WebNovelAlufiru63.64%

Chapter 6

Karena memang cinta selamanya tidak akan berjalan mulus kan? Ada banyak rintangan yang harus dilalui setiap saatnya. Itu yang seharusnya dipikirkan semua insan yang sedang jatuh cinta. Kalau jatuh cinta, intinya, harus siap untuk menanggung segala resiko yang ada. Dari yang berat hingga paling berat. Memang harus begitu kan?

Dengan langkah gontai, Nerissa berjalan memasuki pintu kaca dengan mendorongnya agak kasar. Bangunannya terasa asing, sudah sangat lama terhitung ia menginjakkan kakinya di bangunan itu lagi. Kepala Nerissa serasa ingin meledak. Pusing. Bukan hanya pekerjaan, sekarang lihatlah, hubungan percintaan yang dijalaninya sedang bermasalah. Ternyata selama ini ia salah, hubungan mereka tidak baik-baik saja, ada hal yang serius, yang sayangnya Nerissa tahu itu baru kemarin dari sepupunya. Katakanlah ia bodoh, benar, sebodoh itu hingga tidak menyadari hubungan mereka ternyata tidak sehat. Lebih dari itu, tidak sesehat yang ia bayangkan.

Walaupun begitu, dirinya juga patut disalahkan di sini. Ia mengambil bagian penting kenapa semuanya berakhir seperti ini. Nerissa itu wanita karir, yang sibuknya minta ampun. Bahkan seringkali lupa bahwa ia memiliki kekasih yang butuh ia kabari, atau ia tanyakan kabarnya. Bukankah mereka menjalin hubungan karena itu?

Tanpa memperdulikan teriakan sekretaris sang bos, Nerissa tetap melangkahkan kakinya ke arah pintu berwarna cokelat yang menjulang kokoh, terlihat menentang kehadiran Nerissa dengan pasti. Pintu itu seakan mengejeknya, sial, Nerissa tidak pernah suka dengan pintu itu.

"Kalau belum membuat janji, tidak diperbolehkan untuk masuk," teriak sekretaris perempuan yang sedang berlari mengejar Nerissa.

Dengan pasti, Nerissa mendorong pintu dengan pelan, entah kenapa terselip rasa ragu yang mendarah daging. Ada banyak kemungkinan yang ia pikirkan dan itu sangat mengganggunya.

Pintu sudah terbuka, Nerissa masuk dan tidak menemukan siapapun berada di dalam ruangan yang mungkin paling luas di gedung ini. Sedikit heran, sekarang masih jam kerja, setahunya, Gavin itu seorang pria yang selalu tepat waktu, apalagi dalam urusan pekerjaan, akan menyelesaikan semuanya dulu sebelum pergi. Tipe-tipe workaholic.

Nerissa ingin berbalik saja dan pergi dari sana, sejujurnya, dari hatinya yang paling dalam itu yang ingin ia lakukan. Tapi setelah mendengar suara seseorang berbicara di dalam toilet, langkahnya terhenti.

Dengan langkah pasti ia berjalan ke arah toilet berada, agak tergesa-gesa, tapi sebisa mungkin langkah kakinya ia usahakan tidak terdengar. Luar biasanya, Nerissa mematung kala mendengar apa yang sedang terjadi di dalam sana. Lebih tepatnya, ia ingin meledak tapi terlalu terkejut hingga akhirnya ia tidak bisa melakukan apa-apa.

"Nona, sudah kukatakan, jangan masuk ketika belum membuat janji."

Nerissa tidak mendengarkan perkataan sekretaris itu, ia hanya berdiri dan tidak berniat untuk menggerakkan badannya sama sekali, atau lebih tepatnya, ia tidak bisa melakukannya.

Sekretaris itu juga terdiam, merasa aneh dengan gadis yang ditemuinya. Sebenarnya, ia baru melihat gadis ini, sangat asing, tidak mungkin kan kekasih bosnya, karena kekasih bosnya sudah datang sejak tadi.

"Berapa lama?"

Sekretaris itu mengerutkan keningnya heran, "Maaf nona, kamu berbicara denganku?"

Jika situasinya tidak seperti ini, mungkin Nerissa akan memaki sekretaris itu dengan berbagai cara yang ia bisa.

"Memangnya siapa lagi?"

Dengan senyuman canggung sekretaris itu membalas, "Saya tidak mengerti maksud kamu nona."

"Bosmu dan gadis yang ada di dalam."

