Masalalu

Rintik hujan terlihat lebat dan mungkin tidak akan berhenti hingga esok pagi. Audia menyentuh kedua lengan dan menggosoknya beberapa kali untuk mengusir suhu dingin yang melanda. Tiba-tiba suara barotan serta sentuhan di bahunya mengagetkannya.

"Hai, Aulia. Lama tidak jumpa," sapa seseorang yang tidak asing di matanya. Seorang pria bertubuh tegap tidak kalah jauhnya dengan Franz. Rahang dan hidungnya kokoh dan mancung, dengan rambut klimak disisir ke belakang, membuatnya terlihat perfect.

Audia terkesiap memandang sahabat semasa kecilnya dulu, Hero yang tiba-tiba muncul di depannya. Jika tidak mengingat statusnya saat ini ia mungkin akan berhamburan memeluk pria ini.

"Hero, ini benaran Hero?" Tanya Audia berpura-pura tidak percaya.

Hero mengedipkan alis acuh. Ia juga tidak menyangka akan bertemu dengan wanita yang memenuhi isi kepalanya selama 5 tahun terkahir ini saat ia keluar dari perusahaan Villium grop.

"Kita sepertinya berjodoh, ya. Sudah bertahun-tahun aku mencarimu, loh."

"Berapa tahun?" ucap Audia seolah tak menganggap perkataan Hero serius.

"5 tahun," jawab Hero yang membuat Audia berhenti dan memandangnya dengan wajah terkejut. Namun tak berlangsung lama ketika Audia mulai terkekeh sambil memain-mainkan tangannya di udara, seakan berkata itu tidak betul.

"Setelah itu kau akan kemana?" Tanya Hero pada Audia yang berusaha membuka payung. Sepertinya wanita ini akan menorobos di saat hujan lebat seperti ini. Dia masih gila seperti dulu.

"Kemana lagi ikut bersamaku Hero."

"Dengan payung ini?" Tanya Hero tak percaya.

"Mau bagaimana lagi? Aku tidak mungkin langsung pulang kan setelah sekian lama kita tidak bertemu," ucap Audia masih berusaha membuka payung yang sialnya terhambat. Lagian jika ia pulang ia akan sendirian di kediaman besar itu.

Audia terkesiap saat Hero menarik payungnya dan kembali menutupinya. Padahal sudah susah payah ia membukanya, pria ini malah menutupnya lagi.

"Kenapa?"

Hero menunjuk ke arah samping menggunakan matanya. Terlihat sebuah mobil bmv pengeluaran terbaru memarkir di ujung sana.

"Kita naik mobilku saja."

"Mobilmu?" ucap Audia seakan tidak percaya. Hero memang merupakan salah satu anak konglomerat, namun temperamen pria ini saat masa sekolah dulu membuat Audia ragu Gilang Angga Wijaya bersedia menjadikan Hero sebagai penerus bisnis keluarga mereka.

"Mobilku, Aulia. Kau pikir mobil Bu Anggita?" ucap Hero meledek. Ledekannya itu berhasil membuat Audia terhenyak, antara terkejut dan tertawa mengingat kejadian masalalu saat ia salah mengenali mobil jemputan Hero dan malah memasuki mobil Bu Anggita yang merupakan guru killer sekaligus walikelas mereka saat menduduki bangku kelas 3 SMA dulu. Alhasil Audia diskors selama seminggu karena memecahkan guci antik milik Bu Anggita di mobil.

Audia berjalan lenggang sambil tertawa mengingat kejadian masalalunya yang membuatnya malu hingga sekarang. Ia bahkan melupakan betapa sedihnya ia beberapa menit lalu sebelum Hero datang. Alasan Audia berada disini, menerjang hujang dan angin karena ingin bertemu Direktur utama perusahaan Villium yang merupakan teman baik Kai. Sayangnya ia harus kembali tanpa hasil.

"Silahkan masuk Tuan putriku!" ucap Hero membuat Audia tersenyum malu dan menepis lengan pria itu cukup kasar.

"Sudah bertahun-tahun, jangan panggil aku putrimu. Kau tidak tahu kan aku adalah Tuan putri orang lain," ucap Audia segera masuk dan duduk di kursi mobil.

Hero tak mengganggap perkataan Audia serius, ia kembali menutupi pintu mobil dan berlari ke pintu mobil yang lain.

"Kita ke tempat favorit kita dulu?" ucap

Hero setelah duduk di kemudian. Audia mengangguk setuju dan bercerita tentang masalalu mereka dulu

Bersamaan dengan mobil yang mulai melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan Villum grop, terlihat seorang pria yang tak lain adalah Kaiberdiri memandangi mobil yang melintas di depannya dengan tatapan tidak suka, mobil itulah yang membawa istrinya.

Kai mendengus, seakan aliran aneh kini menyeruak di kepala yang membuatnya merasa tidak nyaman.

"Maaf saya sedikit lama Tuan," ucap Heru yang baru datang membawa payung. Heru melongos melihat mimik atasnya yang tiba-tiba menjadi tidak bersahabat.

"Apa saya berbuat kesalahan, Tuan?"

"Maksudmu?" BalaKai tak bersahabat memandang bawahanya itu dengan tajam.

"Anda terlihat marah," ucap Heru jujur berkata apa adanya.

Siapa sangka perkataannya semakin menambah kekesalan di wajah Kai yang bahkan menerjang hujang, beruntung dengan cepat Heru mengekori atasannya itu.

