"Memang, ya, adikmu itu sekarang benar-benar pelit. Banyak buah dan cemilan di kulkas kok nggak disuguhkan buat tamunya, malah dikasih nasi bungkus. Tapi kok sudah habis sih nasi bungkusnya, kamu makan semuanya, ya?" tanya Vella yang sudah tak melihat lagi bungkusan nasi di meja.
"Iyalah aku makan semuanya, kamu nggak doyan katanya. Aku lapar, dari siang tadi kita 'kan memang belum makan," jawab Rony sambil mengunyah kripik kentang yang baru saja dimasukkan ke mulutnya.
"Ish ... kamu ini memang suami yang nggak pengertian, mentingin perut sendiri, Istri nggak dipikirin," sahut Vella dengan nada kesal.
"Ehemm ...."
Karena keasyikan menikmati makanan, mereka berdua tak menyadari kedatangan Riko yang sedari tadi berdiri mengamati. Menggelengkan kepala melihat tingkah kedua orang tamunya. Mereka terlihat seperti orang yang kelaparan, belum makan berhari-hari. Riko berjalan menuju dapur, mencuci piring bekas makan dirinya dan istri. Kemudian melangkahkan kakinya duduk di kursi berhadapan dengan Rony.
"Sudah berapa hari kalian nggak makan?" tanya Riko yang membuat merah wajah keduanya karena malu, ketangkap basah seperti pencuri.
"Kak, kapan kamu berubah?" lanjut Riko, "Kakak bukan remaja lagi, kita sudah berumur, Kak ... bahkan aku tahun ini sudah 30 tahun. Tolong, dewasalah sedikit, aku tahu Kakak terpaksa pulang ke sini karena kalian sudah tak memiliki apa-apa lagi. Apakah Kakak selamanya akan seperti ini? Kakak akan memerasku lagi? Dan kalau kita sama-sama bangkrut, bagaimana ke depannya nanti, Kak?"
Riko mencoba memberi pengertian pada kakaknya. Percuma juga Riko emosi kalau tabiat kakak dan istrinya masih sama. Riko menuruti nasihat Naila, harus sabar menghadapi mereka, tanpa emosi dan tanpa amarah.
"Ternyata kamu adalah adikku yang cerdas dan pengertian. Kamu juga mengerti tujuanku ke sini. Tolonglah, ijinkan aku sementara tinggal di sini, sampai aku memiliki uang lagi untuk menebus rumahku yang aku gadaikan pada temanku," pinta Rony pada Riko yang masih memandangnya.
"Dengan uang apa Kakak akan menebusnya? Apakah Kakak selama ini bekerja? Aku tahu kalian selama ini hanya berfoya-foya saja kerjaannya. Please, kalau Kakak mau, aku bisa memberikan pekerjaan di tempat temanku. Jangan hanya minta saja bisanya, aku sudah nggak ada tabungan lagi. Uangku sudah aku pakai membayar hutang ke temanku. Uang yang waktu itu aku kasih ke Kakak untuk membayar rumah ini, itu uang pinjaman, Kak."
Rony terdiam, sementara Vella hanya melirik dan bibirnya mencebik lirih tak percaya. Riko tahu kakaknya tak begitu saja mempercayai kata-katanya, tapi dia tak peduli. Untuk saat ini dia hanya ingin melindungi apa yang sudah menjadi haknya.
"Pikirkan lagi, Kak. Besok pagi kita bicara lagi di ruang perpustakaan. Dan tolong, semua piring, gelas, dan sampah bekas kalian makan dibersihkan. Di sini tak ada lagi yang namanya asisten rumah tangga. Aku nggak mau istriku yang baru saja sembuh, besok pagi harus sibuk membereskan ini semua," pinta Riko sambil berdiri lalu berjalan menuju kamarnya kembali.
"Rumah sebesar ini dia nggak punya asisten rumah tangga? Terus kalau kita tinggal di sini, apa aku juga harus ikut beres-beres rumah? Sekarang aja aku ogah harus beresin ini semua. Aku nggak mau pokoknya!" tegas Vella yang membuat Rony memegang keningnya. Pusing!
"Iya, nanti biar aku saja yang membersihkan. Kamu tiduran saja di kamar," sahut Rony dengan terpaksa.
Rony pun mengalah, berdiri lalu membersihkan semua yang berserakan di meja. Sementara Vella hanya diam memperhatikan suaminya dan tersenyum bahagia. Rony selalu memanjakannya. Selama ini Rony selalu menuruti apapun yang dia minta. Hanya saja keadaan saat ini memaksa Vella harus menahan semua keinginannya karena mereka sudah tak lagi berharta.