Walaupun agak terkejut, sekretaris itu dengan cepat memperbaiki ekspresinya agar tidak terlalu kentara, pasalnya, bosnya, secara khusus meminta untuk tidak usah menjawab jika ada pertanyaan yang menjurus pada hal-hal mengenai percintaannya. Ia sendiri heran.

"Berapa lama?" Sambung Nerissa saat tidak mendengar jawaban dari sekretaris kekasihnya.

Wanita itu mengangguk dengan kaku, karena merasa iba dengan gadis di hadapannya, jadi ia mengangguk saja.

"Kekasih bosmu sering datang ke sini?"

"Iya nona."

"Baiklah, sampaikan salamku pada bosmu. Ngomong-ngomong, namaku Nerissa."

Nerissa mengepalkan tangannya dan berlalu dari sana. Langkah kakinya yang berat, semakin berat, bahunya tidak tegap lagi, lesu dan apapun namanya itu. Hilang semangat. Siapa sih yang akan merasa baik ketika mendengar kekasihnya berada di dalam toilet bersama kekasihnya yang lain? Terdengar menggelikan dan menjijikkan di saat yang bersamaan. Dan Nerissa, akhirnya paham bagaimana sakitnya jatuh cinta. Ia dapat pelajaran yang sejatinya tidak ingin ia dapatkan. Semiris itu ternyata.

***

Ruang tamu nampak sangat penuh padahal hanya ada empat orang yang duduk di sana dengan tenang. Mungkin karena emosi yang timpang-tindih, jadi begitulah keadaannya. Makanan dan minuman sudah tertata tapi di atas meja yang terlihat sangat kokoh dan mahal.

Walaupun, ada satu manusia yang merasa bahwa ia sedikit risih untuk duduk di atas kursi yang sangat nyaman itu, karena alergi dengan bau-bau kemewahan. Singkatnya, itu Nara, memangnya siapa lagi yang mempunyai alergi ajaib seperti itu?

"Kalau mau nangis lagi enggak apa-apa, nangis aja. Tante enggak akan larang, supaya kamu lega."

Nerissa dengan hidungnya yang memerah dan mata yang membengkak mengangguk pelan. Masih berusaha menghentikan air matanya yang terus mengalir. Terlalu sakit hati.

Clara memeluk lengan ibunya, sedikit bersandar lalu menghela napas, ikut sedih melihat kakak sepupunya menangis sejak tadi, seperti itu. Jika tahu bisa begini, ia tidak akan mengatakan secara langsung pada Nerissa apa yang ia ketahui.

Singkatnya, saat berjalan-jalan di pusat perbelanjaan di pusat kota, Clara secara kebetulan melihat kekasih kakaknya sedang bermesraan dengan seorang gadis. Tentu saja ia kaget, dan tidak mungkin salah lihat. Jadi ia berinisiatif untuk merekamnya dan memberitahu Nerissa tentang itu. Ia, jujurnya tidak menyangka juga bahwa kekasih dari Nerissa akan melakukan hal seperti itu. Clara itu tahu sekali, bahwa Gavin sangat cinta pada Nerissa, hubungan mereka baik baik saja dan tidak ada masalah yang berarti.

"Saya sudah salat asar, tapi kamu belum selesai menangis. Selesaikan dulu tangis mu, baru saya ceritakan apa yang saya tahu."

Jika sudah saya, saya, seperti itu, tentu saja itu Nara, gadis ter-menyebalkan menurut Nerissa yang sedang patah hati.

Agak kesal sendiri, pasalnya, saat Clara menghubungi Nara, gadis itu hanya memberikan respon biasa dan mengatakan akan menemui mereka dalam satu jam. Tidak ada reaksi berlebihan, sangat biasa saja.

Nerissa menghela napas panjang, menghembuskan nya dengan pelan, mengulangnya beberapa kali. Setelahnya, ia menghapus air matanya dan menatap Nara dengan pandangan tersakiti.

"Sudah?"

Nerissa mengangguk.

Kini giliran Nara yang mengangguk pelan, "Saya sudah dua kali menemukan secara langsung si Gavin itu bersama gadis yang sama. Yang terakhir ini, yang kamu bilang saya mengancamnya, mereka sedang jalan, bermesraan."

"Kenapa enggak bilang?"

Nara tersenyum tipis, "Mau bilang gimana? Kamu waktu itu marah, saya juga malas kalau kamu nuduh nuduh saya ngarang."

"Gavin itu sudah janji pada saya, enggak akan lakukan lagi. Tapi, saat saya dapati, ia janji lagi. Gavin ingkar janji, saya marah, karena ia berjanji pada saya."

