HOPE AND WISHES (4)

ACT 2

Flashback [3 Agustus 2016]

.

.

Suara rintik hujan disertai dengan ricuhnya suasana kelas membuatku ingin melelapkan mata ini. Namun jam dinding yang berdetak itu bahkan masih belum menunjukkan pukul 8 pagi.

Kenapa aku harus repot-repot sekolah dan belajar, sih, padahal belajar MMA saja sudah cukup. Jika bukan karena wanita sialan dan biaya dari Ji itu, mana sudi aku untuk belajar. Sialnya lagi, hari ini aku kebagian duduk di depan.

□ Ji = Paman □ Ba = Bibi

Sudah tiga tahun aku bertemu dengan wanita bernama Yuukaru itu, dia mengajari bagaimana cara bertahan hidup di jalan dan cara menikmati indahnya dunia ini. Namun katanya, sekolah adalah salah satu cara menikmati indahnya dunia ini.

Omong kosong!? Harusnya aku tidak mengikuti perintah Yuukaru itu.

Perlukah aku terus menurut ke wanita sialan itu?

Dia bahkan belum pernah memberikanku feedback, seperti menjalin hubungan itu dengannya ....

Tapi, apakah dia masih pera—

Saat masih memikirkan tentang sosok Yuukaru, tiba-tiba sebuah palu melayang ke arahku. Aku menangkapnya, jika tidak mungkin mata yang terpasang di kepala ini sudah terlepas dari akarnya.

Sialan, siapa yang ingin membunuhku?

"Bocah brengsek, apa yang kau lakukan pada anakku kemarin?!"

Wanita tua yang ternyata melemparkan palu itu mendekatiku dengan nada amarah yang tak karuan. Di belakangnya banyak guru yang berusaha untuk menenangkan dia.

Suasana kelas ini tiba-tiba mengganti dirinya menjadi mencekam, tentunya untuk orang-orang bodoh yang ada di kelas. Suara ricuh ini sudah bosan kudengar, sampai-sampai telinga ini ingin kucopot saking bosannya.

Tentu saja, sekarang wanita tua itu berdiri tepat di depan mejaku. Posisinya terlihat mengintimidasi, itu yang akan dilihat orang-orang. Namun, aku memutuskan tidak menggubrisnya, itu karena aku kemarin tidak melakukan apa pun selain menemani Yuukaru. Tentunya menemani dia untuk menghajar orang yang sok keren, haha.

Apa-apaan wanita tua ini, aku bahkan tidak melakukan apa pun kemarin.

Aku menatapnya sebentar, lalu menatap ke arah luar jendela dan kembali memikirkan perintah Yuukaru tentang sekolah.

Plakkk.

Wanita tua itu menamparku. "Memang kau bocah brengsek, aku tanya padamu, apa yang kau lakukan pada anakku kemarin hingga tidak bisa berjalan lagi?!"

"Apa yang kau bicarakan wanita tua? Enyahlah dari sini!!"

Wanita tua itu kembali melayangkan tangannya, tapi kali ini aku melihatnya dan berhasil menghindarinya.

"Apa yang a—nakku perbuat padamu hingga kau tega merenggut masa depannya? Apa kau anak iblis? Ke—napa kau tak mengakuinya?!" Wanita tua itu menangis.

Aku ... anak iblis?

Kau berani mengingatkanku kembali pada Mom dan Dad yang sudah meninggal dengan hormat.

Sosok yang mati karena tidak ada satu pun orang membantuku saat itu. Lalu kau menyebut mereka setara dengan iblis?

Kau menyamakan mereka dengan iblis?

Baj*ngan kau wanita tua!!!

Aku menendang meja di depanku dengan wanita tua itu yang ikut terpental. "Jangan kau hina orang tuaku bajingan!! Jika kau tak ingin bernasib sama seperti anakmu, maka jangan berani kau temui aku lagi!!" Aku menghampirinya dan pergi ke luar kelas.

"A—ku akan me—laporkanmu ...."

Sebenarnya aku tak tega melihat orang tua jatuh tersungkur seperti itu, tapi dia telah menghina orang tuaku juga, jadi itu adalah hal yang wajar.

