.
II
.
Waktu sekarang menunjukkan pukul 10 pagi, aku sudah berada di kampus bersama Miyu. Libiena dan You berkata bahwa mereka telah dijebak untuk menandatangani kertas untuk mendapatkan hadiah boneka kucing tempo hari. Namun alih-alih mendapat boneka kucing, mereka malah diharuskan untuk mengikuti seminar terlebih dahulu.
Aku tidak bisa menahan tawa ketika melihat ekspresi mereka tadi pagi, aku berpikir apakah ini cara terbaru untuk membuat orang mengikuti seminar?
"Kak, ayo kita ke perpustakaan."
Aku kaget, sepertinya telinga ini salah mendengar ucapan Miyu baru saja.
"Umm ... kau bilang apa, Miyu?"
"Ayo kita ke perpustakaan."
Wah!? Sepertinya dia benar-benar serius mengatakan itu. Ternyata mengenal sosok Miyu dalam 3 hari belum bisa membuatku tahu apa yang ada di dalam pikirannya.
"Kau Miyu, kan?" Tanganku memegang dahinya.
Miyu menatapku kesal, "Sudah, jika tidak ikut aku akan berteriak kau adalah maling," lanjutnya sembari berjalan menuju ke suatu tempat.
"Baiklah, aku akan ikut denganmu." Aku mengikuti langkahnya menuju ke perpustakaan yang ia gagas sebelumnya.
Kami menelusuri trotoar yang terbuat dari batu-batu yang tersusun rapi. Miyu berjalan di depanku menunjukkan jalan menuju perpustakaan. Pemandangan kali ini sungguh langka, sosok Miyu yang biasanya agresif kepadaku seakan menghilang. Dia hanya fokus berjalan sembari menolehkan wajahnya sesekali ke arah mata ini berada.
"Kau bertingkah aneh Miyu, jangan membuatku bertanya-tanya dong!" Aku menyamakan jalanku dengannya.
"Hmm ... mungkin karena aku cemburu?"
"Mana kutahu, kenapa malah tanya balik?"
Wajah Miyu menunjukkan kekesalan. "Sebenarnya aku masih bingung, kenapa aku bisa bertemu lagi denganmu?"
Kenapa seperti aku yang sudah mati saja, ya? Dasar Miyu aneh.
"Memangnya aku sudah mati? Seenaknya saja bilang begitu!" Aku menaikkan alisku untuk mengejeknya.
"Bukan kau, tapi aku, kan?"
Aku berhenti berjalan. Orang ini benar-benar aneh hari ini.
"Jangan keterlaluan bercandanya, tidak mungkin orang mati bisa hidup lagi."
Miyu menghentikan langkahnya dan mengarahkan wajahnya padaku. "Bukankah itu yang aku tanyakan dari awal?"
"Sialan Miyu, jangan bercanda!!" teriakku.
"Ahaha, memang pada dasarnya kau penakut seperti Libiena." Miyu tertawa terbahak-bahak.
"Sepertinya diriku yang baru ini terlihat mudah dijahili, ya?"
"Tentu saja, tapi tidak apa-apa. Aku jamin dalam waktu dekat, kau akan mengingat siapa aku."
Miyu tersenyum manis menghadapku, dengan sinar Matahari yang menembus rongga-rongga daun pohon menambah kesan cantik wanita di depan itu.
Aku membalasnya dengan senyuman, tapi dia malah berlari meninggalkanku.
"Woi tunggu aku!!"
Sialan. Apakah itu benar tenaga seorang wanita? Hal tersebut mengingatkanku pada kejadian di Jet Coaster kemarin.
●●●
Pandangan ini hanya fokus ke arah rak-rak buku yang tersusun di depanku. Rak-rak itu berisi buku-buku novel yang mungkin sangat Miyu sukai. Sekarang aku berada di lantai 5 perpustakaan, tepatnya pada ruangan yang hanya berisi buku-buku cerita.
Miyu sangat fokus dengan bacaannya, dia bahkan sepertinya tidak menganggapku ada di depannya. Dunia fantasi membuat orang-orang lupa akan dunia nyata yang mereka tinggali. Itu adalah sebuah ungkapan yang tidak tepat, tapi mungkin ada benarnya juga.
Aku beranjak dari tempat duduk menuju ke arah rak buku berniat untuk membaca sebuah buku. Tanganku menyisir buku-buku yang berada di depan, tujuannya tidak lain adalah mencari judul buku yang menarik. Indra pelihat ini fokus pada judul buku—tidak, sampul buku yang menarik.
