengan riang layaknya anak kecil, maka kita tidak akan basah begini!?"
Obrolan mereka semakin tidak jelas, rasanya aku ingin menutup telinga dengan bantal.
"Sudahlah, salahkan saja pemerintah yang tidak becus membuat jalan!!" You ikut ke dalam pembicaraan mereka.
"Benar itu, apa fungsinya pemerintah? Mereka hanya memakan uang saja. Makan itu aspal!!" kutuk Miyu.
Suara mereka sepertinya sudah mengalahkan suara hujan. Aku melihat ke arah jendela, sudah sedikit air yang turun dari langit.
Aku memutuskan untuk ke luar rumah menuju teras untuk memastikannya. Syukurlah hujan yang dikatakan akan membawa angin kencang sudah reda.
"Hei sudah reda hujannya." Aku melerai pembicaraan mereka.
Libiena berlari menyusulku, "Wah benar, ayo kita manfaatkan bolos kuliahnya!!" teriak Libiena.
Benar juga. Mereka sengaja bolos kuliah ternyata, aku kira mereka juga bangun kesiangan seperti kami berdua.
"Festival mulai jam berapa?" tanya Miyu.
"Sepertinya dari pagi sudah dimulai, hanya saja malam nanti puncaknya," balas You.
Langit pun mulai cerah kembali, mengeluarkan warna indahnya yang berwarna biru. Warna biru tersebut berkaitan erat dengan hamburan-hamburan cahaya, itu karena panjang gelombang berwarna biru adalah 'termasuk' yang paling rendah.
Aku tidak serta merta mengatakan bahwa sebuah teori itu benar, hanya saja memang diperlukan sebuah teori untuk menunjang perkembangan ilmu pengetahuan.
"Bagaimana rencana kita?" Aku bertanya kepada mereka bertiga.
Kami berempat lantas duduk di lantai teras yang kini sudah tidak basah lagi, tujuannya adalah sebuah diskusi kecil.
Salah satu dari mereka, You, memaparkan pendapatnya. "Lebih baik, kita mulai ke sana saat siang hari saja. Lalu kita nikmati berbagai wahana hingga sore." You memegang dagunya, "Setelah itu, kita pulang dan kembali lagi saat malam. Bagaimana?" lanjutnya.
Aku menganggukkan kepala berkali-kali, begitu pun dengan Miyu, akan tetapi di wajah Libiena ada sebuah keraguan.
"Ada apa Libiena?" tanyaku.
"Ah—tidak, bukan apa-apa." Libiena tersenyum.
Bukan apa-apa bagaimana? Di raut wajahmu itu terbesit jelas sebuah kekhawatiran.
"Katakan saja!! Kami bertiga pasti akan mendengarkan." Aku membujuk Libiena untuk membuka mulut.
"Itu, a—aku ingat ha—hari ini—" ucapannya tidak teratur. "Hei tenanglah, apa ada yang mengancammu?" tanyaku.
Aku, Miyu, dan You melihat Libiena menarik napas dalam-dalam.
Libiena kemudian menggelengkan kepalanya, "Kau ingat, Rii? Hari ini adalah hari prediksi gempa yang dikatakan berita dua hari yang lalu," lanjutnya.
Mataku seakan berhenti berkedip, jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Benar. Hari ini akan terjadi gempa yang besar di wilayah kami. Dua hari yang lalu, berita di televisi mengatakan itu. Aku mengira dia tidak merespon ucapanku saat itu.
"Semoga saja prediksi itu salah." Aku mencoba menenangkan keadaan.
"Sudah, sudah, mana senyuman kalian?? KITA KAN MEMBOLOS KULIAH UNTUK BERSENANG-SENANG!!!" Miyu berteriak memecahkan suasana.
"Benar itu!? Untuk kejayaan kita!? Mari kita bersenang-senang!!" sambung You.
"Yey!!!"
Kemudian, kami berempat memutuskan untuk kembali masuk ke rumah menunggu jam siang. Jam itu masih menunjukkan pukul 11 siang. Kalau tidak salah, Libiena dan Miyu menghabiskan waktu lebih dari satu jam untuk mengeringkan pakaiannya.
