ATW_2 | Ruang

"Gue, mau istirahat. Lepasin tangan gue!"

Gara, pria itu tak melepaskan pergelangan tanganku. Sebaliknya dia menarik lenganku menuju ruangan berpintu putih, kamarku. Aku terus meronta namun tak ku sangka dibalik tubuh kurusnya dia punya tenaga yang cukup besar.

"Duduk La."

Aku ikuti apa yang dia pinta, duduk di kasur yang telah tiga tahun aku tinggalkan. Mata ku menerawang ke setiap penjuru kamar. Karpet bludru peach ku berpendar pendar ditimpa cahaya lampu . Sejauh ini tak ada yang berubah, baguslah setidaknya kamar ini belum diambil.

"Maaf."

Sebelah alis ku naik, "Lu, gak usah berlagak minta maaf sama gue! Mau lu apa sih? Lu mau gue kelihatan seperti si paling jahat di sini, iya?!"

"Gaada yang bilang La jahat."

"Cih." Aku mendecih lalu membuang muka. Aku sangat lelah sekaligus muak hari ini.

"Aku tidak pernah menuntut untuk dianggap sebagai kakak. Tapi, La tiga tahun telah berlalu. Kamu..."

"Tiga tahun? Hah, Maksud lu? Lu bisa gak balikin lagi kakak gue? BISA KAGAK?!"

Gara sedikit terkejut dengan teriakan ku. Ingatan tentang hari itu tiba tiba saja terlintas di benak ku. Mata ku memanas, mengapa semua orang se jahat ini?

"Stop pura pura peduli karena jujur gue udah muak! Gue heran kenapa, lo" Aku menusuk dada Gara dengan telunjukku lalu beralih menunjuk ke arah pintu, "dan keluarga lo selalu aja bikin gue muak! Gue bahagia sebelum kalian semua datang ke kehidupan gue! Kurang jelas ya?! Gue tekankan bahwa gue BENCI SAMA LO SEMUA!"

Netra kelamnya menatapku sendu. Aku tak prihatin dengan itu tapi emosiku malah semakin naik, "Maaf La, maaf..."

"Kalau aja maaf lo bisa balikin Kavian, maka gue terima seribu maaf dari lo! Tapi, dengan lu meminta maaf sampai lo mati sekalipun, LO GAAKAN BISA BALIKIN KAVIAN!" Tangis ku pecah. Tiga tahun dan kini emosiku keluar hingga meluruh lantahkan dinding pertahanan ku.

Aku menepis tangan Gara yang berusaha memelukku, "Keluar! Gue bilang, keluar dari kamar gue!" Aku menatap nyalang dengan jari yang menunjuk ke arah pintu.

Gara menghembuskan napas pasrah, "Selamat beristirahat La. Maaf." Demi mendengar itu, aku mengelap air mata ku kasar lalu memalingkan wajah ku.

Sesaat setelah Gara menutup pintu, tubuhku merosot ke lantai. Tangis ku tak bisa dibendung lagi. Ingatan tentang bagaimana aku kehilangannya membuat dada ku sesak. Andai saja, andai saja aku tidak merengek hari itu, apakah dia akan tetap di sini sekarang?

***

Cahaya sang fajar malu malu melewati celah gorden tipis kamar ku. Entah sejak kapan aku tertidur, seingat ku semalam aku hanya neratap.

Aku mengerjap merasa terganggu dengan cahaya yang tiba tiba menerpa netraku. Bias cahaya yang semakin terang menarikku dari alam bawah sadar. Aku berusaha duduk lalu meraih gelas air putih lalu meneguknya hingga tersisa setengah.

Ku matikan lampu tidur setelah mengikat asal rambut panjangku. Mataku menangkap bayangan dari bawah pintu, ada yang datang.

Aku tidak keliru saat terdengar suara ketukan pintu sebanyak tiga kali, "Masuk!"

Seorang gadis yang mungkin sebaya ku menyembulkan kepalanya. Dia tersenyum hangat dan dari tatapan matanya dia terlihat tulus. Gadis itu masih memakai celemek dengan rambut yang dicepol rapi.

"Pagi nona Mala, tadi bapak suruh saya antar sarapan untuk nona Mala. Dimakan ya." Dia menyimpan nampan yang ia bawa di atas nakas setelah meminggirkan gelas berisi setengah air yang aku minum tadi.

