Terpaksa menerima

"Dan kedatanganku ke sini, yang pertama aku minta maaf karena sudah menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang tua kalian. Dan yang kedua, maafkan aku sekali lagi. Tapi kali ini aku terpaksa melakukannya. Riko, aku ingin menitipkan Bara padamu."

Cintya menundukkan kepalanya tanpa berani memandang orang-orang di hadapannya. Dia sadar, ucapannya akan membuat masalah. Riko adalah teman akrab kakaknya yang sudah meninggal dunia lima tahun yang lalu. Atas bantuan Riko, dia juga bisa bekerja di perusahaan papanya. Namun, bukannya berterima kasih, dirinya malah menjadi duri dalam rumah tangga orang tuanya. Bahkan mungkin saat ini sudah menjadi duri dalam rumah tangga Riko sendiri karena sudah menitipkan Bara padanya.

"Kejutan apa lagi yang kamu berikan pada kami? Setelah memperkenalkan Bara sebagai adikku, lalu sekarang tiba-tiba kamu ingin menitipkannya padaku?" Riko berdiri, berbicara pada Cintya dengan emosi, merasa wanita di depannya bertindak seenak hati.

"Sayang, sabar dulu. Jangan emosi, ada Bara." Naila berusaha menenangkan suaminya yang mulai marah. Riko pun duduk kembali, sementara Rony hanya diam memperhatikan. Dia sendiri bingung, harus bersikap bagaimana, ikut marah pun juga tak ada gunanya.

"Bagaimanapun dia juga adik kandungmu. Kalian berdua terlahir dari benih yang sama. Tolong aku Riko, Naila, aku hanya titip sementara sampai suasana di sana memungkinkan untuk membawanya," kata Cintya dengan wajah yang sudah basah karena airmata.

"Kenapa, Kak? Bukannya seorang anak apalagi masih balita lebih baik ikut ibunya?" Naila mencoba menengahi mereka. Tak pantas rasanya bertengkar di depan balita. Apalagi Naila melihat wajah Bara yang mulai terlihat ketakutan. Tak tega jika balita itu harus menyaksikan keributan.

"Sayang, mau es krim? Beli sama Kak Rony dulu, ya?" tanya Naila pada Bara. Putra Cintya itu pun menganggukkan kepala.

"Kak Rony, aku minta tolong, ya," pinta Naila.

Rony pun mengangguk setuju, paham maksud adik iparnya. Rony sendiri juga tak bisa berbuat apa-apa, rasa terkejutnya masih belum hilang, ditambah ucapan Cintya yang semakin membuatnya diam. Rony dan Bara akhirnya keluar rumah menuju supermarket menghindari perdebatan.

"Aku juga berharap seperti itu, Naila. Tapi kali ini aku menyerah. Aku tahu aku salah, aku pernah menjadi istri simpanan. Aku bukannya egois, hanya saja aku ingin yang terbaik buat putraku." Cintya melanjutkan penjelasannya.

"Kak Cintya mau ke mana? Kalau hanya bekerja, bukannya selama ini Kakak masih bisa sambil merawat Bara? Apalagi kalau aku perhatikan dari penampilan Kakak saat ini, kalian baik-baik saja," sahut Naila heran.

"Situasinya sulit, aku malu sebenarnya pada kalian." Cintya kembali menundukkan kepalanya.

"Kamu masih punya malu? Setelah merebut suami orang, rasa malumu aku anggap sudah hilang," tegas Riko yang membuat Cintya menciut nyalinya. Dia sama sekali tak menduga, laki-laki tampan di depannya benar-benar marah.

"Kak, ceritakan saja alasannya. Barangkali kalau Kakak berterus terang, Mas Riko mau menerima alasanmu," bujuk Naila.

"Aku akan menikah sebentar lagi. Calon suamiku menerimaku apa adanya, hanya saja ibunya memberi aku syarat jika ingin menjadi menantunya." Cintya mau tak mau harus bercerita pada mereka.

"Apa syaratnya?" tanya Naila.

"Aku harus ikut dan tinggal di Australia karena calon suamiku sedang merintis usahanya di sana dan aku ... aku tak boleh membawa Bara," jawab Cintya yang semakin membuat Riko geram.

"Itu namanya kamu egois, tahu? Kamu lebih mementingkan dirimu sendiri. Hanya karena seorang laki-laki, kamu rela membuang putramu. Di mana letak nuranimu, Cintya? Oh, aku sampai lupa, kalau kamu sudah tak punya hati nurani." Kembali Riko berkata dengan emosi.

