"Apa kabar, Riko?" tanya Cintya.
"Alhamdulillah, baik. Maaf, ini siapa?" Riko memperhatikan anak kecil itu, dia pun terkejut melihat wajahnya yang sangat mirip dengannya.
"Hemm ... dia putraku. Sudah lama sekali kita tak bertemu. Aku ingin sekali bicara denganmu, Riko. Kapan kamu ada waktu?" Cintya tak ingin pertemuannya dengan Riko sia-sia. Ada sesuatu yang sangat ingin disampaikannya.
"Nanti sore atau besok pagi, insyaa Allah aku di rumah. Oh, ya, perkenalkan ini istriku," jawab Riko sambil memperkenalkan Naila pada Cintya.
"Naila ...." ucap Naila memperkenalkan dirinya.
"Cintya ...." balas Cintya dengan senyum ramah.
"Baiklah, nanti sore aku akan ke rumahmu. Sebentar lagi aku ada meeting dengan klienku. Kamu masih tinggal di rumah yang dulu 'kan atau sudah pindah?" tanya Cintya kembali sambil sesekali melihat benda bulat di pergelangan tangannya.
"Masih tetap di rumah yang dulu. Baiklah, aku tunggu," sahut Riko yang paham jika Cintya sedang terburu-buru.
"Baiklah, Riko, Naila, aku pamit dulu, ya. Silakan lanjutkan jalan-jalan kalian. Maaf kalau aku tadi mengganggu," pamit Cintya yang segera berjalan meninggalkan mereka sambil menggandeng putranya.
Naila hanya memperhatikan mereka berdua. Riko dan Cintya tampak akrab dan tak ada sesuatu yang membuatnya curiga. Jika keduanya mantan kekasih, pasti ada kecanggungan di antara mereka. Namun, Naila melihat mereka bersikap santai dan biasa saja. Bahkan, Cintya sama sekali tak mengenalkan putranya pada mereka. Siapa sebenarnya Cintya? Dan anak laki-laki itu kenapa wajahnya mirip sekali dengan suaminya? Berbagai pertanyaan mulai berkeliaran di pikirannya.
Riko mengerti apa yang dipikirkan Naila. Dia pun tahu jika Naila mulai curiga padanya. Apalagi wajah putranya Cintya sangat mirip dengannya. Kok bisa? Apakah dia putranya Rony? Hanya itu sekarang yang ada di benaknya. Riko tahu kakaknya dulu juga playboy sebelum mengenal Vella. Entahlah, yang harus dipikirkan saat ini hanyalah menjaga hati istrinya.
"Sayang, kita jadi jalan-jalan 'kan?" tanya Riko sambil memberikan helm pada Naila.
"Hemm ... kita pulang saja, ya. Tiba-tiba saja moodku hilang. Maaf ...." jawab Naila sejujurnya.
"Nggak apa-apa. Ayoo kita langsung pulang kalau begitu. Ke air terjunnya 'kan bisa lain waktu," sahut Riko yang mengerti perasaan Naila.
"Terima kasih, Mas." Naila tak enak hati, tapi rasa sedih dan gelisah mulai menyelimuti hati.
Motor sport Riko menelusuri jalan menuju rumah. Naila memeluk erat punggung Riko dan menyandarkan kepalanya. Baru saja Riko menceritakan masa lalunya, ujian sudah ada di depan mata. Tak dipungkiri, melihat putra Cintya sangat mengganggu pikirannya. Jika tak ada hubungan darah, kenapa wajah mereka bisa sama?
Tapi yang disukai Naila, meskipun Cintya sangat cantik wajahnya, pakaiannya sopan, sikapnya juga ramah. Rasa sedih dan curiga segera ditepisnya. Seandainya anak laki-laki itu memang putra kandung suaminya, dia harus siap menerimanya.
Setelah sampai di rumah, membersihkan diri dan berganti baju, Naila duduk di tepi ranjangnya. Riko pun duduk di samping istrinya dan mencoba mengajak bicara. Dia tak suka suasana seperti ini, membuatnya serba salah.
"Naila, tolong kamu jangan curiga padaku. Aku tak pernah ada hubungan dengan Cintya. Dia adik dari temanku. Bahkan sudah empat tahun kami tak pernah bertemu."
"Iya, Mas. Aku percaya. Maaf kalau dari tadi aku diam, mungkin aku masih terkejut melihat wajah anak itu. Kita tunggu saja nanti, siapa tahu Cintya memang ada perlu dengan kamu, sekalian memberi penjelasan siapa anak itu." Naila berkata sambil menggenggam erat tangan suaminya, memastikan bahwa dirinya baik-baik saja.
