ATW_1 |Rumah

•••

"La, kamu melamun?"

Aku mengerjap lantas menggeleng kecil. Tak sengaja mata kami bertemu lewat kaca spion mobil. Beberapa saat, lalu aku memutuskan kontak mata dengan pria dua tahun di atas ku.

Wanita paruh baya yang duduk di kursi penumpang depan menyembulkan kepalanya dan kini dia menatapku. Wanita itu tersenyum hangat sampai aku bertanya mengapa se sakit ini ketika hal yang harusnya menyenangkan malah perlahan melukai hati. Aku kalah dan kini harus menerima kenyataan. Aku pulang.

"Mala pasti lapar, kan? Kita ke restoran dulu yuk. Makanan di penerbangan biasanya kurang enak, iyakan Gara?" Aku kemudian menatap tepat ke arah mata sayunya lalu tersenyum tipis.

Dari balik kemudia Sagara hanya mengangguk sekilas. Bisa ku pastikan Ia berusaha fokus pada jalanan yang sedikit lenggang karena hujan telah membungkus kota Bandung sejak sore tadi. Tidak besar namun jalanan yang licin dan beberapa pengendara yang berkendara dengan kecepatan tinggi serta penglihatan yang terhalang oleh kabut pekat adalah beberapa hal yang harus pemuda itu perhatikan.

"La masih kenyang tante, terimakasih."

Prempuan paruh baya itu tampak sedikit terkejut dengan jawabanku. Dia sedikit gelagapan lalu memutuskan untuk mengangguk lalu kembali tersenyum padaku. Jujur saja aku tidak peduli dengan apa yang aku katakan.

"Bagaimana penerbangannya La? Lancar lancar saja bukan?" Tak mau menyerah denganku, kini perempuan dengan mata sayu dan memiliki garis wajah mirip dengan pemuda di sampingnya sembarang mencomot topik pembicaraan.

Sebelum menjawabnya aku menghempaskan punggungku ke sandaran kursi berusaha terlihat se rileks mungkin. Mataku terpejam lalu dengan nada yang se rendah mungkin aku menjawab, "Lancar. Maaf tante La lelah ingin istirahat." Jawabku tanpa membuka mata.

Tangan kiri Gara yang bebas menyentuh bahu ibunya yang sedikit terlihat tidak nyaman dengan jawabanku. Mengerti akan apa dimaksud anaknya, Nainy hanya tersenyum lagi dan kembali memutar badannya hingga kini menghadap ke depan.

Tidak ada yang memulai percakapan hingga tidak dirasa aku mulai menjemput mimpiku. Sayup sayup terdengar alunan musik era 90-an yang entah sejak kapan diputar oleh ibu tiriku.

Satu jam berlalu. Aku merasakan tepukan pelan di kedua pipiku. Pelan memang tapi sukses membuatku tertarik dari alam bawah sadar.

"Bangun dek. Kita udah sampai."

Aku berkedip beberapa kali berusaha meredakan rasa perih pada mataku. Lampu garasi terlihat berpendar pendar menerobos memasuki netraku. Hei sejak kapan aku tidur?

Gara tersenyum saat aku mulai sadar dan menegakkan punggungku. Dia keluar dari mobil lalu ku lihat dia tampak mengeluarkan koper ku dari bagasi. Ibu tiriku mungkin sudah masuk rumah atau entahlah aku tidak peduli, jujur saja.

Aku diam sebentar lalu beranjak dari sana. Meski sedikit pusing aku berusaha berjalan normal meninggalakan Gara yang masih berkutat dengan koper ku.

"Den Gara, biar saya saja yang ambil kopernya." Seorang pria yang aku kira berusia pertengahan tiga puluhan tampak buru buru menghampiri Gara.

Lagi Gara hanya tersenyum lalu menolak dengan halus, "Biar saya saja mang. Nggak berat kok."

Tiga tahun berlalu sejak aku meninggalkan rumah ini. Tak ada yang berubah selain bingkai foto besar yang terpajang di ruang tamu. Aku tersenyum getir. Tiga tahun yang lalu masih terpasang foto aku, ayah, bunda dan almarhum kakak ku Kavian. Dan kini terpasang foto baru yang sukses membuat hatiku mencelos. Secepat itu kah kami tergantikan?

"Teh Malaa.." seorang anak kecil berlari ke arah ku. Tangan kecilnya segera memeluk pinggang ku.

Aku menghela napas sebelum berusaha melepas tangan anak kecil itu dari pinggang ku. Aku menatapnya datar lalu tersenyum miring. Benar, dia adalah gadis kecil yang memakai gaun putih dan dia ada di foto itu.

Tangannya kini terlepas dari pinggangku. Mata bulatnya menatapku penuh tanya. Menggemaskan memang tapi jujur saja aku muak dengan segala yang berurusan dengan mereka.

"Ana. Ternyata kamu di sini, ayo kamu harus bobo. Udah waktunya kamu bobo."

Ana, gadis kecil itu menggeleng kukuh lalu mata bulatnya kembali menatapku, "Mau sama teh Mala."

Aku tidak iba dengannya, dan ini bukan kebohongan. Aku merotasikan netra ku, "Sorry, gue capek."

Ana tampak murung dan hampir menangis, demi melihat cara ku menjawab, Nainy berusaha menenangkan gadis kecilnya. Drama dimulai.

"Nirmala." Suara bariton terdengar menginterupsi.

