Sesampainya di rumah, dua orang yang baru bangun tidur sudah menunggu di ruang keluarga. Riko membantu Naila membawa barang belanjaan mereka ke dapur dan merapikan semuanya. Setelah membersihkan diri, mereka duduk di ruang makan. Riko sudah memanggil Rony dan Vella untuk bergabung bersama mereka.
"Kenalkan, ini Naila istriku. Sayang, ini kakakku Riko dan istrinya Vella," ucap Riko.
Naila yang sudah duduk langsung berdiri menyambut mereka. Mengatupkan kedua tangannya di dada, menganggukkan kepala sambil tersenyum ramah. Vella dan Riko pun membalasnya dengan senyum manis mereka. Entah itu tulus atau terpaksa, Naila dan Riko tak mempedulikannya.
Dalam hati Vella sebenarnya sangat iri melihat Naila, wanita yang fisiknya jauh berbeda dengan dirinya bisa menjadi istri adik iparnya. Apalagi melihat langsung pemandangan di depannya, bagaimana manisnya Riko memperlakukan istrinya. Walaupun penampilannya hari ini sangat cantik dan menawan, Riko sama sekali tak meliriknya. Vella bahkan selalu memperhatikan Naila sedari tadi, mencoba mencari apa keistimewaan wanita muda di hadapannya.
Suasana di meja makan sangatlah canggung. Tak ada yang berbicara sepatah kata pun. Hanya suara dentingan sendok yang beradu dengan piring saling bersahutan. Riko dan Naila pun hanya diam, meskipun sesungguhnya mereka sangat tak nyaman.
Setelah semuanya selesai makan, Riko mengajak Rony berbicara ke ruang perpustakaan. Sementara Naila membersihkan meja makan dan membawa piring dan gelas yang kotor ke dapur lalu mencucinya. Melihat Vella yang masih duduk sendirian di ruang makan, Naila akhirnya mencoba menemaninya.
"Maaf, aku harus panggil dengan sebutan apa, ya? Mbak Vella, boleh?" tanya Naila dengan ragu.
Mendengar pertanyaan konyol adik iparnya, Vella mengernyitkan dahinya. Dia heran, kenapa wanita di depannya bertanya seperti itu.
"Pertanyaanmu aneh, kenapa?" tanya Vella.
"Hemm ... barangkali wanita cantik seperti Kakak nggak mau dipanggil Mbak seperti temannya Mas Riko kemarin. Aku hanya menjaga jangan sampai membuat seseorang merasa tak nyaman dengan panggilan yang kuberikan. Padahal aku 'kan hanya berniat biar lebih sopan. Apalagi Kakak adalah kakak ipar, nggak pantas rasanya aku panggil nama saja."
"Oohh ... nggak masalah sih kamu panggil aku apa saja. Mau mbak, kakak, atau namaku saja juga boleh. Aku nggak marah atau tersinggung. Memangnya siapa temannya Riko yang ke sini?" Vella pun penasaran.
"Namanya Clara, orangnya juga cantik dan seksi seperti Mbak. Makanya tadi aku tanya dulu, soalnya dia nggak mau aku panggil dengan sebutan Mbak Clara, kampungan katanya." Naila yang polos menjawab apa adanya.
"Benarkah Clara kemarin ke sini? Terus bagaimana tanggapan Riko padanya? Kamu tahu siapa Clara?" tanya Vella yang tak menduga kalau sahabatnya datang lagi untuk menemui Riko.
"Hemm ... Mas Riko mengusirnya. Aku tahu Clara itu mantan kekasihnya Mas Riko. Oh, ya, aku panggil kakak saja, ya. Biar nggak terdengar kampungan." Naila menjawab pertanyaan Vella dengan santainya. Dia tahu wajah Vella terlihat senang ketika dirinya menyebut nama Clara.
"Terserah kamu mau manggil aku apa. Tapi apa benar Riko mengusirnya?" Vella terkejut mendengar cerita Naila. Tak menduga sama sekali, Riko benar-benar sudah sangat berubah.
"Iya, Kak. Mas Riko mengusirnya karena mereka sudah tak ada hubungan apa-apa lagi, tak mau menimbulkan fitnah katanya. Aku sih waktu itu di kamar saja, Mas Riko yang cerita," jawab Naila mencoba memancing Vella yang terlihat semakin tertarik dengan ceritanya. Naila pun ingin tahu, bagaimana sebenarnya sifat asli kakak iparnya yang baginya sangat cantik dan penuh pesona. Apakah dia juga sama seperti Clara?