"Terima kasih, Sayang. Sungguh, aku dari tadi takut kalau kamu akan marah dan tak percaya dengan penjelasanku. Yang aku khawatirkan sekarang, dia putra kakakku. Tapi yang aku tahu, sepertinya Rony juga nggak begitu kenal dengan Cintya. Entahlah, aku jadi ikut pusing. Terus terang saja, aku sendiri juga merasa terganggu dengan wajah anak itu," jelas Riko pada Naila.
"Hemm ... apa sebaiknya kita juga mengundang Kak Rony? Aku pikir Kak Rony juga harus tahu kalau Cintya ke sini bersama putranya nanti," saran Naila.
"Baiklah, tidak ada salahnya aku menyuruh Rony datang. Seandainya Cintya nanti memberi penjelasan, bukan hanya kita berdua yang mendengarkan," balas Riko setuju.
"Ya, sudah kalau begitu. Aku masak dulu, ya. Daripada di kamar, hari juga masih pagi." Naila pun berdiri dan bersiap pergi ke dapur. Riko justru menarik tangannya dan Naila pun terjatuh di pangkuannya.
"Enakan di kamar, Sayang. Temani saja aku di sini, aku rindu," pinta Riko sambil memeluk erat tubuh istrinya.
Naila hanya tersenyum malu dan menuruti yang Riko mau. Bagi Naila, rasa percaya sangat penting dalam keutuhan rumah tangganya. Apalagi selama ini, Riko sangat sayang dan selalu melindunginya. Urusan putra Cintya, tinggal menunggu waktunya saja tanpa harus pusing memikirkannya.
***
Rony pun datang ke rumah Riko tanpa Vella. Istri cantiknya sudah pergi dari pagi bersama teman-temannya. Tak lama kemudian, Cintya datang dengan menggandeng erat tangan putranya. Seperti halnya Riko dan Naila, Rony pun sangat terkejut melihat wajah anak laki-laki Cintya. Mereka semua duduk di ruang keluarga yang lebih luas dan nyaman untuk tempat berbicara.
"Kebetulan sekali, Kak Rony juga ada di sini. Maaf kalau kedatanganku membuat kalian bingung dan pastinya sangat mengganggu. Aku ingin bicara dengan kalian semua, tolong sebelumnya maafkan aku."
Cintya berhenti bicara, menyesap teh hangat beraroma melati yang disuguhkan. Menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan, mengendalikan sesuatu yang sudah mulai menggenang di pelupuk mata. Sementara Riko, Rony, dan Naila hanya bisa menunggu dan mendengarkan wanita anggun itu melanjutkan ucapannya.
"Perkenalkan, ini putraku, Bara Alamsyah Putra. Dia ... dia ... adik kalian."
"Apaaa?"
Mereka bertiga berteriak secara bersamaan. Tak disangka kalau putra Cintya adalah adik mereka. Selama ini papanya terlihat sangat setia pada mamanya. Rumah tangga orang tua mereka pun baik-baik saja tanpa pernah ada masalah.
"Ya, maafkan aku, Riko, Kak Rony, maafkan aku. Aku sudah menikah sirih dengan papa kalian empat tahun yang lalu. Saat kecelakaan itu terjadi, Bara baru berumur satu bulan. Kalau kalian tak percaya, aku ada buktinya. Aku simpan semuanya di ponselku, mulai akad nikah, saat aku hamil, dan juga saat aku melahirkan didampingi papa kalian."
Cintya menundukkan kepala dan mengusap air matanya. Sementara putranya hanya memandang wajah-wajah orang dewasa di hadapannya. Bara bahkan tak mengerti apa yang mereka bicarakan.
Riko, Rony, dan Naila hanya diam. Perasaan mereka bercampur aduk tak bisa diungkapkan. Riko dan Rony tak menyangka kalau papanya sampai mendua bahkan sudah memiliki seorang putra. Semuanya tersimpan rapi sampai ajal menjemputnya. Cintya masih melanjutkan bicara sambil terus menundukkan kepala.
