HOPE AND WISHES (3)

.

III

.

Hujan telah reda, sekarang aku hanya bersama Miyu setelah temanku tadi memutuskan untuk meninggalkan perpustakaan 10 menit yang lalu. Hari ini aku ada kelas pukul 1 siang, masih ada dua jam sebelum itu.

Buku yang ada di meja, kini sudah tidak sebanyak awal tadi. Tanganku masih memegang buku dari seri yang sama saat awal tadi. Tentu saja buku ini masih bercerita tentang siswa yang berusaha menyelamatkan sekolah tercintanya.

Aku masih sibuk bergelut dengan cerita yang dilontarkan pada buku ini, sehingga masih belum ada percakapan dengan Miyu setelah kepergian temanku. Sepertinya Miyu masih kesal denganku karena tiba-tiba membawa seorang perempuan tadi.

Aku membuang pikiran negatif itu jauh-jauh, hal yang paling penting sekarang adalah memastikan Miyu agar tidak sendiri saat aku kelas nanti. Meskipun dia terlihat tidak takut kepada orang lain, tapi tetap saja aku khawatir kepadanya. You dan Libiena juga sepertinya mereka akan sampai sore mengikuti seminar jebakan itu.

"Miyu, kau ada kelas kan hari ini?"

"Ada, dari jam satu sampai jam tiga sepertinya."

Aku bernapas lega. "Syukurlah, aku kira kau akan menjadi penyendiri untuk sementara waktu."

"Bodoh, tidak usah berpikir sejauh itu kak. Tenang saja, teman bicaraku itu tidak hanya kau seorang."

"Baguslah, aku bisa terbebas dari ocehanmu itu."

"Apa maksudnya!?" Miyu melemparkan bukunya padaku.

"Diam bodoh!?"

Miyu mengeram. "Kenapa kau selalu memanggilku sebutan bodoh, sih? Padahal aku suka membaca, dasar pacar tidak berguna?!"

Pacar? Jangan bercanda Miyu.

"Aku bukan pacarmu bodoh!?"

"Kalau begitu ... calon istri?!"

"Jangan bercanda sialan!?" Aku mengetuk pelan buku ke kepalanya.

Saat aku dan Miyu sedang melanjutkan debat kecil kami, suara bel pengumuman berbunyi.

Ding Dong.

"Perhatian kepada pengunjung perpustakaan di lantai lima meja nomor delapan, harap segera meninggalkan perpustakaan. Lalu jangan kembali lagi setelah tiga hari. Jika—pengunjung yang dituju tidak melaksanakan perintah tersebut, maka akan kami keluarkan secara paksa. Sekian terima kasih."

Ding Dong.

Aku bertukar pandangan dengan Miyu, kemudian mataku melirik ke sebuah papan di meja yang menunjukkan nomor ... delapan.

"Miyu, sekarang kita ada di lantai berapa?"

"Lima ...."

Kami kembali menatap papan bernomor delapan itu.

"Sialan?!" teriak kami berdua.

Kami diusir dari perpustakaan.

●●●

Sekarang aku dan Miyu duduk di bawah pohon yang rindang dengan sesekali tetesan air menuju arah kami.

"Masih ada satu jam, mau bagaimana sekarang?" tanyaku lesu.

"Kenapa kau yang sedih?" Miyu menepuk punggungku.

"Jangan bertingkah bocah sialan, kenapa kau tadi mengucapkan hal yang tidak penting?"

Wajah Miyu kembali memerah, urat di kepalanya seperti ingin pecah. "Ha?! Siapa yang kau panggil bocah?"

"Tidak ada, lupakan." Aku menyerah.

Kenapa aku harus berurusan dengan Miyu. Jika penyakitnya kumat lagi, bisa-bisa aku akan diperlihatkan bagian tubuh vitalnya kali ini.

"Bagaimana kalau kita makan saja?" Aku mengelus kepala Miyu.

"Aku bukan anak kecil kakak sialan!? Kenapa mengelus-elus kepalaku?!"

"Hmm ... jika bukan kepala, mana yang harus aku elus?"

