Manusia memang mempunyai kecenderungan untuk menyukai keindahan. Termasuk dalam melihat wanita atau laki-laki. Dunia mulai mengkotak-kotakkan si cantik, tampan, seksi dan Reres sering berpikir, apa ia masuk dalam salah. Atau kategorinya? Di usia ke 24 tahun, memiliki berat badan lebih dari 80 kilogram, dengan tinggi hanya 158 cm. Tak cantik, tak seksi, bukan pilihan laki-laki, hal biasa untuknya ketika sekitar mengatakan gendut dan tak menarik atau berbagai julukan lain .., sialan memang pikirnya. Gendut itu memang fakta, yang sering membuat ia kesal adalah ketika kata-kata itu ditujukan untuk mencemooh. Itu yang dulu sering kali buat Reres sakit hati. Ya tapi, ia kini coba terima saja nasib terlahir sebagai si semok dan montok.
***
Makan malam hari ini berlangsung dengan sangat baik dan lancar. Meskipun sejak tadi Saga sama sekali tak ada senyum. Namun, sikap dinginnya itu malah membuat Aira semakin penasaran. Gadis itu sesekali melirik pada Saga yang duduk tepat di hadapannya. Saga tak bergeming tetap menikmati santapan malamnya. Tatapan matanya hanya tertuju pada piring makan berisi steak daging buatan sang nenek.
Obrolan yang terjadi di ruang makan itu hanya tentang bisnis, bisnis, dan bisnis. Terutama tentang niat kedua keluarga itu untuk bekerja sama dalam pembangunan sebuah hotel. Sepertinya, ini alasan mengapa Nindi berkeras hati untuk menjodohkan keduanya.
"Jadi gimana kerjaan kamu Aira?" tanya Nindy pada Aira.
Aira menoleh menatap Nindi. "Baik Tante," jawab Gadis itu sopan.
"Haduh, Oma suka perempuan kaya Aira cantik mandiri. Ya kan Saga?" Ayu menoleh pada sang cucu.
Saga tak menjawab ia hanya menoleh sekilas lalu kembali melanjutkan santap malamnya. Dan anehnya sikap dingin Saga malah membuat ia tersenyum di sudut bibirnya.
Setelah acara makan malam, Nindi meminta Saga untuk menemani Aira mengobrol di taman belakang. Namun, yang terjadi kemudian adalah keduanya Hanya duduk dan saling diam lebih dari sepuluh menit. Saga sibuk dengan ponsel di tangannya, Aira juga melakukan hal yang sama hanya saja sesekali Gadis itu melirik pada laki-laki dingin di sampingnya.
"Saga," panggil Aira.
Saga menoleh, tanpa senyum.
"Kita bisa jadi teman 'kan?"
"Bisa, hanya teman. Kalau untuk perjodohan sepertinya enggak. Kamu bukan tipe saya." Saga menjawab sambil kembali menatap ponsel.
Aira terdiam, sejujurnya jawaban Saga terlalu blak-blakan dan buat ia kecewa. "Aku juga enggak terlalu setuju perjodohan ini." Aira katakan itu untuk mempertahankan harga dirinya.
Saga berdecih, lalu menatap Aira. "Really? Tapi tatapan mata kamu sepanjang makan malam tadi menyiratkan hal yang berbeda. Saya tau saya ganteng, mapan—" Saga lalu mendekatkan wajahnya. "Yang perlu saya kasih tau ke kamu, saya hebat dalam urusan ranjang." Saga kembali menjauhkan tubuhnya.
Ucapan Saga buat Aira menatap Saga, ia bisa melihat senyuman licik Saga yang malah buat darahnya berdesir dan jantungnya berdetak semakin cepat . Sialan! Batin Aira bisa-bisanya dia semakin tertarik pada pria yang mentah-mentah menolaknya? Dalam pikirannya Aira memaki Saga sama hatinya Aira jatuh hati.
Saga telah kembali ke posisinya, memainkan ponsel lagi. Lalu yang terjadi pada Aira adalah ia masih terdiam beberapa saat pada posisinya. Dan setelah kesadarannya kembali, gadis itu kembali duduk dengan tegak dan menatap ponsel di tangannya.
Tak ada yang dibicarakan keduanya sampai Aira pulang meninggalkan tempat itu. Saga segera menuju kamarnya ia tau jika masih bertahan di lantai bawah, mami dan sang nenek akan menceramahi dirinya yang tak ramah.
Sampai di kamar ia melihat Reres yang tertidur di kursi rias menutup wajah dengan bantal kecil. Gadis itu kelelahan, apalagi setelah kembali dari Bali pria pucat itu sama sekali tak memberikan waktu beristirahat. Saga lalu berjalan mendekat memegang kening sahabatnya yang masih demam. Ia lalu melihat ponsel Reres yang menyala, pesan dari Haris.
'Istirahat aja kalau kamu pusing, jangan maksain nulis jadwal ya Res, kita bisa lanjut besok di kantor. Lekas sembuh ya.'
