Orang Ketiga

"Kau mau mati!" Hardik Kai memandang tajam ke arah Audia yang hanya bisa menunduk tanpa berani menjawab.

"Sebenarnya bagaimana didikan kedua orang tuamu sehingga kau menjadi wanita menyebalkan seperti ini. Kalau ditanya ya dijawab, jangan hanya diam saja," seru Kai memijat pelipis.

Siapa sangka perkataan Kai membuat bulir jernih mengalir di sudut mata Audia yang mulai menangis. Audia sedang lemah saat ini, karena dalam kondisi datang bulan.

Kai menggeleng dan kembali memijat pelipis. Ia lemah dalam hal ini. Salahnya karena melampiaskan kemarahannya kepada wanita ini. Beberapa menit yang lalu ketika turun dari bandara Kai menemukan pemandangan yang nyaris membakar otaknya.

Kai beringsuk mendekati Audia yang terduduk dengan air mata yang terus terjatuh mengenai lantai.

"Saya tidak bermaksud mengatakan kata-kata tadi. Kau tahu kan kesehatan saya–"

"Kalau sakit ke dokter, mas. Apa setiap kali Mas sakit aku akan terus dibentak seperti ini," kata Audia mengeluarkan pendapatnya. Kai terpenjat mendengarnya. Ini pertama kalinya ia mendengar wanita yang bahkan tuk menatap matanya saja tidak berani, sekarang ia berani mengemukakan pendapatnya di hadapannya.

Tanpa sadar sudut bibir Kai terukir. Ia tersenyum didalam penderitaan seseorang.

Kai menunduk dan memandang Audia yang sedang menangis.

"Kau sedang berdoa agar aku selalu sakit?" ucap Kai mencoba mencairkan suasana. Sesungguhnya ia merasa bersalah setelah membentak Audia tadi. Apalagi hingga membuat Audia menangis.

Audia terkesiap dan segera menggeleng. Bukan ini maksudnya. Dia hanya ingin membela diri. "Ma-maksudku kalau mas tidak mengubah tingkah buruk Mas itu mungkin akan buruk bagi kesehatanmu Mas."

"Jadi apa...? Kau mau bilang kalau aku kejam, menjengkelkan, pemarah, makanya akan mudah sakit?" gumam Kai menatap Audia dengan tatapan mengintimidasi. Ia tidak berniat serius, kali ini ia hanya ingin bermain-main dengan wanita ini.

Yang benar saja reaksi Audia benar-benar menarik perhatian Kai. Apalagi melihat Audia yang gugup membuat Kai menjepit bibirnya agar tidak tertawa.

"Hiks, Mas... Saya tidak," ucap Audia tertahan karena harus menggosok cairan hidungnya.

Kai terkekeh melihatnya dan segera mendekati wanita itu lalu memberikan sapu tangan miliknya kepada Audia.

"Pakai ini dan bersihkan cairan hidungmu. Bahkan Yaya adik kecilku akan berkomentar melihat orang dewasa menangis hingga keluar cairan hidungnya seperti ini," ujar Kai sambil terkekeh memberikan sepotong kain miliknya kepada Audia yang diterima wanita itu dengan nurut.

Audia membersihkan cairan hidungnya di hadapan Kai. Menyadari sesuatu, Audia terpenjat dan segera berbalik membelakangi Kai. Ia sedang dalam misi membuat Kai jatuh cinta padanya. Ia harus bersikap anggun di depan Kai, bukan sebaliknya.

"Mas tidak lihat saat aku membuka cairan hidung kan?" Tanya Audia dengan polos saat berbalik menghadap Kai.

Kai tidak tahu wanita ini terlalu polos atau bagaimana, tentu saja ia sempat melihatnya tadi.

Audia menghembuskan nafas legah sambil membelai-belai dadanya saat Kai menggeleng.

"Jadi bagaimana, Mas, apa kau sudah mempertimbangkan untuk ke rumah sakit?" ucap Audia menatap Kai dengan berharap Kai mengangguk.

"Sepertinya tidak. Saya baik-baik saja."

"Lalu kenapa Mas sakit? Apa mas kurang tidur, atau mas jarang makan?" ucap Audia yang mendapat gelengan Kai.

Audia tidak tahu alasannya. Namun Kai berlenggang pergi meninggalkannya, sepertinya ia tidak berniat menceritakannya.

"Kalau kau bersikukuh agar menjadi berguna, sebaiknya kesini dan pijit kepalaku," ucap Kai yang ternyata tidak pergi namun kembali tidur di ranjang.

Kali ini dengan posisi tengkulap.

"Kepalaku sedikit nyeri, mungkin inilah penyebabnya hingga aku tidak bisa berpikir."

Audia mengangguk segera mendekati Kai. Ia beringsuk naik ke ranjang dan dibuat kebingungan bagaimana cara memijit dengan posisi seperti ini, hingga Kai menyarankan serta mengizinkannya untuk duduk di tubuh belakangnya agar ia dapat memijat dengan mudah.

Satu jam berlalu Audia akhirnya menyelesaikan pekerjaannya. Ia melakukannya dengan baik. Audia beringsuk dan kembali turun dari ranjang. Melihat Kai yang mendengkur dengan mata terpejam membuat Audia berpikir pria itu sudah tidur.

"Laras..." gumam Kai yang nampak tak sadar membuat Audia membatu.

"Laras maafkan, aku. Aku mencintaimu... Aku tak berniat meninggalkanmu. Semua ini ku lakukan karena keinginan orang tuaku." Kai bergumam sambil menggenggam tangan Audia dengan erat.

"Aku tak pernah mencintai wanita lain selain dirimu Laras. Bersabarlah dan kemudian menikahlah denganku." Kata-kata Kai membuat Audia kehilangan kendalinya. Beberapa saat ia hanya bisa membisu hingga cengkeraman Kai lentur dan mulai melepaskannya.

Audia menghapus jejak air matanya dan mendekati Kai yang terus bergumam. Meskipun hatinnya sakit mendengar suaminya menyebut nama wanita lain saat kondisi kritis seperti ini, namun Audia tidak tega meninggalkannya yang sedang sekarat.

Audia menyentuh jidat Kai yang terasa begitu panas. Rupanya Kai demam, namun pria ini bersihkan keras tidak ingin dirawat di rumah sakit.

"Laras... apa dia kekasihmu, Mas? Sadarlah dan lihatlah aku yang merawatmu, agar kau segera mencintaiku," ucap Audia tertawa pilu. Bisa-bisanya ia mengatakan hal yang begitu menyedihkan didengar.

Audia berjaga untuk mengganti kompres di kepala Kai. Semalam ia tidak tidur dan setia merawat Kai dan selalu berada di samping pria itu. Meski Audia kembali terluka saat Kai kembali menyabut nama kekasihnya, Naila.