"Dan kedatanganku ke sini, yang pertama aku minta maaf karena sudah menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang tua kalian. Dan yang kedua, maafkan aku sekali lagi. Tapi kali ini aku terpaksa melakukannya. Riko, aku ingin menitipkan Bara padamu."Seorang wanita cantik dan anggun berdiri di hadapannya. Naila diam memperhatikan. Namun, pandangannya tertuju pada seorang anak laki-laki yang digandeng wanita yang bernama Cintya. Wajahnya sangat tampan dan yang membuat Naila tercengang, wajah anak itu mirip sekali dengan ... suaminya. "Apa kabar, Riko?" tanya Cintya. "Alhamdulillah, baik. Maaf, ini siapa?" Riko memperhatikan anak kecil itu, dia pun terkejut melihat wajahnya yang sangat mirip dengannya. "Hemm ... dia putraku. Sudah lama sekali kita tak bertemu. Aku ingin sekali bicara denganmu, Riko. Kapan kamu ada waktu?" Cintya tak ingin pertemuannya dengan Riko sia-sia. Ada sesuatu yang sangat ingin disampaikannya. "Nanti sore atau besok pagi, insyaa Allah aku di rumah. Oh, ya, perkenalkan ini istriku," jawab Riko sambil memperkenalkan Naila pada Cintya. "Naila ...." ucap Naila memperkenalkan dirinya. "Cintya ...." balas Cintya dengan senyum ramah. "Baiklah, nanti sore aku akan ke rumahmu. Sebentar lagi aku ada meeting dengan klienku. Kamu masih tinggal di rumah yang dulu 'kan atau sudah pindah?" tanya Cintya kembali sambil sesekali melihat benda bulat di pergelangan tangannya. "Masih tetap di rumah yang dulu. Baiklah, aku tunggu," sahut Riko yang paham jika Cintya sedang terburu-buru. "Baiklah, Riko, Naila, aku pamit dulu, ya. Silakan lanjutkan jalan-jalan kalian. Maaf kalau aku tadi mengganggu," pamit Cintya yang segera berjalan meninggalkan mereka sambil menggandeng putranya. Naila hanya memperhatikan mereka berdua. Riko dan Cintya tampak akrab dan tak ada sesuatu yang membuatnya curiga. Jika keduanya mantan kekasih, pasti ada kecanggungan di antara mereka. Namun, Naila melihat mereka bersikap santai dan biasa saja. Bahkan, Cintya sama sekali tak mengenalkan putranya pada mereka. Siapa sebenarnya Cintya? Dan anak laki-laki itu kenapa wajahnya mirip sekali dengan suaminya? Berbagai pertanyaan mulai berkeliaran di pikirannya. Riko mengerti apa yang dipikirkan Naila. Dia pun tahu jika Naila mulai curiga padanya. Apalagi wajah putranya Cintya sangat mirip dengannya. Kok bisa? Apakah dia putranya Rony? Hanya itu sekarang yang ada di benaknya. Riko tahu kakaknya dulu juga playboy sebelum mengenal Vella. Entahlah, yang harus dipikirkan saat ini hanyalah menjaga hati istrinya. "Sayang, kita jadi jalan-jalan 'kan?" tanya Riko sambil memberikan helm pada Naila. "Hemm ... kita pulang saja, ya. Tiba-tiba saja moodku hilang. Maaf ...." jawab Naila sejujurnya. "Nggak apa-apa. Ayoo kita langsung pulang kalau begitu. Ke air terjunnya 'kan bisa lain waktu," sahut Riko yang mengerti perasaan Naila. "Terima kasih, Mas." Naila tak enak hati, tapi rasa sedih dan gelisah mulai menyelimuti hati. Motor sport Riko menelusuri jalan menuju rumah. Naila memeluk erat punggung Riko dan menyandarkan kepalanya. Baru saja Riko menceritakan masa lalunya, ujian sudah ada di depan mata. Tak dipungkiri, melihat putra Cintya sangat mengganggu pikirannya. Jika tak ada hubungan darah, kenapa wajah mereka bisa sama? Tapi yang disukai Naila, meskipun Cintya sangat cantik wajahnya, pakaiannya sopan, sikapnya juga ramah. Rasa sedih dan curiga segera ditepisnya. Seandainya anak laki-laki itu memang putra kandung suaminya, dia harus siap menerimanya. Setelah sampai di rumah, membersihkan diri dan berganti baju, Naila duduk di tepi ranjangnya. Riko pun duduk di samping istrinya dan mencoba mengajak bicara. Dia tak suka suasana seperti ini, membuatnya serba salah. "Naila, tolong kamu jangan curiga padaku. Aku tak pernah ada hubungan dengan Cintya. Dia adik dari temanku. Bahkan sudah empat tahun kami tak pernah