"Aku enggak tahu," ujar Nerissa dengan suaranya yang serak, khas selesai menangis.

"Lalu Clara bilang ia lihat juga, buktinya ada. Tadi pagi, kamu dapati juga, sekarang saya mau tanya, mau lepaskan Gavin atau tidak?"

Nerissa diam, tidak berniat untuk menjawab. Tiga tahun bukan waktu yang lama, tapi hatinya sudah sakit, hubungan mereka sudah hancur. Pokoknya, tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Di sini, anggap saja--ia ingin egois--ia sebagai korban.

"Kamu dengarkan saya baik-baik."

Bukan hanya Nerissa, Clara dan ibunya pun memasang wajah serius. Seperti tidak ingin melewatkan setiap kata yang dilontarkan oleh Nara.

"Ibu saya mengajarkan, kepercayaan itu sesuatu yang sangat langka, kepercayaan itu sesuatu yang mahal harganya."

Nara memberikan jeda sedikit, menatap mata sahabatnya yang mulai berkaca-kaca lagi, "Sekali kamu rusak kepercayaan itu, semuanya tidak akan sama lagi. Itu yang ibu saya ajarkan."

"Walaupun kamu sudah memaafkannya, semuanya akan tetap berbeda, tidak akan sama. Maaf tidak cukup untuk membuat kepercayaan itu kembali sama."

Nerissa mengangguk, "Kenapa saat pertama kali kamu tahu, kenapa enggak bilang?"

"Saya kasi kesempatan untuk Gavin, semua manusia pantas dapat kesempatan. Kesempatan kedua ia sia-siakan, artinya, jika ia mengulangnya lagi, membuat kesalahan yang sama, itu artinya ia tidak tahu diri. Memang tidak ingin berubah."

Nerissa menghela napas lagi, "Tapi, tiga tahun bukan waktu yang singkat."

"Kamu menyesal?"

Pertanyaan dari Nara itu membuat Nerissa menatapnya kesal, "Siapa yang tidak menyesal? Aku menemaninya dari bawah, aku menunggunya ketika ia memintaku menunggu. Kalau begitu, bukankah aku membuang waktu selama ini?"

"Paham. Tapi, semua itu memang ingin terjadi. Anggap saja bahwa Tuhan sedang menunjukkan bahwa pria itu memang tidak pantas untukmu, dan kamu--sudah pasti--pantas mendapatkan yang lebih baik."

"Tapi, kenapa harus sesakit ini? Aku merasa dikhianati. Walaupun memang, aku juga mengambil bagian penting kenapa hal ini terjadi, tapi tetap saja. Aku merasa dikhianati."

Clara dan ibunya memasang wajah serius saat Nara membuat gestur seakan ingin mengeluarkan pendapat lagi. Ibu dan anak itu, secara luar biasa, merasa sangat tertarik saat Nara berbicara. Tenang dan menyejukkan.

"Kamu tahu, saya juga pernah dikhianati. Tahu bagaimana rasanya. Sangat sakit kan?"

Nerissa hanya mengangguk sebagai balasan.

"Mungkin agak berbeda situasinya. Tapi sama sama sebuah pengkhianatan. Ibu itu seseorang yang paling saya cintai, sama dengan bapak. Ibu yang saya kenal itu, cantik dan selalu tersenyum pada saya. Ibu yang luar biasa."

"Tapi semuanya memang tidak semanis itu. Satu yang kurang, ibu tidak tahan hidup menderita, ia ingin hidup dengan nyaman. Sayangnya, ia tidak bisa mendapatkan itu dari bapak. Selanjutnya sungguh terjadi, sangat klasik. Ibu terpikat, istilahnya, jatuh cinta pada pria lain."

Raut wajah Nerissa berubah, tidak sepatutnya ia merasa bahwa ia yang paling tersakiti di sini. Ada Nara, gadis itu, lebih sakit darinya.

"Bapak marah, saya dengan Kak Hendra dengar pembicaraan mereka. Ternyata ibu tidak pernah cinta dengan bapak. Raut kecewa bapak masih bisa saya ingat sampai sekarang, sangat menyakitkan."

"Mau tahu apa yang bapak lakukan?"

Semuanya mengangguk.

"Tubuhnya bergetar, tapi tidak berteriak. Bapak memilih pergi dari rumah untuk menenangkan dirinya. Anehnya, saya juga merasa sakit hati, saya merasa dikhianati."

