WebNovelAlufiru81.82%

Chapter 8

Belum pernah pria itu rasakan bagaimana definisi jatuh cinta yang sebenarnya, atau setidaknya seperti yang dituliskan dalam buku, digambarkan oleh orang lain. Sungguh, belum pernah ia rasakan. Selama ini, ia hanya sekadar bermain saja. Dulu, dulu sekali saat ia duduk di bangku sekolah menengah atas, hampir setiap bulan ia gonta-ganti kekasih. Ajaib sekali dirinya. Tidak pernah ia pikirkan bagaimana perasaan gadis yang ia putuskan dengan segera tanpa basa-basi setelah merasa bosan. Itu memang dirinya, ngomong-ngomong.

Hidup liarnya berubah saat perusahaan ayahnya sempat mengalami collapse karena penggelapan dana dari karyawannya. Pelajaran paling berharga untuknya, tidak akan ia lupakan bagaimana usaha  ia untuk mengubah gaya hidup dan perilakunya. Juga, ia mengingat bagaimana untuk pertama kali dalam hidupnya secara tulus menengadahkan tangannya. Ya, memang hidup serumit itu.

Terkadang harus ada ujian yang berat untuk menyadarkan seseorang. Ada ujian yang paling berat untuk membuat seseorang sadar bahwa hidup itu adalah berarti, dan bagaimana prosesnya adalah pengalaman yang nantinya akan mengajarkan, akan memberikan pelajaran. Bukan hidup yang sekadar... karena kamu dilahirkan.

Kembali pada masalah jatuh cinta tadi. Pria itu, secara khusus akan merasa bahwa dirinya tidak akan merasakan ciri-ciri bagaimana seseorang akan jatuh cinta, terlebih secepat itu. Tidak akan percaya dirinya, tentu saja. Menurutnya, sesuatu itu harus memiliki proses, jatuh cinta juga butuh proses, itu yang ia percaya. Setidaknya sampai kejadian dua minggu lalu yang terjadi padanya.

Otaknya tak berhenti memutar bagaimana klise senyuman dan tawa ringan yang ditangkap oleh mata dan telinganya, begitu mempengaruhi harinya dengan banyak. Seperti ketika dirinya sedang terdiam sejenak bayangan itu akan kembali muncul, ketika ia sedang sendiri bayangan itu hadir lagi. Kaset rusak, operator otaknya mungkin terlalu kaget mendapati hal yang seindah itu, begitulah ia mengatakannya. Atau memang... ia sedang diejek oleh masa lalu, dimana ia mendapatkan begitu banyak cinta dengan suka rela disodorkan lalu ia sia-siakan begitu saja. Sebab akibat. Begitu ia menyebutnya.

Dua minggu lalu, selepas ia menyelesaikan semua urusannya, dengan gagahnya ia berdiri di balkon kamar sederhananya. Menatap langit kala itu yang sangat indah karena bintang-bintang turut serta, bulan juga tidak mau kalah. Pokoknya malam itu, tidak berhenti ia mengucapkan syukur pada pencipta karena diberikan kesempatan untuk menatap langit malam dengan perasaan penuh. Tapi, tidak pernah ia menyangka bahwa ada hal lain yang lebih indah dari itu.

Benar. Tawa samar-samar yang ia dengar begitu mengganggu telinganya, anehnya, ia tidak terusik sama sekali. Malah menikmati frekuensi tawa yang seperti melodi dari surga itu. Anggaplah ia berlebihan, sejujurnya, memang begitu. Perumpamaan yang digunakannya memang cukup berlebihan, tapi mau bagaimana lagi? Sadarkah dirinya bahwa ia sedang jatuh cinta? Tentu tidak! Ia masih akan membuktikannya sendiri. Tawa itu hanya beberapa detik dan surut.

