"Kenapa, Sayang. Apa kamu takut padaku?" Riko semakin maju mendekati istrinya yang mulai ketakutan.
"Mas, ka ... kamu mau apa? Wa ... wajahmu tak seperti biasanya. Ka ... kamu membuatku takut, Mas. To ... tolong menjauhlah," pinta Naila dengan suara yang gemetar dan sangat gugup karena takut.
Riko semakin mendekat dan mengikis jarak di antara mereka. Naila tak bisa mundur lagi dan dia hanya memejamkan mata tak mau memandang suaminya. Namun, tangan Riko mendekap erat tubuhnya dan menciumi seluruh wajahnya. Akhirnya Naila hanya bisa menahan tawa.
"Kamu jahat! Aku sudah takut banget tahu nggak? Lihat saja badanku sampai gemetaran," ucap Naila dan langsung memasang wajah cemberut.
"Hahaha ... maaf, Sayang. Kamu juga aneh-aneh, sama suami sendiri takut. Makanya jangan mudah terpengaruh sama omongan orang, apalagi omongannya Vella. Ayoo, kita siap-siap berangkat, aku belikan bubur ayam dulu, ya," sahut Riko sambil mengecup jemari Naila.
"Nggak usah, Mas. Kita langsung berangkat saja. Aku ingin sarapan di warung pinggir jalan," kata Naila dengan senyum bahagianya.
"Siaapp bosku," balas Riko dan berlalu menuju kamar mandi.
Motor sport Riko membelah jalanan yang tampak sepi. Matahari pagi masih bersembunyi di balik awan putih. Melewati jalan raya yang masih lengang, menuju daerah pegunungan yang asri. Motor pun berhenti pada warung bambu di pinggir jalan yang terlihat bersih. Riko memilih warung yang masih sepi. Warung sederhana dengan beberapa gazebo di sekitarnya. Cocok untuk tempat sarapan dan juga bicara.
Asap mengepul dari nasi soto daging yang baru saja dihidangkan. Ditambah minuman jeruk hangat favorit keduanya. Mereka pun makan dengan lahap karena rasa lapar yang tertahan. Diselingi pembicaraan tak penting tapi membuat mereka terlihat bahagia.
Setelah selesai menghabiskan semuanya, Riko mulai mengajak berbicara istrinya. Wajah yang serius dan napas panjang yang berulang kali terdengar, membuat Naila tak suka.
"Mas, kalau masih berat, jangan diceritakan. Aku percaya sama kamu. Jangan dipaksakan," bujuk Naila.
"Tidak, Naila. Mungkin sekarang sudah saatnya kamu harus mengetahui semuanya. Daripada kamu nanti mendengar dari orang lain yang belum tentu kebenarannya. Tapi aku mohon, selama aku bercerita, jangan kamu potong bicaraku. Dengarkan saja, jangan menyela," ucap Riko yang merasa harus siap menceritakan semuanya.
"Baiklah, aku akan menjadi pendengar yang setia," balas Naila dengan perasaan yang campur aduk, takut dan juga gelisah.
"Papaku meninggalkan sebuah perusahaan tekstil yang sudah lama dirintisnya sebelum meninggal dunia. Namun, kakakku membuatnya bangkrut karena keuangan perusahaan yang selalu dipakai untuk kepentingan pribadinya dan menuruti keinginan Vella. Terpaksa aku menanganinya dan alhamdulillah bisa bertahan sampai sekarang." Riko mulai bercerita.
"Diam-diam Rony juga ingin menjual rumah peninggalan orangtua kami, alhamdulillah orang yang akan membelinya memberitahuku terlebih dahulu. Akhirnya uang deposito peninggalan papa yang seharusnya menjadi bagianku, aku pakai untuk membayar rumah yang kita tempati sekarang. Aku berikan semua uangku pada Rony dengan surat perjanjian. Tapi kamu lihat sendiri, sekarang mereka menggangguku lagi." Riko menghela napas panjang lagi, mengembuskan perlahan agar dirinya tenang.
"Aku bekerja di perusahaan lain sebagai karyawan untuk menyembunyikan statusku. Perusahaan papa dipegang oleh orang kepercayaanku. Bukan aku berniat membohongimu, Naila. Aku hanya ingin tak ada yang tahu kalau aku masih seorang pengusaha. Wanita yang mendekatiku dan juga kakakku selalu membuatku tertekan. Aku tahu mereka semua nggak ada yang tulus, hanya ingin uangku saja."
