Kabarnya tidak enak didengar oleh Nara tentang tempat anak-anaknya yang mendapati teror berkelanjutan dari oknum tidak tahu diri. Imbasnya, semua anak-anak jadi takut dan gelisah setiap saat. Kurang ajar apa lagi mereka? Padahal tanah beserta bangunan yang berdiri di atasnya adalah hasil kerja keras mereka. Tidak ada seorangpun yang boleh mengusik semua itu. Nara adalah orang pertama yang akan pasang badan.
Setelah memarahi preman yang melakukan semua teror itu, hanya untuk memaksa mereka pindah dari sana dan ingin menjual tanahnya, Nara tidak akan berhenti jika tidak ada hasil yang bisa membuat hatinya tenang. Ia sejujurnya tidak suka di-usik dengan cara apapun yang ada di dunia ini. Apalagi hanya karena orang-orang tidak tahu diri seperti mereka.
Bahkan Nara sudah memarahi bos dari para preman itu, makelar tanah yang terkenal bar-bar dan menghalalkan segara cara untuk mencapai tujuannya. Tapi sayangnya cara-cara itu tidak akan mempan untuk Nara. Malah disemprot habis-habisan oleh gadis itu. Mengeluarkan banyak kosa kata dan memperlihatkan keahlian berbicaranya. Sungguh pemandangan indah, namun sayangnya Nara tidak ingin itu dibagikan. Tebak saja bagaimana Nara ketika menghadapi mereka.
Bukannya mau sok berani atau bagaimana, jelas ia tidak ingin sok-sokan seperti itu. Mau bagaimana lagi? Ia harus melakukan itu semua.
Tapi yang menjadi masalah, makelar tanah itu mengatakan dengan sangat jelas dan agak sinis bahwa tanah mereka harus tetap dijual. Ia bisa membelinya dengan harga berapapun, sombong sekali memang. Tapi katanya ia tidak akan berhenti hingga tanah itu ingin dijualnya. Sayang sekali, yang mereka temani berurusan adalah Nara. Ia bisa menempuh jalur hukum dengan mudah, tapi itu akan memakan waktu. Lagi pula makelar tanah itu nampaknya agak pintar juga.
Jadi dengan alasan bahwa Nara ingin berbicara langsung dengan si pembeli tanah, di sinilah ia sekarang. Berdiri dengan malas di lobi perusahaan besar yang membawanya ke masa depan. Sedikit menyayangkan kenapa perusahaan sebesar ini tidak mengecek secara langsung tanah yang ingin mereka beli. Lihat saja, Nara akan menguliahi si pembeli itu.
Sebenarnya juga, Nara sudah diminta untuk menemui divisi yang memang mengurus tentang hal itu. Tapi ia menolak dengan keras, ingin bertemu langsung dengan bos mereka yang katanya sibuk. Nara sungguh ingin sekali menyemprot seseorang sekarang. Masalahnya sudah banyak, malah bertambah banyak. Kurang indah apa lagi hidupnya?
Dan lihatlah dirinya, disuruh menunggu seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Padahal sejujurnya ia tahu Presiden Direktur dari perusahaan ini sudah ada di ruangannya sejak tadi. Tapi ia disuruh untuk menunggu dengan alasan Presdir mereka sedang sibuk dan Nara masa bodoh dengan itu.
"Nona, silahkan ikut saya untuk ke ruangan Presdir," ujar seorang wanita yang pakaiannya sangat santai, bahkan Nara melihat dengan jelas bagaimana wanita di depannya mengenakan sandal outdoor.
"Nara."
"Maaf?"
Nara menatap wanita itu lurus, "Saya Nara, bukan nona."
Wanita itu ber-oh ria, menuntun Nara mendekat ke lift khusus karyawan. "Kenapa tidak menggunakan tangga saja?"
"Ruangan Presdir ada di tingkat paling atas nona, jadi untuk sampai lebih cepat gunakan lift saja."
Nara mengangguk mengerti, masuk ke dalam lift, ada sedikit pergerakan yang ia rasakan. Sejujurnya ia sedikit kaget melihat bagaimana pekerja di perusahaan ini begitu santai. Awalnya ia mengira wanita di sampingnya ini adalah tamu atau mahasiswa yang melakukan kunjungan, tapi setelah melihat id card-nya, semuanya jadi jelas. Lagi pula banyak yang berlalu-lalang dengan pakaian agak beragam, aslinya mereka karyawan juga. Nanti ia akan merekomendasikan perusahaan ini sebagai tempat magang ke pihak kampus, mahasiswa yang tidak suka terlihat rapi pasti suka dengan tempat ini.