Kepalanya otomatis menunduk ke bawah, mencari pemilik tawa itu. Sayangnya, karena kurang persiapan, senyuman tipis, hanya tipis, menyerangnya juga dengan mendadak. Tidak berkutiklah dirinya. Mana pernah ia tahu bahwa senyuman tipis bisa meningkatkan degupan jantung secara tiba-tiba, mana pernah ia tahu tentang itu. Ia amatir walaupun pernah memiliki kekasih yang tidak bisa dihitung jari. Ia amatir dalam cinta.

"Ada apa denganmu?"

"Bukan masalah."

"Benarkah? Mukamu tidak menggambarkannya."

"Tidak peduli."

"Semuanya baik?"

"Aku usahakan dengan baik."

"Bekerja keraslah."

"Aku lakukan hingga otakku bahkan akan meledak. Jadi tolong, keluar dari ruanganku dengan baik-baik."

"Kamu tahu kan? Ini alasan kenapa aku sering kabur-kaburan."

"Itu karena memang dirimu yang malas bekerja."

"Sialan!"

***

Suasana halaman belakang gedung yang menjulang tinggi itu cukup sejuk. Banyak pepohonan yang berdiri tegak menunjukkan eksistensinya, begitu rindang sehingga menjadi tempat pilihan oleh manusia manusia penasaran untuk dijadikan sebagai tempat bersantai. Apalagi rumput hijau di bawahnya begitu mendukung, terlebih angin dengan malu membelai setiap wajah, apalagi yang kurang bukan? Suasananya begitu sempurna.

"Kalian pasti sudah bosan melihat para tahanan yang menguras uang rakyat, ditangkap, menggunakan rompi bertuliskan tahanan KPK, lalu tersenyum di hadapan puluhan kamera yang menyorot. Lucu sekali."

Mereka sedang berdiskusi ringan, hanya bincang-bincang untuk mengisi waktu luang. Kebetulan Nara juga tidak memiliki kesibukan. Jadilah ia terdampar di sini. Saat berjalan-jalan tadi, ia melihat kumpulan mahasiswa yang duduk melingkar. Nara putuskan untuk mendekat dan mendengar mereka berdiskusi tentang banyak hal. Jadi ia ikut, meminta izin dengan sopan untuk mengeluarkan pendapat. Duduk bersama mahasiswa-mahasiswa yang ia ajar.

Mahasiswa yang menggunakan kacamata, ada buku tebal di pangkuannya, pakaiannya rapi dan mencolok. Jelas mencolok, ia satu-satunya pria yang terlihat paling rapi di sana, selebihnya, tahulah, khas mahasiswa pada umumnya. Ia mengangkat tangan sejenak untuk meminta izin mengeluarkan pendapat, lalu menurunkan tangannya setelah mendapat apa yang ia inginkan, "Bukan bosan lagi, tapi muak. Serakah. Semua dijadikan uang, dari agama hingga pendidikan, dua aspek yang seharusnya suci dan murni, citranya dikotori."

Nara mengangguk, "Manusia memang begitu, serakah. Setiap manusia memiliki itu dalam diri mereka. Porsinya saja yang berbeda."

"Terlepas dari itu bu, mereka seperti tidak tahu malu saja, matanya itu tidak menunjukkan penyesalan seakan apa yang ia lakukan adalah sesuatu yang tidak perlu dibesar-besarkan."

Yang barusan berbicara adalah seorang mahasiswi berhijab, cantik, juga terlihat kontras dengan perempuan yang lainnya.

"Memang manusia itu tidak tahu diri. Diberikan yang begini, maunya yang lain. Diberikan sedikit mau yang banyak. Tidak puas," celetuk pria yang rambutnya keriting dengan logat yang khas.

"Menurutmu bu, bagaimana caranya agar mereka jadi takut untuk melakukan itu?"

"Korupsi itu hanya bagian lain dari persoalan di negeri ini. Ada banyak. Seperti pancasila kehilangan artinya sebagai ideologi negara, sebagai falsafah hidup. Dari sila pertama hingga sila kelima, seperti tidak ada artinya."

