"Kamu tidak ingin membalas sindiran wanita rambut keriting tadi, Naya?"
Aku berhenti memasukkan sayuran ke dalam kulkas, saat Kaivan nyeletuk dari tempatnya duduk dekat meja makan. Laki-laki alam jin itu sejak tadi hanya diam, ternyata diam-diam perhatian.
"Tante Astrid memang begitu, Van. Jago ngomporin orang," jawabku. Kembali pura-pura sibuk.
Aku tidak ingin terbawa emosi, sampai gagal berpikir waras menata situasi. Kalau sakit hati ya sakit, mana ada orang tahan mendengar omongan julid. Tetapi, untuk apa sibuk memikirkan tetangga?
Kaivan mendekat, melipat tangan di dada. Tatapan matanya menyiratkan sesuatu yang tidak menyenangkan. Dasar jin, sejarahnya memang pendendam.
"Sesekali dia harus diberi pelajaran!" ucapnya penuh penekanan.
"Aku tidak ingin ribut!" bantahku.
"Memberi pelajaran kepada seseorang bukan berarti harus turun tangan, Naya!"
"Van, tapi aku--"