"Riko, tolonglah aku. Aku ingin hidup normal, aku ingin kembali membangun rumah tangga. Aku sudah lelah. Selama ini aku berjuang sendiri menghidupi putraku tanpa bantuan siapa pun. Rumah pemberian papamu juga sudah aku gadaikan, usahaku gulung tikar. Aku sekarang tak punya apa-apa lagi. Kasihan anakku kalau aku paksakan ikut denganku," kata Cintya. Dia pun berdiri, berjalan mendekati Riko. Cintya bahkan duduk bersimpuh di depan Riko saat ini.

"Selama ini Bara selalu dijaga pengasuhnya, tapi karena aku sudah tak punya uang lagi, terpaksa aku menghentikannya. Usahaku saat ini sudah jatuh, kemarin aku bertemu orang yang akan mengambil alih usahaku dan membeli beberapa aset yang masih tersisa. Aku tak bisa mengajak Bara, aku juga akan sibuk membantu usaha suamiku. Tolong aku, Riko," pinta Cintya. Dirinya sudah tak mempedulikan harga dirinya, yang penting Riko mau menerima Bara.

Riko hanya diam, dia bukan seorang manusia yang kejam. Apalagi Cintya sampai memohon dan bersimpuh di hadapannya. Helaan napas panjang tetap saja tak membuat dirinya mudah mengambil keputusan.

"Berikan kami waktu, aku akan berunding dengan istriku. Bagaimanapun, berita ini mengejutkan bagi kami. Duduklah di tempatmu, jangan seperti ini," ucap Riko tak tega.

"Maafkan aku sekali lagi jika aku memaksa. Aku akan menikah minggu depan dan tiga hari lagi aku harus sudah di Australia. Maaf, aku harus meninggalkan Bara sekarang juga, aku sudah tak punya waktu." Cintya yakin Riko akan kembali marah mendengar ucapannya.

Riko dan Naila sangat terkejut mendengarnya dan hanya bisa menggelengkan kepala tanpa bisa berkata apa-apa lagi.

"Kalau seperti ini bukan permintaan namanya tapi pemaksaan. Kamu keterlaluan, Cintya! Menitipkan anak seperti menitipkan barang yang tak bernyawa. Aku yakin Bara juga butuh adaptasi dulu, apalagi kami tak pernah bertemu. Meskipun kamu terpaksa, tapi bukan begini caranya." Riko tak habis pikir dengan Cintya, terbuat dari apa hatinya sampai begitu tega pada putranya.

"Bara anak yang nurut kok, aku yakin dia mau sama kalian. Aku sudah membawa semua barang-barangnya di mobil. Aku harap kalian tidak keberatan dengan permintaanku yang dadakan ini." Cintya hanya bisa pasrah, dia mengakui kalau dirinya juga salah. Tanpa kabar tanpa berita, dia langsung menitipkan putranya tanpa ada persiapan dari pihak Riko dan Naila.

"Apa kami bisa merasa keberatan? Bahkan kamu belum menanyakan pada Naila, apa dia bersedia? Bagaimanapun Naila yang di rumah jika aku sedang bekerja. Pastinya nanti istriku yang merawat Bara." Riko tak ingin mengambil keputusan sepihak, meskipun dia tahu Naila pasti akan setuju apapun keputusannya.

"Naila, aku mohon. Kamu mau 'kan merawat putraku? Tolong, Naila. Ini hanya untuk sementara, satu atau dua tahun saja, aku pasti akan menjemputnya," pinta Cintya pada Naila.

"Aku hanya seorang istri, kalau suamiku setuju, aku pasti akan menyetujuinya. Insyaa Allah aku akan merawatnya, bagaimanapun juga Bara adalah adik kami. Keputusan aku kembalikan padamu, Mas. Sebagai seorang Kakak, pastinya tak mungkin kita menolak Bara," jawab Naila dengan ikhlas yang membuat Cintya lega.

"Baiklah, tapi tolong usahakan secepatnya kamu menjemputnya. Bukannya aku tak mau merawat adikku, tapi seorang anak pasti lebih baik tinggal bersama ibu kandungnya." Riko pun akhirnya terpaksa menerima Bara.

"Terima kasih, Riko, Naila, terima kasih. Aku berjanji akan segera menjemput putraku. Aku akan mengambil semua barang-barangnya dulu," janji Cintya pada mereka.