Wajah Miyu memerah, begitu juga dengan telinganya. "Bo—bodoh, mana kutahu kakak sialan!?" teriaknya.

Aku kembali mengelus-elus kepalanya. "Omong-omong, kenapa kalian bertiga cebol?"

Miyu berdiri. "Asal kau tahu saja, aku memiliki tinggi yang lebih dari mereka berdua. Jadi aku tidak bisa dipanggil cebol, apa kau mengerti?!"

Aku menatap ke arahnya, memastikan perkataannya tersebut. Apakah seperti itu? Aku melihat mereka adalah orang yang memiliki tinggi sama.

"Apanya yang lebih tinggi? Sepertinya kau sama saja dengan mereka."

"Tidak?! Aku lebih tinggi 4 cm dari Yuukiho dan 9 cm dari kak Libiena."

Woah. Bahkan Miyu sampai mengukurnya hingga detail seperti itu. Padahal aku hanya iseng menanyakan hal yang tidak penting.

Aku bertepuk tangan. "Hebat, Miyu memang hebat."

"Itulah aku." Miyu mengurai rambutnya menyombongkan diri.

Aku berdiri. "Sudah, jangan banyak gaya. Ayo makan!"

"Dasar kakak sialan!!?"

Aku berjalan menuju ke kantin perpustakaan yang sudah terlihat di ujung mata. Sementara itu Miyu menyamakan langkahku di samping. Dia benar-benar seperti anak kecil saja, lebih tepat anak kecil yang berkelakuan seperti wanita penggoda.

"Hei Miyu, kenapa kau memanggilku kakak? Bukankah lebih enak jika panggil aku dengan nama saja?" Aku melirik ke arahnya.

"Aku lebih suka memanggilmu kakak—ups, mau tahu alasannya?"

Bocah sialan!? Apa harus di potong-potong kalimatnya itu??

Aku mengangguk kesal. "Iya katakan saja."

"Tentu saja agar aku terlihat berbeda dari orang lain. Memanggil orang dengan nama panggilan sudah terlalu biasa."

"Bukankah akan terlihat lebih akrab jika memanggil orang dekat dengan nama panggilan?"

"Tentu saja orang lain akan berpikir seperti itu. Namun bagiku, kau itu bukan orang dekat bagiku—eh? Mau tahu kau apa di pandanganku?"

Sialan, sialan, sialan. Dia masih saja memotong cara bicaranya itu?!

Aku memukul pelan kepalanya. "Cepat katakan bodoh!"

Miyu menatapku kesal dan memalingkan wajahnya. "Kau bukan orang yang dekat denganku, tapi kau adalah orang yang spesial untukku."

Hatiku berdebar dengan kencang secara spontan, aku merasa pernah mendengarkan kalimat tersebut.

"Kenapa?"

"Kau menyelamatkanku, tempat berlindungku, dan telah menepati janjimu."

Lagi-lagi alasannya hampir sama dengan Yuu dan Libiena, kata 'menyelamatkan' di sini membuatku bingung. Apa ada sebuah kecelakaan dan aku yang menyelamatkannya.

Namun sepertinya tidak begitu.

"Maaf, aku masih belum bisa mengingatnya."

Miyu tersenyum kepadaku. "Tenang saja, sepertinya dalam waktu yang sangat dekat kau akan mengingatnya kembali." Miyu berlari menuju ke kantin yang sudah dekat itu.

Dasar Miyu, memangnya dia Tuhan yang bisa mengatur kapan ingatanku pulih.

●●●

Kelas kuliahku telah usai, angin yang menerpa tubuh ini masih terasa sampai pori-pori. Di depanku hanya ada sungai dan hamparan rumput hijau yang luas, begitu pula dengan tempat yang sedang tubuh ini rebahkan.

Cahaya Matahari kian meredup, tidak ada tanda-tanda bahwa Libiena dan You akan pulang tepat waktu. Aku ada di sini, di tempat ini sesuai dengan yang Miyu perintahkan saat makan siang tadi.

Dia berkata, "Setelah usai kelas, kau temui aku di lokasi ini. Akan ada sanksi jika kau telat satu detik saja." Lalu Miyu menunjukkan peta pada ponselnya.

