Kebiasaan untuk keluar setelah salat isya dengan menggunakan mukenah yang masih lengkap, Nara dapati setelah berada di rumah barunya itu. Terkadang, ia akan membaca buku di kursi taman di bawah pohon mangga, menghabiskan bab per bab, sampai lupa waktu. Atau, duduk di kursi teras rumah yang menghadap langsung ke gerbang rumahnya. Ia lakukan itu karena menunggu penjual sate yang biasa lewat, juga penjual makanan lainnya. Terkadang ia disapa oleh satpam yang menjaga di daerah sana dengan senyuman lebarnya, Nara akan melambai dan tersenyum juga.
Sekarang, Nara memilih duduk di kursi yang ada di teras, memegang buku yang tebalnya minta ampun, dalam bahasa inggris pula. Pilihan bacaannya sebenarnya banyak, tapi untuk malam itu, ia memilih buku itu karena berhubung besok, ia akan mengajar mata kuliah yang sama.
Mata Nara memicing saat melihat adiknya di depan sana turun dari motor besar dengan pelan, bahkan masih sempat memberikan kecupan di pipi pria itu. Nara menghela napas, adiknya itu, susah sekali, sampai kapan gadis itu bertahan dengan keinginannya untuk bebas.
Saat yakin Dira bisa mendengarnya, Nara menyimpan bukunya di atas meja dengan pelan.
"Sampai kapan kamu pulang malam terus seperti ini?"
Dira mendelik kesal padanya, "Sampai kalian mau melepaskan aku."
"Saya tanya, kalau kamu, kami lepaskan, kamu akan tinggal di mana? Bagaimana sekolahmu? Siapa yang membiayai mu? Siapa yang akan mengurus mu?"
Dira terdiam beberapa detik, "Aku bisa mengurus diri sendiri. Aku sudah besar."
Nara menatap adiknya dengan tatapan yang ia usahakan dapat segera dibaca oleh Dira, ia ingin adiknya itu mengerti betapa sayangnya Nara pada dirinya. "Sebenarnya apa yang membuatmu seperti ini?"
Rambut panjang Dira yang bergelombang karena memang disengaja--entahlah, Nara tidak tahu namanya--tertiup angin.
"Padahal, bapak sudah berusaha keras untuk membesarkan mu, bapak mendidik mu dengan baik. Apa salah kami sebenarnya?"
Tangan Nara sedikit bergetar, mata Dira dapat menangkap itu. Tapi, semua spekulasi yang mungkin saja benar, segera ia tampik.
Nara mengangguk pelan, "Kalau kami punya salah, katakan, biar kami perbaiki. Jelaskan pada kami, dan kami akan memperbaiki diri. Jangan seperti ini, yah?"
"Kalian tidak akan mengerti, bagaimana menjadi aku," ujar Dira penuh amarah.
"Karena itu katakan, jelaskan, agar kami mengerti."
Dira tersenyum sinis, pandangan matanya me-najam, seperti...Nara tidak lagi mengenal adik kecilnya yang polos, tidak lagi mengenalnya. Sosok itu seperti hilang dari diri Dira yang sekarang. Dikubur hidup-hidup sangat dalam dan dibiarkan mati dengan sendirinya.
Nara tersenyum kemudian, "Baiklah, besok-besok jangan pulang sekolah terlalu malam. Ada makanan di atas meja, jangan lupa memakannya."
Pelan-pelan. Satu bulan lebih mungkin tidak cukup, Nara butuh waktu. Pelan-pelan saja.
"Kalau memang belum berubah, itu makanan kesukaanmu. Kakak juga sudah lama tidak memasaknya, semoga masih enak."
"Kalau memang sekarang tidak ingin mengatakannya, tidak masalah. Akan saya tunggu."
Dira tanpa menunggu lebih lama lagi, segera melangkahkan kakinya memasuki rumah. Tidak peduli lagi dengan segala apa yang dikatakan kakaknya. Semua orang memang butuh waktu. Dira hanya takut, ia menjelaskan, mencoba membuat orang lain mengerti bagaimana masalahnya, tapi respon yang diberikan tidak seperti yang ia inginkan. Memang begitu kan? Mereka memaksa untuk bercerita tapi tidak pernah mau untuk mengerti.