"Aku akan memberimu hadiah jika kau bisa memasukkan aku ke jeruji dingin."

Aku kembali berjalan menjauhi ruang kelas. Semua orang yang berada di tempat kejadian tersebut tidak berani denganku, bahkan guru dan kepala sekolah saja tidak berani menyentuhku.

Tentunya karena Ji adalah kepala polisi di kota ini, ditambah dengan Ba yang bekerja sebagai pengacara. Mana mungkin, mantan anak Bupati dan cucu veteran tentara di kota ini akan mengenyam hukuman di balik jeruji besi.

Aku berjalan melalui kerumunan murid beserta guru yang terpaku di tempat mereka dan menuju ke atap sekolah.

"Sial!! di luar masih hujan. Jika aku kembali ke kelas, maka aku akan bertemu dengan wanita tua itu." Aku memukul keras pintu atap.

Aku memutuskan untuk duduk di tangga menuju atap sekolah ini. Kemudian tangan ini mengambil sebatang cerutu di saku dan mulai membakarnya.

"Apa maksud dari wanita tua itu adalah bocah sombong tadi malam yang Yuukaru patahkan kakinya? Jelas-jelas Yuukaru yang melakukannya, kenapa malah aku yang kena imbasnya!!?" Aku menghisap cerutu ini.

"Lagipula, kakinya tidak akan betulan patah karena Yuukaru melakukannya dengan pelan. Dasar wanita tua tak berilmu."

Sebatang cerutu dengan isi tembakau ini sudah menjadi santapan rutinku setelah berlatih MMA. Yuukaru menyuruhku mengonsumsi cerutu ini hanya untuk menambah kesenangan akan dunia ini. Tenang saja, cerutu ini hanya mengandung kadar tembakau yang sedikit, sehingga itu tak mengganggu kondisi fisikku.

Bodoh sekali aku karena selalu menuruti perkataannya itu, tapi jujur saja aku tidak bisa mengabaikan setiap perkataannya itu.

Alasannya sangat sederhana, dia adalah sosok yang mirip dengan Yukina, adikku. Saat pertama kali bertemu dengannya, dia sangat mirip dengan Yukina. Aku yang saat itu sangat membenci wajah Yukina, langsung memukulnya, tapi dia malah dengan sekejap membantingku.

"Dia bukan orang biasa," pikirku kala itu.

Setelah mengobrol dengannya, dia memiliki latar belakang yang mirip denganku. Orang tuanya meninggal karena sebuah insiden, dia juga memiliki kakak laki-laki, tapi dia juga pergi meninggalkannya. Singkatnya, kami tinggal bersama di apartemen tua dan mulai hidup di jalan sebagai berandalan.

Akhir-akhir ini aku sangat rindu kepada Yukina, tapi batin ini belum siap menemuinya karena apa yang telah kulakukan malam itu sungguh membuat hati ini merasa bersalah.

"Bukankah kau terlalu berlebihan? Menendang orang tua dan meninggalkannya tanpa meminta maaf."

Dia adalah Yuukaru, sosok yang baru saja kupikirkan sudah ada di depan mata.

"Yuukaru sialan, kau yang mematahkan kaki bocah itu semalam, tapi malah aku yang ingin terbunuh oleh wanita tua itu!?"

Yuukaru tersenyum mengejek. "Bocah itu pantas mendapatkannya."

Aku berdiri dan mendekatinya, "Tumben kau menemuiku di sekolah, biasanya juga kau menjaga Sanctuary. Ada masalah?"

"Aku akan pergi, jadi temui aku di tempat rahasia nanti sore!" Dia melangkahkan kaki menjauhiku begitu saja tanpa melanjutkan penjelasannya.

Wanita sialan.

●●●

Hari sudah berganti ke sore, tentu saja aku tidak menghabiskan waktu hari ini untuk belajar karena wanita tua sialan tadi.

Sekarang, aku berada di tempat yang Yuukaru perintahkan tadi pagi. Biasanya orang-orang menyebut tempat ini dengan nama Hope. Aku juga tidak tahu kenapa bisa dinamakan dengan nama tersebut, mungkin karena terdapat sungai dan rumput yang saling melengkapi keindahan tempat ini.