Semua yang ada di sana mengangguk setuju, memang seperti itu kenyataannya. Dari berbagai sisi. Seperti usaha yang dilakukan oleh pahlawan yang gugur, sia sia begitu saja.

"Dan juga, garuda sebagai simbol negara seperti tertidur."

Ada tawa sinis yang terdengar dari pria yang rambutnya gondrong, tipe mahasiswa pemberontak yang tidak taat aturan. "Bukan tertidur bu, sayapnya patah, cengkramannya lemah, matanya buta. Semuanya sakit, garuda sedang sakit."

Nara mengangkat ibu jarinya, bagus, "Tapi terlepas dari itu, mahasiswa yang katanya digadang-gadang sebagai agent of change juga kehilangan dirinya dengan banyak."

Semuanya diam, bunyi kicauan burung terdengar di atas pohon, seperti menyetujui ucapan Nara barusan.

"Kehilangan bagaimana bu? Jadi apa artinya aksi-aksi kami selama ini?"

Ada nada tidak terima yang dilontarkan oleh mahasiswa berbadan gempal, mungkin merasa terhina dengan ucapan Nara barusan.

"Ada perubahan tidak? Aksi kalian merubah keadaan tidak? Oke, itu mungkin merubah, sejarahnya ada, waktu penurunan Pak Soeharto. Gedung MPR DPR diduduki, massanya luar biasa banyak." Tanya Nara.

Tidak ada yang menyahut. Seperti menunggu kalimat berikutnya untuk dilontarkan lagi.

"Yang kalian teriaki itu tuli, tidak akan peduli pada tuntutan-tuntutan kalian. Tidak akan peduli bagaimana sakitnya tenggorokan kalian karena terus berteriak, bagaimana baju dan almamater kalian basah oleh keringat, mereka tidak akan pernah peduli."

"Siapa yang tahu, saat kalian panas-panasan di luar, mereka malah duduk di dalam ruangan ber-ac, minum kopi atau teh dan merencanakan cara agar uang lebih banyak mengalir ke kantong mereka."

"Lalu kami harus melakukan apa?" Ada tekanan yang diberikan, ada amarah yang disisipkan dalam kalimat itu.

"Tapi, bukan berarti apa yang kalian lakukan itu salah, saya tidak mengatakan itu salah. Ada cara lain yang bisa kalian tempuh, cara yang seharusnya kalian lakukan sebagai mahasiswa. Cara yang elegan dan cantik. Aksi di jalan itu tidak salah, makanya, kita buat itu lebih menarik. Kita rangkaikan."

"Menulis? Tulisan kami tidak akan pernah bisa dibaca, hilang begitu saja," ujar gadis yang rambutnya ia kuncir kuda.

"Itu salah satunya."

Banyak dari mereka yang menghela napas, seperti tidak setuju dengan rencana itu. Sampai tangan mereka kebas karena memegang pena, itu tidak akan berguna, peminat baca di negara ini rendah. Sangat rendah.

"Mungkin, jika aksi yang kalian lakukan itu terdiri dari banyak massa yang bisa merobohkan istana negara, mungkin kalian akan di dengarkan," ujar Nara dengan nada geli, merasa lucu juga dengan apa yang ia katakan.

"Jika aksi dan itu ricuh, padahal yang kalian lakukan menuntut kebenaran dan keadilan, citra kalian di mata masyarakat akan buruk. Padahal mahasiswa itu butuh dukungan masyarakat. Mereka akan menganggap apa yang kalian lakukan tidak berguna. Belum lagi jika ada penumpang gelap yang ingin membuat kekacauan. Habis sudah."

Nara menunjuk mereka semua dengan ibu jarinya, kemudian mengangguk pelan, "Yang kalian butuhkan adalah menarik perhatian semua orang dengan cara yang elegan, bermain cantiklah."