"Hemm ... apa kamu yakin kalau Riko mengusirnya? Siapa tahu Riko berbohong padamu. Bilangnya mengusir Clara, tapi sebenarnya mereka janjian bertemu. Mereka dulu pasangan yang sangat serasi. Yang laki-laki tampan, wanitanya cantik dan menawan. Sayang sekali Clara lebih memilih kariernya, padahal mereka juga sudah merencanakan tahun ini akan menikah." Vella berkata dengan ekspresi wajah kecewa. Dia merasa saat ini adalah kesempatan untuk membuat Naila sakit hati. Dia akan membuat seolah-olah Clara adalah wanita yang sangat berarti bagi Riko.
"Aku percaya pada Mas Riko. Dia adalah suami yang baik dan jujur," ucap Naila dengan senyum penuh arti.
"Tapi kamu 'kan kenal Riko juga belum lama. Apa kamu nggak takut kalau suamimu yang tampan itu masih berhubungan dengan mantan-mantannya? Apa kamu juga sudah tahu masa lalu Riko seperti apa? Pekerjaannya apa, usahanya apa saja, rumahnya ada berapa, belum lagi soal warisannya, kamu yakin Riko tulus sama kamu?" Vella mencoba memancing emosi Naila. Dia ingin Naila merasa tak berarti di mata suaminya.
Naila sedikit terkejut dengan ucapan kakak iparnya, namun dia segera menguasai keadaan hatinya agar kembali tenang. Teringat kembali ucapan Riko kemarin, saat suaminya mengurungnya di kamar. 'Suatu saat nanti aku akan menceritakan semuanya yang ingin kamu tahu. Untuk saat ini, aku mohon jangan percaya dengan mereka meskipun sikapnya lembut padamu.'
"Kata Mas Riko, aku adalah masa depannya. Dia ingin akulah yang melahirkan anak-anaknya. Jadi buat apa aku harus mengetahui semua masa lalunya? Disayangi dan dihormati suami seperti Mas Riko, sudah cukup membuatku bersyukur dan bahagia. Wajar saja sih kalau Mas Riko mantan kekasih banyak dan cantik-cantik seperti Kakak dan juga Clara karena Mas Riko adalah laki-laki yang sangat tampan," jawab Naila dengan ekspresi wajah yang dibuat ceria. Dia tahu kakak iparnya sangat tak suka dengan ucapannya.
Vella mendengus kesal mendengar jawaban Naila. Tak diduganya wanita lugu di depannya pintar sekali bicara. Cara bicara Naila pun terlihat santai dan biasa saja tak terlihat sedikitpun rasa marah.
"Tapi setidaknya sebagai seorang istri 'kan kamu juga harus diberitahu soal aset-aset yang dimiliki suamimu. Kalau kamu sama sekali nggak dikasih tahu, bisa saja Riko sudah merencanakan sesuatu. Mungkin dia ingin balas dendam saja sama mantan kekasihnya. Setelah dia dapat yang lebih baik dan sesuai dengan kriterianya, dia akan membuangmu." Vella tak ingin kalah dengan wanita desa yang dianggapnya tak berdaya. Dia akan membuat Naila berburuk sangka pada suaminya. Keinginan Vella hanya membuat kepercayaan di hati Naila pada Riko sirna. Membuat pertengkaran di antara mereka, sehingga Riko mengusir istrinya.
"Ya Allah, Kakak ini ada-ada saja. Mas Riko itu orangnya rajin ibadah. Kalau di rumah selalu sholat berjama'ah di mushola, sholat tahajudnya juga tak pernah ditinggalkan. Mas Riko juga selalu memperlakukan aku seperti ratu, apapun kebutuhanku dipenuhinya meskipun aku tak pernah minta. Dia adalah suami yang terbaik yang aku punya, anugrah dari Allah untuk wanita desa sepertiku. Aku tak akan berprasangka buruk padanya. Kalau sekarang dia tak ingin memberitahuku mengenai harta yang dia punya, aku yakin karena dia hanya ingin melindungi miliknya dari orang-orang yang berniat jahat padanya." Naila tersenyum melihat Vella terlihat gelisah dengan penjelasannya.
