Sedang hujan. Tidak terlalu deras tapi awet. Pembicaraan mereka seharusnya biasa-biasa saja, tapi entah kenapa tiba-tiba masuk pada pembahasan yang sekiranya tidak ingin gadis itu bahas. Dari dulu memang, hingga sekarang. Memang hal itu yang paling ia hindari.
"Nak."
"Iya pak."
"Nanti kalau cari calon suami, cari yang bisa membahagiakanmu, bisa mengajarimu menjadi pribadi yang lebih baik, bisa mencintaimu dengan tulus. Paham kan?"
"Kenapa bahas itu pak?"
Ada tawa berat yang terdengar, bercampur bersama suara hujan. "Memangnya kenapa? Tidak ada yang salah kan?"
"Bukan gitu pak. Terlalu cepat aja gitu. Saya aja masih SMA."
"Loh salahnya di mana? Siapa tau jodohmu datangnya cepat."
"Jangan dululah pak. Sekolah dulu yang benar."
"Apa salahnya nak? Kan bagus kalau dibicarakan sedari awal, biar kamu tidak salah pilih."
"Iya, iya. Itu, kopinya diminum."
"Nak, jangan cari yang membuatmu terluka dengan alasan yang tidak masuk akal. Masa iya bapak usahakan kamu bahagia, dia buat kamu sedih. Kan enggak masuk diakal. Makanya, cari yang menjaga senyum dan tawamu."
Gadis itu tersenyum, "Cari yang kayak bapak?"
Pria paruh baya itu yang masih menggunakan sarung, menggunakan peci hitam yang warnanya agak memudar. "Jangan nak, bapak ini tidak ada apa-apanya. Buktinya ibumu pergi."
"Itu sih, ibu yang tidak bersyukur."
"Jangan gitu, ibumu berhak bahagia. Kalau bahagianya bukan sama bapak, ya mau bagaimana lagi? Bapak lepaskan."
"Loh gimana? Bahagia itu kan bukan sekadar uang pak, bergelimang harta, buktinya banyak kok orang kaya yang tidak bahagia."
"Iya, tapi, setiap orang kan berbeda. Ibumu berhak bahagia."
Nara tersenyum tipis, "Memang berhak bahagia, tapi tidak dengan menyakiti orang lain. Salah itu."
"Iya, Nara sudah besar."
"Ya harus dong pak. Masa iya kecil terus."
Hujan ternyata lebih awet dari yang mereka pikirkan. Untung rumah sederhana mereka atapnya tidak bocor, tidak perlu khawatir dengan itu.
"Pokoknya cari yang bisa buat kamu bahagia. Bisa membuat kamu nyaman. Tapi yang permanen."
"Iya pak, udah ah bahas-nya."
"Orang yang serius sama kamu itu, akan menjagamu, akan menghargai keputusanmu, akan mengusahakan senyum dan tawamu, akan bersikap lembut padamu, akan melakukan yang terbaik untukmu."
"Iya pak, nanti Nara cari yang seperti itu. Jadi sudah bahas-nya."
"Harus pokoknya nak. Jangan sepelekan yang seperti itu. Kamu kan mencari yang akan bersamamu sampai mati, bukan dalam waktu yang singkat."
"Ngerti pak, paham."
***
Rumah bertingkat itu dari luar nampak sangat hangat, sejuk, dan asri. Ada beberapa pohon besar yang menjulang tinggi di halamannya, rumput juga tak mau kalau untuk menghijaukan sekeliling rumah itu. Apa lagi, taman yang terisi dengan berbagai jenis bunga, menghibur mata.
Di dalam rumahnya juga nampak seperti rumah pada umumnya, tapi memiliki lebih banyak kamar dari yang biasanya. Maklum, penghuninya banyak, sekitar dua puluh manusia, laki-laki dan perempuan, dari yamg kecil sekali hingga yang besar, tidak pakai sekali.
"Eh, Nara! Kamu datang kok enggak bilang-bilang sih?"
