Bekal makan siang

Sinar mentari masuk ke celah jendela yang tak tertutup. Terlihat sepasang insan yang sedang tidur dalam posisi berbeda. Sejak semalam Audia setia menemani Kai hingga tertidur di sebelah pria itu dalam posisi duduk. Pegal telah ia rasakan sejak semalam, ia tidak dapat menikmati tidur dengan baik.

Sementara itu Kai mulai membuka matanya. Matanya yang tajam tak menunjukkan keteduhan seperti orang yang baru tidur. Pria itu terkesiap mendapatkan sepotong kain basah di jidatnya, kain yang digunakan Audia untuk menurunkan suhu tubuhnya.

Semalam apakah dia tidak tidur? batin Kai menatap Audia dengan teduh.

"Kau sudah bangun, Mas?" Entah sejak kapan Audia bangun, perkataan wanita itu membuyarkan lamunan Kai yang sempat membelanjang luas.

...

"Hari ini tanggal berapa?" ucap Kai kepada asistennya–Rita, yang mengekorinya sejak pertama kali ia masuk.

"20 Maret, Tuan," sahut Rita.

"Ini adalah dokumen laporan keuangan yang Tuan minta. Saya sudah mengeceknya dan semua baik-baik saja. Namun untuk memastikannya lagi Tuan bisa mengeceknya kembali," ucapnya sembari menyodorkan map tebal di meja.

"Kalau begitu saya permisi, Tuan. Jika memerlukan sesuatu silahkan hubungi saya." Rita berlaku sopan dan melanggar pergi dari ruangan meninggalkan Kai yang mulai sibuk dengan pekerjaan. Sebenarnya Kai tidak harus berusaha paya seperti ini, karena pekerjaannya bisa dihandel sekretarisnya, mengingat kondisinya yang kurang feet akhir-akhir ini.

Pukul 12.30 Audia berdiri di depan ruangan Kai, selaku direktur sekaligus CEO perusahaan PT.Freport–perusahaan yang bekerja dalam bidang pembangunan dan kontruksi.

Audia tidak berlenggang kosong, ia membawa kotak makan yang berisi nasi dan sup serta lauk pauk menyehatkan.

Audia sangat khawatir dengan kondisi Kai. Sejak pagi ia tidak tenang memikirkan kondisi Kai hingga akhirnya ia memutuskan membuat sarapan siang untuk suaminya itu.

Entah Kai bersedia memakannya atau tidak. Setelah Kai pergi tanpa menyentuh masakannya pagi tadi, Audia sedikit ragu membawa makanan untuk suaminya itu. Namun rasa khawatir menuntunya untuk berani.

Rasanya menyakitkan melihat pria yang ia cintai kesakitan. Padahal selama ini Kai selalu baik-baik saja. Pria itu selalu menjaga kesehatannya termaksud dengan rutin olahraga dan mengonsumsi makanan bergizi dan sehat.

"Ada perlu apa, Nona?" ucap Rita menatap Audia dari ujung kaki hingga ujung rambut, dan berkahir memandang kotak makan yang dibawah wanita itu.

"Saya istri..." Audia menahan ucapannya. Ia hampir lupa status pernikahannya dengan Kai harus disembunyikan.

"Tolong berikan kotak makan ini kepada direktur. Katakan ini makanan yang disiapkan pelayanannya." Audia menyodorkan kotak makan kepada Rati, tanpa mengatakan apapun lagi ia beranjak pergi.

Rita memandang kepergian Audia kemudian mengetuk pintu ruangan atasannya.

"Permisi, Tuan. Seseorang membawa makan siang, katanya dari pelayan anda," ucap Rita dengan hati-hati.

"Letakkan di meja," sahut Kai. Rita berlanggang keluar dari ruangan sambil menghembuskan nafas legah.

Kai memandang kepergian Rita, kemudian beralih memandang kotak makan siangnya.

Pelayan? Setahunya ia tidak memiliki pelayan di rumah. Kai sengaja tidak membayar pelayan agar wanita itu memiliki pekerjaan.

"Apa dia yang membawanya?" gumam Kai tak melepaskan matanya memandang kotak makanan. Seingatnya ia tidak memesan makanan apapun.

***

"Sekarang susah banget yah menghubungi Tuan putri ini. Aku ingin bertemu dan berbincang-bincang, namun kau selalu sibuk. Sebenarnya apa kesibukanmu akhir-akhir, Audia?" ucap Hero yang duduk di depannya.

Saat meninggalkan perusahaan, pesan masuk yang ternyata dari Hero, pria itu mengajaknya ke restoran dan Audia langsung menyetujuinya. Ia pikir akan menghilangkan kesedihannya dengan berbincang-bincang bersama Hero.

"Aku... kerja," sahut Audia berbohong. Tujuan hidupnya sekarang adalah mengurus kebutuhan Kai. Selain itu tidak ada.

"Kerja terus. Kapan nikah?" ucap Hero membuat Audia membatu.

"Nikah?" Audia mengulangi pertanyaan Hero.