"Ngomong-ngomong saya Nara, bukan nona."
Wanita itu hanya tersenyum canggung. Ia hanya tidak ingin dicap sebagai orang yang sok kenal, jika langsung memanggil dengan nama padahal mereka baru bertemu.
"Perusahaan ini bekerjasama dengan universitas tidak?" Tanya Nara.
"Eh, iya. Sudah sejak lama."
"Bagus."
Tidak ada pembicaraan yang berarti selanjutnya. Nara bahkan bisa merasakan bagaimana aura canggung wanita yang berdiri di sampingnya menguar ke udara, bisa membuat Nara tersedak.
"Sudah lama bekerja di sini?" Tanya Nara lagi membuka topik.
"Baru empat tahun."
Nara mengangguk, "Sudah lama berarti, bagus."
"Iya."
"Jangan canggung sama saya, biasa aja."
Wanita itu tertawa pelan, tapi sumpah, berdiri di samping Nara itu sungguh membuatnya canggung. Bukannya tidak tahu siapa gadis di sampingnya, justru karena ia tahu makanya ia bersikap canggung. Ia yakin, gadis di sampingnya pernah muncul di layar kaca televisi rumahnya walaupun hanya foto dari gadis ini, itupun sudah lama sekali, tapi yakin, ia ingat dengan jelas kok. Pasalnya berita itu dulu sempat membuat heboh.
"Namamu siapa?" Tanya Nara, lagi.
Wanita itu kembali tersenyum canggung, "Fita kak."
"Nah gitu, enggak usah canggung sama saya. Pakai nona nona segala lagi."
"Enggak gitu kak, baru ketemu makanya enggak enakan."
Nara mengangguk, "Iya, biasanya kan gitu yah."
"Kok kalian bisa pakai baju bebas gitu?"
"Oh itu kak, bos kami tidak mempermasalahkan hal itu, katanya yang penting kerja kami bagus."
"Tapi biasanya pakaian formal itu pakaian wajibnya karyawan yah, unik kalian."
Fita mengangguk setuju, "Awalnya kami juga gitu kak, heran sama kebijakannya bos. Katanya yang penting nyaman, kerjanya juga oke."
"Bagus itu. Tapi kalau ketemu klien gimana?"
"Ya gitu kak, kami jelaskan dulu. Tapi biasanya kalau enggak mau repot kami pakai setelan formal."
Nara mengangguk, "Nanti kalau diketahui publik bisa jadi trendsetter tuh."
"Kalau bos mah enggak suka diekspos gitu, buang-buang waktu katanya untuk ladenin mereka."
Nara mengangguk cepat, "Iya, iya. Saya setuju tuh, capek dikejar-kejar terus sama mereka."
***
Sejujurnya ia cukup kaget tiba-tiba ruangannya dibuka dan menampilkan satu wajah yang seingatnya tidak pernah ia lihat, atau mungkin pernah? Entahlah. Lalu tanpa basa-basi, tersisa mereka berdua yang ada di dalam ruangan.
"Begini pak, langsung saja yah."
Zachery mengangkat alisnya heran, "Tunggu dulu, kamu siapa?"
Gadis itu berdehem pelan, "Saya Nara," kemudian melanjutkan, "tapi itu enggak penting."
Zachery semakin heran dengan gadis yang berdiri di depan mejanya sekarang, bukan bagaimana, punya urusan apa ia hingga sampai mendatangi ruangannya.
"Duduk dulu," setidaknya Zachery masih memiliki sopan santun untuk mempersilahkan tamunya untuk duduk, dan gadis itu memilih duduk di sofa yang ada di ruangannya. Bahkan mencari posisi ternyaman yang ia bisa. Zachery cukup kaget.
"Jadi ada apa?"
Nara mengangguk, "Katanya bapak ini mau beli tanah yah?"
Zachery mengangguk agak bingung juga, kenapa masalah ini bisa diketahui oleh orang luar. Alasan lainnya karena ia dipanggil bapak dengan santainya, padahal ia masih muda. Atau dirinya terlihat tua?
"Terus apa masalahmu?"
"Ya masalah lah pak, saya ini yang punya tanah, enggak mau jual tanah itu."
"Tapi kata karyawan saya semuanya sudah oke, bahkan kami sudah bayar uang mukanya."