***
Setelah sholat subuh berjama'ah, Riko mendekati istrinya yang sudah terlihat cerah, tak pucat lagi. Naila memakai gamis dan jilbab panjangnya karena di rumah ada kakak iparnya. Naila adalah perempuan desa yang taat agama.
"Bagaimana kabarnya istriku hari ini, sudah sehatkah? Hari ini aku antar belanja, ya? Untuk sarapan kita beli saja, masaknya nanti siang," kata Riko yang masih berdiri memandang istrinya.
"Alhamdulillah, aku merasa sangat sehat. Terserah kamu saja, Mas jadi cuti hari ini?" tanya Naila sambil menyapukan bedak tipis di wajahnya.
"Iya, aku sudah telepon atasanku kemarin. Aku ingin menyelesaikan urusanku dengan Kak Rony. Cuti dua hari ditambah sabtu minggu libur, semoga empat hari sudah cukup untuk menyelesaikan semua urusan dengan mereka. Bahkan aku kemarin hanya memberi mereka waktu dua hari saja tinggal di sini. Ah, kenapa aku selemah ini? Kenapa aku selalu tak tega?" ucap Riko sambil mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang.
Naila mendekati suaminya yang terlihat murung. Entah ada masalah apa dan urusan apa yang harus diselesaikan mereka, Naila juga masih bingung. Ingin bertanya, tapi teringat ucapan suaminya. Untuk saat ini dia hanya bisa sabar dan percaya, suatu saat nanti Riko pasti akan menceritakan semuanya.
"Sabar, Mas. Itulah ikatan persaudaraan, apalagi ada darah yang sama mengalir di tubuh kalian. Selesaikan dengan baik-baik semua urusan. Jangan terpancing emosi, karena pasti akan berakibat pengambilan keputusan yang salah dan berujung penyesalan," saran Naila dengan nada yang lembut, menenangkan hati suaminya.
"Terima kasih, ya, Sayang. Terima kasih atas dukunganmu. Bersyukur saat ini kamu ada di sisiku, membuatku lebih kuat menghadapi kakakku. Ayo kita berangkat, taksi onlinenya sudah menunggu di depan," ajak Riko sambil menggandeng tangan istrinya.
Naila tersenyum melihat tangannya yang digenggam erat suaminya. Terkadang rasanya masih bermimpi, mendapatkan suami seperti Riko yang tampan dan sangat menghormati dirinya.
***
"Eh, itu yang di youtube kemarin 'kan? Ternyata bener, ya? Suaminya tampan banget, nggak cocok sama dia. Kayaknya lebih cocok sama aku deh," ucap seorang wanita yang berdiri tak jauh dari Naila.
"Iya, nggak salah yang bikin postingan kemarin, mungkin karena kasihan sama lakinya. Orang seganteng itu dapat istri yang nggak ada cakep-cakepnya," sahut wanita yang satunya.
"Itu pasangan yang lagi viral waktu itu, kan? Lihatlah, suaminya tampan banget. Biar aku saja yang jadi istrinya, mungkin lebih cocok daripada dia."
Berbagai pandangan dan sindiran yang tak menyenangkan tertuju pada Naila. Dirinya merasa saat ini sudah menjadi seorang selebriti terkenal. Tapi Naila tak terlalu memusingkan omongan mereka, berjalan melewati semua orang dan mengambil bahan belanjaan yang dibutuhkannya. Riko ingin sekali mendekati mereka, tapi Naila selalu saja menghalanginya.
"Sudah biarkan saja, anggap saja semua ucapan mereka penggugur dosaku. Jangan membuat keributan di depan umum, Mas. Kalau aku mau, aku juga bisa membalas ucapan mereka, tapi buat apa? Hanya membuang tenaga dan mempermalukan diri kita sendiri saja. Iya, kan?" Naila berusaha menenangkan suaminya yang terlihat menahan emosi.
Riko hanya diam menanggapi ucapan istrinya. Namun, apa yang dikatakan Naila memang benar, membuat keributan di depan umum hanya akan mempermalukannya. Apalagi orang-orang zaman sekarang pasti akan mengabadikan semua kejadian yang mereka lihat dengan ponselnya. Entah itu hal yang baik, hal yang lucu, hal yang tak patut dilihat sekalipun, mereka pasti akan menyebarkan videonya.