Nerissa berusaha meraih tangan Nara, bermaksud untuk menyuruhnya berhenti bercerita. Tapi gadis itu, mengangkat tangannya sebagai tanda bahwa Nerissa harus mendengarkannya lagi, Nerissa harus mengingat cerita itu lagi.

"Puncaknya, ibu pergi. Tidak membawa apapun, tidak memberikan pelukan perpisahan, tidak mencium kami anak-anaknya. Saya menangis, Kak Hendra diam. Saya meraung, sakit sekali, begitu sakit."

"Ingin sekali saya bertanya, bagaimana perasaan bapak saat itu, tapi saya tidak berani. Bapak hanya mengatakan bahwa, itu semua salahnya, belum bisa menafkahi ibu dengan baik. Belum bisa membahagiakan ibu dengan baik. Padahal bapak sudah berusaha keras, bapak sudah lakukan yang terbaik."

"Bapak sudah banting tulang. Sebisanya memberikan yang terbaik untuk kami. Saya heran, bapak yang belum bisa atau ibu yang tidak bersyukur. Saya marah."

Air mata Nerissa kembali jatuh, ia tidak ingin mendengar cerita sahabatnya lagi. Berhasil melemahkan nya.

"Tapi kamu memaafkan ibumu."

Nara mengangguk, "Saya manusia, tidak bisa memaafkan secepat itu. Tapi bapak, dihembusan napas terakhirnya meminta itu, saya bisa apa? Saya maafkan tanpa kompromi. Tapi tentu, tidak akan sama lagi. Sudah berbeda."

"Selain itu, ibu itu yang melahirkan saya, merawat dan melakukan semuanya. Saya akan jadi manusia tidak tahu terima kasih jika tidak bisa memaafkannya sedangkan ia sudah memberikan hidupnya untuk saya."

Suasana menjadi hening. Nerissa tidak berniat untuk membuka suaranya lagi. Ia lebih memilih bersandar di kursi, mencoba mencari posisi yang nyaman. Sesekali mengusap air matanya. Clara dan ibunya pun sama, mereka berdua tidak ingin membuka suara atau sekadar berpendapat.

"Jadi, apa keputusanmu?"

"Berikan aku waktu," jawab Nerissa lirih.

"Jangan menganggap saya menceritakan itu untuk membandingkannya dengan masalahmu, tidak. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa masalah untuk seseorang, ada porsinya masing-masing. Juga untuk mengambil pelajaran dari sana."

"Iya Nara, paham."

"Sekarang tenangkan dirimu dulu. Kalau mau menangis, silahkan, lanjutkan. Saya tidak akan melarang."

Ibu Clara ber-dehem pelan, "Diminum dulu."

Nara tersenyum tipis, meraih gelas di atas meja dan mulai minum dalam diam. Setelahnya ia letakkan kembali di tempat semula.

"Kamu pasti capek kak, selesai mengajar langsung ke sini. Pasti susah cari rumah ini."

Nara terkekeh pelan, "Siapa yang tidak tahu letak rumah ini? Gampang kok, sekali bertanya langsung paham. Untung tukang ojek bisa langsung antar."

Nyonya Arkana mengerutkan keningnya heran, merasa bahwa ia agak salah dengar atau mungkin itu yang sungguh dikatakan oleh Nara.

"Kamu apa? Naik ojek?"

"Iya tan."

Ibu dari Clara itu menatap Nerissa heran, membuat gadis itu memperbaiki duduknya lagi.

"Nara enggak punya mobil, punyanya sepeda. Tapi dia lebih suka jalan kaki atau naik angkutan umum, ojek, atau sejenisnya lah."

Clara kaget, "Serius kak?"

Tawa pelan Nara terdengar renyah, ia mengangguk, "Kalau naik angkutan umum, bisa membantu perekonomian mereka."

Yang ada di pikiran ibu dan anak itu, hanya satu, gadis yang duduk di hadapan mereka adalah lain, tidak seperti gadis yang biasa mereka temui.

"Hebat kak."

"Semua orang melakukannya. Bisa dilakukan oleh semua orang."

Nyonya Arkana menggelengkan kepalanya cepat, tidak setuju dengan ucapan Nara barusan. "Enggak loh nak, zaman sekarang mah beda, apalagi muda mudi kayak kalian, gengsi semua kalau enggak punya kendaraan mewah."

"Nara itu alergi sama yang mewah-mewah," tukas Nerissa.

"Maksudnya kak?"