●●●
Setelah menghabiskan kurang lebih satu jam dengan bermain kartu, kami memutuskan untuk bergegas pergi ke festival sesuai rencana. Di depan, ada tiga wanita mesum yang katanya pernah mengalami trauma, tapi sama sekali tidak terlihat seperti itu.
Tempat festival sudah di depan mata.
"Lihat, lihat!? Ada Jet Coaster!!!" Libiena berteriak dengan semangatnya.
Libiena berlari ke sana-sini dengan cerianya, dia mirip anak kecil saja. Setelah dipikir-pikir, bukannya ini lebih seperti taman hiburan? Ada Jet Coaster, bianglala, dan wahana ekstrem lainnya.
Festival memang ada yang seperti ini?
"Libiena, jangan seperti anak kecil begitu. Tinggimu itu hanya sekitar 155 cm, nanti kau bisa diculik." Aku memegang tangannya untuk menghentikannya berlari.
Libiena merengus dan menggertakan giginya kepadaku.
Memangnya kau harimau?
"Lebih baik ceria sepertiku, lihat itu adikku dan adikmu!" Libiena mengarahkan jari telunjuknya ke belakangku.
Aku membalikkan badan, "Kalian kenapa?" tanyaku heran melihat Miyu dan You yang sedang memainkan pasir dengan telunjuknya.
"Ini bukan festival, ini lebih ke taman bermain untuk anak kecil. Di sampingmu itu adalah anak kecil yang sesungguhnya." Miyu mengarahkan jari telunjuknya kepada Libiena.
"Hah?!! Lihat saja nanti!! Kau pasti akan menyesal!!" geram Libiena.
"Mave, katanya di festival hanya berisi kuliner. Namun kenapa isinya permainan untuk anak kecil?" You menundukkan kepalanya.
Aku juga bingung, tapi mau bagaimana lagi? Justru sikap kalian berdualah sekarang yang seperti anak kecil.
Pengunjung di tempat ini mulai memperhatikan keberadaan kami, dan aku tidak ingin mereka melihat kami sebagai hama pengganggu.
"Ayo Libiena! Kita nikmati wahana di festival ini berdua saja." Aku menggandeng tangan Libiena kemudian melirik ke arah You dan Miyu.
"Yey!!" teriak Libiena.
"Tidak adil!!"
Sepertinya mereka sudah sadar, itu sosok asli mereka. Berbicara banyak, berbicara keras, dan bertingkah sesukanya terhadapku. Jangan hanya karena festival ini tidak sesuai dengan harapan kalian, jati diri kalian itu hilang.
Kraukk. Aduh—apaan ini?
You menggigit lenganku yang sedang menggandeng tangan Libiena.
"Hei tunggu, kenapa kau menggigitku?"
"Kau lihat gigi taring ini? Fungsinya khusus untuk menggigitmu saat kau nakal—hehe." You membuka mulutnya dan menunjukkan salah satu giginya kepadaku.
Apakah manusia memiliki gigi setajam itu? Ataukah mungkin, itu hanya dimiliki oleh You saja, sial.
Tanganku itu terdapat tambahan bekas gigitan persis seperti kemarin, berwarna merah, dan tentunya sakit sekali. Sungguh tidak masuk akal hidup ini, dikelilingi oleh manusia aneh—tapi lebih anehnya lagi adalah diriku sendiri yang menerima keberadaan mereka.
Kami berjalan berkeliling mencari wahana yang ingin dicoba untuk permulaan.
Jet Coaster.
Ya, itu sudah ada di depanku. Kereta dengan roda magnet yang sangat berguna sebagai mekanismenya. Aku segera mengusulkan untuk menaiki wahana ini terlebih dahulu.
"Sepertinya Jet Coaster cocok untuk memulai hari kita. Mau coba?"
"Tentu saja." You dan Libiena menjawab dengan serentak.
Miyu tidak merespon ucapanku. Kenapa dengan wajah Miyu? Dia takut?
Oh ... jadi ini kelemahannya? Hehehe.
"Sudah diputuskan, ayo kita beli tiketnya!" ucapku tegas.
"Tunggu—aku belum bilang akan ikut, kan? Kalian bertiga saja yang naik." Miyu menyilangkan tangannya dan membuang mukanya.
"Lihat ini, ternyata dia takut ketinggian." Libiena meledek Miyu.