Saga hela napas, lalu membangunkan Reres. "Bangun Restu."
Reres segera terbangun, ia menatap Saga dan segera tersenyum. "Lo udah selesai?"
"Ke kamar sana istirahat." Saga memerintahkan.
"Lo kan belum siap-siap?" tanya Reres dengan wajah bingung.
"Gampang, udah sana istirahat. Lusa kita ke Bali lagi gue mau ketemu rekanan sama jalan-jalan sama Vinny. Gue enggak mau lo sakit disaat gue butuh lo."
Reres mengangguk mengambil ponselnya. "Makasih Saga, met bobo," ucap Reres dengan suaranya yang menggemaskan kemudian berjalan meninggalkan Saga.
Reres berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai bawah. Ia segera masuk ke dalam kamar, yang terlihat begitu rapi. Nuansa kamar Reres sederhana dan manis dengan nuansa soft pink dan cream. Ia mendekorasi kamar dengan uang gajinya. Reres tak punya keluarga yang harus ia kirimi uang, ia menggunakan gajinya untuk mendekorasi kamar juga berdonasi ke panti asuhan dan panti jompo dan sebagian besar uangnya ia tabung. Ia tak banyak kebutuhan karena semua sudah ada di rumah itu.
Ia rebah di tempat tidur, lalu membuka ponsel miliknya, membaca pesan dari Haris.
Reres:
Aku kebangun Mas. Tadi ketiduran pas nunggu Pak Saga
Mas Haris.
Aku boleh video call kamu sebentar?
Reres:
Boleh. Memang ada apa mas?
Tak ada balasan, karena kini Haris menghubunginya. Reres segera menerima panggilan video dari rekan kerjanya itu. Haris tersenyum melihat Reres yang nampak di layar ponselnya.
"Kenapa Mas? Gabut lagi kah?"
"Sebenarnya iya, cuma aku tau kamu sakit. Aku mau memastikan kamu minum obat. Minum sana," Haris memerintahkan.
"Mas Haris kaya dokter." Reres kemudian berdiri mengambil obat demam di meja riasnya. Ia menunjukkan pada Haris dan kemudian meminumnya.
"Good girl."
Pujian Haris buat Reres terkekeh. "Oke Pak dokter."
"Dah istirahat sana. Oke?"
"Enggak mau ngobrol?"
Haris gelengkan kepala. "Aku enggak mau kamu tambah sakit."
"Oke, Babay Mas."
"Oke, nite, mimpi indah, sehat ya lusa"
"Oke, bye." Reres kemudian mematikan panggilan.
***
Hari ini seperti jadwal, Saga akan ke Bali untuk menemui rekanan juga menikmati waktu bersama Vinny.
"Haris udah di hotel 'kan?" tanya Saga buat lamunan Reres buyar.
Reres sejak tadi menatap jalan, perjalanan udara cukup buat ia menjadi pusing. "Udah," jawabnya singkat.
"Vinny?" tanya Saga lagi.
"Lauren?" Reres balik bertanya.
Saga menatap dengan kesal, ia bahkan berdecak beberapa kali. "Gue bilang Vinny."
"Gue dengernya Lauren." Reres menyahut.
Vinny atau Lauren yang pasti salah satunya akan ia ajak saat harus pergi ke suatu tempat. Itu yang dilakukan Saga sebagai penikmat kegiatan ranjang. Kemanapun ia pergi tak pernah ketinggalan seorang gadis yang akan ia ajak untuk memuaskan dirinya.
"Res, Vinny sama Lauren itu jauh ya. Gue bilang Vinny gue kan mau minta maaf sama dia." Saga makin kesal.
Reres kini menatap jam di tangan waktu menunjukkan pukul lima sore sementara perjalanan keduanya masih sekitar 10 menit lagi.
"Yaudah maaf, lagian 'kan sama aja lo cuma mau bobo cantik."
Saga bergerak mendekat, menatapku dengan tatapan kesal, ia lalu memegang telinga Reres seraya menggoyang-goyangkannya. "Kuping lo ini masih berguna enggak sih?"
"Masih berguna kok, lo mau bayarin?" tanya Reres.
"Sialan lo emang, mendadak banget apa-apa duit, duit, duit." Saga malah makin kesal sekarang.
"Terus kalau enggak apa-apa duit apa dong?" Tanya Reres sengaja membuat Saga semakin kesal.
Saga berdecak, sepertinya kesabarannya sudah di ujung tanduk menghadapi sahabatnya yang kadang memang menyebalkan sekali. "Sumpah ya, ngomong sama lo hari ini bikin emosi."
Reres tersenyum dan menatap Saga kini. Pria itu benar-benar marah hingga buat wajahnya memerah. "Makasih lho pujiannya."
