Ketakutan

"Kamu tak bisa menjawab pertanyaanku 'kan? Kenapa? Apa kamu sudah mulai jatuh cinta juga pada wanita jelek itu? Adik dan kakak sama saja! Kalau kamu seperti ini, aku tak ingin lagi hidup bersamamu. Ceraikan saja aku! Aku sudah muak hidup denganmu!" bentak Vella. Dia pun pergi ke kamar meninggalkan Rony yang masih diam.

Rony duduk termenung sendirian. Bahkan dia tak berniat menyusul istri cantiknya yang sedang merajuk di kamar. Entah kenapa, yang dirasakan saat ini hatinya mulai lelah. Bagaimanapun dia juga manusia biasa, ingin memiliki rumah tangga yang normal dan bahagia. Hal yang tadinya sama sekali tak pernah ada dalam angan-angan, sekarang ini sangat diharapkan. Sesuatu yang sama sekali tak ada dalam bayangan, sekarang berharap menjadi kenyataan.

Mengambil kunci motor yang tergelantung di dekat pintu kamar lalu mengeluarkan motor matic yang terlihat masih baru. Motor matic milik Riko yang disimpan di belakang dekat taman. Dilajukannya motor matic berwarna hitam dengan kecepatan sedang, membelah jalanan yang terlihat lengang.

Rony pergi mencari mesin ATM dan mengambil sejumlah uang yang sudah ditransfer adiknya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Membeli bensin terlebih dahulu lalu membeli dua bungkus nasi padang untuk persiapan makan malam. Terdengar adzan ashar berkumandang, dia pun berhenti di mushola untuk menjalankan kewajiban. Berlama-lama duduk di tempat ibadah, melihat dan mendengar anak-anak yang mengaji, membuatnya merasa tenang dan tak ingin pulang.

Rony menyadari, setelah ini hidupnya tak akan mudah. Istrinya yang cantik pun belum tentu bisa menerima dirinya. Mengancam akan meninggalkannya, meminta pisah, hal yang sudah biasa diucapkan Vella jika tak dituruti kemauannya.

Rony menghela napas panjang, mengembuskannya perlahan, menenangkan hatinya sebelum beranjak meninggalkan mushola. Meskipun dalam hati masih terasa enggan, tapi ada seorang istri yang menjadi tanggung jawabnya.

Sementara Vella semakin kesal dengan suaminya. Bahkan Rony tak lagi mengikuti dirinya di kamar dan merayunya seperti biasanya. Lama Vella menunggu, tapi yang terdengar malah suara motor yang semakin menjauh. Terlihat sekali kalau Rony sekarang sudah tak seperti dulu.

Vella pun beranjak ke kamar mandi, membersihkan diri. Berangkat ke kafe sore hari, lebih baik baginya daripada diam di rumah. Apalagi hubungannya dengan Rony saat ini sedang tak baik-baik saja.

Sesampainya di rumah, terlihat istrinya yang cantik sudah bersiap untuk pergi. Entah mau ke mana, bahkan Rony tak ingin bertanya saat ini. Mungkin bertemu dengan teman-teman sosialitanya yang ada di kota ini, begitu yang ada di pikiran Rony. Dia pun sangat yakin, setelah ini istrinya akan meminta uang lagi.

Uang terakhir yang diberikannya pada Vella sebelum datang ke rumah Riko, sebenarnya tak sedikit jumlahnya. Namun, dalam hitungan hari uang itu entah ke mana. Begitu bodoh dirinya, membuat rencana dengan Vella, berniat menghancurkan rumah tangga adiknya. Dia bersyukur Allah segera menyadarkannya, entah apa yang terjadi jika dia meneruskan niatnya.

"Aku minta uang, aku mau pergi ke kafe dengan teman-temanku. Aku tahu kamu dari ATM 'kan?" pinta Vella pada Rony yang baru saja masuk ke rumah.

"Ini ...." Tak banyak bicara, Rony memberikan lima lembar uang berwarna merah.

"Apa ini? Emangnya aku anak sekolah? Bahkan untuk membayar taksi online saja uangnya tak akan cukup," ucap Vella tak terima.

"Ya, sudah naik motor saja. Atau mau aku antar?" sahut Rony dengan nada datar yang semakin membuat Vella marah. Kali ini Rony berusaha tega pada istrinya.

"Ooh ... sekarang kamu berani sama aku, ya. Kamu benar-benar sudah berubah. Kamu benar-benar sudah terpengaruh dengan wanita kampung itu. Aku tak akan tinggal diam, aku akan buat perhitungan dengannya. Ingat itu!" bentak Vella dan langsung meninggalkan suaminya menuju taksi online yang sudah dipesannya.