"Makanya pak, kalau mau beli itu jangan asalan, tanya dulu tanah itu kosong atau tidak."
"Tapi karyawan saya sudah mengonfirmasinya. Katanya yang punya tanah juga mau jual, tinggal tanda tangan saja."
Nara menunjuk dirinya, "Saya yang punya, tidak mau jual. Lagi pula makelar tanah itu asal-asalan, sampai ngotot mau beli tanah itu."
Zachery mengerutkan keningnya, makin bingung lagi dirinya.
"Tanah itu ada bangunan yang berdiri di atasnya, rumah anak-anak saya."
"Tapi serius tidak ingin dijual?" Tanya Zachery lagi, masalahnya kata karyawannya tanah itu ada di tempat strategis, mudah dijangkau dan sumber daya yang dibutuhkan juga tidak akan jauh dari sana, pokoknya masalah akomodasi itu sangat bagus.
"Tidaklah, bapak ini gimana sih? Ngerti arti rumah gak? Itu rumah mereka, tanggung jawab saya untuk pertahankan karena saya yang bawa mereka ke sana."
"Saya tidak mau makelar tanah itu beserta anak buahnya semakin bar-bar hanya karena ingin kami menjual tanahnya."
"Saya tidak tahu kalau tanah itu ada rumah anak-anakmu di sana."
"Makanya pak, dicek dulu kalau mau beli tanah."
Zachery mengangguk, sedang berpikir bagaimana solusinya, karena ia yakin, gadis itu tidak akan pernah mau menjual tanahnya.
"Tolong batalkan pembeliannya, saya bisa ganti uang mukanya."
"Tapi uang itu enggak sedikit."
Nara mengangguk, "Enggak peduli saya, yang jelas anak-anak saya aman. Bukannya sombong, tapi selama saya bisa ganti akan saya ganti, kalau memang enggak bisa akan saya usahakan."
"Baiklah, akan kami hubungi nanti."
Nara mengangguk, "Pokoknya harus dibatalkan, dan tolong kasi tau makelar itu baik-baik, jangan pakai cara kotor, enggak mempan sama saya."
"Terus gini pak, saya mau dihubungi secepatnya, kalau bisa sebelum saya keluar dari perusahaan ini, kalian harus segera batalkan. Tolong beri tahu saya berapa dana yang harus saya ganti."
Zachery mengangguk pelan, sebenarnya sibuk dengan pikirannya. Sejak tadi, tidak ada kesan ramah yang ditunjukkan gadis ini, bahkan tersenyum tipis saja tidak. Raut wajahnya sangat serius dan tegas. Pembawaan yang jarang untuk ukuran seorang gadis.
Nara berdiri dari duduknya, masih dengan gestur yang sama, "Kalau begitu saya pamit pak, saya tunggu keputusanmu secepatnya."
Setelah mengatakan itu, Nara berlalu dari sana tanpa berbalik lagi.
"Nara?"
Menghentikan langkahnya dengan segera, kemudian berbalik dan menatap presdir itu heran. "Ada apa?"
"Saya Zachery."
Nara mengangguk, "Tahu, saya baca itu tadi," sambil menunjuk kaca memanjang berukuran standar di atas meja pria itu.
Zachery mengangguk tanpa ekspresi, sebenarnya ia sedang mengutuk kesal bagaimana gadis itu menjawab segala sesuatunya dengan mudah dan tenang.
"Saya pergi."
***
Jadi suasananya itu sedikit banyak bisa membuat kepala tuan dan nyonya pemilik rumah pecah dikarenakan rumah terasa penuh padahal hanya ditambah satu orang.
Ada Tuan dan Nyonya Arkana, Zachery si sulung dan Clara si bungsu, ditambah Nerissa yang juga ikut membuat kerusuhan di ruang keluarga. Padahal hanya mereka, tapi hebohnya minta ampun.
Tumben sekali Nerissa berkunjung malam-malam ke rumah mereka, alasannya karena ia bosan di rumah dan tidak ada kegiatan sama sekali, jadi ia putuskan untuk mengganggu keluarga harmonis itu. Bukan masalah apa-apa, rumah Nerissa memang terlalu sering kosong sampai pelayan di rumah itu heran sendiri, rumah seperti tak berpenghuni walaupun tetap terjaga sebab pelayan dengan sigap menghempaskan debu yang menempel di setiap sudut rumah itu.
"Kamu gimana Nessa?"
Nerissa yang sedang tertawa geli, tiba-tiba menghentikan tawanya dan menatap tantenya bingung, "Gimana apanya tan?"