***
Acara sarapan keluarga Arkana biasanya tidak akan selengkap ini, tapi sekarang, dengan hadirnya putra pertama, mengisi kursi di bagian kanan sang kepala keluarga semuanya terlihat lengkap. Apalagi, pelayan yang membantu sibuk menggosipkan tuan muda mereka yang terlihat tampan dan berharap kisah si upik abu dengan majikannya terjadi pada mereka. Tapi, siapa yang tahu? Semua bisa terjadi kan? Itu hukum tidak tertulis yang ada di dunia.
Yang pertama menyelesaikan makannya adalah Clara, yang tiap hari wajahnya tambah bersinar saja. Yang melihatnya saja merasakan itu.
Disusul dengan yang lainnya. Setelah selesai, tidak ada yang beranjak dari sana sementara pelayan membereskan meja dengan agak canggung.
"Kenapa sih dek? Mukamu kayak gitu? Senang banget kayaknya."
Clara tersenyum manis, tidak menjawab pertanyaan kakaknya. Malah meraih anggur dan memakannya pelan.
"Kenapa?"
Ibunya tertawa pelan mendengar anak sulungnya menjadi agak kesal karena pertanyaannya tidak dijawab. "Kamu enggak tahu?"
Zachery menggelengkan kepala cepat. "Gimana aku bisa tahu? Enggak ada yang bilang ke aku."
"Adikmu ini lulus di universitas tempatmu dulu," ujar Nyonya Arkana ringan.
Zachery nampaknya tidak percaya, ia malah memicingkan mata pada adiknya yang juga nampak kesal karena merasa diremehkan. Melihat dari nilai dan prestasi Clara, semuanya mungkin saja terjadi.
"Gimana ceritanya? Susah loh."
"Ya, rezeki ku kan di sana kak."
"Bukan begitu, untuk tembus di sana susah banget dek. Kamu punya banyak pesaing."
Tuan Arkana ber-dehem pelan, "Dibantu sama sahabatnya Nessa. Nara yang merekomendasikan."
Kening Zachery mengkerut, telinganya begitu asing dengan nama itu. Tidak pernah sekalipun ia mendengar nama itu disebutkan oleh keluarganya, dan juga, ia tidak pernah tahu bahwa Nerissa punya sahabat yang memiliki koneksi luas sampai ke sana.
Clara mengangguk cepat, "Iya, Kak Nara yang bantu. Aku aja nih kak, enggak kepikiran. Katanya, aku aja yang enggak berani coba untuk daftar."
"Kerjaannya apa?"
"Dosen, sudah doktor padahal masih muda."
Zachery bahkan merasa heran mendengar nada antusias di kalimat barusan yang disebutkan ibunya, begitu antusias.
"Oh."
"Kok oh?" Tanya Clara tidak suka.
Zachery menatap adiknya bingung, "Kenapa? Gak ada yang salah kan?"
Nyonya Arkana berdecak kesal mendengar respon anaknya yang begitu. "Ya respon mu kok begitu, dia loh yang bantu adikmu."
"Kenapa enggak minta tolong sama aku saja ma? Aku kan juga bisa bantu."
Sang kepala keluarga terkekeh pelan, "Gimana bisa bantu, kamu disuruh pulang saja enggak mau, apalagi ngurusin adikmu."
"Ya masa adik sendiri enggak dibantu sih pa."
Clara memukul lengan kakaknya agak keras, "Kamu mana mau kak, waktu itu aku ada lomba di London kamu enggak datang tuh. Alasan saja kamu kak."
"Sudah, sudah. Sekarang, coba kamu telepon Nara itu, siapa tahu sebentar bisa datang ke sini. Papa mau ketemu."
Clara mengangguk pelan. Meraih ponsel canggihnya dan menarikan jarinya di atas benda pipih itu. Kemudian setelahnya menaruh ponselnya di atas meja kembali, tidak lupa ia mengaktifkan loudspeaker.