Setelah mengambil barang-barang milik Bara dan meletakkan di kamar tamu, Cintya langsung berpamitan. Bahkan Cintya tak menunggu Bara dan Rony pulang. Riko dan Naila terpaksa mengiakan saja, apalagi alasan Cintya agar Bara tak menangis saat melihat dirinya pergi meninggalkannya."Dan kedatanganku ke sini, yang pertama aku minta maaf karena sudah menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang tua kalian. Dan yang kedua, maafkan aku sekali lagi. Tapi kali ini aku terpaksa melakukannya. Riko, aku ingin menitipkan Bara padamu." Cintya menundukkan kepalanya tanpa berani memandang orang-orang di hadapannya. Dia sadar, ucapannya akan membuat masalah. Riko adalah teman akrab kakaknya yang sudah meninggal dunia lima tahun yang lalu. Atas bantuan Riko, dia juga bisa bekerja di perusahaan papanya. Namun, bukannya berterima kasih, dirinya malah menjadi duri dalam rumah tangga orang tuanya. Bahkan mungkin saat ini sudah menjadi duri dalam rumah tangga Riko sendiri karena sudah menitipkan Bara padanya. "Kejutan apa lagi yang kamu berikan pada kami? Setelah memperkenalkan Bara sebagai adikku, lalu sekarang tiba-tiba kamu ingin menitipkannya padaku?" Riko berdiri, berbicara pada Cintya dengan emosi, merasa wanita di depannya bertindak seenak hati. "Sayang, sabar dulu. Jangan emosi, ada Bara." Naila berusaha menenangkan suaminya yang mulai marah. Riko pun duduk kembali, sementara Rony hanya diam memperhatikan. Dia sendiri bingung, harus bersikap bagaimana, ikut marah pun juga tak ada gunanya. "Bagaimanapun dia juga adik kandungmu. Kalian berdua terlahir dari benih yang sama. Tolong aku Riko, Naila, aku hanya titip sementara sampai suasana di sana memungkinkan untuk membawanya," kata Cintya dengan wajah yang sudah basah karena airmata. "Kenapa, Kak? Bukannya seorang anak apalagi masih balita lebih baik ikut ibunya?" Naila mencoba menengahi mereka. Tak pantas rasanya bertengkar di depan balita. Apalagi Naila melihat wajah Bara yang mulai terlihat ketakutan. Tak tega jika balita itu harus menyaksikan keributan. "Sayang, mau es krim? Beli sama Kak Rony dulu, ya?" tanya Naila pada Bara. Putra Cintya itu pun menganggukkan kepala. "Kak Rony, aku minta tolong, ya," pinta Naila. Rony pun mengangguk setuju, paham maksud adik iparnya. Rony sendiri juga tak bisa berbuat apa-apa, rasa terkejutnya masih belum hilang, ditambah ucapan Cintya yang semakin membuatnya diam. Rony dan Bara akhirnya keluar rumah menuju supermarket menghindari perdebatan. "Aku juga berharap seperti itu, Naila. Tapi kali ini aku menyerah. Aku tahu aku salah, aku pernah menjadi istri simpanan. Aku bukannya egois, hanya saja aku ingin yang terbaik buat putraku." Cintya melanjutkan penjelasannya. "Kak Cintya mau ke mana? Kalau hanya bekerja, bukannya selama ini Kakak masih bisa sambil merawat Bara? Apalagi kalau aku perhatikan dari penampilan Kakak saat ini, kalian baik-baik saja," sahut Naila heran. "Situasinya sulit, aku malu sebenarnya pada kalian." Cintya kembali menundukkan kepalanya. "Kamu masih punya malu? Setelah merebut suami orang, rasa malumu aku anggap sudah hilang," tegas Riko yang membuat Cintya menciut nyalinya. Dia sama sekali tak menduga, laki-laki tampan di depannya benar-benar marah. "Kak, ceritakan saja alasannya. Barangkali kalau Kakak berterus terang, Mas Riko mau menerima alasanmu," bujuk Naila. "Aku akan menikah sebentar lagi. Calon suamiku menerimaku apa adanya, hanya saja ibunya memberi aku syarat jika ingin menjadi menantunya." Cintya mau tak mau harus bercerita pada mereka. "Apa syaratnya?" tanya Naila. "Aku harus ikut dan tinggal di Australia karena calon suamiku sedang merintis usahanya di sana dan aku ... aku tak boleh membawa Bara," jawab Cintya yang semakin membuat Riko geram. "Itu namanya kamu egois, tahu? Kamu lebih mementingkan dirimu sendiri. Hanya karena seorang laki-laki, kamu rela membuang putramu. Di mana letak