Mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, semua masih sama sebelum ditinggalkan. Rumah peninggalan orangtuanya memang hanya berlantai satu, tapi luas dan mewah. Semua bahan yang terbaik di kelasnya membentuk sebuah bangunan dengan sempurna. Meskipun bukan berada di perumahan elit, kalau dijual harganya sudah milyaran rupiah. Betapa bodohnya dia dulu mau menandatangani surat perjanjian jual beli dan juga surat perjanjian agar tak mengganggu adiknya.
Waktu itu Rony diam-diam berniat menjual rumah ini pada temannya dan Riko mengetahuinya. Akhirnya Riko yang membelinya dengan harga lebih dengan syarat dirinya tak lagi mengganggunya. Entah dapat uang dari mana, yang Rony tahu adiknya memang seorang pekerja keras. Mungkin juga Riko membayarnya dari deposito peninggalan orangtuanya yang dibagi rata dengan dirinya. Dan Rony yakin saat ini tabungan adiknya pasti tak terhitung jumlahnya. Karena Rony tahu selain menjadi staff keuangan biasa, Riko juga mempunyai usaha. Hanya saja kehidupan adiknya terlalu sederhana baginya, bahkan mobil pun dia tak punya.
Sementara hartanya sendiri habis untuk foya-foya dengan istri cantiknya. Itulah tujuan utamanya kembali ke rumah ini, mengambil lagi sesuatu yang pernah dilepasnya meskipun Riko sudah menggantinya dengan uang yang lebih jumlahnya. Namun, namanya manusia serakah, tak akan pernah puas dengan yang sudah didapatnya. Apalagi Rony sekarang sudah tak punya apa-apa. Dia bertekad akan mengambil dengan paksa jika Riko tak memberikan apa yang dimintanya.
***
"Mas, kenapa pintunya dikunci?" Naila merasa heran dengan tingkah suaminya yang dari tadi hanya di kamar saja. Bahkan saat dirinya ingin keluar, ternyata pintu kamarnya terkunci dan kuncinya entah ke mana. Riko yang sedang fokus dengan ponselnya terkejut dengan pertanyaan istrinya. Dirinya tak sadar kalau Naila sudah berdiri di depan pintu dan akan membukanya.
"Sini, Sayang. Aku akan menjelaskan dulu sebelum kamu keluar kamar. Aku ingin kamu mengetahui sesuatu dan aku harap kamu mematuhi semua yang aku katakan padamu."
Riko meminta istrinya mendekat dan duduk di sampingnya. Naila yang merasa heran hanya bisa mengikuti perintah suaminya. Riko memegang lembut tangan istrinya lalu mencium keningnya. Menghirup napas panjang, membuangnya secara perlahan, agar pikirannya tenang.
"Naila, kita kedatangan tamu, kakakku dan istrinya. Namanya Rony dan Vella, barangkali saja aku lupa memberitahumu nama mereka. Maaf kalau aku tak pernah menceritakan apa pun soal kakakku. Dan sekarang mereka ada di sini, menempati kamar tamu. Aku mohon, Sayang. Berjanjilah padaku, kamu jangan mempercayai apapun ucapan mereka. Kalau mereka macam-macam denganmu, bilang padaku," kata Riko pada istrinya dengan tatapan memohon.
Naila terkejut dengan berita yang disampaikan Riko tentang kedatangan kakaknya. Riko terlihat sangat tertekan dengan kehadiran mereka, ada apa sebenarnya? Namun, bibirnya tak mampu menyampaikan pertanyaan yang tersirat di benaknya. Akhirnya Naila pun mengangguk saja, dia sangat percaya pada suaminya.
"Baiklah, aku akan mendengarkan dan mematuhi semua perintahmu, Mas. Insyaa Allah aku percaya padamu," janji Naila pada Riko yang membuat laki-laki di sampingnya tersenyum lega.
"Alhamdulillah, terima kasih, Sayang. Suatu saat nanti aku akan menceritakan semuanya yang ingin kamu tahu. Untuk saat ini, aku mohon jangan percaya dengan mereka meskipun sikapnya lembut padamu. Jangan mau disuruh oleh mereka meskipun hanya mengambilkan air minum. Atau kebalikannya, jangan meminum atau memakan apapun yang mereka berikan padamu. Aku akan mengambil cuti dua hari, aku akan bekerja di rumah saja. Kamu nggak usah masak, kita makan saja di luar. Kita--."