bertemu." "Iya, Mas. Aku percaya. Maaf kalau dari tadi aku diam, mungkin aku masih terkejut melihat wajah anak itu. Kita tunggu saja nanti, siapa tahu Cintya memang ada perlu dengan kamu, sekalian memberi penjelasan siapa anak itu." Naila berkata sambil menggenggam erat tangan suaminya, memastikan bahwa dirinya baik-baik saja. "Terima kasih, Sayang. Sungguh, aku dari tadi takut kalau kamu akan marah dan tak percaya dengan penjelasanku. Yang aku khawatirkan sekarang, dia putra kakakku. Tapi yang aku tahu, sepertinya Rony juga nggak begitu kenal dengan Cintya. Entahlah, aku jadi ikut pusing. Terus terang saja, aku sendiri juga merasa terganggu dengan wajah anak itu," jelas Riko pada Naila. "Hemm ... apa sebaiknya kita juga mengundang Kak Rony? Aku pikir Kak Rony juga harus tahu kalau Cintya ke sini bersama putranya nanti," saran Naila. "Baiklah, tidak ada salahnya aku menyuruh Rony datang. Seandainya Cintya nanti memberi penjelasan, bukan hanya kita berdua yang mendengarkan," balas Riko setuju. "Ya, sudah kalau begitu. Aku masak dulu, ya. Daripada di kamar, hari juga masih pagi." Naila pun berdiri dan bersiap pergi ke dapur. Riko justru menarik tangannya dan Naila pun terjatuh di pangkuannya. "Enakan di kamar, Sayang. Temani saja aku di sini, aku rindu," pinta Riko sambil memeluk erat tubuh istrinya. Naila hanya tersenyum malu dan menuruti yang Riko mau. Bagi Naila, rasa percaya sangat penting dalam keutuhan rumah tangganya. Apalagi selama ini, Riko sangat sayang dan selalu melindunginya. Urusan putra Cintya, tinggal menunggu waktunya saja tanpa harus pusing memikirkannya. *** Rony pun datang ke rumah Riko tanpa Vella. Istri cantiknya sudah pergi dari pagi bersama teman-temannya. Tak lama kemudian, Cintya datang dengan menggandeng erat tangan putranya. Seperti halnya Riko dan Naila, Rony pun sangat terkejut melihat wajah anak laki-laki Cintya. Mereka semua duduk di ruang keluarga yang lebih luas dan nyaman untuk tempat berbicara. "Kebetulan sekali, Kak Rony juga ada di sini. Maaf kalau kedatanganku membuat kalian bingung dan pastinya sangat mengganggu. Aku ingin bicara dengan kalian semua, tolong sebelumnya maafkan aku." Cintya berhenti bicara, menyesap teh hangat beraroma melati yang disuguhkan. Menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan, mengendalikan sesuatu yang sudah mulai menggenang di pelupuk mata. Sementara Riko, Rony, dan Naila hanya bisa menunggu dan mendengarkan wanita anggun itu melanjutkan ucapannya. "Perkenalkan, ini putraku, Bara Alamsyah Putra. Dia ... dia ... adik kalian." "Apaaa?" Mereka bertiga berteriak secara bersamaan. Tak disangka kalau putra Cintya adalah adik mereka. Selama ini papanya terlihat sangat setia pada mamanya. Rumah tangga orang tua mereka pun baik-baik saja tanpa pernah ada masalah. "Ya, maafkan aku, Riko, Kak Rony, maafkan aku. Aku sudah menikah sirih dengan papa kalian empat tahun yang lalu. Saat kecelakaan itu terjadi, Bara baru berumur satu bulan. Kalau kalian tak percaya, aku ada buktinya. Aku simpan semuanya di ponselku, mulai akad nikah, saat aku hamil, dan juga saat aku melahirkan didampingi papa kalian." Cintya menundukkan kepala dan mengusap air matanya. Sementara putranya hanya memandang wajah-wajah orang dewasa di hadapannya. Bara bahkan tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Riko, Rony, dan Naila hanya diam. Perasaan mereka bercampur aduk tak bisa diungkapkan. Riko dan Rony tak menyangka kalau papanya sampai mendua bahkan sudah memiliki seorang putra. Semuanya tersimpan rapi sampai ajal menjemputnya. Cintya masih melanjutkan bicara sambil terus menundukkan kepala. "Dan kedatanganku ke sini, yang pertama aku minta maaf karena sudah menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang tua kalian. Dan yang kedua, maafkan aku sekali lagi. Tapi kali ini aku terpaksa melakukannya. Riko, aku ingin menitipkan Bara padamu."