Dia tampak sibuk mengambil meja lipat kecil dari samping ranjang lalu memasangkannya di hadapanku. Dengan cekatan dia menata piring berisi nasi goreng, segelas susu dan roti bakar di atas meja kayu lipat itu.

"Dimakan ya nona Mala. Saya permisi." Dia berbalik tapi suaraku menahannya.

"Siapa namamu?"

Dia tersenyum ramah, "Ana. Saya asisten pribadi nona Mala."

"Kau seumuran dengan ku kan, Ana?"

Dia menyelipkan anak rambut keritingnya ke belakang telinga, "Tidak nona. Saya satu tahun lebih tua dari anda."

Aku mengangguk beberapa kali, "Panggil gue Mala saja. Tidak usah pakai nona. Gue mau kita lebih dekat."

"Tidak nona. Saya tidak mau melebihi batas."

Aku menatapnya tak percaya, "Asisten pribadi gue kan? Nurut sama gue."

Takut takut gadis itu mengangguk kecil, "Baik No.. Mala."

"Bagus."

"Saya permisi Mala." Canggung namun ini lebih baik bagiku daripada sebelumnya.

Aku menikmati sarapanku. Hingga dirasa cukup, aku simpan meja lipat ke tempatnya semula lalu menyimpan piring dan gelas kotor di nakas. Merenggangkan badan aku lalu beranjak dari tempat tidur. Sedikit terkejut karena aku rasa ini sudah cukup siang untuk udara se dingin ini.

Dingin, itulah kesan pertama saat air shower menerjang tubuhku. Bulu halus di lenganku sampai meremang karena reaksi ilmiah saat tubuhku diterpa sesuatu yang dingin. Aku memutuskan untuk cepat mandi lalu memakai handuk kimono ku.

Aku tersenyum menatap pantulan wajah ku di cermin rias. Mengoleskan beberapa krim ke wajah ku dan tidak lupa tint agar aku tidak terlihat seperti mayat hidup. Aku bukan gadis imut yang hanya memakai bedak bayi, no aku bukan gadis seperti itu. Aku hanya gadis normal yang suka merawat kulit.

Untuk pagi ini aku menjatuhkan pilihan pada hoodie.. eh sebentar? Sejak kapan pakaian ku ada di lemari? Sudahlah lupakan. Aku memilih hoodie abu dan celana training dengan warna senada. Sepertinya aku akan lari pagi ini. Rambut hitam sebahu ku kini diikat rapi.

Aku berjalan menuruni tangga saat teriakan seorang anak kecil menghentikan langkah ku.

"Teh mala!!"

Aku pikir ini sudah sedikit siang dan mereka sudah keluar dari rumah. Ternyata perkiraan ku salah. Siapa yang akan keluar di hari Minggu pagi?

Gadis kecil dengan mata bulat itu berlari menghampiriku. Demi melihat itu aku membuang napas kesal. Aku berusaha menjaga mood ku pagi ini. Namun sepertinya sebentar lagi aku akan kembali terguncang.

"Teh Mala mau kemana?" Mata bulatnya menatapku penuh tanya. Dia sangat manis aku tidak menyangkal hal ini, tapi aku tak suka padanya.

"Taman."

Mata bulatnya berbinar binar, "Waahhh Lana mau ikut atuh ya? Boleh kan.. ya ya ya Lana mau ikutt..."

Aku sedikit tersentak saat dia menggoyang goyangkan jari ku. Netraku menatap pada jemari kecilnya yang bergelayut dan mengguncang guncang jari jari ku. Dia memang sangat pendek dan jarinya juga begitu kecil.

"Lana.." Bias suara lain terdengar mendekat "teh Mala nya mau keluar dulu. Katanya Mala mau beli tas sama mama? Jangan ikut teh Mala ya."

"Eh iya Lana lupa. Teh Mala, Lana gak jadi ikut deh Lana mau beli tas sama Mama. Lana mau ke kamar dulu ya ma." Gadis kecil itu berlari menuju lantai dua.

Demi melihat itu, aku berbalik lalu berjalan menuju pintu depan. Belum genap langkah ku, bias suara yang aku benci menghentikan langkah ku.

"Mala mau kemana? Perlu diantar sayang?"

Aku merotasikan mata ku lalu berbalik menatap mata sayu ibu tiriku Nainy, "Mala mau ke taman. Gak usah."

Wanita itu mengangguk lalu memanggil seorang pelayan yang kebetulan melintas, "Ambilkan botol air buat Mala ya."

"Baik nyonya."