"Ah, sudahlah, aku capek ngomong sama kamu. Dasar perempuan udik, dikasih tahu yang bener malah ngeyel. Terserahlah, aku mau ke kamar saja. Pusing tahu dengar suaramu." Vella dengan rasa kesal meninggalkan Naila yang tersenyum penuh kemenangan.Berjalan berdua di dalam swalayan, Riko dengan sabar mengikuti Naila yang masih sibuk memilih bahan masakan. Bumbu, sayur, daging, ikan, tak lupa cemilan dan buah-buahan. Setelah membayar semuanya mereka pun langsung menuju taksi online yang sudah dipesan. Sesampainya di rumah, dua orang yang baru bangun tidur sudah menunggu di ruang keluarga. Riko membantu Naila membawa barang belanjaan mereka ke dapur dan merapikan semuanya. Setelah membersihkan diri, mereka duduk di ruang makan. Riko sudah memanggil Rony dan Vella untuk bergabung bersama mereka. "Kenalkan, ini Naila istriku. Sayang, ini kakakku Riko dan istrinya Vella," ucap Riko. Naila yang sudah duduk langsung berdiri menyambut mereka. Mengatupkan kedua tangannya di dada, menganggukkan kepala sambil tersenyum ramah. Vella dan Riko pun membalasnya dengan senyum manis mereka. Entah itu tulus atau terpaksa, Naila dan Riko tak mempedulikannya. Dalam hati Vella sebenarnya sangat iri melihat Naila, wanita yang fisiknya jauh berbeda dengan dirinya bisa menjadi istri adik iparnya. Apalagi melihat langsung pemandangan di depannya, bagaimana manisnya Riko memperlakukan istrinya. Walaupun penampilannya hari ini sangat cantik dan menawan, Riko sama sekali tak meliriknya. Vella bahkan selalu memperhatikan Naila sedari tadi, mencoba mencari apa keistimewaan wanita muda di hadapannya. Suasana di meja makan sangatlah canggung. Tak ada yang berbicara sepatah kata pun. Hanya suara dentingan sendok yang beradu dengan piring saling bersahutan. Riko dan Naila pun hanya diam, meskipun sesungguhnya mereka sangat tak nyaman. Setelah semuanya selesai makan, Riko mengajak Rony berbicara ke ruang perpustakaan. Sementara Naila membersihkan meja makan dan membawa piring dan gelas yang kotor ke dapur lalu mencucinya. Melihat Vella yang masih duduk sendirian di ruang makan, Naila akhirnya mencoba menemaninya. "Maaf, aku harus panggil dengan sebutan apa, ya? Mbak Vella, boleh?" tanya Naila dengan ragu. Mendengar pertanyaan konyol adik iparnya, Vella mengernyitkan dahinya. Dia heran, kenapa wanita di depannya bertanya seperti itu. "Pertanyaanmu aneh, kenapa?" tanya Vella. "Hemm ... barangkali wanita cantik seperti Kakak nggak mau dipanggil Mbak seperti temannya Mas Riko kemarin. Aku hanya menjaga jangan sampai membuat seseorang merasa tak nyaman dengan panggilan yang kuberikan. Padahal aku 'kan hanya berniat biar lebih sopan. Apalagi Kakak adalah kakak ipar, nggak pantas rasanya aku panggil nama saja." "Oohh ... nggak masalah sih kamu panggil aku apa saja. Mau mbak, kakak, atau namaku saja juga boleh. Aku nggak marah atau tersinggung. Memangnya siapa temannya Riko yang ke sini?" Vella pun penasaran. "Namanya Clara, orangnya juga cantik dan seksi seperti Mbak. Makanya tadi aku tanya dulu, soalnya dia nggak mau aku panggil dengan sebutan Mbak Clara, kampungan katanya." Naila yang polos menjawab apa adanya. "Benarkah Clara kemarin ke sini? Terus bagaimana tanggapan Riko padanya? Kamu tahu siapa Clara?" tanya Vella yang tak menduga kalau sahabatnya datang lagi untuk menemui Riko. "Hemm ... Mas Riko mengusirnya. Aku tahu Clara itu mantan kekasihnya Mas Riko. Oh, ya, aku panggil kakak saja, ya. Biar nggak terdengar kampungan." Naila menjawab pertanyaan Vella dengan santainya. Dia tahu wajah Vella terlihat senang ketika dirinya menyebut nama Clara. "Terserah kamu mau manggil aku apa. Tapi apa benar Riko mengusirnya?" Vella terkejut mendengar cerita Naila. Tak menduga sama sekali, Riko benar-benar sudah sangat berubah. "Iya, Kak. Mas Riko mengusirnya karena mereka sudah tak ada hubungan apa-apa lagi, tak mau menimbulkan fitnah katanya. Aku sih waktu itu di