Sialnya yang menjawab malah Eva. Sok pede pula.
"Iya bawa ke kamarlah, Naya. Namanya juga lam--"
Tring!
Sebelum Eva selesai bicara, lampu tidur di tangannya berkedip-kedip. Cahaya emas menyilaukan sontak membuat gadis manja berbaju tidur motif Hello Kity itu menjerit histeris, spontan membanting lampu tidur. Tetapi, idak jatuh. Kaivan sengaja membuat tempat tinggalnya terbang berputar-putar mendekatiku.
Hap!
Aku berhasil menangkap dengan selamat, langsung mati cahaya lampunya. Eva mundur teratur, wajah cantik itu pias antara takut dan kebingungan.
"N-naya, itu lampu ada apanya, sih? Kok tiba-tiba nyala sendiri, terus tanganku kesetrum. Bisa terbang lagi!" curhat Eva dengan suara gemetar.
"Rasakan akibatnya!" jawab Kaivan kesal, tentu hanya aku yang bisa mendengar.
"Ini tempat penyimpanan listrik, Va. Jangan macam-macam lagi kamu!" Aku berusaha mencari jawaban lain yang masuk akal.
Tentu saja, orang kalau ketakutan, jawaban apa saja menjadi masuk akal.
"Rumah listrik?" tanya Eva memastikan.
"Udah, sana sana tidur. Besok aku jelasin!"
Tanpa menunggu perintah kedua, Eva langsung kabur ke kamar tamu. Meninggalkan aku dan laki-laki jin yang seketika berekspresi lega. Kaivan menatapku penuh arti, tapi aku memilih masuk kamar menghindar.
"Maafin, ya. Jadi ganggu istirahat kamu," ucapku, meletakkan lampu tidur emas di meja dekat laptop. Kaivan mengikuti aku ke kamar.
"Nggak apa-apa, yang salah kan teman kamu, Naya," balasnya. Sudah kembali tersenyum ramah. Duduk di tepi ranjang tanpa izin pula.
"Van, kamu boleh tidur di sini, kalau temanku menginap. Tapi, awas, jangan macam-macam!"
Daripada ribut lagi soal lampu ajaib, lebih baik aku memberikan solusi terbaik dari sekarang.
"Oke, deal! Selama di kamarmu aku akan tidur dalam lampu!"
Cling!
Kaivan langsung masuk lampu. Barangkali dia masih pening. Ya sudah, lebih baik aku juga tidur, hari ini teramat menyita waktu maupun tenaga.
°°°°
Adzan subuh yang berkumandang dari masjid di sebelah komplek perumahan ini, membuat mataku terbuka seketika. Buru-buru bangun lalu ke luar kamar, daripada Kaivan mendahului.
Setelahnya, aku langsung menyiapkan sarapan, berkutat dengan pekerjaan rumah seperti biasa sampai hari benar-benar menjadi terang. Eva bangun agak kesiangan, ia membantu tanpa banyak bicara apalagi berani memulai drama. Mungkin masih trauma kejadian malam tadi, dan itu menguntungkan.
Jujur saja, aku tidak suka bekerja dengan orang yang sedikit sedikit cerewet.
"Aku pulang setelah sarapan, Nay." Eva bicara saat aku hampir menggoreng nasi.
"Kenapa?" tanyaku.
"Takut."
Aku terbahak. "Makanya jangan usil, di rumah orang nggak sopan apa-apa pengen tahu."
Tidak menanggapi ucapanku, Eva langsung menyiapkan dua buah gelas dan membuat coklat hangat. Ya sudah, menggoreng nasi pun lancar.
Dua gelas coklat hangat serta dua piring nasi goreng akhirnya terhidang di meja makan. Eva menikmati hidangan itu terburu-buru, sesekali melihat ke pintu penghubung. Takut dihampiri lampu terbang mungkin.
Peringatanku untuk makan seperti biasa, tidak dihiraukan. Justru tanpa mencuci peralatan makan minumnya di wastafel, dia pulang lupa pamit.
Dasar manja!
Cling!
Wangi parfum citrus menyapa indra penciuman, bersama munculnya seorang laki-laki berbaju batik coklat motif daun gugur. Ia langsung duduk di sampingku.
"Temanmu itu pasti kembali," ucapnya tersenyum. Padahal aku tidak bertanya.
"Kenapa?" Aku menatap lekat wajah tampannya, mau tidak mau jadi penasaran, kan!
"Itu handphonenya ketinggalan." Kaivan menunjuk ke atas dispenser sebelah kulkas.
Aku mengikuti arah telunjuknya, mau tidak mau tersenyum membayangkan Eva di jalan teringat benda pipih berharga itu, kemudian nekat balik meski menahan rasa takut.
Kalau saja dia bisa melihat Kaivan ....
"Hust, tidak baik berpikir orang akan terpesona melihatku!" Kaivan menyenggol lenganku, membuat khayalan absourd seketika buyar. "Karena cuma kamu yang bisa melihatku, Naya."
Dasar Kang baca pikiran!
"Emm, kamu mau sarapan?" tawarku mengalihkan perhatiannya.
"Gampang, sekali tring aku bisa makan."
Aku buru-buru mencegah Kaivan yang sudah bersiap menciptakan makanan. "Jangan jangan! Itu, tadi aku masak nasi goreng lumayan banyak, sengaja buat kamu juga."