Aku menarik buku itu keluar, kemudian membuka perlahan bukunya.
"Wah ... buku ini bercerita tentang para siswi yang berusaha menyelamatkan sekolah mereka," gumamku.
Aku baca ini saja, mereka cantik-cantik meskipun itu hanya sebatas gambar. Hahaha.
Suara langkah kaki yang mendekati Miyu membuatnya menoleh ke arahku.
"Apa yang kau baca?"
"Cerita keren tentunya, hehe." Aku duduk kembali di depan Miyu.
"Kau menyukai gambar idol seperti itu? Di depanmu itu ada Wanita yang lebih berkualitas dari gambar-gambar itu, tau!"
"Di—diam kau!?"
Zrasss.
Hujan tiba-tiba turun padahal masih ada sinar Matahari yang terpancar. Air yang mengalir di kaca itu tidak berwarna jernih, melainkan ada warna tambahan dari sinar Matahari. Sinar itu menembus kaca yang jernih seolah menyinari keadaanku dan Miyu. Jika aku bisa menyatakan situasi sekarang, mulut ini akan mengatakan bahwa Tuhan telah menyiapkan suasana terbaik untuk kami.
"Cantik sekali ..." ucapku akan situasi saat ini.
"Eh?! Kenapa kau tiba-tiba menyanjungku?"
Mataku melihat ke arah Miyu dan mendapati wajahnya sedang memerah.
"Ah—bukan kau, maksudku suasana kita berdua yang disorot sinar Matahari dan air hujan ini."
"Grrr ... dasar pembohong, dasar penipu!!" Miyu mengeram dan berteriak dengan keras.
"Diam bodoh!! Kita kan sedang ada di perpustakaan, bukan di rumahmu."
Aku kembali fokus membaca buku yang ada di atas meja ini. Satu per satu lembar kian kuarungi masuk menuju saraf di dalam otak. Lalu, batin ini hanya ingin mengatakan satu hal akan buku dan kisah ini.
Aku ingin seperti mereka, cerita mereka seperti sebuah cahaya yang datang kepadaku.
Aku sudah selesai membacanya, kini pandangan ini tertuju pada wanita di depan, siapa lagi, kan? Miyu, dia sudah tenang dan meneruskan untuk membaca buku-buku yang tertumpuk di depannya itu.
"Apakah kau ingin menjadi seorang filsuf?" tanyaku.
Miyu mengalihkan pandangannya padaku. "Umm, aku hanya suka baca buku."
"Adakah filsuf yang kau segani?"
"Filsuf ya ... " Miyu tampak memikirkan tokoh idolanya, "Arthur Schopenhauer, ya—itu filsuf yang aku kagumi."
"Ah benar, dia juga filsuf yang aku kagumi."
Miyu menundukkan kepalanya. "Belas kasihan adalah dasar dari moralitas." Mulutnya bergeming, "Itu adalah kutipan yang bagus."
Miyu terdiam, matanya seperti berkaca-kaca. Dia sepertinya ingin mengakhiri pembicaraan dan kembali fokus membaca.
"Sudah, cepat selesaikan bacaanmu!"
Miyu mengangguk. "Baiklah."
Jujur saja, aku kecewa akan apa yang sudah akal ini ingat kemarin, itu bukanlah ingatan yang baik. Justru aku ingin melupakan kenangan buruk itu dan membuangnya menuju singularitas lubang hitam.
Aku berpikir bagaimana kisahku setelah menampar You, lalu kenapa aku bisa berbaikan dengan You setelah menelantarkannya begitu saja. Yang paling bodoh adalah ... padahal saat itu Mom sudah menyuruhku untuk menjaganya, malah aku meninggalkannya.
"Kenapa melamun?" Suara itu mengagetkanku.
Aku mengedipkan mata dan menatap ke sumber suara tersebut.
"Ah—bukan apa-apa, aku hanya ingin cepat mengingat masa laluku."
"Bagaimana jika masa lalumu sangat buruk, kak?"
"Kau ini, kenapa tidak langsung cerita tentang masa laluku saja? Siapa tahu aku akan cepat ingat dengan bantuan ceritamu itu." Aku memukul pelan kepalanya dengan buku.
"Nanti cerita ini cepat selesai, dong!"