kamar saja, Mas Riko yang cerita," jawab Naila mencoba memancing Vella yang terlihat semakin tertarik dengan ceritanya. Naila pun ingin tahu, bagaimana sebenarnya sifat asli kakak iparnya yang baginya sangat cantik dan penuh pesona. Apakah dia juga sama seperti Clara? "Hemm ... apa kamu yakin kalau Riko mengusirnya? Siapa tahu Riko berbohong padamu. Bilangnya mengusir Clara, tapi sebenarnya mereka janjian bertemu. Mereka dulu pasangan yang sangat serasi. Yang laki-laki tampan, wanitanya cantik dan menawan. Sayang sekali Clara lebih memilih kariernya, padahal mereka juga sudah merencanakan tahun ini akan menikah." Vella berkata dengan ekspresi wajah kecewa. Dia merasa saat ini adalah kesempatan untuk membuat Naila sakit hati. Dia akan membuat seolah-olah Clara adalah wanita yang sangat berarti bagi Riko. "Aku percaya pada Mas Riko. Dia adalah suami yang baik dan jujur," ucap Naila dengan senyum penuh arti. "Tapi kamu 'kan kenal Riko juga belum lama. Apa kamu nggak takut kalau suamimu yang tampan itu masih berhubungan dengan mantan-mantannya? Apa kamu juga sudah tahu masa lalu Riko seperti apa? Pekerjaannya apa, usahanya apa saja, rumahnya ada berapa, belum lagi soal warisannya, kamu yakin Riko tulus sama kamu?" Vella mencoba memancing emosi Naila. Dia ingin Naila merasa tak berarti di mata suaminya. Naila sedikit terkejut dengan ucapan kakak iparnya, namun dia segera menguasai keadaan hatinya agar kembali tenang. Teringat kembali ucapan Riko kemarin, saat suaminya mengurungnya di kamar. 'Suatu saat nanti aku akan menceritakan semuanya yang ingin kamu tahu. Untuk saat ini, aku mohon jangan percaya dengan mereka meskipun sikapnya lembut padamu.' "Kata Mas Riko, aku adalah masa depannya. Dia ingin akulah yang melahirkan anak-anaknya. Jadi buat apa aku harus mengetahui semua masa lalunya? Disayangi dan dihormati suami seperti Mas Riko, sudah cukup membuatku bersyukur dan bahagia. Wajar saja sih kalau Mas Riko mantan kekasih banyak dan cantik-cantik seperti Kakak dan juga Clara karena Mas Riko adalah laki-laki yang sangat tampan," jawab Naila dengan ekspresi wajah yang dibuat ceria. Dia tahu kakak iparnya sangat tak suka dengan ucapannya. Vella mendengus kesal mendengar jawaban Naila. Tak diduganya wanita lugu di depannya pintar sekali bicara. Cara bicara Naila pun terlihat santai dan biasa saja tak terlihat sedikitpun rasa marah. "Tapi setidaknya sebagai seorang istri 'kan kamu juga harus diberitahu soal aset-aset yang dimiliki suamimu. Kalau kamu sama sekali nggak dikasih tahu, bisa saja Riko sudah merencanakan sesuatu. Mungkin dia ingin balas dendam saja sama mantan kekasihnya. Setelah dia dapat yang lebih baik dan sesuai dengan kriterianya, dia akan membuangmu." Vella tak ingin kalah dengan wanita desa yang dianggapnya tak berdaya. Dia akan membuat Naila berburuk sangka pada suaminya. Keinginan Vella hanya membuat kepercayaan di hati Naila pada Riko sirna. Membuat pertengkaran di antara mereka, sehingga Riko mengusir istrinya. "Ya Allah, Kakak ini ada-ada saja. Mas Riko itu orangnya rajin ibadah. Kalau di rumah selalu sholat berjama'ah di mushola, sholat tahajudnya juga tak pernah ditinggalkan. Mas Riko juga selalu memperlakukan aku seperti ratu, apapun kebutuhanku dipenuhinya meskipun aku tak pernah minta. Dia adalah suami yang terbaik yang aku punya, anugrah dari Allah untuk wanita desa sepertiku. Aku tak akan berprasangka buruk padanya. Kalau sekarang dia tak ingin memberitahuku mengenai harta yang dia punya, aku yakin karena dia hanya ingin melindungi miliknya dari orang-orang yang berniat jahat padanya." Naila tersenyum melihat Vella terlihat gelisah dengan penjelasannya. "Ah, sudahlah, aku capek ngomong sama kamu. Dasar perempuan udik, dikasih tahu yang bener malah ngeyel. Terserahlah, aku mau ke kamar saja. Pusing tahu dengar suaramu." Vella dengan rasa kesal meninggalkan Naila yang tersenyum penuh kemenangan.