Nara mengangguk pelan, "Ini juga dadakan kok bu. Kebetulan saya ada acara dekat sini, jadi sekalian mampir. Soalnya udah lama enggak ke sini."
Bu Mita, wanita dengan senyuman cantik yang mengurus segala keperluan dan hal-hal yang ada dalam rumah itu. Semuanya. Juga dibantu oleh beberapa pekerja lain.
"Udah lama?" Ujar Bu Mita sambil mendekat ke arah Nara, menyimpan keranjang belanjaannya dan ikut duduk di kursi depan Nara.
Nara mengangguk, "Lumayan lah bu, sampai si bungsu tidur tadi, kecapean main."
"Iya, dia itu yang paling rewel mau ketemu sama kamu."
"Iya bu, soalnya ada urusan ini. Nara usahakan sering-sering datang."
Bu Mita tersenyum lebar. "Kalau sibuk enggak usahlah ra. Mereka emang mau manja aja sama kamu."
"Ya, gimana enggak manja bu, kangen mereka, saya juga sama."
Bu Mita tertawa pelan. Pertama kali ia bertemu dengan Nara itu di pasar, saat gadis itu sedang membeli sayuran di tempatnya. Secara tidak terduga, dompet Nara di curi sama anak-anak pasar yang suka bikin rusuh. Saat itu Nara bilangnya mau ambil surat-surat pentingnya saja, selebihnya tidak masalah. Ia menawarkan diri untuk mengantarkan ke markas mereka. Nara memang marah, sampai anak-anak di sana takut. Tapi setelahnya, anak-anak itu malah dibelikan ini itu. Entah ada inisiatif dari mana, Nara menampung mereka semua. Menyekolahkan, memberikan kasih sayang yang tidak mereka dapatkan. Jadi, Bu Mita menawarkan diri untuk membantu merawat mereka. Sejujurnya, Bu Mita sempat tidak percaya bahwa manusia seperti Nara itu ada. Iya, memang banyak orang baik, tapi yang seperti Nara, tidak pernah ia dapati.
"Nara, uang yang kamu kirim bulan ini terlalu banyak. Kalau mau pulang bilang yah, biar ibu ambilkan."
Nara mengangguk pelan, "Tidak usah bu, nanti kalau ada keperluan lain bisa gunakan uang itu. Anak-anak juga kalau ada keperluan lain, belikan saja."
"Kamu ini selalu begitu, berhenti manjain mereka."
"Siapa yang manjain bu? Sekali-kali lah, mereka juga enggak pernah minta sama saya."
Pintu utama terbuka, menarik perhatian keduanya. Mereka berdua berjalan cepat ke arah Nara dengan senyuman. Maksudnya, hanya gadis muda itu saja.
Setelah acara lepas kangen, Nara mempersilahkan mereka berdua untuk duduk. Selain itu, ia punya tujuan lain. Mau menginterogasi pria muda yang tidak berani menatap mata Nara sedari tadi. Apalagi, lebam di wajah dan bekas darah kering di sudut bibir pria itu tidak bisa luput dari perhatiannya.
"Aisyah masuk kamar dulu. Ganti baju terus makan, saya sudah masak tadi."
Tanpa bantahan, gadis muda bernama Aisyah itu berlalu dari sana dengan pelan. Sesekali melirik pria muda yang masih menunduk itu. Heran, tadi saja di sekolah pria itu angkat dagu tinggi-tinggi, sama guru juga enggak takut. Sekalinya sama Nara, lenyap sudah keberanian pria itu.
Bu Mita menatap Raihan geli, pria muda itu selama ini yang paling berani. Jika adiknya diganggu, ia yang akan selalu pasang badan. Kalau diberitahu, tidak akan mendengar. Pawangnya cuma satu, Nara.
"Bu, Raihan sering pulang dalam kondisi seperti ini?" Tanya Nara, tetap menatap Raihan.