You mendekati Miyu dan membisikkan sesuatu ke telinganya.
Sesaat kemudian, wajah Miyu kaget dan menatapku dengan wajah berani. Heh—apa salahku? Kenapa menatapku? Apa yang You bisikkan kepadanya?
Miyu mendekatiku, "Baik, Kak, ayo kita naik. Aku bukan penakut," tuturnya.
Hei, kenapa bicara itu kepadaku? Bukan aku yang bilang bahwa kau penakut, kan?
Sepertinya You sudah meracik kata-kata yang ampuh untuk menaikkan adrenalin Miyu.
"Ayo!? Kita daftar!!" teriakku dengan lantang.
"Sebelum itu .... " Libiena menghadang jalan di depan kami. "Ayo kita main batita dulu!" lanjutnya.
Batita itu ... apa?
"Untuk apa, Kak Libiena?" tanya Miyu.
"Kalian berdua lihat, kan? Tempat duduk itu hanya diisi oleh dua orang yang bersampingan, kita tentukan siapa yang berhak duduk di samping Rii."
Ternyata untuk mereka bertiga, apa sih yang bisa kulakukan? Selain mengikuti alur cerita mereka sampai ingatan ini kembali.
"Miyu, Libiena, tiga kali percobaan dan dua kali kemenangan," ucap You kepada Libena, kemudian menyodorkan sebuah kartu kredit kepadaku.
Aku paham maksud dari You. Yah, terserah mereka saja.
Aku berjalan meninggalkan mereka dan menuju ke tempat pembelian tiket.
"Tolong beli empat tiketnya!" ucapku kepada penjual tiket.
"Ah baik ... totalnya 20000."
Aku memberikan kartu yang diberikan oleh You tadi. Sebuah alat kemudian memindai kartu tersebut dengan sinar merahnya.
Kling. Sepertinya berhasil.
"Silahkan menikmati wahananya!"
"Terima kasih." Aku menerima kembali kartu itu dan memasukkannya ke saku celana
Suara ricuh dari tiga orang mulai terdengar kembali. Mereka sedang berjalan mendekatiku dengan suara berisiknya. Apa yang mereka lakukan, sih?
Sudah berapa kali aku mengatakannya, aku tidak percaya mereka itu memiliki trauma, sama sekali tidak percaya.
"Sepertinya Dewi Tikhe sedang berpihak kepadaku," ucap Miyu.
"Bodoh, bukankah Dewi Nike?" Libiena mencubit pipi Miyu.
"Kalian ini ... Dewi Moirai yang berperan di sini." You angkat bicara.
Apa yang sedang mereka bahas? Dewi Tikhe, Nike, dan Moirai bukannya berkaitan dengan suatu keberuntungan? Apakah itu penting untuk didiskusikan? Aku penasaran.
"Simpan saja Dewi-Dewi kalian itu, ayo cepat naik selagi langit masih cerah!" Aku berjalan menuju tempat tunggu Jet Coaster.
Lima menit kami menunggu Jet Coaster itu berlabuh, akhirnya datang juga.
"Jangan membawa barang apa pun! Penitipan ada di sebelah sini." Suara petugas itu terdengar oleh kami.
Sebelum ini, barang yang kami bawa sudah sepenuhnya dititipkan sesuai aturan yang berlaku, lagian itu hanya tas cewek milik mereka saja. Sehingga aku dan tiga wanita ini langsung bisa menaiki Jet Coaster yang sudah terlihat menunggu itu.
Miyu ada di sampingku, sementara itu You dan Libiena memasang muka masam di belakang kami.
Miyu mengetuk bahuku, "Kak, boleh aku pegang lenganmu? Jujur aku takut sekali ketinggian," tuturnya pelan.
Hehe—benar kan dugaanku, dari awal saja sudah bisa terlihat. Aku harus membalas dendam untuk kejadian kemarin di tempat parkir.
"Boleh kok." Aku memberikan senyuman palsu.
Rencanaku seperti ini, ketika berada di puncak nanti, Miyu sudah mutlak akan memegang lengan kanan ini dengan erat. Saat itu juga, sesaat kereta ini mulai turun, aku akan melepaskan genggamannya itu. Ekspresi apa yang akan dikeluarkannya nanti?
Hahaha—aku tidak sabar ingin melihatnya.