"Assalamualaikum."
Seharusnya tidak ada masalah, tapi sesaat setelah suara lembut itu menyapa, Zachery dapat melihat senyuman ibu dan adiknya mengembang. Kemudian Nyonya Arkana dan putrinya menjawab salam dengan sangat antusias membuat yang di seberang sana terkekeh pelan. Mengalun indah mengisi kekosongan. Sangat mengganggu Zachery.
"Ada perlu apa dek?"
"Enggak kak, punya waktu tidak kak?"
Ada jeda yang cukup lama hingga suara Nara kembali terdengar, "Tunggu dulu dek, saya ada urusan sebentar. Kamu tutup dulu yah, sebentar saya telepon."
"Iya kak."
Saat Clara ingin menekan ikon merah yang terpampang di benda pipih itu, suara Nara kembali mengalun, agak pelan, tapi mereka masih bisa mendengarnya dengan jelas.
"Jadi kamu terima tawaran saya?"
"Saya sebenarnya dapat kerjaan sampingan bu, cuma, yah gitu, gajinya sedikit, ibu juga butuh hidup di kampung."
Clara menatap ketiga manusia yang juga menatapnya heran. Clara menarik tangannya dan membiarkan ponsel canggihnya tetap menyala. Tidak bermaksud untuk tahu urusan orang lain, hanya saja ia sangat penasaran. Hanya penasaran.
"Serius nih?"
Zachery merasa sangat terganggu mendengar nada riang itu, terdengar sangat bahagia.
"Maaf yah bu, nyusahin. Saya terima ini, saya cicil juga. Saya takut nyusahin bu."
"Ada-ada aja sih, saya bantu karena memang murni keinginan saya, bukan mau ini itu. Anggap saja sebagai beasiswa karena kamu berprestasi."
"Bukan begitu bu, saya masih kaget karena ibu tiba-tiba bilang mau biayai kuliah saya."
"Kaget kenapa? Saya bisa bantu, saya juga ingin. Tidak masalah kan?"
"Tapi bu..."
"Astaga, kamu ini mau terima atau enggak sih? Enggak usah ragu, kamu hanya perlu banggakan ibumu."
Mereka dapat mendengar helaan napas yang cukup keras dari seorang pria.
"Bu, sekali lagi terima kasih banyak. Saya tidak menyangka saja. Saya tidak akan lupakan ini bu."
"Kamu itu sudah terima kasih berulang kali, bosan saya dengarnya. Sekali saja, nanti saya jadi sombong kamu mau tanggung jawab? Hah?"
Clara yang mendengarnya terkekeh sepelan mungkin. Ayah dan ibunya juga tersenyum geli mendengar itu.
"Saya bisa balas semua ini dengan apa bu?"
"Enggak usah dibalas, pesan saja enggak semua yang dibalas. Tapi kalau mau, tetap berprestasi dan banggakan ibumu."
"Pasti bu, tolong tegur saya jika melakukan kesalahan."
"Kamu sudah besar, saya percaya padamu, jadi dijaga."
"Tapi bu, teman kawan saya juga katanya dapat beasiswa dari ibu. Sebenarnya berapa orang yang dikasih?"
"Sembarangan, enggak usah uruslah itu. Yang harus kamu lakukan itu belajar saja."
"Tapi serius bu, mereka ada bukti, tunjukkan ke saya secara langsung."
"Sudah, sudah. Sana kamu, udah enggak ada urusan kan? Ganggu aja, masih pagi juga."
"Tapi bu..."
"Kamu mau saya jitak atau bagaimana nih? Punya telinga kok enggak dipakai."
Ada tawa pria yang mereka dengar, juga suara kursi yang di dorong pelan. Dengan sigap, Clara menekan ikon merah pada ponselnya. Hampir saja.