"Ya gitu, paling anti-lah. Kamu lihat jilbabnya, itu harga tiga puluh ribuan, yang dijual depan kampusnya. Heran aku lihatnya."

Nara mendelik kesal pada Nerissa, "Yang penting nyaman. Selain itu, harga barang yang saya pakai itu kan semuanya privasi. Enggak perlu diketahui oleh orang lain."

Nyonya Arkana tersenyum mendengar penjelasan Nara. Sepertinya, ia akan coba untuk mencarikan seorang yang cocok untuk Nara, coba dulu, mau diterima atau enggak itu terserah Nara. Lagi pula, Nerissa terus mendesaknya untuk mencarikan Nara seseorang yang cocok. Ternyata memang, sahabat Nerissa ini sangat berbeda dengan yang lainnya.

"Iya, iya. Jangan pelit sama diri sendiri ra."

"Saya enggak pelit. Kalau barang-barang yah, yang standar saja. Saya cuma enggak mau terlalu berlebihan, ini untuk diri saya sendiri. Semua orang kan punya selera yang berbeda."

"Tapi bukan berarti saya mengatakan yang memakai barang dengan harga yang mahal itu salah, enggak kok. Itu hak mereka, semuanya tergantung pribadi masing-masing. Lagi, sesuai selera."

"Luar biasa sekali kamu nak."

Nara tersenyum penuh, matanya agak menyipit, Nerissa tertular senyuman itu. "Saya hanya mau jadi manusia tan. Yang sungguh manusia."

"Berarti harus punya pasangan juga dong?" Ujar Nyonya Arkana. Senyuman Nerissa lebih lebar dari sebelumnya. Perubahan suasana hatinya membuat Clara merasa ngeri sendiri.

Kali ini bukan senyuman lebar yang diberikan Nara, tapi senyuman kecut yang menandakan bahwa ia, secara khusus, entah mengapa, tidak ingin membahas masalah itu.

"Iya tan, tapi jangan dululah. Saya masih banyak kerjaan, masih belum memikirkan sampai di situ."

"Tapi mau punya pasangan kan?"

Nara tidak menggelengkan kepala, tidak mengangguk juga. Kerutan di keningnya menandakan bahwa ia sedang bingung ingin menjawab apa.

"Ya, dilihat nantilah tan. Saya mau selesaikan semuanya dulu, kalau masalah pasangan, saya pikirkan nanti."

"Yang penting jatuh cinta yah kak?" Celetuk Clara menengahi.

"Enggak, kalau saya sih enggak perlu. Soalnya, saya juga enggak tahu, bisa jatuh cinta atau tidak."

"Kok bisa sih?"

"Enggak percaya lagi," jawab Nara singkat dengan kekehan yang entah kenapa sangat Nerissa tidak sukai. Sahabatnya itu loh, memang begitu, aneh-aneh sekali.

Helaan napas Nerissa terdengar, "Gini loh tan, ini yang tidak aku suka. Nara ini, agamanya oke, pekerjaan ada, cantik iya, cantik banget malah, tau masak iya, apalagi? Banyak yang mau, tapi tidak ada yang mau dekati, Nara pasang tembok."

"Kamu jangan pikirkan saya dulu. Sembuhkan dulu lukamu. Luka karena pengkhianatan itu awet, susah sembuhnya," balas Nara telak membuat Nerissa mendengus kesal.

Berarti pekerjaan Nyonya Arkana ini dalam misi mencarikan Nara pria yang cocok, akan lebih sulit dari biasanya. Clara yang melihat wajah antusias ibunya merasa ngeri sendiri, pasti nanti, ibunya yang akan sibuk sana sini untuk semuanya.

"Bagaimana kuliahmu? Kapan berangkat ke sana?"

Clara tersenyum senang, binar di matanya terlihat sangat terang, "Bulan depan aku sudah berangkat kak."

Nara mengangguk, "Jaga diri di sana, fokus mengembangkan diri dan jangan bergaul sembarangan."

"Iya kak, sekali lagi, terima kasih banyak. Enggak nyangka aku kak."

"Kamu saja yang enggak pernah coba."

"Kalau nanti berangkat, hubungi yah, kalau saya bisa antar, saya akan antar."

"Iya kak, nanti saya hubungi."

Nyonya Arkana tersenyum senang, "Terima kasih banyak yah nak, sudah bantu."

"Kan ini saya yang bisa bantu, minta tolong nya sama saya. Diarahkan. Berarti memang takdirnya Clara."

Nah kan, siapa yang tidak mengagumi gadis itu? Siapa yang tidak?