Berjalan berdua di dalam swalayan, Riko dengan sabar mengikuti Naila yang masih sibuk memilih bahan masakan. Bumbu, sayur, daging, ikan, tak lupa cemilan dan buah-buahan. Setelah membayar semuanya, mereka pun langsung menuju taksi online yang sudah dipesan.Vella membuka pintu kulkas dan matanya berbinar seketika. Mengeluarkan semua cemilan dan buah-buahan yang ada. Keduanya pun memakan semuanya dengan rakus tanpa ijin pemiliknya. "Memang, ya, adikmu itu sekarang benar-benar pelit. Banyak buah dan cemilan di kulkas kok nggak disuguhkan buat tamunya, malah dikasih nasi bungkus. Tapi kok sudah habis sih nasi bungkusnya, kamu makan semuanya, ya?" tanya Vella yang sudah tak melihat lagi bungkusan nasi di meja. "Iyalah aku makan semuanya, kamu nggak doyan katanya. Aku lapar, dari siang tadi kita 'kan memang belum makan," jawab Rony sambil mengunyah kripik kentang yang baru saja dimasukkan ke mulutnya. "Ish ... kamu ini memang suami yang nggak pengertian, mentingin perut sendiri, Istri nggak dipikirin," sahut Vella dengan nada kesal. "Ehemm ...." Karena keasyikan menikmati makanan, mereka berdua tak menyadari kedatangan Riko yang sedari tadi berdiri mengamati. Menggelengkan kepala melihat tingkah kedua orang tamunya. Mereka terlihat seperti orang yang kelaparan, belum makan berhari-hari. Riko berjalan menuju dapur, mencuci piring bekas makan dirinya dan istri. Kemudian melangkahkan kakinya duduk di kursi berhadapan dengan Rony. "Sudah berapa hari kalian nggak makan?" tanya Riko yang membuat merah wajah keduanya karena malu, ketangkap basah seperti pencuri. "Kak, kapan kamu berubah?" lanjut Riko, "Kakak bukan remaja lagi, kita sudah berumur, Kak ... bahkan aku tahun ini sudah 30 tahun. Tolong, dewasalah sedikit, aku tahu Kakak terpaksa pulang ke sini karena kalian sudah tak memiliki apa-apa lagi. Apakah Kakak selamanya akan seperti ini? Kakak akan memerasku lagi? Dan kalau kita sama-sama bangkrut, bagaimana ke depannya nanti, Kak?" Riko mencoba memberi pengertian pada kakaknya. Percuma juga Riko emosi kalau tabiat kakak dan istrinya masih sama. Riko menuruti nasihat Naila, harus sabar menghadapi mereka, tanpa emosi dan tanpa amarah. "Ternyata kamu adalah adikku yang cerdas dan pengertian. Kamu juga mengerti tujuanku ke sini. Tolonglah, ijinkan aku sementara tinggal di sini, sampai aku memiliki uang lagi untuk menebus rumahku yang aku gadaikan pada temanku," pinta Rony pada Riko yang masih memandangnya. "Dengan uang apa Kakak akan menebusnya? Apakah Kakak selama ini bekerja? Aku tahu kalian selama ini hanya berfoya-foya saja kerjaannya. Please, kalau Kakak mau, aku bisa memberikan pekerjaan di tempat temanku. Jangan hanya minta saja bisanya, aku sudah nggak ada tabungan lagi. Uangku sudah aku pakai membayar hutang ke temanku. Uang yang waktu itu aku kasih ke Kakak untuk membayar rumah ini, itu uang pinjaman, Kak." Rony terdiam, sementara Vella hanya melirik dan bibirnya mencebik lirih tak percaya. Riko tahu kakaknya tak begitu saja mempercayai kata-katanya, tapi dia tak peduli. Untuk saat ini dia hanya ingin melindungi apa yang sudah menjadi haknya. "Pikirkan lagi, Kak. Besok pagi kita bicara lagi di ruang perpustakaan. Dan tolong, semua piring, gelas, dan sampah bekas kalian makan dibersihkan. Di sini tak ada lagi yang namanya asisten rumah tangga. Aku nggak mau istriku yang baru saja sembuh, besok pagi harus sibuk membereskan ini semua," pinta Riko sambil berdiri lalu berjalan menuju kamarnya kembali. "Rumah sebesar ini dia nggak punya asisten rumah tangga? Terus kalau kita tinggal di sini, apa aku juga harus ikut beres-beres rumah? Sekarang aja aku ogah harus beresin ini semua. Aku nggak mau pokoknya!" tegas Vella yang membuat Rony memegang keningnya. Pusing! "Iya, nanti biar aku saja yang membersihkan. Kamu tiduran saja di kamar," sahut Rony dengan terpaksa. Rony pun mengalah, berdiri lalu membersihkan semua yang berserakan di meja. Sementara Vella hanya diam memperhatikan suaminya dan tersenyum bahagia. Rony selalu memanjakannya. Selama