"Rumah, tanah, mobil, aku jual semuanya untuk tambahan modal perusahaan. Tinggal rumah yang kita tempati peninggalan orangtuaku. Kalau rumah yang ditempati Rony, itu murni hasil kerjaku selama ini. Naila, aku dulu juga nakal, suka clubing dan gonta-ganti pacar. Tapi aku tak pernah melebihi batas dalam berhubungan dengan mereka. Jadi seandainya suatu saat ada wanita yang mengaku memiliki anak dariku, itu bohong. Banyak dari mereka yang berusaha menjebakku, tapi sungguh aku tak pernah melakukan apapun terhadap mereka," lanjut Riko.
"Setelah orangtuaku meninggal dunia, aku bertemu teman yang menjadi ustadz di salah satu pondok pesantren. Aku pun banyak belajar agama darinya. Tadinya aku ingin menetap di pondok pesantren saja dan mengabdikan diriku di sana, tapi perusahaan lebih membutuhkanku. Akhirnya aku berjuang mempertahankannya sampai sekarang. Maaf kalau selama ini aku tak pernah memberikanmu kemewahan layaknya seorang istri pengusaha." Riko memandang istrinya yang masih diam mendengarkan.
Naila mendengarkan cerita sampai Riko berhenti bicara. Dia hanya mengelus lengan suaminya dengan penuh kelembutan. Naila bukan wanita yang suka memandang seseorang dari masa lalunya. Apa yang dilihatnya sekarang, itulah yang dia terima.
"Bagaimana, Sayang. Apakah kamu mau memaafkanku?" tanya Riko setelah selesai bercerita. Perasaannya lega dan sekarang tinggal menunggu respon dari istrinya.
"Tak ada yang perlu dimaafkan, Mas. Setiap orang pasti punya masa lalu. Jika ada perbuatan dosa yang kamu lakukan di masa lalumu, itu urusanmu dengan Tuhan-mu. Aku tak berhak menghakimi apalagi marah. Mengenai status dan perusahaan yang kamu sembunyikan, aku mengerti. Aku sendiri juga punya rahasia yang belum kamu ketahui," jawab Naila.
"Benarkah? Rahasia apa? Tapi kalau kamu nggak mau cerita nggak apa-apa, Sayang," sahut Riko tak berani memaksa.
"Nggak apa-apa. Kita sama-sama cerita diri kita apa adanya. Pernikahan bukan main-main ataupun untuk sementara. Jadi mulai sekarang, kita harus sama-sama jujur, tak ada lagi yang disembunyikan. Aku sebenarnya punya tabungan, Mas. Hasil penjualan rumah dan tanah yang di desa peninggalan orangtua. Aku bingung mau aku apakan uang itu, jadi aku biarkan saja. Dan selama ini yang kamu tahu aku tinggal di kos-kosan dan bekerja sebagai pelayan. Mungkin kamu pikir aku ini orang tak punya."
"Boleh tahu berapa?" Riko pun penasaran.
"Tujuh ratus juta, Mas. Mau aku pakai buat modal usaha juga bingung mau usaha apa," jawab Naila yang membuat Riko terkejut. Tak disangka istrinya yang sederhana memiliki uang ratusan juta.
"Simpan saja uangmu. Jangan dipakai apalagi untuk urusan rumah tangga. Itu uangmu, tapi tolong jangan bekerja. Bukannya aku ingin menghalangi, tapi aku juga ingin segera memiliki anak. Dan semua kebutuhanmu adalah tanggung jawabku." Riko mencoba membuat Naila mengerti dengan keinginannya. Dia tak suka istrinya nanti akan sibuk bekerja jika punya usaha.
"Iya, Mas. Aku percaya padamu. Semoga kita segera diberi amanah, ya." Naila pun memahami maksud suaminya.
"Aamiin ... Ayoo kita jalan lagi. Kita ke tempat wisata air terjun, mau?" tanya Riko pada Naila.
"Terserah kamu saja, Mas. Ke mana pun kamu pergi, aku ikut," jawab Naila.
"Truck gandeng dong."
"Hahaha ...."
Mereka pun tertawa bersama, lalu berjalan ke tempat parkir dengan bergandengan tangan. Dua insan yang tengah berbahagia tak menghiraukan pandangan orang di sekitarnya. Ada yang terlihat iri, ada juga yang ikut merasa bahagia. Namun, ada sepasang mata yang memperhatikan dan mulai berjalan mendekati mereka.
"Riko?"
"Cintya?"