Merasa terpanggil, aku melayangkan tatapan ke arah tangga menuju lantai dua. Di sana, tepat di pertengahan tangga berdiri seorang pria dengan setelan jas rapi dan wajah yang sedikit mirip dengan ku. Pria yang tiga tahun terakhir sukses membuatku sadar bahwa cinta pertama itu memilukan.

Aku tersenyum tipis lalu pria itu menghampiri kami. Berbarengan ternyata Gara sudah selesai dengan koperku. Dia terlihat memasuki ruang tamu sambil menyeret koper hitam besar ku.

"Ana, teh Mala nya masih capek. Kamu sama mama aja ya." Tak disangka pria tinggi maksudku ayah ku malah menghampiri gadis kecil bernama Ana itu.

Aku berdecak kesal lalu berlalu tanpa permisi. Demi melihat ku, Gara yang baru mendekati kami ikut berjalan di belakangku.

"Nirmala! Kamu tidak mau menyapa ayah?" Suara bariton itu kembali menggema dan sukses menghentikan langkahku.

Aku berbalik lalu kembali berjalan mendekati ayah, "Maaf ayah tapi Mala sangat lelah sekarang."

"Iya mas, biarkan Mala istirahat dulu. Sebentar lagi jadwalnya makan malam. Kita bisa makan bersama, bukan begitu Mala?" Ibu tiri ku Nainy berusaha meyakinkan ayahku. Semua hal tentangnya itu palsu, aku yakin. Pencari muka handal.

Aku mengangguk, "Iya tante."

"Tante?" Ayah menaikkan sebelah alisnya dan menatapku penuh tanya.

Aku menunjuk diriku sendiri, "Apakah aku salah?"

"Ayah sudah bilang untuk panggil mama mu dengan benar. Tiga tahun Mala, tiga tahun! Ayah kirim kamu ke sana biar kamu mengerti. Kenapa kamu masih saja memanggil mama mu dengan sebutan itu?"

Aku terkejut sedikit. Sebentar, sepertinya ini sedikit membuat emosi ku yang tidak stabil naik. Aku melipat kedua tanganku di depan dada dan melayangkan tatapan datar pada ayah.

"Dia," aku menatap Nainy yang masih berusaha membujuk Ana lalu beralih menatap ayah, "Bukan bunda. Dan bunda ku hanya bunda, gaakan ada yang bisa gantiin bunda."

Ayah mendengus tak percaya, "Nainy itu mama kamu."

"Orang yang pantas aku sebut bunda hanya satu yah! Hanya bunda! Aku gaakan pernah sudi anggap wanita itu..."

Plakk

Tak ada yang tak terkejut di ruangan ini termasuk aku. Mataku memanas dan ku lihat Ayah menatapku nyalang. Tak ada tanda tanda penyesalan di sana. Aku memegang pipi kiri ku. Meski tak keras tapi ini sudah lebih dari cukup untuk kembali merobek hatiku.

Aku menoleh dan kini balas menatap nyalang pada ayah, "Oh wow haha... sekarang ayah sudah berani main tangan ya sama Mala? Dan ini gara gara Wanita itu?!" Aku menunjuk Ibu tiri ku yang sedang memeluk Ana karena terkejut dengan apa yang Ayah lakukan beberapa saat lalu.

"Jaga bicaramu Mala! Kamu ayah sekolahin bukan untuk jadi anak seperti ini!"

Aku tersenyum miring, "Kenapa? Ayah rugi keluarin uang untuk sekolah Mala?! Berapa yah?! Berapa?! Mala bayar!"

Ayah sudah siap kembali memukul ku tapi tangan lain menghalangi wajahku. Aku sudah siap memejamkan mata namun karena tidak ada pergerakan aku kembali membuka mata dan mendapati Gara dengan tatapan hangatnya.

"Ayah, udah." Tak berapa lama Ayah melemah lalu menurungkan tangannya.

Ana menangis melihat perdebatan kami dan Nainy terpaksa membawanya ke kamar. Dan Gara menarik tangan ku paksa. Bisa dipastikan aku meronta namun tenaganya lebih besar dari yang aku pikirkan. Ayah memilih beranjak menyusul ibu tiriku menuju kamar si kecil Ana.

Tiba di depan anak tangga pertama aku menarik kuat kuat pergelangan ku dan sukses meloloskannya dari tarikan Gara. Dengan emosi yang masih memuncak, aku menatap tajam pada pria 177 cm di hadapanku.

"Ternyata rubah akan melahirkan rubah yang sama! Stop pura pura peduli sama gue! Gue muak sama lo semua bahkan saat lo baru datang ke kehidupan kami!"

Berbanding terbalik dengan ku, pria tinggi itu malah menatap ku lembut. Tak ada emosi di sana, hanya ada ketenangan yang sumpah sangat aku benci.

"Aku tidak pura pura Mala, aku kakak kamu kenapa..."

"Kakak? Lawak lu ya! Kakak gue hanya satu! Jangan harap gue anggap lo sebagai kakak gue!" Demi melihat itu, aku segera berlari menaiki anak tangga dan pastinya disusul oleh Gara.

Persetan dengan ayah. Aku hanya ingin istirahat. Orang bilang Rumah adalah tempat teraman bagi seorang anak perempuan dimana ada kehangatan dan warna yang menjadi pelajaran awal dalam menghadapi dunia luar. Tapi, kenapa rumah ku selalu menjadi belati yang terus merobek dinding pertahanan ku?

...

Hi Readers!!

Makasih udah mampir jangan lupa support nya ya

Karena ini karya pertama aku jadi mohon bantuannya ya dan mohon maaf kalau ada yang kurang..

See you

Sani