Aku menatapnya heran, "Aku tidak butuh itu."

Dia tersenyum hangat menanggapi nada bicaraku yang terkesan ketus dan tidak sopan, "Kamu mau lari kan? Lebih baik bawa air sendiri. Yakin tidak mau ditemani? Biar mama panggil Gara."

Aku menggeleng tegas lalu menerima botol air minum dari pelayan yang tidak aku ketahui namanya, "Terimakasih." Dia membungkuk sopan lalu berjalan menuju belakang.

"Tidak usah. Mala bisa sendiri." Demi mendengar itu, aku benar benar meneruskan langkah ku lalu berjalan ke luar rumah menuju taman yang ada di kompleks kami.

Udara segar memenuhi paru paru ku. Ramai sekali pagi ini tapi ini tidak merusak udara segar yang masuk ke indra penciuman ku. Rumput hijau terlihat seluas mata memandang. Kanopi pohon berpendar pendar ditimpa cahaya matahari pagi.

Aku melakukan pemanasan sebentar lalu mulai melakukan jogging selama lima belas menit. Aku memang tidak terlalu berniat untuk olah raga. Aku hanya ingin udara segar maka aku putuskan untuk duduk di rumput tepi danau. Setidaknya di area ini tidak ramai bahkan hanya ada aku dan dua orang pria dan wanita yang sepertinya sepasang kekasih atau mungkin bukan, aku tidak peduli. Toh jarak mereka dengan ku lumayan jauh.

Aku meneguk air mineral yang ku bawa dari rumah. Rasa segar menerjang kerongkongan ku yang mulai kering. Aku menutup kembali botol tupperware abu itu lalu menyimpannya tepat di sebelah kiri ku. Merongoh saku celana, aku mengeluarkan earphone tanpa kabel dari sana lalu menyumbat kedua telingaku. Lagu 'Beautiful' NCT U terputar memenuhi kepalaku. Aku menikmatinya.

Semilir angin merebangkan anak rambut ku. Terasa segar menerpa kulit ku yang berkeringat, riak air terbawa angin juga masih bisa aku dengar karena aku tidak menyetel musik dengan volume tinggi, sengaja agar aku masih bisa merasakan belaian alam pada diriku.

"Bandung indah bukan?"

Bias suara seorang pria asing mengalun bersama riak air terbawa angin. Bisa dirasakan dia duduk di samping kanan ku. Aku tidak menoleh. Mataku terhipnotis oleh pemandangan danau di hadapan kami.

"Begitulah." Jawab ku seadanya.

"Tapi Bandung tidak akan indah tanpa Nija."

Aku mengerutkan kening lalu melepas earphone yang masih melantunkan lagu yang akhir akhir ini aku sukai. Selain karena aku mengerti bahasanya, maknanya juga sukses membuat aku terbuai.

Netra ku bertemu dengan netra coklat menenangkan milik pria yang duduk di sampingku. Dia tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek. Rambutnya disisir rapi dan berwarna hitam alami. Wangi sea salt menguar membelai indra penciuman ku. Dia tersenyum manis pada ku.

"Aku paling anti berbicara dengan orang asing. Maaf."

"Tapi aku bukan orang asing. Aku Nija. Mungkin sekarang aku bukan siapa siapa, tapi siapa tahu besok atau lusa kita bisa bertegur sapa."

Aku tersenyum kecil, "Kenapa kamu begitu yakin?"

Dia tampak berpikir sambil mengetuk ngetukkan jarinya di dagu, "Entahlah mungkin firasat? Tapi aku yakin kita akan kembali bertemu."

Aku tidak menjawab lagi. Demi melihat itu dia tampak merongoh sesuatu dari balik celana hitamnya, sebuah dream catcher kecil berwarna coklat. Dia menyerahkannya padaku. Aku kembali menatapnya penuh tanya.

"Aku yakin entah besok atau lusa kita akan bertemu. Tapi aku tidak yakin bisa ingat siapa namamu, entahlah sepertinya kamu menolak mengenalkan dirimu padaku. Jadi tolong diterima, ya?"

Aku tersenyum, tanpa ada rasa terancam saat dia menatapku seperti itu. Aku memutuskan untuk menerima dream catcher itu, "Mala Haru Proshka."

Matanya berbinar menatap ku, "Nija. Alaska Nija Pramana. Aku yakin kita akan bertemu lagi Lala."