Mereka masih terdiam mendengar percakapan yang cukup lucu tadi. Tidak menyangka saja bahwa gadis itu ternyata lebih dari apa yang mereka pikirkan. Terlebih Nyonya Arkana yang sudah kagum, kali ini semakin jatuh cinta pada gadis itu. Tuan Arkana juga berpikir seperti itu, gadis bernama Nara ini terlalu susah.
Ponsel Clara berdering, dengan sigap ia mengangkatnya.
"Enggak apa apa kak," Clara terkekeh pelan mendengar suara Nara di seberang sana, "cuma mau tanya saja, ada waktu atau enggak, papa mau ketemu katanya."
"Sebentar malam kalau kakak punya waktu," ujar Clara lagi setelah mendapat isyarat dari ibunya, "jadi diusahakan yah kak? Iya kak, enggak tahu papa, katanya mau ketemu."
"Nanti aku juga ajak Kak Nessa, jadi enggak sendiri," ada jeda yang cukup lama, "jadi bisa kan kak?" Clara tertawa senang, "janji yah kak, datang yah sebentar. Iya, tutup aja kak. Semangat mengajarnya."
Clara menyimpan ponselnya kembali dengan pelan sambil tertawa kecil.
"Bisa katanya. Pokoknya Kak Zach harus ketemu Kak Nara."
Yang disebutkan namanya hanya bergumam tanpa minat. Tidak ada hal menarik yang bisa ia dapatkan dari percakapan pagi ini. Dan sialnya lagi, ia harus berangkat bekerja, untuk pertama kalinya di perusahaan milik keluarga mereka. Sejujurnya, ia, secara pribadi, tidak menyukai berada dalam ruangan terlalu lama.
Clara menatap kakaknya dengan senyuman mengejek, "Selamat bekerja juga kak, semoga betah di perusahaan."
***
Langkah gadis itu bertambah cepat saat seorang wanita berupaya untuk menyamakan langkahnya. Sesekali menabrak seseorang yang akan mengumpati dirinya dengan ikhlas. Tapi... seperti tuli, gadis itu tetap mempercepat langkahnya, tidak peduli berapa banyak umpatan yang ia dapatkan.
Tangannya bergetar, matanya memerah, berulang kali ia mengumpat, nyaris saja ia kembali tersandung dengan kakinya sendiri.
Sayangnya, tangan kanannya dipegang dengan sangat erat. Langkah kakinya secara terpaksa berhenti. Di dunia ini, untuk sekarang adalah yang paling gadis itu benci.
"Lepaskan," desisnya marah.
Wanita paruh baya itu tetap menggenggam tangan kanannya erat, tidak peduli apakah itu memerah atau tidak.
"Tidak, tidak. Dengarkan ibu dulu yah?"
"Lepaskan!"
"Dira, sayang. Dengarkan ibu dulu," suara wanita itu lirih, nyaris menangis karena tekanan batinnya.
"Apa yang harus didengarkan? Penjelasan basimu itu?"
"Nak, dengarkan ibu dulu. Ibu rindu sekali pada kalian."
"Tidak, kamu tidak merindukan kami. Yang kamu pikirkan adalah uang, memang itu yang kamu inginkan."
"Tolong maafkan ibu," air mata wanita yang memanggil dirinya 'ibu' mulai mengalir. Di butik seperti ini walaupun tidak ramai, tapi berhasil membuat mereka menjadi pusat perhatian.
"Maafkan bagaimana? Kami ditinggalkan dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Kak Nara, dia..." suara Dira tercekat. Air matanya nyaris jatuh, tapi kepalan tangannya menguat, seakan menekan air matanya untuk tidak keluar.
"Kak Nara, sepertinya perempuan itu lupa bagaimana cara membahagiakan diri sendiri. Kak Nara tidak tahu, dia tidak tahu lagi bagaimana caranya bahagia," teriak Dira tak tertahankan. Sudah tidak peduli lagi, bagaimana tanggapan orang-orang tentangnya. Tentang seorang gadis muda yang membentak wanita paruh baya.
Wanita itu mulai menangis, tubuhnya bergetar, tidak peduli lagi bahwa make up-nya yang mahal itu akan luntur jika ia menangis.