Hasilnya, sekarang dia sendiri belum datang kemari, dasar tidak berguna. Setidaknya aku masih bisa merasakan nikmatnya rumput dan angin yang berlalu ini.

"Maaf membuatmu menunggu. Apakah kau sudah menunggu lama?" Suara itu datang dari belakangku.

Aku tidak menoleh ke sumber suara itu, hanya menjawab singkat. "Yah, baru saja. Lagian kenapa kau yang telat sialan?!"

"Kalau begitu, mari kita mulai kencannya."

Aku menelan ludah dan mataku tidak bisa berkedip karena terkejut.

Kencan?!

"Jangan bercanda kau Miyu." Aku berdiri dan menatapnya serius.

"Kenapa kau panik begitu?"

"Tentu saja panik, aku bahkan tidak pernah kencan dengan Libiena yang katanya dia adalah pacarku."

"Apakah saat kau masih belum hilang ingatan kalian sering kencan?"

"Mana kutahu, mungkin saja seperti itu, tapi tetap saja aku belum siap dengan yang namanya kencan."

Miyu merengus. "Padahal ini salah satu adegan saat kita pertama kali bertemu loh, ya sudahlah kalau kau tak mengingatnya."

Memang benar, otak ini seperti merespon sebuah kejadian yang berulang atau dengan kata lain, déjà vu baru saja terjadi.

"Jadi aku bertemu denganmu untuk pertama kalinya di tempat ini?"

Miyu menganggukkan kepalanya dan mendekatiku. "Lihatlah, lilin ini aku yang memberikannya padamu waktu itu. Meskipun bukan di tempat ini memberikannya." Miyu menunjukkan lilin berbentuk bunga mawar dan berwarna ungu di tangannya.

Aku mencoba melihat dengan teliti lilin itu, sepertinya mata ini pernah melihatnya di suatu tempat.

"Lilin itu ada di meja kamarku." Aku berhasil mengingatnya.

Wajah Miyu memberikanku senyuman yang elok. "Syukurlah, kau masih menyimpannya."

Miyu kembali mengeluarkan barang dari tasnya yang terlihat kecil itu.

"Dulu aku pernah berjanji, kan? Suatu saat akan aku berikan korek api dan kita akan membakar lilin tersebut bersama-sama."

Gejolak di hatiku seketika bertambah, aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi dalam tubuh lemah ini. Namun, rasa sakit dan perih mulai terasa ketika mendengarkan kalimat Miyu baru saja.

Miyu masih berbicara. "Lilin ini berarti sebuah harapan dan korek ini --"

Aku yang dari tadi berdiri, tiba-tiba lututku serasa tertimpa oleh beban yang amat berat.

"Kau baik-baik saja, kak?"

Aku bisa melihat Miyu yang memegang pundakku. Rasanya ingin sekali menjawab pertanyaannya itu, tapi mulut ini enggan untuk berbicara.

Hatiku perih.

Sensasi ini, perasaan ini, pernah aku rasakan kemarin. Perasaan ini sama seperti saat aku mengingat masa lalu untuk yang pertama kalinya.

Suara-suara yang Miyu lontarkan terdengar samar sekarang, aku hanya bisa melihat bibirnya yang bergerak dengan wajah yang khawatir. Mungkin aku akan pingsan untuk yang kesekian kalinya. Menurut dugaanku kemarin, saat ingin mengingat masa lalu, harus ada pemicunya. Lalu pemicu untuk kasus ini, itu apa? Jangan-jangan—karena benda yang dikeluarkan Miyu tadi?

Sialan. Setelah dipikir-pikir lagi, kenapa ya tubuh ini jadi sering pingsan semenjak hilang ingatan? Apanya yang gelar Sang Singa Petarung jika menahan hilangnya kesadaran saja tidak sanggup.

Menjengkelkan sekali.

Mataku telah tertutup sepenuhnya sekarang, akan tetapi pikiran ini masih belum tertutup. Dia memberikanku ingatan lama untuk yang kedua kalinya.