"Astaghfirullah ... aku harus bagaimana, Ya Allah. Aku yang salah, aku selama ini terlalu memanjakannya dan menuruti semua keinginannya. Ampuni hamba-Mu ini, Ya Allah. Semoga Engkau memberikan hidayah pada istriku."

Rony hanya bisa merutuki dirinya sendiri. Memandang Vella yang sudah masuk ke dalam taksi online yang membawanya entah ke mana. Pergi tanpa pamit dan pulang larut malam, hal yang sudah biasa bagi istrinya. Saat ini Rony hanya bisa mencoba bersabar menghadapi Vella.

***

Sementara Riko dan Naila sudah sampai di rumah dalam mode diam. Naila bingung, haruskah dia meminta penjelasan pada suaminya sekarang? Sementara Riko terlihat santai, tak ada yang ingin dibicarakan. Naila pun akhirnya mencoba menghilangkan rasa keponya. Apalagi dilihatnya Riko dari tadi hanya tersenyum memandangnya.

"Senyum-senyum terus dari tadi? Kenapa, Mas? Apanya yang lucu?" tanya Naila dengan nada sedikit kesal.

"Istriku yang lucu. Dari tadi diam dan cemberut. Kalau ada yang mau ditanyakan, tanyakan saja sekarang." Riko menjawab pertanyaan Naila sambil menggodanya.

"Kenapa bukan kamu saja yang menjelaskan? Kenapa harus menunggu aku tanya? Nanti dikira istrinya kepo lagi. Aku nggak mau kalau kamu berpikir aku istri yang suka ikut campur urusan suami. Mau kasih tahu alhamdulillah, kalau nggak juga, aku nggak masalah," sahut Naila mencoba menenangkan hatinya.

Naila tak ingin terpengaruh dengan ucapan Vella. Namun, entah kenapa dirinya saat ini tiba-tiba merasa dibohongi suaminya. Apakah benar yang diucapkan Vella? Benarkah suatu saat nanti Riko akan membuangnya? Naila pun segera menghilangkan pikiran negatifnya dan meninggalkan Riko yang masih diam memandangnya.

Setelah sholat isya' dan makan malam bersama, Naila duduk di depan meja rias, salah satu tempat favoritnya. Riko ijin pada Naila melanjutkan pekerjaannya di ruang perpustakaan. Tak ada pembicaraan yang penting semenjak mereka pulang. Dan Naila pun mencoba tak lagi memikirkannya. Biarlah semua dijalani apa adanya, tanpa rasa kepo, suudzon, curiga, dan sejenisnya.

Benda bulat di dinding sudah menunjukkan angka dua belas. Riko melihat Naila di ranjang sudah tertidur pulas. Riko pun membaringkan tubuhnya di samping istrinya. Besok pagi dia berjanji akan menceritakan semuanya pada Naila.

Riko tahu, istrinya tak akan bertanya apapun padanya. Salah satu sifat Naila itulah yang membuatnya jatuh cinta. Naila wanita yang mandiri, tak pernah gengsi dengan pekerjaannya sebagai pelayan, rajin ibadah, sopan dan ramah pada siapa saja, tak suka berghibah, tak pernah bertanya yang bukan urusannya, tapi peduli pada orang tak punya.

***

"Sayang, habis ini bersiap-siap, ya. Aku ingin mengajakmu jalan-jalan. Nggak usah masak. Setelah mandi, aku belikan saja bubur ayam untuk sarapan, atau mau yang lainnya?" Sepulang dari mushola, Riko berkata pada Naila yang baru saja selesai membaca Al-Quran.

"Terserah kamu saja, Mas. Apa saja yang kamu belikan pasti aku makan," sahut Naila.

"Nggak tanya mau aku ajak ke mana?" tanya Riko yang terkadang gemas pada istrinya yang selalu menuruti ucapannya.

"Ke mana saja kamu mengajakku, aku pasti mau. Nggak mungkin dong suamiku mengajakku ke kandang macan atau ke jurang," ucap Naila sambil tersenyum.

"Hemm ... bagaimana kalau tiba-tiba aku membuatmu celaka?" tanya Riko dengan pandangan mata yang sulit diartikan.