Mesin ini akhirnya mulai bergerak, diiringi dengan suara teriakan dari orang di depan dan di belakang.
"Hei, jangan tegang begitu," ucapku menenangkan Miyu.
Miyu ini sekarang benar-benar tidak seperti biasanya, wajahnya hanya fokus ke arah depan mengikuti alur dari kereta ini. Bahkan dia yang sangat banyak berbicara, sekarang tidak mengeluarkan sepatah kata apa pun.
"Kak—itu di depan—"
Di depan? Rupanya puncak tertinggi, waktunya aku balas dendam, yah.
"Pegang tanganku!"
Miyu segera memegang lenganku, tapi—apa ini? Tenaga seperti apa yang dia punya? Kenapa dia sangat erat memegang lenganku? Ini bukan tenaga wanita, aku yakin sekali, ini tenaga gajah, sialan!?
Tepat setelah kereta ini meninggalkan titik tertingginya, Miyu ini hanya bisa memegang lenganku dan berteriak dengan kencangnya.
"Uwaa!!! Aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati!! Aku tidak mau mati—"
Aku mencoba melepaskan tangannya itu berkali-kali, tapi dia seperti gajah yang sedang berkelahi. Tenaganya bukan main, bahkan aku sendiri tidak bisa melepaskan tangannya itu hingga akhir dari rute Jet Coaster ini.
Sialan!! Balas dendamku gagal!!
"Hoi, lepaskan peganganmu itu!? Sudah selesai wisatanya!" Aku masih berusaha melepaskan tangan Miyu.
"Hah, hah, hah, aku tidak mau ma—"
Kekuatan tangannya telah hilang, aku bisa melihat dia menutup matanya, kepalanya ada di bahuku.
"Kenapa kau?!! Hoi Miyu!!"
"Bertahanlah Miyu!! Hei Libiena, You, petugas, siapa pun bantu aku!!" Aku berteriak dengan sangat keras.
Beberapa saat kemudian, aku dibantu dengan beberapa orang membawa Miyu menuju ke suatu tempat.
"Terima kasih, Pak, saya sangat terbantu." Aku membungkukkan tubuh kepada petugas yang sudah membantu.
"Sepertinya dia sangat takut ketinggian, kenapa kau masih membawanya menaiki wahana itu?!"
Aku bisa melihat wajah dari petugas itu marah kepadaku. Memang ini salahku juga, sih, kenapa tadi malah berpikir untuk balas dendam kepadanya? Aku ini memang bodoh, ya.
"Maaf, Pak, saya tidak tahu dia akan sangat takut hingga pingsan seperti ini."
"Ya sudahlah, jaga dia baik-baik!!" Petugas itu meninggalkan ruangan ini.
Suara langkah kaki terdengar dengan tidak teratur. Tidak lama kemudian, You dan Libiena muncul di depan mataku.
"Kenapa dia? Bukankah dia berlebihan?" ucap You.
"Ya, sangat-sangat berlebihan." Libiena tersenyum kepada Miyu yang sedang terbaring.
Apa-apaan mereka berdua? Tidak adakah rasa khawatir kepada Miyu?
"Apa maksud perkataan kalian?"
You dan Libiena mendekati ranjang Miyu. "Hmm … waktu sandiwara habis. Bangun, Miyu!!" You dan Libiena mencubit pipi Miyu.
"Ehehe, bagaimana? Aku sudah bisa jadi aktris?"
Ap—
Apa maksudnya semua ini?
Miyu sudah bangun, dan bicara apa dia baru saja? Jangan bilang—
ini hanya sebuah sandiwara dari kalian bertiga?
Aku mengepalkan tangan kali ini. "Bisa kalian jelaskan apa artinya ini?" Kemudian wajah ini tersenyum semanis mungkin kepada mereka.
"Libiena, Miyu, jika kalian ingin selamat, lari!!"
Mereka bertiga lari keluar dari ruangan ini layaknya kilat disertai dengan suara tawa yang saling bersahutan.
"HOI, TUNGGU SAJA KALIAN, YA!?"
Jadi benar, ini hanyalah ulah kalian bertiga.
Hmm—bukankah kaki Miyu itu sedang sakit, ya? Kenapa bisa sekencang itu dia berlari?