Seorang wanita cantik dan anggun berdiri di hadapannya. Naila diam memperhatikan. Namun, pandangannya tertuju pada seorang anak laki-laki yang digandeng wanita yang bernama Cintya. Wajahnya sangat tampan dan yang membuat Naila tercengang, wajah anak itu mirip sekali dengan ... suaminya.Naila memandang suaminya yang mulai berjalan mendekat ke arahnya. Wajah Riko kali ini terlihat serius dan sedikit menakutkan baginya. Naila melangkah mundur, membuat jarak dengan Riko yang sudah berdiri tepat di hadapannya. Hati Naila berdebar dan perasaan takut mulai menguasai dirinya. "Kenapa, Sayang. Apa kamu takut padaku?" Riko semakin maju mendekati istrinya yang mulai ketakutan. "Mas, ka-kamu mau apa? Wa-wajahmu tak seperti biasanya. Ka-kamu membuatku takut, Mas. To-tolong menjauhlah," pinta Naila dengan suara yang gemetar dan sangat gugup karena takut. Riko semakin mendekat dan mengikis jarak di antara mereka. Naila tak bisa mundur lagi dan dia hanya memejamkan mata tak mau memandang suaminya. Namun, tangan Riko mendekap erat tubuhnya dan menciumi seluruh wajahnya. Akhirnya Naila hanya bisa menahan tawa. "Kamu jahat! Aku sudah takut banget tahu nggak? Lihat saja badanku sampai gemetaran," ucap Naila dan langsung memasang wajah cemberut. "Hahaha ... maaf, Sayang. Kamu juga aneh-aneh, sama suami sendiri takut. Makanya jangan mudah terpengaruh sama omongan orang, apalagi omongannya Vella. Ayoo, kita siap-siap berangkat, aku belikan bubur ayam dulu, ya," sahut Riko sambil mengecup jemari Naila. "Nggak usah, Mas. Kita langsung berangkat saja. Aku ingin sarapan di warung pinggir jalan," kata Naila dengan senyum bahagianya. "Siaapp bosku," balas Riko dan berlalu menuju kamar mandi. Motor sport Riko membelah jalanan yang tampak sepi. Matahari pagi masih bersembunyi di balik awan putih. Melewati jalan raya yang masih lengang, menuju daerah pegunungan yang asri. Motor pun berhenti pada warung bambu di pinggir jalan yang terlihat bersih. Riko memilih warung yang masih sepi. Warung sederhana dengan beberapa gazebo di sekitarnya. Cocok untuk tempat sarapan dan juga bicara. Asap mengepul dari nasi soto daging yang baru saja dihidangkan. Ditambah minuman jeruk hangat favorit keduanya. Mereka pun makan dengan lahap karena rasa lapar yang tertahan. Diselingi pembicaraan tak penting tapi membuat mereka terlihat bahagia. Setelah selesai menghabiskan semuanya, Riko mulai mengajak berbicara istrinya. Wajah yang serius dan napas panjang yang berulang kali terdengar, membuat Naila tak suka. "Mas, kalau masih berat, jangan diceritakan. Aku percaya sama kamu. Jangan dipaksakan," bujuk Naila. "Tidak, Naila. Mungkin sekarang sudah saatnya kamu harus mengetahui semuanya. Daripada kamu nanti mendengar dari orang lain yang belum tentu kebenarannya. Tapi aku mohon, selama aku bercerita, jangan kamu potong bicaraku. Dengarkan saja, jangan menyela," ucap Riko yang merasa harus siap menceritakan semuanya. "Baiklah, aku akan menjadi pendengar yang setia," balas Naila dengan perasaan yang campur aduk, takut dan juga gelisah. "Papaku meninggalkan sebuah perusahaan tekstil yang sudah lama dirintisnya sebelum meninggal dunia. Namun, kakakku membuatnya bangkrut karena keuangan perusahaan yang selalu dipakai untuk kepentingan pribadinya dan menuruti keinginan Vella. Terpaksa aku menanganinya dan alhamdulillah bisa bertahan sampai sekarang." Riko mulai bercerita. "Diam-diam Rony juga ingin menjual rumah peninggalan orangtua kami, alhamdulillah orang yang akan membelinya memberitahuku terlebih dahulu. Akhirnya uang deposito peninggalan papa yang seharusnya menjadi bagianku, aku pakai untuk membayar rumah yang kita tempati sekarang. Aku berikan semua uangku pada Rony dengan surat perjanjian. Tapi kamu lihat sendiri, sekarang mereka menggangguku lagi." Riko menghela napas panjang lagi, mengembuskan perlahan agar dirinya tenang. "Aku bekerja di perusahaan lain sebagai karyawan untuk menyembunyikan statusku. Perusahaan papa dipegang oleh orang kepercayaanku. Bukan aku berniat membohongimu, Naila. Aku hanya ingin tak