ini Rony selalu menuruti apapun yang dia minta. Hanya saja keadaan saat ini memaksa Vella harus menahan semua keinginannya karena mereka sudah tak lagi berharta. *** Setelah sholat subuh berjama'ah, Riko mendekati istrinya yang sudah terlihat cerah, tak pucat lagi. Naila memakai gamis dan jilbab panjangnya karena di rumah ada kakak iparnya. Naila adalah perempuan desa yang taat agama. "Bagaimana kabarnya istriku hari ini, sudah sehatkah? Hari ini aku antar belanja, ya? Untuk sarapan kita beli saja, masaknya nanti siang," kata Riko yang masih berdiri memandang istrinya. "Alhamdulillah, aku merasa sangat sehat. Terserah kamu saja, Mas jadi cuti hari ini?" tanya Naila sambil menyapukan bedak tipis di wajahnya. "Iya, aku sudah telepon atasanku kemarin. Aku ingin menyelesaikan urusanku dengan Kak Rony. Cuti dua hari ditambah sabtu minggu libur, semoga empat hari sudah cukup untuk menyelesaikan semua urusan dengan mereka. Bahkan aku kemarin hanya memberi mereka waktu dua hari saja tinggal di sini. Ah, kenapa aku selemah ini? Kenapa aku selalu tak tega?" ucap Riko sambil mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang. Naila mendekati suaminya yang terlihat murung. Entah ada masalah apa dan urusan apa yang harus diselesaikan mereka, Naila juga masih bingung. Ingin bertanya, tapi teringat ucapan suaminya. Untuk saat ini dia hanya bisa sabar dan percaya, suatu saat nanti Riko pasti akan menceritakan semuanya. "Sabar, Mas. Itulah ikatan persaudaraan, apalagi ada darah yang sama mengalir di tubuh kalian. Selesaikan dengan baik-baik semua urusan. Jangan terpancing emosi, karena pasti akan berakibat pengambilan keputusan yang salah dan berujung penyesalan," saran Naila dengan nada yang lembut, menenangkan hati suaminya. "Terima kasih, ya, Sayang. Terima kasih atas dukunganmu. Bersyukur saat ini kamu ada di sisiku, membuatku lebih kuat menghadapi kakakku. Ayo kita berangkat, taksi onlinenya sudah menunggu di depan," ajak Riko sambil menggandeng tangan istrinya. Naila tersenyum melihat tangannya yang digenggam erat suaminya. Terkadang rasanya masih bermimpi, mendapatkan suami seperti Riko yang tampan dan sangat menghormati dirinya. *** "Eh, itu yang di youtube kemarin 'kan? Ternyata bener, ya? Suaminya tampan banget, nggak cocok sama dia. Kayaknya lebih cocok sama aku deh," ucap seorang wanita yang berdiri tak jauh dari Naila. "Iya, nggak salah yang bikin postingan kemarin, mungkin karena kasihan sama lakinya. Orang seganteng itu dapat istri yang nggak ada cakep-cakepnya," sahut wanita yang satunya. "Itu pasangan yang lagi viral waktu itu, kan? Lihatlah, suaminya tampan banget. Biar aku saja yang jadi istrinya, mungkin lebih cocok daripada dia." Berbagai pandangan dan sindiran yang tak menyenangkan tertuju pada Naila. Dirinya merasa saat ini sudah menjadi seorang selebriti terkenal. Tapi Naila tak terlalu memusingkan omongan mereka, berjalan melewati semua orang dan mengambil bahan belanjaan yang dibutuhkannya. Riko ingin sekali mendekati mereka, tapi Naila selalu saja menghalanginya. "Sudah biarkan saja, anggap saja semua ucapan mereka penggugur dosaku. Jangan membuat keributan di depan umum, Mas. Kalau aku mau, aku juga bisa membalas ucapan mereka, tapi buat apa? Hanya membuang tenaga dan mempermalukan diri kita sendiri saja. Iya, kan?" Naila berusaha menenangkan suaminya yang terlihat menahan emosi. Riko hanya diam menanggapi ucapan istrinya. Namun, apa yang dikatakan Naila memang benar, membuat keributan di depan umum hanya akan mempermalukannya. Apalagi orang-orang zaman sekarang pasti akan mengabadikan semua kejadian yang mereka lihat dengan ponselnya. Entah itu hal yang baik, hal yang lucu, hal yang tak patut dilihat sekalipun, mereka pasti akan menyebarkan videonya. Berjalan berdua di dalam swalayan, Riko dengan sabar mengikuti Naila yang masih sibuk memilih bahan masakan. Bumbu, sayur, daging, ikan, tak lupa cemilan dan buah-buahan. Setelah membayar semuanya, mereka pun langsung menuju taksi online yang sudah dipesan.