"Apaan sih!" balasku kesal, meski dengan suara berbisik.
Sialnya, perempuan muda dan pacarnya yang duduk di hadapanku meratapi spirit doll mati, mendengar. Seketika mereka menatapku penuh selidik.
"Eh, enggak, Kak. Itu ... emm, bonekanya lucu," elakku salah tingkah.
Mungkin karena terlalu bersedih menangisi kematian dua boneka mahal yang terlanjur dianggap anak, hingga mereka memilih bergantian curhat daripada kepo salah ucapku tadi. Antara bingung mencari kain kafan, siapa yang memandikan, sampai letak tanah pemakaman.
"Ternyata tetangga Naya jadi gila gara-gara boneka!" Hanya Kaivan yang bebas mengeluarkan unek-unek, tanpa takut menyinggung tuan rumah.
Mengalihkan perhatian dari Kaivan, sebisa mungkin aku berusaha menghibur kesedihan pasangan belum siap menikah ini, sambil mencari solusi yang hemat tenaga dan biaya. Lalu, pilihan jatuh pada 'dibuang' dengan bahasa halus.