Aku yang sedang rebahan melihat langit sore dikagetkan oleh sebuah suara dari belakang.

"Maaf, apakah kau sudah menunggu lama?"

Maaf? Yang benar saja Yuukaru sopan seperti ini.

Aku spontan berdiri dan menoleh ke arah belakang. Namun bukannya melihat adanya Yuukaru, aku malah melihat ada wanita culun—tidak—dia sangat cantik, tapi dandanannya itu seolah dibuat untuk menyembunyikan kecantikan tersebut.

Huh?! Siapa wanita ini?!

"Siapa kau?"

"Miyu."

Apa-apaan wanita ini.

"Lalu apa urusanmu denganku?"

"Bertemu denganmu."

"Aku tidak segan memukul wanita, jadi jangan buat aku kesal!"

"Tolong ... aku."

Wanita itu menangis dan air matanya mulai memenuhi kacamata yang sedang dipakai olehnya.

"Hei, kenapa kau meminta tolong padaku? Cari orang lain saja, lagi pula tujuanku hanya menunggu temanku di sini."

Aku pergi berjalan menjauhi wanita aneh itu.

"Aku akan—dibunuh."

Badanku tiba-tiba terdiam kaku, urat nadi dalam tubuh juga seolah terhenti oleh ucapan wanita itu. Merinding tubuhku setelah mendengar ucapannya.

Kenapa? Padahal selama ini aku melukai orang-orang, bahkan di antaranya ada yang masuk ke rumah sakit, mungkin meninggal. Aku tidak peduli kepada orang-orang itu.

"Aku tahu—kau adalah kakak kelasku, setiap hari—aku mengawasimu untuk meminta bantuan darimu."

Jadi, alasan seperti ada yang mengawasiku akhir-akhir ini adalah dia pelakunya. Sejenak aku kembali berpikir, apakah benar ada orang yang ingin membunuhnya?

"Satu kali lagi aku tanya. Kenapa kau meminta bantuan padaku? Banyak orang lain yang mungkin lebih bisa dimintai tolong daripada aku." Aku menatapnya.

Wanita itu mengelap air matanya. "Karena kau adalah orang baik."

Orang baik? Aku?

"Enyahlah, aku bukan orang baik seperti yang kau pikirkan!" Aku memutuskan untuk kembali berjalan meninggalkannya.

"Kumohon, matamu itu tidak pernah berbohong. Bukankah kau adalah korban sepertiku? Aku juga kehilangan semua hal yang berharga, jadi setidaknya aku tak ingin kehilangan nyawaku ... sampai dia sudah kuselamatkan."

B—bagaimana bisa dia tahu aku kehilangan hal yang berharga?

Setelah berpikir sejenak, ditambah dengan Yuukaru yang tidak kunjung datang juga, aku memutuskan untuk duduk dan mulai mendengarkan perkataannya.

"Jadi apa masalahnya?"

Wanita itu menatapku dengan wajah gembira dan mulai membuka jawaban atas pertanyaanku. Dia duduk di depanku, menandakan bahwa rumput yang hijau itu, sebagian terisi dengan bayangan darinya.

"Ada orang yang selalu merundungku, aku ingin lepas dari semua hal ini, tolong lakukan sesuatu!"

Mataku melakukan penyisiran pada wanita yang duduk di samping itu, kemudian suatu kesimpulan dapat diperoleh dari analisisku. Bagaimana dia tidak menjadi korban perundungan, wanita ini saja cocok sekali untuk hal tersebut.

Kacamata, rambut yang diikat dua, dan tatapan polos itu.

Ketiga hal tersebut bisa jadi sasaran empuk para pelaku perundungan. Namun, aku bisa melihat dia ini sebenarnya sangat cantik, seperti yang kupikirkan awal tadi.

"Kak?"

"Jangan panggil aku Kak, namaku Maverick."

"Apakah Kak Maverick bisa membantuku?"

Wanita ini mendengarkan kalimatku tidak, sih!?