"Ya, nikah," imbuh Hero manggut-manggut. Dia terlihat penasaran sekali dengan jawaban Audia.

Audia meneguk saliva berat. Ia harus hati-hati karena Hero mengenal dirinya dan tahu saat ia berbohong.

"Secepatnya. Kamu sendiri kapan nikah? Jangan lupa umurmu 2 tahun lebih tua dariku. Kita satu kelas karena kau terlambat sekolah 2 tahun." Audia merasa puas menemukan jawaban yang tepat untuk menimpali.

Sementara Hero menggaruk tengkuk mendengar perkataan Audia.

Audia terkekeh melihat sikap linglung Hero. Itu membuatnya tersenyum kecut segera merai gelas coffe lattenya dan menandasnya sedikit-sedikit.

"Tidak usah memperdulikanku. Lambat laun kau pun akan tahu. Justru aku menunggu hari H mu. Aku juga penasaran seperti apa calon istri seorang Hero, wanita yang bakal menaklukkan seorang playboy Hero, pasti bukan wanita biasa," ucap Audia diikuti senyum ejeknya menatap Hero yang salah tingkah.

Entah bagaimana perasaan Hero. Dia terlihat tidak senang, begitupun sebaliknya. Perkataan Audia seakan mengubah moodnya.

1 jam mereka habiskan dengan berbincang-bincang ditemani coffe dan cemilan. Mereka memutuskan untuk berpisah dan berjumpa di lain waktu.

Namun saat Audia ingin berdiri, sebuah tatapan menusuk seakan menusuk ke tulang-tulang tubuhnya membuat Audia mati rasa.

"Ada apa?" Tanya Hero menyadari keanehan wajah Audia. Pria itu baru kembali dari toilet menyelesaikan panggilan alamnya.

Audia terkesiap. Jika Kai melihatnya apakah dia akan marah.

"Pinjam badan sebentar." Audia menarik Hero membuat pria itu kebingungan.

"Ada apa?" Hero kebingungan melihat gelagat Audia. Namun ia tetap melakukan yang diminta wanita itu.

"Stttttt!" Audia menuntut Hero untuk diam.

"Iya, kenapa emangnya?" ucap Hero merasa aneh dengan sikap Audia. Dia ingin menepi namun ditarik lagi oleh Audia.

Meksipun menggunakan badan Hero untuk bersembunyi, namun Audia tetap mengukur jarak dengan Hero. Ia berada beberapa senti dengan pria itu sambil melirik Kai yang berjalan melewati mereka.

Mata Audia menghunus saat Kai lewat di depan mereka. Begitupun dengan Hero yang mulai paham dengan situasi, menatap Kai cukup lama hingga pria itu duduk di tempat duduk yang tersedia di restoran bersama beberapa orang pria di dekatnya.

Audia menghembuskan nafas legah. Syukurlah Kai tidak melihat dirinya. "Apa kondisinya sudah membaik?" gumam Audia menatap Kai dari jauh. Ingin sekali menghampiri Kai dan menanyakan apakah dia baik-baik saja.

Merasa diperhatikan Kai menghunuskan serentak matanya ke arah seorang wanita yang sejak tadi memerhatikannya.

Meskipun tidak peduli dengan situasi, namun seakan memiliki Indra keenam, dia memiliki insting yang tinggi. Kai beralih menatap pria yang berdiri dengan wanita itu. Melihat tatapan pria itu yang tidak bersahabat membuat Kai merasa aneh.

"Siapa dia?" ucap Hero saat berada di parkiran restoran.

Audia terkesiap. Dari tadi ia menanti pertanyaan ini. Hero bukanlah pria yang tidak peka, dia bisa mengerti situasi dengan cepat meskipun Audia telah berusaha menutupinya.

"Seseorang yang aku takuti," sahut Audia memasuki mobil dan duduk di kursi sebelah kemudi. Sebisa mungkin ia ingin menghindari pertanyaan ini.

Hero masuk dan duduk di kemudi. Tatapannya lurus ke depan menatap Audia dengan serius.

"Takut? Jadi siapa dia? Aku tahu kau tidak nyaman dengan keberadaan dia. Apakah dia pria brengsek yang telah bertindak kurang ajar padamu!" Hero dengan segala pemikirannya yang menurut Audia sangat kolot.

"Come, on. Sudahi ini. Aku tidak mau membahasnya," seru Audia menghembuskan nafas lelah.

Melihat Audia yang kembali badmood mau tak mau Hero membiarkan semuanya berlalu.

Pria itu mulai menjalankan mobil meninggalkan restoran.

Di perjalanan Hero menatap Audia yang memejamkan mata. Melihat Audia yang sangat lelah membuatnya merasa ibah. Entah apa yang dialaminya, Hero tahu Audia menyembunyikan sesuatu darinya.

Ia mungkin membiarkan berlalu begitu saja, namun Hero tidak akan melupakan wajah pria itu. Ia akan mengigatnya dengan jelas setiap inci wajahnya.