Bu Mita terlihat menghitung jarinya. "Sudah empat kali seperti ini. Ibu sudah beritahu, tapi Raihan kamu tahu sendiri. Ia itu badungnya minta ampun."
Nara menghela napas pelan, "Gara-gara apa?"
Raihan menatap Nara, "Ada orang bego di sekolah, mau bego tapi ngajak-ngajak."
"Tapi kamu ladeni kan?"
"Gimana enggak ladeni, bisa mati aku kalau enggak aku balas kak."
"Masalah apa?"
Raihan mendengus kesal, ia tidak diajarkan oleh Nara untuk berbohong. Masalah orang tuanya entah ada di mana, ia sudah tidak peduli. Untuk sekarang, semuanya sudah cukup seperti ini. Raihan sudah bersyukur atas semuanya. Setidaknya, ia tidak lagi berada di jalanan, jadi preman.
"Biasalah kak, katanya aku ini tidak cocok untuk sekolah, cocoknya di jalanan saja."
"Apa masalahnya itu?" Tanya Nara heran.
"Ya enggak ada masalah kak, aku juga udah biasa dengar itu. Tapi ini loh kak, mereka itu sampai bawa-bawa orang tua."
"Bilangnya apa?"
Raihan menghela napas lagi, "Bilangnya, kerjaan orang tuaku itu apa aja sampai bisa punya anak sepertiku. Orang tuaku itu tidak becus urus aku."
"Tapi kamu itu enggak tahu orang tuamu di mana."
Ada suara tangisan yang sangat keras, terdengar hingga ke bawah. Bu Mita meminta izin untuk melihat, dengan terburu-buru.
Raihan mengangguk cepat, "Walaupun tahu di mana, aku juga enggak peduli kak."
"Terus apa?"
"Masalahnya, yang merawatku selama ini, yang mendidikku selama ini, adalah kalian. Kak Nara dan Bu Mita. Aku tidak suka mendengar mereka menghina kalian."
Nara mengangguk dan tersenyum, "Paham, terharu saya mendengarnya."
"Kok gitu sih kak?"
Nara tertawa pelan, semakin membuat kening Raihan mengkerut, tidak terima dengan respon yang diberikan oleh Nara.
"Kamu pernah dengar tidak, sebuah kutipan dari Albert Einstein."
"Yang mana itu?" Tanya Raihan.
"Orang lemah akan balas dendam, orang kuat akan memaafkan, orang cerdas akan mengabaikan."
"Hanya karena aku membalasnya, bukan berarti aku lemah kak. Albert Einstein itu mungkin orang yang sabar."
"Aku membalas bukan karena aku lemah kak."
"Terus apa?"
"Mau kasi pelajaran saja, jangan sembarangan bicara. Selain itu, karena aku ini dipukul kak, masa diam saja. Mati aku."
"Aku membalas bukan karena aku bukan orang kuat, tidak bisa memaafkan."
"Lalu?"
"Mereka itu tidak tahu diri, akan terus melakukan hal yang sama. Akan menggangguku terus. Kalau tidak aku balas kak? Sampai lulus aku dikerjain terus."
"Aku membalas mereka bukan berarti aku tidak cerdas kak, walaupun otakku ini pas-pasan, yah begitulah. Aku sudah abaikan berulang kali, tapi dilakukan lebih banyak dari itu. Aku ini manusia kak, tempramental."
"Bagus," Nara mengangguk pelan, ada senyuman tipis yang terbit di sana, "kalau ada yang ngajak ribut, tarik dia ke depan gurumu, suruh ribut di depan mereka. Ngerti kan?"
"Kok?"
"Iya, biar nanti mereka tahu bagaimana ucapan siswa yang diajarnya. Bisa mengukur, seberapa menyakitkan yang mereka katakan, dan bisa mengambil keputusan yang bijaksana."
"Jangan bercanda dong kak."
Nara melempari Raihan dengan bantal sofa, agak keras, mendarat mulus di wajah pria muda itu.