"Mana bisa aku memaafkan wanita yang sudah menghancurkan keluarga indahku? Bagaimana bisa?" Tubuh Dira semakin bergetar.
"Bapak, Kak Hendra, Kak Nara. Mereka..." Dira menghela napas dengan kepayahan, "mereka lupa bagaimana caranya bahagia. Jadi tolong, tinggalkan saja kami, seperti rencana awalmu. Jangan ganggu lagi."
"Tidak sayang," wanita itu mengucapkan dengan susah disela isak tangisnya, "maafkan ibu yah? Biarkan ibu memperbaiki semuanya."
Dira tertawa keras, "Kalau begitu, kembalikan bapak. Kembalikan dia," ujarnya dingin. Menusuk. Pegangan wanita itu lepas dengan sendirinya.
Ada jeda yang cukup lama, membuat suasana serasa begitu hening. Ada banyak pasang mata yang menonton. Yang paling mencolok adalah dua pria berbadan kekar, yang segera datang menyangga nyonya mereka yang nyaris terjatuh ke lantai.
"Nyonya, sebaiknya kita pulang," ujar salah satunya.
Dira mendengus sinis, "Ya, pulang. Silahkan bawa nyonya kalian," kalimat yang diucapkan dengan seringai tanpa belas kasih, "atau, Nyonya Pradipta? Benar, Pradipta."
Dengan langkah lebar, Dira berlalu dari sana, diusahakan se-santai mungkin, tidak peduli tatapan orang lain padanya. Yang begitu janggal adalah bahunya yang diusahakan tetap tegap, walaupun bergetar sedikit, tidak terlalu kentara.
***
"Nara, sering-sering datang ke sini," ujar Tuan Arkana dengan nada yang lembut. Terselip kasih sayang diantaranya, membuat Nara tersenyum tipis. Seketika teringat dengan bapaknya yang selalu berbicara dengan nada yang seperti itu pada mereka.
"Iya om, kapan-kapan lagi deh."
Sudah sejak selesai salat magrib Nara berada di dalam rumah mewah itu, sekitar dua jam sudah ia berada di sana. Hanya sekadar saling berbagi cerita, Nara kebanyakan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh keluarga Arkana.
"Nara aja nih? Aku enggak?" Celetuk Nerissa kesal.
Nyonya Arkana tertawa pelan mendengarnya, "Kamu kan kapan aja kalau mau ke sini, enggak perlu diajak."
Nerissa menyengir mendengarnya, "Eh om, ini anak om yang sulung kemana? Zachery di mana?"
Clara yang mendengar pertanyaan itu, mendengus kesal, "Tau tuh, sedari tadi aku telepon. Banyak alasan mah. Katanya, lembur."
"Loh? Udah mau kerja di perusahaan dianya?"
Sang kepala keluarga mengangguk, "Iya. Enggak ada pilihan dia."
"Enggak sih om, pasti ada sesuatu kan? Enggak percaya si Zach mau tukar kebebasannya dengan bekerja di perusahaan."
Nyonya Arkana mengangguk pelan, "Ya, tante kasi pilihan. Mau bekerja di perusahaan atau dijodohkan."
Mendengar itu Nerissa terkikik pelan, jelas saja, sepupunya yang satu itu tidak akan punya pilihan lain selain opsi pertama.
"Iyalah tan, Zach mana mau dijodohkan," ujar Nerissa seperti tahu sekali dengan sepupunya yang satu itu.
Nyonya Arkana terkekeh pelan, "Kalau dikenalkan pada Nara mau enggak?"
Itu main-main saja sebenarnya, tapi sepertinya Nerissa menganggap itu serius. Menurutnya, itu pilihan yang bagus. Apa salahnya dengan itu? Mereka mungkin saja cocok.
Nara tersenyum tipis, "Jangan dululah tan," ujarnya.
"Berarti nanti mau?" Tanya Clara dengan senyuman yang lebar.
"Kan cuma dikenalkan ra, apa salahnya? Kalau memang enggak cocok, yah, enggak usah dilanjutkan."