"Tidak usah pakai, Kak, Maverick saja. Yah gampang sekali. Jadi yang pertama, ubah penampilanmu dulu."

"Bagaimana?"

Huh?! Dia benar-benar tidak menyadari hal dasar itu?

Aku melepaskan kacamata yang dipakai olehnya. "Kau bisa pakai softlens saja." Aku melihat kacamatanya, tapi ini bukan kacamata minus.

Kemudian, tanganku melepaskan ikat rambut yang berjumlah dua itu.

Dia benar-benar cantik.

"Beres!! Jadi, sekarang masalahnya hanya pada orang yang merundungmu? Benar begitu Mi ... yu?"

Bukankah aku terlalu sering bertemu dengan orang yang terdapat aksen 'yu' pada namanya? Lagi-lagi hal ini mengingatkanku pada Yukina.

Wajah cantiknya itu terlihat tak senang, bibirnya merengut ketakutan saat aku merubah penampilannya.

"Apa ada masalah, Miyu?"

"Ah—itu, aku tidak percaya diri dengan wajahku jika terekspos seperti ini, apa itu tak apa-apa?"

Apa maksudnya? Kalimat pertamanya itu bisa menandakan bahwa dirinya pemalu, tapi kenapa dengan kalimat 'apa itu tak apa-apa?'.

"Kulihat kau bukan orang yang pemalu. Apa yang kau khawatirkan?"

Miyu menggelengkan kepalanya berulang kali. "Tidak—tidak apa-apa, lupakan saja, Kak."

Dia benar-benar tak mendengarkanku, ya? Aku bukan kakakmu masalahnya, sialan!?

"Kembali ke pertanyaan awalku, sekarang masalahnya hanya pada orang yang merundungmu, kan?"

"Benar, apakah kau sudah memiliki rencana, Kak?"

"Miyu, aku tidak tahu kenapa kau bisa tahu tentangku dan kenapa kau meminta tolong hanya padaku. Namun karena orang yang polos sepertimu menjadi korban perundungan, aku akan membantumu, jadi tenang saja."

Miyu tersenyum. "Kakak benar-benar orang yang baik."

"Sekali lagi, namaku adalah Maverick. Kau bisa panggil namaku sesukamu."

"Aku panggil Kak Maverick saja, sekali lagi makasih, Kak."

Hmm ... kenapa aku jadi bersikap baik kepada wanita ini? Bahkan aku mengikuti semua alur yang ia berikan. Apakah wanita ini benar-benar berbeda dari yang sering aku temui?

Di sisi lain, meskipun dia terlihat polos dan tak bersalah, masih saja dia bukan siapa-siapa. Sepertinya aku harus cepat membantu orang ini dan menyuruhnya pergi dari kehidupanku.

Dia juga sangat mengganggu, sialan!! Apanya yang Kak, Kak, Kak!?

●●●

Pagi ini, diriku sudah mulai kerepotan membereskan masalah yang dialami oleh siswi bernama Miyu. Aku telah berhasil menemukan orang yang merundungnya dan mengancamnya, mungkin masalah ini sudah beres.

Saat ini sedang istirahat siang, langkahku pergi menuju ke ruang kelas 3 SMP tempat Miyu berada. Jika ada yang bertanya aku kelas berapa, jawabannya adalah kelas 1 SMA. Lalu kenapa aku bisa menemui kelas 3 SMP? Jawabannya adalah sekolah ini berupa satu kesatuan antara SMP dan SMA. Sudah, kan?

Masalah perundungan Miyu sudah beres tadi pagi, sekarang aku tinggal menyuruhnya untuk pergi dari kehidupanku.

"Hei, bisakah kau memberitahuku keberadaan Miyu?" tanyaku kepada teman sekelasnya.

"A—anu, Kak, tadi dia keluar kelas."

"Dengan?"

"Sahabatnya, Kak."

Sial!! Sahabat apanya? Dia pasti orang yang suka merundung Miyu. Padahal tadi pagi sudah aku ancam wanita perundung itu, apa mungkin dia menghiraukan ancamanku?