Naila memandang suaminya yang mulai berjalan mendekat ke arahnya. Wajah Riko kali ini terlihat serius dan sedikit menakutkan baginya. Naila melangkah mundur, membuat jarak dengan Riko yang sudah berdiri tepat di hadapannya. Hati Naila berdebar dan perasaan takut mulai menguasai dirinya.Vella berdiri dan meluapkan emosinya pada Rony. Kekesalan hatinya dilampiaskan pada suaminya. Dia sudah tak tahan lagi menahan rasa benci dan marah. Rony terdiam, dirinya bingung harus berkata apa. Bahkan untuk menjelaskan, dia tak lagi punya kata-kata. "Kamu tak bisa menjawab pertanyaanku 'kan? Kenapa? Apa kamu sudah mulai jatuh cinta juga pada wanita jelek itu? Adik dan kakak sama saja! Kalau kamu seperti ini, aku tak ingin lagi hidup bersamamu. Ceraikan saja aku! Aku sudah muak hidup denganmu!" bentak Vella. Dia pun pergi ke kamar meninggalkan Rony yang masih diam. Rony duduk termenung sendirian. Bahkan dia tak berniat menyusul istri cantiknya yang sedang merajuk di kamar. Entah kenapa, yang dirasakan saat ini hatinya mulai lelah. Bagaimanapun dia juga manusia biasa, ingin memiliki rumah tangga yang normal dan bahagia. Hal yang tadinya sama sekali tak pernah ada dalam angan-angan, sekarang ini sangat diharapkan. Sesuatu yang sama sekali tak ada dalam bayangan, sekarang berharap menjadi kenyataan. Mengambil kunci motor yang tergelantung di dekat pintu kamar lalu mengeluarkan motor matic yang terlihat masih baru. Motor matic milik Riko yang disimpan di belakang dekat taman. Dilajukannya motor matic berwarna hitam dengan kecepatan sedang, membelah jalanan yang terlihat lengang. Rony pergi mencari mesin ATM dan mengambil sejumlah uang yang sudah ditransfer adiknya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Membeli bensin terlebih dahulu lalu membeli dua bungkus nasi padang untuk persiapan makan malam. Terdengar adzan ashar berkumandang, dia pun berhenti di mushola untuk menjalankan kewajiban. Berlama-lama duduk di tempat ibadah, melihat dan mendengar anak-anak yang mengaji, membuatnya merasa tenang dan tak ingin pulang. Rony menyadari, setelah ini hidupnya tak akan mudah. Istrinya yang cantik pun belum tentu bisa menerima dirinya. Mengancam akan meninggalkannya, meminta pisah, hal yang sudah biasa diucapkan Vella jika tak dituruti kemauannya. Rony menghela napas panjang, mengembuskannya perlahan, menenangkan hatinya sebelum beranjak meninggalkan mushola. Meskipun dalam hati masih terasa enggan, tapi ada seorang istri yang menjadi tanggung jawabnya. Sementara Vella semakin kesal dengan suaminya. Bahkan Rony tak lagi mengikuti dirinya di kamar dan merayunya seperti biasanya. Lama Vella menunggu, tapi yang terdengar malah suara motor yang semakin menjauh. Terlihat sekali kalau Rony sekarang sudah tak seperti dulu. Vella pun beranjak ke kamar mandi, membersihkan diri. Berangkat ke kafe sore hari, lebih baik baginya daripada diam di rumah. Apalagi hubungannya dengan Rony saat ini sedang tak baik-baik saja. Sesampainya di rumah, terlihat istrinya yang cantik sudah bersiap untuk pergi. Entah mau ke mana, bahkan Rony tak ingin bertanya saat ini. Mungkin bertemu dengan teman-teman sosialitanya yang ada di kota ini, begitu yang ada di pikiran Rony. Dia pun sangat yakin, setelah ini istrinya akan meminta uang lagi. Uang terakhir yang diberikannya pada Vella sebelum datang ke rumah Riko, sebenarnya tak sedikit jumlahnya. Namun, dalam hitungan hari uang itu entah ke mana. Begitu bodoh dirinya, membuat rencana dengan Vella, berniat menghancurkan rumah tangga adiknya. Dia bersyukur Allah segera menyadarkannya, entah apa yang terjadi jika dia meneruskan niatnya. "Aku minta uang, aku mau pergi ke kafe dengan teman-temanku. Aku tahu kamu dari ATM 'kan?" pinta Vella pada Rony yang baru saja masuk ke rumah. "Ini ...." Tak banyak bicara, Rony memberikan lima lembar uang berwarna merah. "Apa ini? Emangnya aku anak sekolah? Bahkan untuk membayar taksi online saja uangnya tak akan cukup," ucap Vella tak terima. "Ya, sudah naik motor saja. Atau mau aku antar?" sahut Rony