"Bercanda gimana sih? Saya ini serius. Pokoknya, kalau ada yang ngajak ribut, tarik mereka ke depan gurumu, ribut di sana."
"Serius nih kak?"
Nara mengangguk mantap, "Iya serius. Jadi siapa yang datang ke sekolahmu?"
"Siapa aja, enggak datang juga tidak apa-apa."
"Saya yang akan datang. Jam berapa biasanya?"
"Jangan deh kak. Bu Mita aja."
"Ya sudah, saya datangnya sekitar jam sepuluh, bilang sama gurumu."
"Kak..."
"Enggak ada bantahan. Pokoknya saya yang datang."
"Janganlah kak, nanti yang ada heboh semua lagi."
"Loh heboh kenapa? Saya kan bukan siapa-siapa."
Raihan memutar bola matanya malas, "Bukan siapa-siapa bagaimana? Jelas-jelas kamu itu pernah digosipkan sama anak mentri itu loh."
"Sembarangan. Enggaklah, masa iya. Ngawur."
"Loh iya kan? Emang pernah kok."
"Sudah. Dengarkan saya dulu. Kalau memang kamu masih bisa menghindar dari mereka, maka hindari. Saya khawatir nanti ada ajang pembalasan dendam yang nanti akan membahayakanmu."
"Iya kak."
"Kamu jangan iya-iya terus, praktekkan nanti."
"Iya, paham."
"Sekarang kamu ganti baju terus makan yang banyak, biar punya tenaga buat hajar orang lagi."
"Nyindir," balas Raihan kesal.
"Enggak nyindir."
***
Seingat Nerissa, dua bulan lalu saat ia datang ke perusahaan om-nya, perusahaan itu tidak seluar biasa ini. Maksudnya, semuanya lebih tertata dengan baik. Walaupun karyawannya ada yang pakaiannya sangat aneh, seingatnya, dulu, kemeja dan celana kain adalah pakaian formal kantoran yang digunakan. Tapi tadi, sebelum datang ke ruangan presiden direkturnya, ia melihat karyawan dengan pakaian yang tidak biasa. Cukup kaget sebenarnya. Terlebih lagi, perusahaan ini sungguh terlihat seperti perusahaan yang akan ada di masa depan nanti. Teknologi yang digunakan sungguh canggih.
Terlebih lagi ruangan di mana ia berada sekarang. Gorden berwarna emas yang dulu masih ia ingat dengan jelas sudah berubah menjadi warna hitam. Cat ruangannya memang putih, tapi setiap barang di dalamnya di dominasi oleh warna hitam. Mulai dari meja kerja, komputer dan laptop yang ada di atasnya. Apalagi, karpet hitam yang sedang ia pijaki. Rak-rak buku juga berwarna hitam pekat. Bahkan gelas besar yang ada di atas meja juga berwarna hitam. Kesannya sangat misterius sekaligus angkuh. Berani sekali.
"Kayak ruangan mafia aja," gumam Nerissa lirih, matanya masih memindai setiap sudut ruangan itu.
"Apanya yang mafia? Emangnya kamu pernah ke ruangan mafia?"
Suara yang berat itu membuat Nerissa terlonjak kaget, sejenak ia gunakan untuk menenangkan dirinya. Nerissa memandang kesal pada pria yang baru saja datang dari arah pintu, duduk di kursi kerjanya dengan gaya angkuh. Sebenarnya Nerissa tahu, pria itu tidak benar-benar angkuh, hanya saja setiap gerak-geriknya membuat semua orang berspekulasi seperti itu. Selain itu, setelan armani yang melekat di tubuh tegapnya menambah kesan itu. Padahal pria itu termasuk orang yang malas.
"Kaget aku, kalau mau masuk ketuk dulu kek. Untung enggak jantungan."
"For your information, ini ruanganku."