Aku bergegas pergi menyusuri area sekolah yang luas ini. Hasil dari pencarianku sama sekali tidak bagus, Miyu tidak tahu ada di mana, ke mana harus mencarinya?

Aku mulai memerintah otak untuk berpikir.

Jika ada benda A sedang terancam oleh benda B, maka ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi. Salah satunya adalah benda B akan membawa benda A ke tempat yang membuat benda B bisa terus-terusan mengancam benda A.

Tempat yang sepi.

"Kamar mandi terbengkalai?" gumamku.

Aku berlari dengan sekuat tenaga menuju kamar mandi terbengkalai yang terletak di belakang sekolah. Namun tiba-tiba—aku menyadari sesuatu yang kemarin juga sempat memenuhi pikiranku.

Aku menghentikan larian ini. "Kenapa denganku? Kenapa aku menolong orang yang bahkan aku sendiri tidak kenal? Hei jangan bercanda, kenapa aku harus menolongnya!!! Memangnya dia siapa??"

Aku terpaku merenungi hal ini, semuanya mengarahkanku kepada pertanyaan kenapa aku harus menolongnya. Sekilas, bayangan akan Mom terlihat di depanku ketika aku memikirkan hal yang terbaik.

"Jadilah pahlawan favorit untuk You."

Jadi seperti itu? Hatiku yang sekarang telah menyadari tujuan awal dari hidup ini. Benar, tujuan yang seharusnya kuemban saat Mom dan Dad tiada, tapi aku malah mengabaikannya. Untuk menjadi pahlawan untuk Yukina, aku juga harus menjadi pahlawan untuk orang lain.

Miyu adalah orang yang secara tulus meminta bantuan kepadaku, itu sebabnya aku tak menganggapnya sebagai orang yang munafik seperti orang di jalanan yang terkapar setelah kukalahkan. Selain itu, jika saja dia tidak meminta bantuan, mungkin aku bukanlah sosok yang sekarang.

Aku adalah sosok yang kejam, ketua dari Crew Scarface. Hobiku adalah berkelahi untuk mendapatkan wanita milik musuh, tapi setelah itu langsung kubuang karena bosan. Mungkin menikmati surga dunia milik satu wanita tak cukup untuk diriku yang kemarin. Namun apa sekarang?

Aku tersenyum setelah mengetahui diriku yang jahat itu kini sedang berusaha membantu orang lain.

Miyu, kau benar-benar telah membuatku mengikuti alur ceritamu, seperti Yuukaru saja!

Baiklah, dari sini, aku akan mulai menjadi sosok pahlawan yang Yukina segani.

"Terima kasih, Mom, aku paham sekarang perkataanmu."

.

Setelah mendapat ilusi akan tujuan yang harus kulakukan, otak ini tentu langsung merespon positif.

Aku melanjutkan berlari menuju kamar mandi terbengkalai. Saat sudah sampai, mata ini mendapati Miyu yang sedang terkepung oleh satu pria yang membawa pisau dan wanita yang aku ancam tadi pagi.

Aku menendang tempat sampah yang berada di sampingku. "Hari ini suasana hatiku sedang benar-benar buruk, ada orang yang sudah aku ancam tapi dia tidak mendengarkanku."

Ketiga orang di depanku berbalik melihat ke arahku dengan beraneka macam ekspresi yang dihasilkan.

"Wah, jadi kau benar-benar meminta bantuan ke dia?" Pria itu menampar pipi Miyu hingga terjatuh.

Melihat kejadian itu membuatku mengingat akan masa lalu pada hari itu.

Sialan—kau membuatku mengingat hari itu kembali setelah wanita sialan kemarin?

"Aku tidak takut akan ancamanmu, itu hanya gertakan, kan? Wanita ini adalah budak kami, jangan kau seenaknya memungutnya, ba**sat!!" teriak wanita itu.

Budak? Itu terlalu berlebihan membuat manusia yang awalnya terlahir bebas, tapi kalian malah mengikatnya.

Apabila itu benar, bukankah wanita ini yang lebih baik jadi budak? Lihat saja gayanya yang selangit itu, dia berlagak bak perhiasan yang bernilai mahal. Padahal dia itu hanya ... jal*ng.