"Oh iya, bisa tolong ambilkan? Biar aku tinggal membuat minum saja."
Aku mengangguk, segera beranjak mengambil piring dan mengisinya dengan nasi goreng yang belum terlambat jadi dingin.
Saat kembali, secangkir coklat yang masih mengepulkan uap, sudah ada di hadapan Kaivan. Apalagi kalau bukan hasil 'tring'
"Masakanmu enak," puji Kaivan, begitu satu sendok nasi berhasil ditelan.
"Sama mi ayam di alun-alun?" ledekku.
Kaivan langsung berhenti mengunyah, menatapku kesal. Akhirnya bisa membuat moodnya berantakan.
Namun, baru dia membuka mulut hendak bicara, teriakan seseorang yang berjalan dari pintu depan ke dapur tempat kami makan, membuat aku harus pura-pura sendirian lagi.
"Naya! Handphone aku mana?"
Tentu saja aku diam, suaranya terdengar masih di ruang tengah.
"Nay!"
Ia berhenti di ambang pintu.
"Apa?" balasku ketus.
"Handphone aku ilang!"
Malesin banget deh, ekspresinya mau nangis pula!
"Tuh, di atas dispenser!" tunjukku.
Seseorang Itu Eva, tadinya hampir nangis bombay kehilangan benda paling penting, sekarang senyum-senyum bak model photo. Eh, kebalik nggak?
"Oh iya, lupa. Tadi do'i chat, jadinya asal naruh," ujarnya ceria.
"Ya udah!" balasku, mengambil piringku dan piring Kaivan untuk dicuci.
Tengah mencuci peralatan makan, tiba-tiba Eva mendekat padaku dengan wajah ketakutan. Lihat apalagi sih ini anak orang? Suka bener ribut.
"Nay, ada cangkir terbang," rengeknya dengan suara gemetar.
"Di mana?"
Eva menunjuk tempat duduk Kaivan, yang dalam pandangan manusia biasa adalah kursi kayu tanpa ada siapa-siapa. Laki-laki jin itu terbahak saat aku melihatnya. Jangan-jangan waktu aku mencuci piring, Eva melihat ia itu minum.
"Mana?" Aku mempertanyakan bukti.
"I-itu, tadi cangkir putih itu!"
Segera kuhampiri meja makan, memegang cangkir bergambar anggur ungu yang dimaksud Eva. Benda itu sudah kembali bersih dan kering, tidak ada bekas minuman di sana.
"Cangkirnya biasa aja, nggak ada sayap. Kamu salah liat kali!"
"Serius, Naya. Aku tadi--"
"Udah deh, Va. Kalau masih ngantuk tidur lagi sana!"
Kutinggalkan Eva yang termangu dekat wastafel, seperti masih menimbang salah atau benar apa yang dilihatnya barusan, memilih ke luar rumah untuk menyiram tanaman sekalian menyetop Kang sayur kalau lewat. Ternyata, Eva mengikutiku. Pamit pulang dengan alasan sudah ditunggu pacar lima langkah depan rumah.
Over dosis cinta!
"Teman nggak ada akhlak! Ngerti orang takut malah ditinggalin!" Eva berteriak lantang, sengaja agar ibuk-ibuk komplek mendengar. Kemudian menggosipkan aku ini teman paling jahat se-Asia Tenggara.
Aku yang siap memberi asupan pagi pada tanaman hias, hampir saja mengarahkan selang ke Eva. Tetapi ...
Tring!
Byur!
Helm yang sudah diangkat Eva berubah menjadi timba air berwarna biru, lengkap dengan isinya. Tentu saja saat dipakai menutup kepala, airnya tumpah tanpa bisa dihindari. Eva basah kuyup karena asal bicara sekaligus ulah Kaivan.
Semua yang melihat terbahak-bahak, tidak terkecuali Kaivan pelaku utama kejailan.
Akhirnya dengan wajah merah padam dan pakaian basah kuyup, Eva tancap gas diiringi bully-an ibuk-ibuk.
"Nggak jadi nyiram bunga?" tanya Kaivan.
"Belanja dulu buat makan siang," jawabku pelan.
Dia mengangguk. Mengikuti aku ke tukang sayur yang sudah dikelilingi pelanggan.
"Tadi gimana ceritanya helm bisa ketukar timba air, Neng?" Kang sayur langsung kepo.
"Orang kalau banyak bicara ya begitu jadinya, nggak bisa pakai mata!" Tante Astrid mewakili jawabanku, kemudian tertawa.
Karena sudah ada yang menjawab, aku kembali fokus memilih sayuran. Tapi, lagi-lagi terusik oleh ucapan Tante Astrid.
"Buk-ibuk, nanti kalau anaknya udah sukses, jangan mau deh makan sayur seadanya. Rugi lho uang banyak cuma ditabung!"
Kejulidan Tante Astrid berbelok tiba-tiba.
Beberapa pasang mata langsung melirikku, siap memberi tambahan sindiran. Memang sudah biasa Tante Astrid jadi pelopor begitu. Menyerobot jawaban orang, julid, salah benar dimaki-maki.
Aku diam saja, buru-buru membayar belanjaan dan kembali masuk rumah. Meski kalimat kalimat pedas mulai terdengar jelas.