"Ya itu, kamu nya gimana, udah ngerasa baik sekarang?"
Nerissa mengangguk pelan, "Kalau enggak baik mana bisa aku ketawa begini tan."
Nyonya Arkana tersenyum lembut, "Baguslah, tante khawatir sama kamu."
"Aman tan. Kalau aku nangis terus, bisa-bisa Nara ngamuk lagi."
"Ngamuk gimana?" Tanya Clara heran, setahunya Nara itu orang yang sangat tenang. Setenang air di danau.
"Ya ngamuk dalam artian lain, dia itu bisa ceramah-in aku dari pagi sampai pagi kalau tahu aku nangis terus padahal dia sudah menghiburku, katanya usaha dia akan sia-sia."
"Caranya itu memang begitu, tapi bisa buat aku tenang. Bahkan dia bilang mau bicara baik-baik sama Gavin tan, tapi yakin sih aku, Gavin enggak mau."
"Kenapa enggak mau?" Tanya Tuan Arkana heran.
"Nara itu bisa membuat orang lain menyesal, sangat menyesal."
"Maksudnya?" Tanya Clara, bingung dia.
Nerissa menghela napas, heran sekali dengan keluarga ini, begitu penasaran dengan Nara. Oh tentu, kecuali pria yang duduk di samping Clara sembari sibuk dengan laptop di pangkuannya. Cuek sekali.
"Nara itu pernah buat--gimana sih nyebutnya?--bukan mantan, soalnya Nara enggak mau terikat dalam hubungan."
"Ya pokoknya gitu, Nara buat pria itu menyesal, saya yakin."
"Ya yakin bagaimana?"
Nerissa mendengus kesal, "Susah ngejelasinnya om."
"Enggak, pokoknya tante mau dengar."
"Nara itu pernah punya teman dekat--anggap saja seperti itu--dekat banget pokoknya, mereka kalau dilihat mau ke jenjang yang serius."
"Tapi pria itu berkhianat, dia bilang mau tunggu Nara sampai Nara bisa buka hati untuknya. Nara lakukan, mereka buat komitmen."
"Terus?"
Nerissa menepuk pelan tangan Clara, "Jangan disela dulu, dengerin dulu."
"Eh taunya pria itu juga kejebak friendzone sama sahabat ceweknya, pria itu enggak bisa milih, serakah dia. Awalnya Nara biarkan saja, Nara yakin pasti pria itu memilihnya. Tapi setelah melihat bagaimana semuanya terjadi, Nara buat keputusan."
"Nara tanya dulu sama mereka di tempat yang terpisah. Nara diam seharian, enggak mau bicara, mungkin sakit hati, itu tebakanku, cuma dia enggak bilang aja."
"Besoknya Nara sama pria itu bicara, aku juga ada di sana, jadi jelas tahu bagaimana kejadiannya."
"Nara bilangnya begini; Saya sudah suka sama kamu, sayang juga sudah, mungkin cinta juga sudah. Apa lagi yang kurang? Saya sudah kasi perhatian. Sikap saya sama kamu berbeda ke yang lain."
"Terus?"
Nerissa memukul lengan Clara kesal, "Kamu tuh, dengerin dulu lah. Jangan disela."
"Tapi mungkin kamu yang sudah enggak, saya terima, saya juga tidak bisa maksa," Nerissa memberikan jeda untuk mengambil napas, "tapi pria itu ngotot, katanya cinta sama Nara, pokoknya cinta deh."
"Nara bilang; Kalau cinta, perhatian khusus itu hanya diberikan pada saya. Perhatian biasa diberikan ke yang lain. Saya mau serakah, maunya saya itu, kamu untuk saya, bukan untuk sahabatmu juga. Beda, seharusnya ada batasan antara kamu dan sahabatmu itu."
Nyonya Arkana menyela, "Tunggu, ini kapan?"
"Waktu kuliah tan," jawab Nerissa singkat, "lanjut nih?"
Semuanya mengangguk, oh tentu, kecuali pria menyebalkan yang sekarang sibuk dengan ponselnya.
"Jadi gitu, aku pikir Nara mau suruh pria itu lepaskan sahabatnya, ternyata enggak. Nara malah bilang; Saya lepaskan kamu, sudah waktunya, sekarang kamu tidak akan bingung lagi. Saya enggak percaya manusia bisa jatuh cinta pada dua orang, dalam konteks ini, enggak percaya saya."