"A—benar juga, tapi ceritakan saja sedikit, dong!?"
"Bagaimana kalau dimulai dari kisah tentangku?"
"Telingaku siap mendengarkan, tenang saja." Aku mengacungkan ibu jari.
Miyu menggerakkan jari telunjuk dan menempelkannya di dagu. "Aku sudah mati."
"Bodoh, jangan bercanda, itu bukanlah sebuah lelucon."
"Apa aku terlihat seperti bercanda?" Wajah Miyu mulai tegang.
Aku memasang wajah kesal. "Baiklah, jadi sekarang aku harus menyebutmu zombie?"
"Cih ... kenapa kau tidak percaya padaku?!" Miyu menggebrak meja di depannya.
"Tentu saja, bahkan jika aku dan kau sedang ada di sebuah cerita, pembaca tidak akan percaya dengan ocehan konyolmu itu."
Aku beranjak dari tempat duduk berniat untuk mengembalikan buku yang sudah kubaca. Namun, di saat aku ingin berjalan menuju rak buku ini, baju belakang ini ditarik pelan oleh Miyu.
"Apa?" tanyaku.
"Kembalikan buku yang ini juga!"
Sial, dia sudah membaca tiga buku dalam waktu 40 menit. Mungkin sebenarnya dia adalah seorang kutu buku yang sangat terobsesi dengan buku-bukunya itu. Sekilas aku berpikir ... pantas saja dia bisa merencanakan kejadian hari-hari sebelumnya.
"Ada lagi?" Aku kembali bertanya setelah mengambil tiga buku yang telah Miyu baca.
"Nanti saja."
Aku melanjutkan langkah menuju rak-rak buku di sepanjang mata memandang. Tiga buku yang dibacanya itu semuanya memiliki genre horor romansa.
Apa-apaan seleranya itu?!
Aku menurunkan tubuh ini untuk meletakkan buku-buku itu. Buku yang kupegang ini perlahan sudah kembali di tempat asalnya, hanya tinggal dua buku yang harus aku cari raknya.
"Aku baru tahu Rick suka ke perpustakaan."
"Waaa!!!"
Sosok di balik rak itu benar-benar membuat jantungku ingin copot. Sosok itu ada di depanku, tepatnya di balik rak tempat di mana aku sedang meletakkan sisa buku ini.
Otak bodoh ini tidak mengenalinya, tapi sepertinya aku adalah orang yang popular, ya ....
"Jangan mengagetkanku begitu!! Siapa kau?"
"Huh? Bukankah dua hari yang lalu kita ketemu di ruang komdis? Apa rumor tentang hilang ingatanmu itu benar adanya?"
Rumor? Apa-apaan itu sialan.
Aku memegang kepala, memikirkan dan mengingat kejadian waktu itu. Kemudian setelah itu, kembali memeriksa wajahnya dan mencocokkan dengan ingatan ini.
"Ah—kau yang waktu itu berdebat dengan Libiena, kan?"
Wanita itu tersenyum. "Benar sekali."
"Pertanyaanku yang awal tadi belum di jawab kan?" lanjutnya.
"Aku hanya menemani temanku di sini."
"Teman?"
Aku menganggukkan kepala. "Jadi, apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku juga suka membaca, jadi bolehkah aku bergabung bersamamu?" Wanita itu berdiri dan berjalan memutar kemudian menghampiriku.
"Tentu saja, mana bisa aku menolaknya, kan."
Kami berdua berjalan menuju meja tempat singgahnya Miyu. Sesaat setelah sampai, Miyu melirik ke arahku dengan mata yang kosong. Aura pembunuhnya kembali terlihat.
"Siapa dia, calon istri keempatmu?"
"Bo—bodoh, mana ada aku punya empat calon istri. Dia temanku dan dia kakak tingkatmu."
"Awas saja kau menambah harem lagi, dasar cowok haus wanita." Miyu menatap wanita itu sekali, kemudian membuang pandangannya kembali ke buku di depannya itu.
Miyu ini menyebalkan sekali, rasanya bibirnya itu ingin aku beri pelajaran.
"Duduk saja, hiraukan wanita ini!" ucapku pada wanita tersebut.
Dia menganggukkan kepala dan langsung duduk, kemudian aku menyusulnya untuk duduk di sampingnya. Sepertinya hujan masih akan reda beberapa jam lagi, tapi sinar Matahari yang tadi sudah tidak ada.