Aku sedikit terkejut, Lala? Tak ada yang memanggilku demikian. Tak mau ambil pusing aku beranjak berdiri, "Aku mau pulang. Sampai nanti Nija. Terimakasih untuk dream catchernya."

"Oke. Sampai nanti Lala." Dia melambai pada ku.

Demi melihat itu aku tersenyum kecil lalu berjalan meninggalkan danau. Aku tidak tahu bahwa aku meninggalkan botol minumku di sana. Aku baru ingat saat sudah duduk di kamar. Sudahlah mungkin sudah diambil orang lain. Aku tidak peduli juga.

...

"Besok kamu mulai sekolah." Bias suara bariton ayah memecah keheningan meja makan malam ini. Ya kami sedang makan malam.

"Iya." Jawab ku seadanya.

"Mala satu sekolah sama Kak Gara. Jadi besok berangkatnya barengan aja." Sambung ayah.

Aku menghentikan aktivitas memotong daging ayam lalu menatap ayah penuh tanya, "Kenapa harus sama dia?" Aku menuntuk Gara dengan pisau kecil, "La bisa berangkat sendiri."

"Nirmala! Jaga kesopanan kamu! Dia kakak kamu, jangan tunjuk dia seperti itu."

Aku terkejut dan sedikit terbawa emosi setelah mendengar nada suara Ayah yang sedikit lebih tinggi dari biasanya, hei aku tidak bersalah. Tangan kananku sedang memegang pisau, apakah aku harus menunjuk pria itu dengan tangan kiri?

Membuang napas kesal aku membanting alat makan hingga membuat suasana semakin tegang. Nainy yang sedang menyuapi Alana urung memberikan suapan terakhir pada gadis kecil itu. Semua pasang mata menatap padaku tidak terkecuali Gara yang berada tepat di hadapanku.

"La kenyang. Selamat malam!" Aku segera beranjak dari sana meninggalkan ayah yang terus menyerukan namaku.

"Nirmala! Mala! Tidak sopan kamu! Ayah belum selesai bicara!"

Tangan Nainy menggenggam halus tangan ayah hingga pria itu akhirnya terduduk tenang. Netra sayu ibu tiri Nirmala memang selalu berhasil memberikan sugesti ketenangan.

"Sudah Yah, mungkin Nirmala belum bisa menerima suasana baru. Jangan terlalu dipaksakan. Aku sama Gara mengerti kok, iya kan kak?" Perempuan itu beralih menatap putra sulungnya yang masih setia menatap ke arah tangga lantai dua yang beberapa saat lalu menampilkan adik tirinya berjalan tergesa.

"Iya ayah. Biar Gara yang bujuk adik besok."

"Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar Ma. Ayah mau Mala menerima dan menghormati kalian sebagai keluarga. Tidak cukupkah ayah kirim dia ke neneknya di Korea untuk belajar menerima?"

Ayah melepas kaca matanya lalu memijat pelipisnya pelan. Memang benar sudah tujuh tahun berlalu sejak dia menikah lagi dengan Nainy bahkan dari pernikahan mereka sudah lahir seorang gadis kecil bermata bulat bernama Alana. Sayangnya Nirmala tidak maksudnya belum bisa menerima kenyataan itu. Bahkan dia memutuskan untuk pergi ke Korea kediaman ibu dari mendiang bundanya.

Mahen kira dengan Nirmala pergi dari rumah dan setidaknya menenangkan diri anak gadisnya bisa pulang dengan tangan yang terbuka. Namun nihil, ditambah kisah tiga tahun lalu yang membuat Nirmala semakin membenci keluarga barunya. Jujur Mahen sangat bingung bagaimana harus menyikapi anak gadisnya itu.

Aku berjalan berdentum dentum menuju kamar. Nafsu makan ku menguap begitu saja. Saat ini di otakku hanya ada satu yaitu tidur.

...

Pandangan ku mengedar menerawang tempat parkir yang masih setengah kosong. Ada berbagai jenis motor berjajar rapi di sini. Bau daun yang basah oleh air hujan menusuk indera penciuman ku. Memang semalam lebih tepatnya tengah malam hujan gerimis membungkus kota Bandung.

Aku sudah tiba di sekolah dengan kakak tiri ku Gara. Jangan ditanya bagaimana pagi ku berawal karena sudah dipastikan aku setuju berangkat bersama Gara dengan motor scoopy hitamnya setelah perdebatan agak panjang dengan kubu ayah. Aku tak mau terlalu terbawa emosi akhirnya aku setuju lalu kami, aku dan Gara membelah jalanan Bandung yang basah pagi hari ini.

