Istri yang tak dianggap

Sinar mentari bersemi seakan segera menerangi bumi. Suara adzan subuh berkumandang, perlahan ku buka mata yang terpejam. Senyum ku ukirkan tatkala disuguhi pemandangan indah di depanku, suamiku Mas Kai tertidur pulas, dalam keadaan tidur tetap terlihat tampan.

Segera ku beranjak memberanikan diri memegang bahunya dan mengoyangnya dengan pelan.

"Bangun Mas, ayo sholat subuh bersama," bisikku menggoyang bahu Mas Kai dengan lembut.

Ku pandangi mata tajam yang memandangi tadi malam, bulu mata yang panjang dan alis tebal membuatnya terlihat sayu dan menenangkan.

Mas Kai memandangku.

"Yuk sholat subuh, Mas." Ajakku. Dalam hati tak berhenti menyanjungi ketampanan Mas Kai.

Mas Kai mengangguk dan berjalan memasuki kamar mandi. Ada sedikit insiden sebelum sholat Subuh dilaksanakan. Ku rasa Mas Kai sepertinya kurang menyukai sikapku karena aku belum berani membuka Khimar di depannya. Ini hanya soal waktu. Ku mohon mengertilah, Mas.

Lantunan indah ayat suci Al-Quran yang dilantunkan Mas Kai membuat tubuhku merinding. Sholatku semakin khusyuk hingga disela terakhir menyalami telapak tangan Mas Kai terselip bulir jernih.

Dalam doa tak berhenti ku panjatkan syukur dan terima kasihku kepada sang Khaliq telah menyiapkan Mas Kai untukku. Aku yakin kedepannya kami akan menjadi pasangan suami istri serasi.

Setelah melaksanakan sholat subuh ku padangi Mas Kai yang terlihat sibuk dengan gawai. Sedang aku masih membereskan perangkat sholat kemudian tempat tidur.

'Hufft, jangan gugup. Dia adalah suamiku. Dia adalah pakaianku begitupun sebaliknya,' gumamku memberanikan diri.

"Mas …" aku memanggil Mas Kai yang memberi respon cepat.

Mas Kai berbalik menatapku. Seketika ia terpenjat menatapku yang sedang mencoba membuka Khimar.

'Bismilah …' ucapku dalam hati membuka pentil dan kain yang selalu menutupi kepala.

Kai nampak terbelalak memandangi jari manis istrinya membuka ikatan rambut hingga terurailah rambut panjang hitam lebat terawat. Leher putih yang sepertinya jenjang tertutup rambut memunculkan rasa penasaran baginya.

Diperhatikan oleh Kai membuat Audia nampak malu-malu menunduk dengan pipi bersemu.

Kai masih terkejut, dia bahkan tak berkedip memandang wanita yang telah sah menjadi istrinya sejak semalam. "Kau …"

"Em … em … iya, Mas."

"Mas maunya ku panggil apa? Mas … suami … atau …?"

Kai tidak menjawab. Ia masih diam memandangi Audia tanpa berkedip. Entah apa yang ada dipikiran pria itu. Tatapannya selalu berhasil mengintemidasi siapapun.

"Baiklah, kalau begitu ku panggil, Mas Kai saja, ya. Tidak masalah kan, Mas?" Audia tersenyum canggung lantaran tidak ada sepatah katapun yang diucapkan oleh Kai.

Apa mungkin dia tidak menyukainya? Pikiran Audia kembali dipenuhi iming-imingnya.

Audia kemudian beranjak mendekati Kai yang masih terpaku di sofa. Di dekati oleh Audia membuat Kai bertanya-tanya. Lantas ia menatap Audia dengan keheranan. Audia kemudian menunduk di depan Kai lalu meraih pergelangan tangan Kai kemudian ia menciumnya berulangkali dengan lembut.

"Mas mau mandi atau bagaimana dulu?" kata Audia tanpa melepaskan senyumnya kepada Kai yang dibuat bungkam terhadap perilakunya.

'Ada apa dengan wanita ini?' benak Kai terheran-heran terhadap sikap Audia.

Wajah datar Kai membuat Audia kebingungan. Lantas ia pun berdiri dan berjalan ke kamar mandi. "Baiklah kalau begitu biar ku siapkan air hangat dulu," ucapnya kali ini dengan senyum yang jauh lebih manis.

Kai memandangi Audia hingga memasuki kamar mandi. Siratan matanya tertahan seakan ingin mengungkapkan sesuatu.

Sementara itu setelah menyiapkan pakaian untuk Mas Kai yang sedang mandi, Audia memilih ke dapur untuk menyiapkan sarapan.

30 menit ia kembali ke kamar dan menemui Kai yang baru selesai mandi.