ada yang tahu kalau aku masih seorang pengusaha. Wanita yang mendekatiku dan juga kakakku selalu membuatku tertekan. Aku tahu mereka semua nggak ada yang tulus, hanya ingin uangku saja." "Rumah, tanah, mobil, aku jual semuanya untuk tambahan modal perusahaan. Tinggal rumah yang kita tempati peninggalan orangtuaku. Kalau rumah yang ditempati Rony, itu murni hasil kerjaku selama ini. Naila, aku dulu juga nakal, suka clubing dan gonta-ganti pacar. Tapi aku tak pernah melebihi batas dalam berhubungan dengan mereka. Jadi seandainya suatu saat ada wanita yang mengaku memiliki anak dariku, itu bohong. Banyak dari mereka yang berusaha menjebakku, tapi sungguh aku tak pernah melakukan apapun terhadap mereka," lanjut Riko. "Setelah orangtuaku meninggal dunia, aku bertemu teman yang menjadi ustadz di salah satu pondok pesantren. Aku pun banyak belajar agama darinya. Tadinya aku ingin menetap di pondok pesantren saja dan mengabdikan diriku di sana, tapi perusahaan lebih membutuhkanku. Akhirnya aku berjuang mempertahankannya sampai sekarang. Maaf kalau selama ini aku tak pernah memberikanmu kemewahan layaknya seorang istri pengusaha." Riko memandang istrinya yang masih diam mendengarkan. Naila mendengarkan cerita sampai Riko berhenti bicara. Dia hanya mengelus lengan suaminya dengan penuh kelembutan. Naila bukan wanita yang suka memandang seseorang dari masa lalunya. Apa yang dilihatnya sekarang, itulah yang dia terima. "Bagaimana, Sayang. Apakah kamu mau memaafkanku?" tanya Riko setelah selesai bercerita. Perasaannya lega dan sekarang tinggal menunggu respon dari istrinya. "Tak ada yang perlu dimaafkan, Mas. Setiap orang pasti punya masa lalu. Jika ada perbuatan dosa yang kamu lakukan di masa lalumu, itu urusanmu dengan Tuhan-mu. Aku tak berhak menghakimi apalagi marah. Mengenai status dan perusahaan yang kamu sembunyikan, aku mengerti. Aku sendiri juga punya rahasia yang belum kamu ketahui," jawab Naila. "Benarkah? Rahasia apa? Tapi kalau kamu nggak mau cerita nggak apa-apa, Sayang," sahut Riko tak berani memaksa. "Nggak apa-apa. Kita sama-sama cerita diri kita apa adanya. Pernikahan bukan main-main ataupun untuk sementara. Jadi mulai sekarang, kita harus sama-sama jujur, tak ada lagi yang disembunyikan. Aku sebenarnya punya tabungan, Mas. Hasil penjualan rumah dan tanah yang di desa peninggalan orangtua. Aku bingung mau aku apakan uang itu, jadi aku biarkan saja. Dan selama ini yang kamu tahu aku tinggal di kos-kosan dan bekerja sebagai pelayan. Mungkin kamu pikir aku ini orang tak punya." "Boleh tahu berapa?" Riko pun penasaran. "Tujuh ratus juta, Mas. Mau aku pakai buat modal usaha juga bingung mau usaha apa," jawab Naila yang membuat Riko terkejut. Tak disangka istrinya yang sederhana memiliki uang ratusan juta. "Simpan saja uangmu. Jangan dipakai apalagi untuk urusan rumah tangga. Itu uangmu, tapi tolong jangan bekerja. Bukannya aku ingin menghalangi, tapi aku juga ingin segera memiliki anak. Dan semua kebutuhanmu adalah tanggung jawabku." Riko mencoba membuat Naila mengerti dengan keinginannya. Dia tak suka istrinya nanti akan sibuk bekerja jika punya usaha. "Iya, Mas. Aku percaya padamu. Semoga kita segera diberi amanah, ya." Naila pun memahami maksud suaminya. "Aamiin ... Ayoo kita jalan lagi. Kita ke tempat wisata air terjun, mau?" tanya Riko pada Naila. "Terserah kamu saja, Mas. Ke mana pun kamu pergi, aku ikut," jawab Naila. "Truck gandeng dong." "Hahaha ...." Mereka pun tertawa bersama, lalu berjalan ke tempat parkir dengan bergandengan tangan. Dua insan yang tengah berbahagia tak menghiraukan pandangan orang di sekitarnya. Ada yang terlihat iri, ada juga yang ikut merasa bahagia. Namun, ada sepasang mata yang memperhatikan dan mulai berjalan mendekati mereka. "Riko?" "Cintya?" Seorang wanita cantik dan anggun berdiri di hadapannya. Naila diam memperhatikan. Namun, pandangannya tertuju pada seorang anak laki-laki yang digandeng wanita yang bernama Cintya. Wajahnya sangat tampan dan yang membuat Naila tercengang, wajah anak itu mirip sekali dengan ... suaminya.