Gadis dengan rambut bob, menggunakan kacamata, berdehem pelan, "Jadi aksi itu tidak akan berguna?"

Nara menggelengkan kepala, "Bukan tidak berguna, disaat-saat tertentu itu juga akan berguna. Disaat tertentu itu juga efektif. Atau mungkin, kita butuh membuat citra baru pada aksi itu. Lagi pula aksi itu kan ciri khas mahasiswa. Mahasiswa tidak bisa lepas dari itu, dari dulu hingga sekarang itu jalur perjuangannya. Jalur perjuangan mahasiswa kan di jalan."

"Jadi bagaimana?" Ujar pria yang duduk tidak jauh dari Nara. Yang terlihat paling tenang di antara semuanya.

"Kalian harus melawan manusia licik dengan cara yang licik juga. Harus seimbang. Mereka itu tuli, buta, dan tidak akan mendengarkan apapun yang kamu lakukan."

"Buat mereka kehilangan elektabilitas, permalukan mereka dengan cara yang tidak akan pernah mereka bayangkan. Bandit-bandit seperti mereka kerjaannya jadi perusuh saja, siapa yang tidak muak bukan?"

Nara mengangguk sekali lagi, "Paksa mereka kembali melaksanakan tugas mereka dengan sebagaimana mestinya. Paksa mereka untuk menjalankan sistem sebagaimana mestinya."

"Jadi, bagaimana?" Tanya pria itu lagi.

"Saya tanya, kalian mau susah tidak? Kalian mau lelah tidak?" Tanya Nara.

Dengan ragu mereka mengangguk.

Nara tersenyum tipis, "Datang padaku jika kalian sudah siap. Kumpulkan tekad kalian dulu lalu saya akan membantu kalian. Saya butuh orang-orang yang serius dan mau susah."

"Bu, kami bisa, kami mau."

Nara menatap mereka heran, sedikit jengkel juga, "Tidak, tidak, tidak. Saya ingin keseriusan, jika dari awal kalian ragu, semuanya tidak akan berjalan dengan lancar. Ini rencana besar."

Gadis berhijab tadi tersenyum mendengar Nara, "Bagaimana jika Kak Nara mengatakan dulu apa yang akan dilakukan."

"Perhatian yang akan kalian dapatkan, itu akan terlaksana, bahkan lebih."

"Bu..."

"No, no, no. Kalian salah jika menganggap saya sebagai manusia yang mudah dibujuk."

Setelahnya Nara berdiri dari duduknya, membersihkan celana kainnya dengan pelan.

"Ingat, jangan pernah datang pada saya jika kalian masih ragu. Jangan coba melangkahkan kaki kalian datang padaku. Ingat itu."

Beberapa dari mereka ada yang mencibir Nara, dosen sombong yang sayangnya berotak encer, harus diakui memang.

Nara terkekeh pelan melihat ekspresi berbeda dari mahasiswa-mahasiswinya, "Kalian ada kelas bukan? Seimbangkan kegiatan kalian di luar dengan belajar, kalian butuh ilmu agar tidak dibodohi. Saya pergi, terima kasih menerima saya untuk berdiskusi, kalian luar biasa."

Nara berlalu dari sana, meninggalkan lingkaran itu dengan penuh teka-teki. Terlebih lagi, rasa penasaran mahasiswanya bertambah banyak. Rencana besar apa yang dikatakannya tadi.

Pria yang tadi duduk tidak jauh dari Nara, kembali ke posisinya, duduk di posisi Nara tadi.

"Jadi bagaimana? Saya tahu Kak Nara tidak main-main dengan apa yang dikatakannya. Jika kalian mau, kita harus menunjukkan keseriusan dulu."

***

Sejak ibunya yang ia sayangi meninggal saat dirinya masih duduk di bangku sekolah dasar, kasih sayang tidak pernah ia dapatkan secara penuh. Harta yang melimpah buktinya tidak cukup untuk membuat harinya terasa lengkap.