"Mas, jangan berlebihan. Kedatangan saudara kok seperti kedatangan musuh saja," sahut Naila yang menganggap Riko sangat berlebihan sikapnya.
"Kamu tak tahu seperti apa mereka, aku hanya ingin menjagamu, Sayang. Aku hanya ingin melindungimu. Aku tak ingin kamu kenapa-kenapa," jelas Riko pada istrinya.
Naila memeluk tubuh tegap suaminya dengan erat, dia sangat terharu. Dia hanya wanita desa yang sangat beruntung mendapatkan suami seperti Riko.
"Terima kasih, Mas. Aku tahu kamu adalah anugerah dari Allah yang dikirimkan untukku. Aku bahagia, kamu begitu mengkhawatirkan aku. Tapi tolong, biarkan aku memasak dan beraktivitas seperti biasa. Kalau kita terlalu menjaga jarak, aku takut mereka semakin nekat dan akan menghalalkan segala cara jika tujuannya ke rumah ini berniat jahat pada kita. Aku berjanji, tak akan mempercayai apa pun yang mereka katakan padaku."
Riko membenarkan ucapan Naila. Kakak dan istrinya pasti akan lebih nekat dan Riko takut mereka akan mencelakai istrinya. Riko pun terpaksa menyetujui saran Naila.
"Tapi untuk hari ini, aku pesankan lewat online saja, ya. Kamu masih harus istirahat, tubuhmu masih terlalu lemah. Jangan keluar kamar dulu, tetaplah di sini. Kalau besok sudah sehat, aku akan memperkenalkan mereka padamu."
Naila pun patuh, membaringkan kembali tubuhnya di atas ranjang. Riko merengkuh tubuh Naila dalam dekapan. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing dengan mata terpejam. Saling mengeratkan pelukan, menenangkan pikiran, mendamaikan perasaan.
***
"Maaf ... istriku masih nggak enak badan, jadi aku hanya bisa membelikan kalian nasi bungkus. Makanlah kalian berdua, aku akan makan di kamar menemani istriku." Riko berkata pada kedua tamunya yang duduk di ruang keluarga. Menyerahkan dua bungkus nasi kepada kakaknya. Berjalan menuju dapur mengambil peralatan makan dan juga minuman kemudian langsung ke kamar. Tak dihiraukan kedua orang yang masih memandangnya.
"Lihatlah, bahkan istrinya sama sekali tak diijinkan keluar menemui kita. Apa kamu yakin dengan rencana kita?" Vella merasa sedikit cemburu dengan sikap Riko yang terlihat sangat menyayangi istrinya.
"Mungkin memang istrinya sedang sakit. Jangan pesimis dulu, kita lihat saja besok pagi," jawab Rony dengan santainya.
"Ya ... semoga saja ucapanmu benar. Aku sudah lelah dengan keadaan ini. Makan juga hanya nasi bungkus seperti ini, Riko benar-benar keterlaluan. Uangnya banyak tapi pelitnya minta ampun. Harusnya 'kan dia menghormati kita sebagai tamu." Vella yang terbiasa makan di restoran tak terima dengan pemberian adik iparnya. Memandang nasi bungkus yang ada di depannya seolah barang yang menjijikkan dan tak pantas untuk dimakan. Bahkan Vella tak menyadari kalau dirinya dan suami sudah tak punya apa-apa lagi.
"Sabar, Sayang. Jangan marah-marah, ingat misi kita. Sudahlah, ayo kita ke ruang makan. Setelah itu kita ke kamar menyusun rencana," rayu Rony yang melihat istrinya cemberut.
"Aku nggak selera, apa nggak ada makanan lainnya di rumah sebesar ini?" tanya Vella dengan kesal.
"Entahlah, aku tak tahu. Ayo kita ke dapur, kita lihat ada apa di sana," ajak Rony sambil berdiri membawa kantung plastik transparan yang berisi dua buah bungkusan.