Nara mendelik tidak suka pada sahabatnya itu, "Kamu sih gampang bicaranya, kan saya yang nantinya dikenalkan."
Tuan Arkana yang mengerti situasinya mencoba untuk menengahi. "Nara jangan dipaksa. Lagi pula kalian ini, istriku bercanda kalian seriusin."
"Apa salahnya om? Siapa tau jodoh," balas Nerissa tetap kukuh.
Nyonya Arkana tersenyum senang, "Kalau jodoh sih, tante setuju setuju saja. Siapa tau ditakdirkan."
Mendengar itu Nara hanya tertawa pelan, tidak menanggapinya dengan serius. Tidak berniat untuk membalasnya juga, untuk kali ini, pembahasan itu cukup sampai di sini. Tidak perlu dilanjutkan. Dirinya sudah bosan.
"Nara mau salat dulu atau langsung pulang?" Tanya Tuan Arkana.
Dengan sigap Nara melirik jam tangan yang melekat di pergelangan tangannya, nampak kuno. Jelas, jam tangan itu diberikan oleh ayahnya secara khusus, harganya juga murah. Jam itu sudah berulang kali masuk bengkel, sering diperbaiki. Punya uang, tapi Nara tidak ingin menggantinya, masih bisa digunakan katanya.
"Salat dulu deh om, biar sampai rumah langsung istirahat aja."
Nyonya Arkana mengangguk, "Ayo kalau begitu, jamaah saja. Clara sama Nessa enggak salat kan?"
Yang ditanyai hanya mengangguk cepat sebagai jawaban. Nara berdiri dari duduknya, diikuti oleh pasangan pemilik rumah. Mereka berlalu dari sana dengan langkah tenang, meninggalkan Clara dan Nerissa di ruang keluarga. Suasananya terasa hangat. Berbeda dengan suasana rumah Nerissa yang dingin, ruang keluarga sangat jarang digunakan, ayah dan ibunya juga hanya sebentar di rumah dan pergi lagi.
Perhatian mereka teralih pada pria yang baru saja masuk ke dalam rumah. Tidak ada pengekspresian yang berarti di wajahnya, kaku dan tidak bergairah. Berjalan lurus dan tidak memperhatikan sekelilingnya. Seperti manusia yang punya banyak beban saja.
Jika saja Clara tidak menyapanya, pria itu akan segera berlalu ke dalam kamarnya dan tidak keluar lagi. Karena disapa, Zachery berhenti dengan malas.
"Kenapa tuh mukanya? Kusut banget."
Zachery mendengus kesal, "Gimana enggak kusut? Kerjaan numpuk di perusahaan. Papa selama memimpin, kerjaannya apa sih."
Nerissa tertawa mendengarnya, "Om sengaja simpankan, yakin aku."
"Kamu ngapain di sini?" Tanya Zachery heran.
"Memangnya kenapa kalau aku di sini?"
"Aneh saja."
Clara tersenyum geli melihat wajah heran kakaknya, "Ngantar Kak Nara."
"Nara siapa?"
"Sahabatku," tukas Nerissa singkat.
Zachery hanya ber-oh ria mendengarnya. Tidak ada respon lain yang menunjukkan ketertarikan berarti yang diinginkan oleh Nerissa dan Clara. Menurut mereka, Nara dan Zachery akan menjadi pasangan yang luar biasa. Siapa tau mereka sungguh ditakdirkan.
"Enggak mau ketemu Nara dulu Zach?"
Pria yang ditanyai hanya mengangkat bahu acuh. Rasa ingin tahunya seperti menghilang begitu saja. Menurutnya, semua itu tidaklah menarik.
Zachery berlalu dari sana dengan diam. Tidak memperdulikan Clara dan Nerissa yang berusaha menghentikannya.
"Kak? Kak Nara ada di mushola, tunggu dulu."
"Zach! Sebentar lagi Nara datang kok."
Zachery yang mendengarnya hanya mengangkat tangan acuh, sebagai tanda bahwa ia tidak ingin mau tahu lagi.