nuranimu, Cintya? Oh, aku sampai lupa, kalau kamu sudah tak punya hati nurani." Kembali Riko berkata dengan emosi. "Riko, tolonglah aku. Aku ingin hidup normal, aku ingin kembali membangun rumah tangga. Aku sudah lelah. Selama ini aku berjuang sendiri menghidupi putraku tanpa bantuan siapa pun. Rumah pemberian papamu juga sudah aku gadaikan, usahaku gulung tikar. Aku sekarang tak punya apa-apa lagi. Kasihan anakku kalau aku paksakan ikut denganku," kata Cintya. Dia pun berdiri, berjalan mendekati Riko. Cintya bahkan duduk bersimpuh di depan Riko saat ini. "Selama ini Bara selalu dijaga pengasuhnya, tapi karena aku sudah tak punya uang lagi, terpaksa aku menghentikannya. Usahaku saat ini sudah jatuh, kemarin aku bertemu orang yang akan mengambil alih usahaku dan membeli beberapa aset yang masih tersisa. Aku tak bisa mengajak Bara, aku juga akan sibuk membantu usaha suamiku. Tolong aku, Riko," pinta Cintya. Dirinya sudah tak mempedulikan harga dirinya, yang penting Riko mau menerima Bara. Riko hanya diam, dia bukan seorang manusia yang kejam. Apalagi Cintya sampai memohon dan bersimpuh di hadapannya. Helaan napas panjang tetap saja tak membuat dirinya mudah mengambil keputusan. "Berikan kami waktu, aku akan berunding dengan istriku. Bagaimanapun, berita ini mengejutkan bagi kami. Duduklah di tempatmu, jangan seperti ini," ucap Riko tak tega. "Maafkan aku sekali lagi jika aku memaksa. Aku akan menikah minggu depan dan tiga hari lagi aku harus sudah di Australia. Maaf, aku harus meninggalkan Bara sekarang juga, aku sudah tak punya waktu." Cintya yakin Riko akan kembali marah mendengar ucapannya. Riko dan Naila sangat terkejut mendengarnya dan hanya bisa menggelengkan kepala tanpa bisa berkata apa-apa lagi. "Kalau seperti ini bukan permintaan namanya tapi pemaksaan. Kamu keterlaluan, Cintya! Menitipkan anak seperti menitipkan barang yang tak bernyawa. Aku yakin Bara juga butuh adaptasi dulu, apalagi kami tak pernah bertemu. Meskipun kamu terpaksa, tapi bukan begini caranya." Riko tak habis pikir dengan Cintya, terbuat dari apa hatinya sampai begitu tega pada putranya. "Bara anak yang nurut kok, aku yakin dia mau sama kalian. Aku sudah membawa semua barang-barangnya di mobil. Aku harap kalian tidak keberatan dengan permintaanku yang dadakan ini." Cintya hanya bisa pasrah, dia mengakui kalau dirinya juga salah. Tanpa kabar tanpa berita, dia langsung menitipkan putranya tanpa ada persiapan dari pihak Riko dan Naila. "Apa kami bisa merasa keberatan? Bahkan kamu belum menanyakan pada Naila, apa dia bersedia? Bagaimanapun Naila yang di rumah jika aku sedang bekerja. Pastinya nanti istriku yang merawat Bara." Riko tak ingin mengambil keputusan sepihak, meskipun dia tahu Naila pasti akan setuju apapun keputusannya. "Naila, aku mohon. Kamu mau 'kan merawat putraku? Tolong, Naila. Ini hanya untuk sementara, satu atau dua tahun saja, aku pasti akan menjemputnya," pinta Cintya pada Naila. "Aku hanya seorang istri, kalau suamiku setuju, aku pasti akan menyetujuinya. Insyaa Allah aku akan merawatnya, bagaimanapun juga Bara adalah adik kami. Keputusan aku kembalikan padamu, Mas. Sebagai seorang Kakak, pastinya tak mungkin kita menolak Bara," jawab Naila dengan ikhlas yang membuat Cintya lega. "Baiklah, tapi tolong usahakan secepatnya kamu menjemputnya. Bukannya aku tak mau merawat adikku, tapi seorang anak pasti lebih baik tinggal bersama ibu kandungnya." Riko pun akhirnya terpaksa menerima Bara. "Terima kasih, Riko, Naila, terima kasih. Aku berjanji akan segera menjemput putraku. Aku akan mengambil semua barang-barangnya dulu," janji Cintya pada mereka. Setelah mengambil barang-barang milik Bara dan meletakkan di kamar tamu, Cintya langsung berpamitan. Bahkan Cintya tak menunggu Bara dan Rony pulang. Riko dan Naila terpaksa mengiakan saja, apalagi alasan Cintya agar Bara tak menangis saat melihat dirinya pergi meninggalkannya.