Tapi, saat ayahnya datang membawa seorang wanita yang cantik dan sederhana, semua itu berubah. Wanita itu memberikan apa yang ia inginkan, kasih sayang. Wanita itu tersenyum tulus padanya, merawatnya dengan baik, menasihatinya saat ia salah, mengelus kepalanya ketika ia lelah, menghapus air matanya saat ia sedih, mengobatinya saat ia terluka.

Semuanya lengkap, masa-masa sekolah menengah atasnya saat itu berubah, sarapan di meja makan terasa nikmat ingin disantap setiap paginya. Gambaran hidup sempurna ia dapatkan lagi. Walaupun ia termasuk berandal, tapi itu hanya karena ia ingin ayahnya untuk sadar, setidaknya sampai pria tua itu berhenti bekerja dan menikmati hidupnya.

"Sudahlah ma, berhenti memikirkannya. Aku akan bantu mencari mereka."

Ibunya tersenyum lembut. "Iya sayang, mama tahu."

"Jika mama lelah, mama bisa pergi dari sini. Aku akan bantu yah?"

Ujar pria muda yang menawan, masih lengkap dengan setelan kantornya.

Wanita yang dipanggil mama itu menggelengkan kepala dengan pelan, "Tidak sayang, kamu butuh mama. Sudah cukup kamu terluka."

Pria itu tersenyum pedih, "Tapi ma, aku sudah besar, bisa menjaga diriku sendiri. Papa tidak akan memukulku lagi."

Wanita itu mengelus rambut putranya dengan sayang. "Tidak masalah, mama senang bisa membesarkanmu dengan baik. Jadi seriuslah bekerja yah? Dan tunjukkan pada papamu bahwa kamu itu berguna."

"Tapi ma."

"Tidak ada tapi-tapian, mulai sekarang kamu harus serius bekerja."

"Ma!"

"No, no, no. Jangan merengek, kamu itu sudah besar, sudah bisa membuat anak."

"Astaga, ma!"

Wanita itu tertawa pelan mendengar protesan putranya. "Kamu sayang sama mama kan?"

"Ya sayanglah, masa enggak."

"Kalau begitu, kamu harus mau mama kenalkan sama anak teman mama."

Pria itu menghela napas kasar, "Ma serius deh, aku bisa cari sendiri kok ma. Mama harus sabar, yang terbaik itu datangnya akhir."

"Gimana mau sabar? Kamu modelan kayak gini mana bisa dapat yang terbaik."

"Tega sama anak sendiri."

"Mama serius. Cuma kenalan aja, kalau kamu memang enggak suka, mama lepas tangan."

"Tapi ini yang terakhir yah ma?"

"Iya... yang terakhir, janji."

"Oke deal."

Biarkanlah. Pria itu tahu jika ibunya juga punya banyak masalah. Terlebih lagi rasa bersalah yang sangat menyiksa, ia juga merasakannya. Karena ia merasa bahwa ini semua salahnya, ada bagian penting di mana ia mengambil keputusan yang salah. Dan semuanya tidak bisa diulang kembali. Bahkan dengan triliunan kalimat pengandaian, semuanya tidak akan pernah berubah. Sudah terjadi, dan lukanya tidak bisa sembuh.

Jika diberi kesempatan, mereka berdua ingin membangun kembali, mereka ingin memperbaiki semuanya dan hidup dengan tenang tanpa rasa bersalah. Tapi mereka juga paham, luka yang mereka sebabkan, bukanlah luka yang akan sembuh dalam hitungan hari, bulan, bahkan tahun. Mereka paham itu dengan benar.

Tapi untuk sekarang, biarkan mereka beristirahat dulu. Hati dan otak yang lelah akan membawa dampak yang sangat mengerikan untuk si pemiliknya. Mereka pusat segalanya, ketika tidak sinkron maka masalah untuk semuanya.