"Bacot kau j*lang! Mulutmu bau!?" Aku mengeluarkan cerutu dan mulai membakarnya. "Aku bisa mengalahkan pria itu dalam 3 detik. Jika aku diberikan waktu 10 detik, maka masa depannya tidak akan terjamin."

"Lihat bajingan ini, lihat dulu siapa lawanmu!? Aku pernah memenangkan 3 kali kejuaraan Boxing. Kau yang akan kubuat lumpuh dalam waktu 3 detik!?"

Hii mengerikan, juara Boxing? Tiga kali? Pria ini bisa juga bercanda, ya.

Aku mulai mengamati tempat sekeliling, hanya ada ruangan yang berukuran sekitar 6 × 7 meter. Ah sialan—sempit sekali. Berarti aku tidak bisa memakai Taekwondo, satu-satunya cara hanya memakai Tackle dan menguncinya. Setelah itu, aku akan patahkan tangannya--eh, kakinya saja biar dia tidak bisa berjalan untuk beberapa tahun. Hehehe.

⸪Tackle = Teknik untuk menyapu dan menjatuhkan lawan dalam seni bela diri.

"Kenapa kau terdiam? Kau takut akan benda ini? Baiklah, aku akan buang ini."

Jleb!?

Dia menusukkan pisau itu ke tangan Miyu. Aku bisa melihat wajah Miyu yang ingin berteriak tapi entah kenapa dia bisa menahannya.

"Sak—it ...."

Aku berjalan mencari ruang yang sekiranya kosong, pria itu mengikuti pergerakanku.

"Cepat brengsek!! Apa kau hanya mengulur-ulur waktu!?" teriak pria itu.

Aku berlari ke arahnya sembari membuang cerutu yang terbakar tepat di matanya. Selagi dia kehilangan fokus, aku menjatuhkannya dengan Tackle dan berhasil mengunci kaki. Sekarang, teknik yang kukeluarkan memiliki nama Heel Hook. Teknik ini adalah teknik kuncian yang berfokus pada kaki lawan, akan tetapi, musuh kali ini lebih mudah. Akibatnya, aku tidak mengeluarkan seluruh teknik ini secara sempurna.

"Bajin*an!? Kau curang!?"

"Hah?! Ini yang namanya permainan kotor bodoh, ada kalanya menggunakan trik ini di ruangan sempit. Kau bukankah hanya mengenal pertandingan resmi saja? Bagaimana jika aku melepaskanmu dan bertarung ulang menggunakan Dirty Boxing untuk melawanmu?"

"Argh lepaskan aku, hei budak cepat bantu aku!?"

Aku melihat ke arah Miyu, dia mendekatiku dengan takut. Namun, aku mengeluarkan pandangan yang mengerikan kepadanya.

Jangan berani mendekat, bukankah kau yang memintaku membebaskanmu dari orang ini? Kenapa kau malah ingin melawanku?

Setidaknya itulah yang tercermin di mata berwarna abu-abu ini. Miyu yang melihatku menatapnya seperti itu langsung berhenti berjalan dan kembali mematung.

Lalu, sepertinya tawaranku bertanding ulang ditolak mentah-mentah oleh pria ini, ditambah lagi dengan kata 'Budak' yang membuat telinga ini berdengung malas.

"Ah aku lupa—dua hari yang lalu sahabatku mematahkan kaki orang sepertimu, loh. Aku jadi ingin mencobanya setelah sekian lama tidak mencobanya." Aku jelas mengintimidasinya.

"Kumohon jangan lakukan itu, ba—baiklah aku akan membebaskan orang itu dari buda—"

Krakk. Suara itu mengembalikkan dengungan di telingaku.

"Aarghh!!!"

"Ah maaf—kakimu patah, ya? Maaf ya, kenapa aku mematahkan kakimu, ya? Oh—mungkin karena aku tidak suka dengan kata budak."

Aku berdiri melepaskannya, satu kaki saja sudah cukup untuk membuatnya jera. Oh iya— masih ada satu orang lagi, ya? Aku melirik dan mendekati wanita yang mengabaikan ancaman pagi tadi.