Vella membuka pintu kulkas dan matanya berbinar seketika. Mengeluarkan semua cemilan dan buah-buahan yang ada. Keduanya pun memakan semuanya dengan rakus tanpa ijin pemiliknya.Memikirkan sebuah rencana untuk menyingkirkan istri adiknya tanpa harus bermain fisik. Membuat Riko kembali menjadi ATM berjalannya dengan cara yang licik. Itulah yang dipikirkan Rony saat ini. Mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, semua masih sama sebelum ditinggalkan. Rumah peninggalan orangtuanya memang hanya berlantai satu, tapi luas dan mewah. Semua bahan yang terbaik di kelasnya membentuk sebuah bangunan dengan sempurna. Meskipun bukan berada di perumahan elit, kalau dijual harganya sudah milyaran rupiah. Betapa bodohnya dia dulu mau menandatangani surat perjanjian jual beli dan juga surat perjanjian agar tak mengganggu adiknya. Waktu itu Rony diam-diam berniat menjual rumah ini pada temannya dan Riko mengetahuinya. Akhirnya Riko yang membelinya dengan harga lebih dengan syarat dirinya tak lagi mengganggunya. Entah dapat uang dari mana, yang Rony tahu adiknya memang seorang pekerja keras. Mungkin juga Riko membayarnya dari deposito peninggalan orangtuanya yang dibagi rata dengan dirinya. Dan Rony yakin saat ini tabungan adiknya pasti tak terhitung jumlahnya. Karena Rony tahu selain menjadi staff keuangan biasa, Riko juga mempunyai usaha. Hanya saja kehidupan adiknya terlalu sederhana baginya, bahkan mobil pun dia tak punya. Sementara hartanya sendiri habis untuk foya-foya dengan istri cantiknya. Itulah tujuan utamanya kembali ke rumah ini, mengambil lagi sesuatu yang pernah dilepasnya meskipun Riko sudah menggantinya dengan uang yang lebih jumlahnya. Namun, namanya manusia serakah, tak akan pernah puas dengan yang sudah didapatnya. Apalagi Rony sekarang sudah tak punya apa-apa. Dia bertekad akan mengambil dengan paksa jika Riko tak memberikan apa yang dimintanya. *** "Mas, kenapa pintunya dikunci?" Naila merasa heran dengan tingkah suaminya yang dari tadi hanya di kamar saja. Bahkan saat dirinya ingin keluar, ternyata pintu kamarnya terkunci dan kuncinya entah ke mana. Riko yang sedang fokus dengan ponselnya terkejut dengan pertanyaan istrinya. Dirinya tak sadar kalau Naila sudah berdiri di depan pintu dan akan membukanya. "Sini, Sayang. Aku akan menjelaskan dulu sebelum kamu keluar kamar. Aku ingin kamu mengetahui sesuatu dan aku harap kamu mematuhi semua yang aku katakan padamu." Riko meminta istrinya mendekat dan duduk di sampingnya. Naila yang merasa heran hanya bisa mengikuti perintah suaminya. Riko memegang lembut tangan istrinya lalu mencium keningnya. Menghirup napas panjang, membuangnya secara perlahan, agar pikirannya tenang. "Naila, kita kedatangan tamu, kakakku dan istrinya. Namanya Rony dan Vella, barangkali saja aku lupa memberitahumu nama mereka. Maaf kalau aku tak pernah menceritakan apa pun soal kakakku. Dan sekarang mereka ada di sini, menempati kamar tamu. Aku mohon, Sayang. Berjanjilah padaku, kamu jangan mempercayai apapun ucapan mereka. Kalau mereka macam-macam denganmu, bilang padaku," kata Riko pada istrinya dengan tatapan memohon. Naila terkejut dengan berita yang disampaikan Riko tentang kedatangan kakaknya. Riko terlihat sangat tertekan dengan kehadiran mereka, ada apa sebenarnya? Namun, bibirnya tak mampu menyampaikan pertanyaan yang tersirat di benaknya. Akhirnya Naila pun mengangguk saja, dia sangat percaya pada suaminya. "Baiklah, aku akan mendengarkan dan mematuhi semua perintahmu, Mas. Insyaa Allah aku percaya padamu," janji Naila pada Riko yang membuat laki-laki di sampingnya tersenyum lega. "Alhamdulillah, terima kasih, Sayang. Suatu saat nanti aku akan menceritakan semuanya yang ingin kamu tahu. Untuk saat