"Gajimu selama 3 bulan ku potong!" Ucap Kai tanpa perasaan masuk dan duduk di kursi belakang mobil.

"Apa salahku, Tuan?" Heru mendengus. Ia dibuat bertanya-tanya terhadap perubahan sikap atasannya ini.

"Salahmu karena banyak bertanya," ucap Kai membuang wajah jengah. Kini keputusannya tidak dapat diganggu gugat lagi.

Heru kesal namun ia tak berani melongos di depan Kai. Dia masih menyayangi nyawanya dan hidupnya yang digelandang kemewahan.

"Kita jadi pergi ke Canada kan, Tuan?" Heru melirik atasannya itu dan berbicara dengan hati-hati. Ia tidak ingin kembali menyinggungnya lagi yang akan berakibat fatal untuknya.

Kai diam, ia tidak menyahut namun ia mengangguk pelan.

Kai akan melakukan perjalanan bisnis ke Canada untuk bertemu dengan rekan bisnisnya. Biasanya Herulah akan mewakilinya, namun bisnis kali ini sangat berarti untuk kemajuan perusahaan Collapse kedepannya. Dan tentu saja Dimas menuntunnya untuk menghadiri perjamuan teman bisnisnya itu. Mau tak mau Kai harus menyetujuinya.

"Berapa lama kita kesana?" Kai melirik asistennya itu dengan bola mata memicing.

"Sekitar 3 hari, Tuan. Kita juga harus menghadiri jamuan besar keluarga tersebut," jelas Heru panjang lebar.

Mobil bmw pengeluaran terbaru itu melaju memecah jalan raya menuju ke pusat penerbangan.

***

Kini sudah 3 hari kepergian Kai setelah perkataan kasar ia lantunkan pria itu pergi dan belum kembali. Audia kesepian sendirian di kediaman. Lagi-lagi kai pergi tanpa meninggalkan kabar.

Audia membuka pejamannya saat telinganya menangkap bunyi mesin mobil memasuki pekarangan kediaman dan berhenti di halaman.

"Kau darimana saja, Mas?" tanyanya saat Kai berdiri di pintu masuk utama. Audia terlalu rindu kepada pria ini. Makanya ia dengan buru-buru lari menuruni tangga tanpa hati-hati yang mungkin akan merenggut nyawanya saat itu juga.

Kai tidak menjawab pertanyaan Audia. Ia memandang Audia dengan wajah dinginnya. Penjaminnya terlihat berantakan, Audia dapat melihat sorot matanya yang terlihat lelah.

"Kemanapun saya pergi bukan urusanmu," seru Kai dingin berlalu melewati Audia menuju lantai atas.

Audia membatu. Namun, ini bukan waktunya bersedih. Dia segera mengekori Kai menuju kamar.

"Mas apa kau lapar?" Tanya Audia dengan hati-hati. Sebaik mungkin ia akan melayani Kai dengan baik.

"Tidak usah bersusah payah," jawab Kai datar membuang tubuh ke ranjang lalu menarik bantal mulai memejamkan matanya.

Audia kebingungan. Sekarang apa yang harus ia lakukan untuk melayani Kai.

Maksud Audia adalah pelayanan yang sewajarnya, karena ia akan berpikir 2 kali jika Kai meminta haknya.

"Mas... apa yang bisa ku kerjakan?" ucap Audia dengan pelan, terdengar seperti berbisik di telinga Kai.

Kai yang tidak tertarik terlihat mulai membuka pejamannya dan mendongkak menatap Audia yang terkesiap mengambil 1 langkah ke belakang.

Melihat reaksi Audia membuat Kai terkekeh. Rasanya ia ingin mengumpat menyadari perkataan Audia tidak sesuai dengan jawaban tubunya. Kai mencibir dan kembali memejamkan matanya. Percuma ia berharap lebih kepada wanita ini.

Sekali lagi Audia mencoba mendekati Kai. Wajah Kai yang nampak pucat membuat Audia cemas.

"Mas... Apa kau sakit?"

"Kalau tidak mampu melayaniku lebih baik kau menjauh!" Ucap Kai memperingati. Ia mulai kesal dengan gelagat pura-pura polos istirnya ini. Lagian untuk apa peduli, toh sejak awal ia tak menganggap keberdaan wanita ini.

"Kau terlihat kurang vit. Mungkin kau sakit, Mas? Bolehkah kita ke rumah sakit? Aku takut demam Mas semakin parah jika hanya berdiam diri rumah," ucap Audia dengan khawatir, namun yang didengar hanya ocehan di telinga Kai.

Saat Audia memberanikan diri menyentuh dahi Kai, dorongan kuat membuatnya hampir terpental ke lantai jika tangan kekar yang mendorongnya tak berusaha menggapai tubunya kembali.

Kai menepis lengan Audia dengan kasar dan memandang wanita itu dengan mencibir. Hampir saja ia jatuh dan mungkin akan terluka karena ulahnya sendiri. Wanita memang lemah dan tidak berotak.

"Kau mau mati!" Hardik Kai memandang tajam ke arah Audia yang hanya bisa menunduk tanpa berani menjawab.

"Sebenarnya bagaimana didikan kedua orang tuamu sehingga kau menjadi wanita menyebalkan seperti ini. Kalau ditanya ya dijawab, jangan hanya diam saja!"