Tak ada kata-kata lagi selama perjalanan menuju hotel. Entah berapa kali Reres sudah menginjak kaki di Bali. Namun, biasanya ia hanya singgah, kerja lalu kembali pulang. Sampai akhirnya beberapa Minggu lalu ia pijakan kaki di pinggir pantai Kuta merasakan bulir pasir hingga ke sela-sela kaki, bermain bersama debur ombak, duduk dan menunggu matahari tenggelam menikmati malam dengan tenang. Ya, setidaknya itu terjadi juga dalam hidupnya saat ia bersama Saga untuk proses pembuatan bayi. Kadang Reres merasa bosan harus terus mengikuti Saga selama 24/7. Jujur, kadang ia ingin memiliki kehidupan sendiri hanya saja Reres seolah terikat, Saga membutuhkannya.
Keduanya tiba di hotel, sambutan yang spesial seperti biasa. Lalu mereka diantar menuju kamar yang dipesan Saga. Dalam perjalanan Reres melihat Haris yang duduk menunggu. Saat melihat sang atasan, ia berjalan cepat mendekat. Haris berangkat lebih dulu dengan Vinny. Saga mengatakan ia mau semua siap saat dirinya tiba.
Haris kini berada tepat di samping Reres. Tersenyum sambil mengikuti langkah Saga yang sudah berjalan di depan. Kebiasaan Haris adalah menunggu di luar selama ada kekasih Saga di dalam kamar. Ia benar-benar menjaga dirinya dengan baik.
"Nunggu berapa lama Mas?" tanya Reres.
"Baru aja, aku tadi jalan-jalan sebentar dan makan. Pas kamu bilang udah sampai bandara aku ke sini lagi," jawabnya.
"Baguslah seenggaknya Mas Haris enggak bosan karena harus menunggu kita berdua. Pasti bosan banget kalau harus nunggu kita dari pagi sampai sore." Reres ucapkan itu buat Haris mengangguk.
Kini mereka bertiga masuk ke dalam lift. Saga kini berada di belakang Reres.
"Kamu udah makan Res?" Tanya Haris.
"Bel—"
"Reres enggak makan seharian juga kuat Ris. Dia kan punya tembolok, tuh lihat hahahaha," sela Saga sambil terkekeh memainkan punuk di leher Reres.
Sialan dan kurang ajar emang Saga. "Mulut lo bisa diem enggak?" kesalnya.
"Eits, ingat gue ini bos lo." Saga mengingatkan ini masih jam kerjanya.
Reres mengarahkan kaki ke belakang buat Saga mengaduh karena sepatu gadis itu mengenai kakinya. "Ini udah di luar jam kerja ya. Inget lo atasan gue cuma sampai jam lima sore."
Pintu lift terbuka tepat disaat Reres telah selesai berbicara. Saga berjalan ke luar lebih dulu kemudian Reres menyusul bersama Haris yang tahan tawa mendengar pertengkaran keduanya yang sebenarnya sudah biasa ia dengar.
Saga berhenti di depan sebuah kamar yang tepat berada di ujung lorong. Ia lalu menekan bel kamar karena tau ada kekasihnya di dalam. Tak lama sampai pintu terbuka menunjukkan sosok Vinny yang kini berdiri di depan pintu. Vinny cantik sekali, dengan tubuh yang tinggi semampai, mata bulat yang imut, bibir tipis, hidung mancung dan kulit yang putih. Dan dia kekasih Saga yang ke 18.
Saga melirik Reres , lalu mengacungkan ibu jarinya. "Ahh, Vinny!" serunya dengan nada yang menyebalkan mirip om-om yang senang melihat daun mudanya.
"Sayang," sapa Vinny tak kalah manjanya.
Keduanya lalu saling peluk bahkan ketika belum masuk ke dalam kamar hotel. Reres dan Haris seperti biasa hanya mematung dan diam melihat tingkah keduanya. Ya kedua bawahannya itu sudah terbiasa dengan kelakuan atasannya.
Reres dan Haris kemudian berjalan masuk ketika keduanya telah selesai saling peluk dan kecup. Biasanya, Saga akan meminta Reres memesan makanan, kemudian ia akan mandi dan bersiap untuk adu fisik di ranjang dengan kekasihnya.
"Res pesan makanan dulu, saya mau mandi." Saga berucap sok berwibawa di depan kekasihnya.
"Baik Pak," jawab Reres buat Haris yang berdiri di hadapanku tahan tawa karena baru saja ia melihat keduanya bersikap tak formal.
Sementara itu Saga dan Vinny sudah berjalan masuk ke dalam kamar. Reres dan Haris memilih duduk di ruangan lain seperti biasa Haris duduk di sofa lalu menyandarkan kepalanya sama juga dengan Reres yang kini duduk sambil memeluk bantal.
"Capek ngikutin semua keinginannya CEO sableng kaya Saga," keluh Reres yang kadang merasa capek dan lelah juga.
Haris menempelkan telunjuknya di atas bibirnya. Ia takut jika Saga mendekat apa yang Reres katakan. Ia tak ingin Reres mendapatkan teguran atau omelan lagi. Meski gadis itu terlihat biasa saja dengan teguran yang ia terima. Tetap saja, itu menganggu Haris.