Aku memegang dagu wanita itu. "Kau benar-benar menghiraukan ancamanku, ya?"

Wanita itu bergetar ketakutan, aku bisa mendengar dan merasakan getaran giginya yang bertabrakan menghasilkan suara.

"Ma—maaf."

Aku menuju ke salah satu ruang kamar mandi untuk mencari tisu toilet yang mungkin masih ada di kamar mandi tua ini. Untungnya, benda itu masih ada meskipun sudah tidak memiliki warna yang cerah lagi.

Aku mencabut pisau yang ada di tangan Miyu dan memberikan tisu toilet untuk menekan pendarahannya.

"Jika sakit, gigit lidahmu," ucapku pada Miyu.

"Te—terima kasih, Kak."

Wajah Miyu terlihat pucat, tentu saja karena rasa sakit setelah tertancap pisau beberapa menit.

Urusanku belum selesai di sini, darah harus dibalas oleh darah. Pisau yang masih berlumuran darah Miyu ini, kemudian berniat kutancapkan ke tangan wanita sialan tadi.

Aku menatap ke arah wanita itu, akibatnya dia berlari menuju ke pintu, tapi aku berhasil menjatuhkannya dengan cara menendang punggungnya.

Sekarang waktunya pembalasan.

"Aargh!!!"

Pisau itu telah tertancap di lengan wanita jal*ng yang merundung Miyu. Aku tersenyum senang, libidoku akan pertarungan kembali memuncak.

Aku mendekatkan wajah ja*ang ini ke mukaku. "Ahaha, aku suka wajahmu yang terluka itu!? Hahaha, tunjukkan aku wajah sakitmu lagi, jalang!!"

Aku menekan pisau itu lebih dalam.

"Arghh!!! Hen—tikan, ku—mohon!!"

Benar seperti itu, wajah itu yang ingin aku lihat.

"Tunjukkan lagi padaku, ja*ang!!"

Aku melihat ekspresinya dengan jelas, rasa takut, rasa frustasi, rasa tertekan, rasa dilecehkan, itu adalah kesatuan yang membuat wajahku tak luput dari senyuman bahagia.

"Kak Maverick, cukup!!!" Miyu berteriak.

Huh?? Kenapa dengan dirinya? Bukankah ini hal yang sangat indah untuk dilihat? Kenapa dia malah marah kepadaku? Lagi pula, wanita j*lang ini juga belum mengeluarkan ekspresi yang paling kusenangi.

Mata yang kosong, itu ekspresi yang sangat senang kulihat dari wanita.

"Kenapa kau tak mencobanya juga, Miyu? Ini sangat menyenangkan!?"

"Jika k—kau seperti itu, kau sa—sama saja dengan me—mereka. Buat apa kau menyelamatkanku, ji—jika ternyata kau menyakiti mereka seperti me—reka yang menyakit—ku?" Miyu mengatakan itu dengan menggigit bibirnya sehingga menghasilkan resonansi yang buruk.

Aku melepaskan kerah baju wanita jal*ng itu, setelahnya, aku berjalan ke arah pria yang tergeletak dengan kaki patahnya itu.

"Maaf saja, jika kau cari tahu siapa aku sebenarnya maka kau tidak akan berani menatapku lagi. Juara tinju? Jangan bercanda, kau masih jauh sekali jika dibandingkan dengan teknik yang aku miliki."

Aku lantas mengajak Miyu untuk keluar dari ruangan ini, tentu saja dua orang itu kutinggalkan sendirian.

"Terima kasih, Kak."

Untuk pertama kalinya setelah kematian Mom dan Dad, aku mendapatkan ucapan terima kasih tulus dari seseorang.

Masalah selesai, sekarang hidupku akan kembali normal tanpa gangguan dari wanita yang memanggilku 'kakak' ini.

Begitu pikirku, tapi semuanya salah besar karena Miyu atau wanita polos cerewet pemanggil Kak itu kini tinggal bersama dan selalu saja menggangguku.

Bangs*tt!!

Eh—ke mana perginya Yuukaru, ya?