"Jelas dong, pria itu enggak bisa apa-apa, dia tahu Nara bagaimana. Nara itu enggak bisa dibantah, keras kepala, apalagi keputusannya itu dia ambil setelah berdiam diri seharian."
"Saya doakan kamu bahagia, itu Nara yang bilang, aku juga kaget waktu itu," Nerissa menatap ketiga manusia yang sibuk mendengarkannya, "tapi Nara lanjut; bahagianya sebentar saja, saya ingin kamu ingat saya terus, semuanya. Saya ingin kamu ingat saya saat bersama siapapun, tidak bisa lupakan saya."
"Gila tuh Kak Nara."
Nerissa mengangguk mendengar celetukan Clara, "Emang gila kan? Lanjut gak nih?"
"Sementara kamu ingat saya terus, saya akan lupakan kamu tak bersisa. Waktu itu saya ikut nyeletuk; Jahat kamu ra."
"Kak Nara jawabnya apa?"
"Saya manusia, saya jatuh cinta susah sekali, sekalinya jatuh cinta saya dikhianati. Saya sakit, saya mau balas dendam, saya sumpahi dia supaya dia tahu bahwa dia akan menyesal karena main-main sama saya."
"Sadis ih Kak Nara."
"Dia itu tahu bagaimana saya, dia juga merasakan susahnya buat saya jatuh cinta, tapi dia lakukan itu. Saya tidak terima, cinta bagi saya itu sesuatu yang sakral, sesuatu yang suci, dengan dia lakukan itu, dia sudah menodai cinta yang saya berikan. Itu sih kata Nara. Tapi aku enggak yakin dia cinta, siapa tau dia salah paham dengan dirinya."
"Tapi kok Nara waktu itu enggak ceritakan ini saja waktu Gavin selingkuhi kamu?"
Nerissa mengangguk, "Aku sudah bilang tadi, Nara akan lupakan tak bersisa. Itu benar, dia sudah lupakan semuanya."
"Semuanya? Atau pura-pura saja?" Tanya Tuan Arkana, karena ia tidak percaya ada manusia yang bisa melakukan itu. Apalagi, rasa sakit, sesuatu yang begitu berarti di hidupnya.
"Semuanya. Nara mungkin ingat nama dan wajahnya, tapi untuk semua hal yang mereka lalui, aku pastikan Nara sudah lupa."
"Kok bisa?" Celetuk Nyonya Arkana.
Nerissa mengangkat bahu tidak tahu, "Nara itu ingatannya oke tan, bagus banget, semuanya bisa ia ingat. Tapi serius, kalau ditanya hal-hal berhubungan dengan pria itu, Nara emang diam, tapi aku tahu dia sungguh lupa semuanya. Enggak bisa jawab dia, aku tahu gesturnya kalau bohong, karena ia bahkan lupa caranya bohong."
Nerissa tertawa pelan melihat raut wajah keluarga itu, diingatkan kembali, kecuali pria yang sekarang sibuk menonton berita di televisi.
"Tanyakan sama Nara saja, bingung juga aku mau jelasinnya bagaimana."
"Duh, malah ngomongin Kak Nara nih."
"Dia oke kok, enggak ambil pusing kalau diceritain sama orang."
Nyonya Arkana tersenyum, "Kalau begitu, nanti cerita lagi yah?"
Nerissa terkekeh pelan, "Siap tan, kok tertarik banget buat dengar ceritanya Nara sih?"
"Gitu deh, keren banget sahabatmu itu. Kok ada sih, heran tante."
"Jangan deh tan, Nara enggak suka dipuji, mending hina aja deh."
"Kok?" Bahkan Tuan Arkana tidak bisa menyelesaikan ucapannya.
"Iya, paling malas dia kalau dipuji."
Clara tepuk tangan sambil berdecak kagum, "Ajak Kak Nara ke sini lagi dong kak, mau dengar Kak Nara cerita lagi."
"Iya, tenang saja. Lagi sibuk dia, katanya ada urusan genting, masalah tanah."
Tiba-tiba, Zachery tersedak air, iya, saat itu Zachery sedang minum dengan hikmat. Jadilah, membuat dia jadi pusat perhatian. Tapi, ia usahakan ekspresinya tidak memancing pertanyaan baru.
"Makanya pelan-pelan dong, enggak akan ada yang mau ambil minuman mu," cibir Nerissa kesal. Ia masih secara gamblang menunjukkan rasa kesalnya yang tempo hari itu.
"Nyahut aja nih nenek lampir."
"Bodo amat."