ini, aku mohon jangan percaya dengan mereka meskipun sikapnya lembut padamu. Jangan mau disuruh oleh mereka meskipun hanya mengambilkan air minum. Atau kebalikannya, jangan meminum atau memakan apapun yang mereka berikan padamu. Aku akan mengambil cuti dua hari, aku akan bekerja di rumah saja. Kamu nggak usah masak, kita makan saja di luar. Kita--." "Mas, jangan berlebihan. Kedatangan saudara kok seperti kedatangan musuh saja," sahut Naila yang menganggap Riko sangat berlebihan sikapnya. "Kamu tak tahu seperti apa mereka, aku hanya ingin menjagamu, Sayang. Aku hanya ingin melindungimu. Aku tak ingin kamu kenapa-kenapa," jelas Riko pada istrinya. Naila memeluk tubuh tegap suaminya dengan erat, dia sangat terharu. Dia hanya wanita desa yang sangat beruntung mendapatkan suami seperti Riko. "Terima kasih, Mas. Aku tahu kamu adalah anugerah dari Allah yang dikirimkan untukku. Aku bahagia, kamu begitu mengkhawatirkan aku. Tapi tolong, biarkan aku memasak dan beraktivitas seperti biasa. Kalau kita terlalu menjaga jarak, aku takut mereka semakin nekat dan akan menghalalkan segala cara jika tujuannya ke rumah ini berniat jahat pada kita. Aku berjanji, tak akan mempercayai apa pun yang mereka katakan padaku." Riko membenarkan ucapan Naila. Kakak dan istrinya pasti akan lebih nekat dan Riko takut mereka akan mencelakai istrinya. Riko pun terpaksa menyetujui saran Naila. "Tapi untuk hari ini, aku pesankan lewat online saja, ya. Kamu masih harus istirahat, tubuhmu masih terlalu lemah. Jangan keluar kamar dulu, tetaplah di sini. Kalau besok sudah sehat, aku akan memperkenalkan mereka padamu." Naila pun patuh, membaringkan kembali tubuhnya di atas ranjang. Riko merengkuh tubuh Naila dalam dekapan. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing dengan mata terpejam. Saling mengeratkan pelukan, menenangkan pikiran, mendamaikan perasaan. *** "Maaf ... istriku masih nggak enak badan, jadi aku hanya bisa membelikan kalian nasi bungkus. Makanlah kalian berdua, aku akan makan di kamar menemani istriku." Riko berkata pada kedua tamunya yang duduk di ruang keluarga. Menyerahkan dua bungkus nasi kepada kakaknya. Berjalan menuju dapur mengambil peralatan makan dan juga minuman kemudian langsung ke kamar. Tak dihiraukan kedua orang yang masih memandangnya. "Lihatlah, bahkan istrinya sama sekali tak diijinkan keluar menemui kita. Apa kamu yakin dengan rencana kita?" Vella merasa sedikit cemburu dengan sikap Riko yang terlihat sangat menyayangi istrinya. "Mungkin memang istrinya sedang sakit. Jangan pesimis dulu, kita lihat saja besok pagi," jawab Rony dengan santainya. "Ya ... semoga saja ucapanmu benar. Aku sudah lelah dengan keadaan ini. Makan juga hanya nasi bungkus seperti ini, Riko benar-benar keterlaluan. Uangnya banyak tapi pelitnya minta ampun. Harusnya 'kan dia menghormati kita sebagai tamu." Vella yang terbiasa makan di restoran tak terima dengan pemberian adik iparnya. Memandang nasi bungkus yang ada di depannya seolah barang yang menjijikkan dan tak pantas untuk dimakan. Bahkan Vella tak menyadari kalau dirinya dan suami sudah tak punya apa-apa lagi. "Sabar, Sayang. Jangan marah-marah, ingat misi kita. Sudahlah, ayo kita ke ruang makan. Setelah itu kita ke kamar menyusun rencana," rayu Rony yang melihat istrinya cemberut. "Aku nggak selera, apa nggak ada makanan lainnya di rumah sebesar ini?" tanya Vella dengan kesal. "Entahlah, aku tak tahu. Ayo kita ke dapur, kita lihat ada apa di sana," ajak Rony sambil berdiri membawa kantung plastik transparan yang berisi dua buah bungkusan. Vella membuka pintu kulkas dan matanya berbinar seketika. Mengeluarkan semua cemilan dan buah-buahan yang ada. Keduanya pun memakan semuanya dengan rakus tanpa ijin pemiliknya.