"Ya Allah, canggung banget." Audia gelisah melihat Kai bertelanjang dada sedang yang diperhatikan tak bergemim dan tak peduli.

Saat tatapan Kai tak sengaja tertuju padanya, sepasang netra mereka bertemu membuat dada Audia memukul cepat tak seperti semestinya.

Audia akhirnya memberanikan diri mendekati Kai kemudian mengambil alih kemeja dari pria itu. Perbuatannya membuat Kai keheranan.

"Biar ku bantu, Mas."

"Tidak usah." Tolak Kai mentah-mentah. Audia membatu mendengarnya. Namun sedetik kemudian Audia kembali mendekati Kai dan menyentuh dasi yang melingkar di leher pria itu, membuat mereka seakan sedang berpelukan.

"Tidak apa-apa, Mas," ucapnya tersenyum manis.

Aura begitu antusias membuat Kai tak bergeming sama-sekali dengan terpaksa membiarkan Audia membantunya.

Saat membuka jas Audia merasa hembusan nafasnya bergemuruh seakan copot dari tempatnya, membuatnya menelan berat saliva dan berusaha konsen pada dada bidang dan roti sobek milik Kai yang tak pernah ia lihat selain milik suaminya.

Tubuh atlis Kai sangat bugar. Setiap pahatan tertata dengan otot lengan yang memperlihatkan betapa bertenaganya seorang Tuan muda Kaian Hariz Buhron.

"Ada yang ingin kubicarakan denganmu," ucap Mas Kai menata Audia yang telah menyelesaikan kegiatannya. Audia menunduk diam-diam sedang mengatur ritme jantungnya.

"Apa itu, Mas?" ucapnya setelah tersadar.

"Aku …" belum juga menyelesaikannya perkataannya malah terpotong oleh dering ponsel yang membubarkan keseriusannya.

Telepon dari siapa? Apakah sangat penting? Si penelepon benar-benar membuat Kai gelisah.

Audia memerhatikan Kai yang kelihatan serius. Entah apa yang si penelepon katakan Kai menggusur wajah khawatir.

Sejurus kemudian Kai kembali memasukkan ponselnya ke saku. "Nikmati harimu. Aku harus pergi," ucap Kai berbalik membelakangi Audai yang keheranan.

"Mas mau kemana?" tanyanya mengekori Kai yang mengambil langkah cepat.

Kai meraih kunci mobil di nakas kemudian berjalan melewati Audia yang masih mengekorinya.

"Sudah ku katakan aku akan pergi," ucap Kai tanpa menatap Audia sembari berjalan menuju pintu kamar.

"Tapi ini hari pertama pernikahan kita, Mas. Mas akan meninggalkan ku sendirian?"

"Jangan mencegahku!" Kukuhnya mendorongku Audia yang mencoba menahannya. Kai merasa tindakan Audia cukup gegabah membuatnya kehilangan kendali hingga mendorong Audia dengan sangat kasar membuat Audia terhempas terjatuh ke lantai.

Menyadari tindakannya membuat Kai berhenti dan berbalik menatap Audia yang kesakitan karena perbuatannya.

"Sudah ku bilang jangan mencegahku," ucap Kai tanpa berniat memapah istrinya itu.

"Sebenarnya Mas mau kemana?" ucap Audia diselah menahan tangis dengan suara bergetar.

"Bukan urusanmu!" bentak Kai dengan marah. Kai menjamah wajahnya dengan kasar, wajahnya memerah memendam amarah.

"Audia Sentia Bella, kuperingatkan kau, jangan pernah ikut campur dalam urusanku. Asal kau tahu saja, aku tidak pernah menganggap pernikahan ini pernah terjadi. Dan kau… aku tak pernah mengganggapmu ada dan tak pernah menggap kau sebagai istriku. Dengar dan camkan hal ini baik-baik," ucap Kai tanpa perasaan berbalik pergi meninggalkan Audia yang membatu.

Air mata Audia mengalir tanpa keluar Isak tangis. Matanya kosong dengan otaknya yang seakan tak berfungsi. Audia perlu mencerna semua ini. Dalam waktu singkat penilainya kepada Kai berubah.

Audia tentu tahu Kai tidak menyukainya hingga ia terus bersikap datar dan dingin kepadanya. Namun Audia tidak menyangka Kai akan bersikap kasar seperti ini hingga membuat lengannya terluka dan berdarah.

Yang paling menyakitkan lagi, Kai tak sama sekali perduli bahkan saat melihatnya terluka karena perbuatannya.

"Aku tidak sekuat wanita lain, Mas. Ku harap kau segera berubah." Audia melirih dan menghapus air matanya. Ia beranjak mencari kotak obat untuk mengobati luka di lengan yang terasa menyakitkan.