"Bagaimana Mala? Kamu mulai betah dengan suasana di sini?" Gara menghampiriku setelah berhasil memarkir motornya di bawah pohon cemara.

Aku mengedikkan bahu acuh. Aku malah berbicara dengannya, jangan lupa aku benci padanya. Kaki ku melangkah asal meninggalkan Gara. Namun lengan pria itu segera menarik tas ku hingga aku kembali tertarik ke belakang.

"Ruang kepala sekolah ke sana." Dia menunjuk arah berlawanan, "kenapa kamu malah ke sana?" Dia lalu menunjuk arah yang tadinya akan aku tempuh.

Akhirnya dengan kesal dan sedikit malu aku berjalan menuju arah berlawanan. Gara mengikuti ku dari belakang. Beberapa siswa yang kami lewati menyapa Gara dan tak sedikit yang mengembangkan senyum pada pria di belakangku. Dia tidak se tampan itu untuk dikenal bukan?

RUANG KEPALA SEKOLAH (HEADMASTER ROOM)

Aku menatap pintu coklat di hadapanku. Menghela napas kecil aku memegang knop pintu. Namun aku urung membuka pintu saat tiba tiba Gara menepuk bahu ku.

"Ketuk pintu dulu dek. Dan sepertinya aku tidak bisa menemani mu adik, ketua OSIS memanggilku sekarang." Dia memperlihatkan room chat nya bersama seseorang yang aku yakini dia adalah ketua osis.

Aku hanya mengangguk acuh lalu mengetuk pintu tiga kali. Setelah mendengar jawaban dari dalam aku segera membuka pintu lalu mengangguk sopan pada pria akhir empat puluhan yang duduk berwibawa di balik meja dengan name tag "Kepala Sekolah".

"Nirmala? Silakan duduk."

Aku mengangguk lalu duduk di salah satu kursi yang ada di depan mejanya. Beliau tersenyum ramah padaku. Tak berselang lama dari aku duduk di hadapannya, belum juga genap dua kali tarikan nafas ku, seseorang kembali mengetuk pintu membuat pria berwibawa di hadapanku kembali mengucapkan perintah untuk masuk.

"Al, tepat waktu seperti biasanya. Masuk."

Pria yang dipanggil Al itu menutup pintu lalu duduk di samping kiriku. Wangi sea salt memasuki indra penciuman ku saat pria itu duduk di dekatku. Aku tidak menghiraukannya. Netraku lebih tertarik pada deretan piala yang terpajang rapi di balik kursi kepala sekolah.

"Ada perlu apa bapak sama saya?" Bias suara yang tidak asing. Aku memutuskan untuk menoleh dan kini aku sampai tidak percaya bahwa pria kemarin kini duduk di sampingku.

Wajah yang masih aku ingat jelas dengan sorot mata yang masih sama. Dia Nija, pria yang aku temui di danau kemarin.

"Proposal yang kamu kasih sama saya kemarin, saya sudah tandatangani. Urusan selanjutnya saya serahkan pada kalian." Bapak Kepala Sekolah menyerahkan map dengan logo SMA ini pada Al atau Nija.

"Baik pak, terimakasih." Dengan sopan pria di sampingku menerima map berisi proposal yang bapak Kepala Sekolah berikan.

Bapak kepala Sekolah kini beralih menatapku hangat. Aura kewibawaannya menguar saat netranya menatapku, "Dan satu lagi. Antar dia ke kelas XI IPA 6, dia murid baru di sekolah ini."

Tanpa menatapku Nija mengangguk, "baik pak. Kami permisi."

"Iya silakan."

Aku mengangguk sopan lalu berjalan di belakang Nija. Hingga pintu ditutup oleh pria itu dan kini dia berdiri di hadapanku. 171 cm mampu membuatku mendongak untuk menatap wajahnya.

"Ayo gue anter." Dia lalu berjalan meninggalkanku.

Dia orang yang sama, tubuh yang sama, arwah yang sama dengan tatapan tenang yang sama dan suara yang sama. Namun tidak dengan nada bicara dan cara menatapnya padaku. Tidak aku tidak terlalu peduli dengan hal itu, hanya saja agak aneh saat baru kemarin dia tersenyum cerah dan berbicara dengan nada riang padaku dan pagi ini dia menatap dan berbicara datar padaku.

...

Hi readers

Boleh minta dukungannya gak? hehe makasih