Nerissa mendengus kesal, salah tempat ternyata. Karena ia biasa mengatakan itu kepada karyawan kurang ajarnya yang sering lupa mengetuk pintu sebelum masuk ke ruangannya.
"Kamu sudah masuk ke ruangan mafia?" Tanya Nerissa enggak nyambung.
"Sudah, diajak ngopi."
Nerissa menatap pria itu kesal, merasa bahwa ucapannya sangat tidak masuk akal. Diajak ngopi pula. Siapa yang akan percaya.
"Enggak masuk akal."
"Enggak maksa kamu percaya. Ada perlu apa ke sini?"
"Seriusan deh Zach, kamu pernah masuk ke ruangan mafia?"
Zach menatap sepupunya heran, masih saja dibahas.
"Pernah, beberapa kali. Ada urusan."
"Ngapain kamu?" Pekik Nerissa.
Nerissa tahu sepupunya itu bandel, badung, tapi itu dulu. Sudah enggak, sudah sejak lama Zachery buat masalah, waktu masih SMA. Tawuran, clubbing, mabuk-mabukan, untung sampai enggak pakai narkotika, main cewek, semuanya deh. Pokoknya, sepupunya itu, definisi sesungguhnya dari seorang bajingan, tapi itu dulu.
"Jangan mikir yang aneh-aneh dulu."
Nerissa kesal, "Gimana enggak mikir aneh-aneh, kamu itu kan sukanya bikin masalah."
"Ada urusan. Mau bangun rumah, aku yang dapat proyeknya."
"Kenapa enggak nolak aja?"
"Sudah tanda tangan. Enggak tahu juga dia itu mafia, yang jelas, seperti mafia yang kelas atas."
"Gila kamu!"
Zachery menatap Nerissa kesal, katanya ada urusan, tapi enggak dibahas-bahas dari tadi. Padahal Zachery banyak kerjaan.
"Iya, ada urusan apa ke sini? Enggak biasanya."
"Aku ada proyek besar, flat yang nanti kami bangun mau kulengkapi dengan hi-tec."
"Kamu ke sini mau suruh aku buat design flat-mu atau yang masalah teknologinya?"
"Aku pikir kamu itu sudah enggak gambar, fokus ke perusahaan dululah. Om nanti ngamuk."
"Emang enggak gambar kok. Jadi kapan itu?"
"Rencana pembangunannya itu selesai tahun depan. Tapi aku mau kamu buat rancangan matangnya dulu. Supaya tahu, bagian mana saja yang bisa dilengkapi."
Zachery mengangguk, "Kalau bisa sih setiap bagian. Soalnya perusahaan sedang buat inovasi baru untuk teknologi dalam rumah."
"Bagus deh, aku mau yang pertama kali gunakan teknologi kalian itu bangunanku. Enggak mau tau pokoknya."
"Berani bayar berapa kamu?"
Nara menatap Zachery main-main, "Loh? Dibayar?"
"Enggak kok, gratis buat kamu."
Nerissa terlonjak kaget, "Eh? Seriusan nih?"
"Ya mikir aja, masa' iya gratis."
Nerissa tertawa pelan melihat respon dan juga gestur dari Zachery. Hanya bercanda. Ia juga paham, seberapa mahalnya perusahaan ini, teknologi yang diluncurkannya selalu berhasil menjadi trend di pasaran. Tidak tanggung-tanggung seberapa banyak pihak yang mau bekerjasama dengan perusahaan itu.
"Tahu. Eh Zach, aku besok mau ketemu sama Nara. Mau temani tidak?"
Nerissa dapat melihat dengan jelas bagaimana kerutan itu tercetak secara otomatis di kening Zachery.
"Ngapain aku ikut? Enggak ada urusan."
"Ya siapa tau kamu mau ketemu sama Nara. Siapa tau kamu penasaran."
"Pulang sana, aku sibuk."
"Gimana sih? Mau enggak, temani aku?"
Zachery menggelengkan kepala pelan, sibuk menatap dokumen yang sudah sedari tadi dibolak-balik dengan arah yang sama.