dengan nada datar yang semakin membuat Vella marah. Kali ini Rony berusaha tega pada istrinya. "Ooh ... sekarang kamu berani sama aku, ya. Kamu benar-benar sudah berubah. Kamu benar-benar sudah terpengaruh dengan wanita kampung itu. Aku tak akan tinggal diam, aku akan buat perhitungan dengannya. Ingat itu!" bentak Vella dan langsung meninggalkan suaminya menuju taksi online yang sudah dipesannya. "Astaghfirullah ... aku harus bagaimana, Ya Allah. Aku yang salah, aku selama ini terlalu memanjakannya dan menuruti semua keinginannya. Ampuni hamba-Mu ini, Ya Allah. Semoga Engkau memberikan hidayah pada istriku." Rony hanya bisa merutuki dirinya sendiri. Memandang Vella yang sudah masuk ke dalam taksi online yang membawanya entah ke mana. Pergi tanpa pamit dan pulang larut malam, hal yang sudah biasa bagi istrinya. Saat ini Rony hanya bisa mencoba bersabar menghadapi Vella. *** Sementara Riko dan Naila sudah sampai di rumah dalam mode diam. Naila bingung, haruskah dia meminta penjelasan pada suaminya sekarang? Sementara Riko terlihat santai, tak ada yang ingin dibicarakan. Naila pun akhirnya mencoba menghilangkan rasa keponya. Apalagi dilihatnya Riko dari tadi hanya tersenyum memandangnya. "Senyum-senyum terus dari tadi? Kenapa, Mas? Apanya yang lucu?" tanya Naila dengan nada sedikit kesal. "Istriku yang lucu. Dari tadi diam dan cemberut. Kalau ada yang mau ditanyakan, tanyakan saja sekarang." Riko menjawab pertanyaan Naila sambil menggodanya. "Kenapa bukan kamu saja yang menjelaskan? Kenapa harus menunggu aku tanya? Nanti dikira istrinya kepo lagi. Aku nggak mau kalau kamu berpikir aku istri yang suka ikut campur urusan suami. Mau kasih tahu alhamdulillah, kalau nggak juga, aku nggak masalah," sahut Naila mencoba menenangkan hatinya. Naila tak ingin terpengaruh dengan ucapan Vella. Namun, entah kenapa dirinya saat ini tiba-tiba merasa dibohongi suaminya. Apakah benar yang diucapkan Vella? Benarkah suatu saat nanti Riko akan membuangnya? Naila pun segera menghilangkan pikiran negatifnya dan meninggalkan Riko yang masih diam memandangnya. Setelah sholat isya' dan makan malam bersama, Naila duduk di depan meja rias, salah satu tempat favoritnya. Riko ijin pada Naila melanjutkan pekerjaannya di ruang perpustakaan. Tak ada pembicaraan yang penting semenjak mereka pulang. Dan Naila pun mencoba tak lagi memikirkannya. Biarlah semua dijalani apa adanya, tanpa rasa kepo, suudzon, curiga, dan sejenisnya. Benda bulat di dinding sudah menunjukkan angka dua belas. Riko melihat Naila di ranjang sudah tertidur pulas. Riko pun membaringkan tubuhnya di samping istrinya. Besok pagi dia berjanji akan menceritakan semuanya pada Naila. Riko tahu, istrinya tak akan bertanya apapun padanya. Salah satu sifat Naila itulah yang membuatnya jatuh cinta. Naila wanita yang mandiri, tak pernah gengsi dengan pekerjaannya sebagai pelayan, rajin ibadah, sopan dan ramah pada siapa saja, tak suka berghibah, tak pernah bertanya yang bukan urusannya, tapi peduli pada orang tak punya. *** "Sayang, habis ini bersiap-siap, ya. Aku ingin mengajakmu jalan-jalan. Nggak usah masak. Setelah mandi, aku belikan saja bubur ayam untuk sarapan, atau mau yang lainnya?" Sepulang dari mushola, Riko berkata pada Naila yang baru saja selesai membaca Al-Quran. "Terserah kamu saja, Mas. Apa saja yang kamu belikan pasti aku makan," sahut Naila. "Nggak tanya mau aku ajak ke mana?" tanya Riko yang terkadang gemas pada istrinya yang selalu menuruti ucapannya. "Ke mana saja kamu mengajakku, aku pasti mau. Nggak mungkin dong suamiku mengajakku ke kandang macan atau ke jurang," ucap Naila sambil tersenyum. "Hemm ... bagaimana kalau tiba-tiba aku membuatmu celaka?" tanya Riko dengan pandangan mata yang sulit diartikan. Naila memandang suaminya yang mulai berjalan mendekat ke arahnya. Wajah Riko kali ini terlihat serius dan sedikit menakutkan baginya. Naila melangkah mundur, membuat jarak dengan Riko yang sudah berdiri tepat di hadapannya. Hati Naila berdebar dan perasaan takut mulai menguasai dirinya.