"Apa sih nih anak, mau dikenalin juga nolak terus. Gimana ada cewek yang mau sama kamu, kalau kamu gini terus."
Zachery mengibaskan tangannya pelan, mengusir secara langsung tanpa basa-basi dan sayangnya Nerissa tidak peka dengan itu. Malah memperbaiki duduknya lebih nyaman.
"Nara itu beda Zach. Dia itu enggak akan ngelendotin kamu terus, dia sibuk. Enggak akan porotin harta kamu, enggak peduli dia sama hal itu. Aku cuma mau kalian kenalan aja."
"Terus? Apa masalahnya? Enggak usahlah, aku juga enggak mau urus masalah itu dulu. Makanya mau kerja di perusahaan."
Nerissa mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya bersamaan, membentuk v. "Aku yakin kamu sama Nara itu cocok banget."
"Kenapa seyakin itu?"
"Ya feeling aja."
Nerissa menghela napas pelan, "Tapi jika memang kamu mau kenalan sama Nara, dia itu enggak mudah. Udah banyak yang nyerah gara-gara capek ngejar Nara terus."
Gerakan Zachery berhenti, tapi beberapa detik kemudian melanjutkan lagi, seakan tidak peduli dengan hal itu.
"Bukannya Nara jual mahal. Enggak tahu aja mereka, kalau Nara itu penuh luka, dia terluka berulang kali. Belum sembuh, atau mungkin lukanya permanen. Makanya susah menaklukkan Nara."
"Kamu berhenti ngoceh terus pulang, kamu kan sibuk."
Nerissa menggelengkan kepala pelan, "Nara itu gadis yang kuat, dengan sikap cueknya, itu jalan yang dia pilih untuk membatasi orang-orang untuk tahu dirinya lebih dalam. Kalau serius mau kenalan, aku akan menceritakan semuanya padamu."
Zachery menghela napas, menyerah dan mulai menatap Nerissa, walaupun menatapnya dengan pandangan kesal. Tapi setidaknya, Nerissa diperhatikan saat bicara.
"Kenapa?"
Nerissa menatap Zachery penuh harap, "Aku ingin Nara bahagia," suaranya lirih namun masih didengar oleh Zachery, "dia itu sibuk membahagiakan orang-orang sehingga lupa caranya bahagia."
"Kenapa aku?" Terdengar sangat dingin.
"Enggak tahu. Mau aja. Coba aja dulu, serius deh. Dicoba dulu, dekati dulu perlahan. Kalau emang enggak cocok, ya sudah, kamu balik dan aku enggak akan ganggu lagi."
"Kenapa?"
"Nara itu bisa buat orang jatuh cinta dengan mudah, sekali lihat kamu bisa langsung jatuh cinta. Aku yakin. Ketemu aja dulu."
Tidak ada jawaban dari Zachery, Nerissa melihat Zachery kembali fokus pada dokumen yang ada di depannya. Melihat itu Nerissa mendengus kesal, pokoknya tidak akan menyerah, ia itu ulet, lihat saja nanti, Zachery akan menyerah dan mau dikenalkan nantinya.
"Walaupun Nara itu nyebelinnya minta ampun, serius deh, kalau sudah tahu bagaimana dia, enggak nyesal kamu kenal dia."
Zachery berdecak kesal, tidak suka jika dicecar terus dengan masalah seperti itu. Lagi pula, untuk apa dia kenal dengan sahabat sepupunya, untuk apa itu? Kenapa ia harus membuang waktu agar mau kenal dengan gadis itu.
Nerissa berdiri dari duduknya dengan kesal. "Awas aja yah, nanti ketemu Nara tapi enggak bisa lupakan dia. Pokoknya, aku enggak akan nyerah."
Zachery mengibaskan tangannya lagi, lebih keras dari yang tadi agar Nerissa mau segera pergi dari sana.
"Enggak peduli."