Terhitung sudah sebulan Nerissa belum bisa bertemu dengan sahabatnya. Bahwa memang, perasaannya tidak bisa dibohongi, ia sangat khawatir hingga ke tulang. Pasalnya, semua pesannya hanya dibaca, teleponnya tidak diangkat bahkan ada yang ditolak, lalu setelahnya, nomornya tidak aktif. Yang menyebabkan dirinya, secara tidak langsung merasa bersalah, atau sangat amat bersalah karena terlalu berlebihan memarahi Nara, untuk masalah yang belum ia dengarkan penjelasannya. Hanya saja, waktu itu, tidak bisa ditampik bahwa ia sangat marah pada Nara, Gavin mengatakan padanya bahwa Nara mengancamnya agar mau meninggalkan dirinya. Bukannya mendengarkan, Nerissa lebih dulu tersulut amarahnya.
Karena memang, sejauh ini, yang paling tidak menyukai hubungannya dengan Gavin adalah Nara. Sahabatnya itu, dari segi apapun, tidak ingin tahu atau bahkan tidak ingin mengerti bagaimana kekasihnya. Kata Nara, kepercayaan itu adalah fondasi dalam hubungan, jika itu tidak kuat, maka semuanya akan ikut rapuh.
Tapi, tiba-tiba, pagi ini Nara mengirimkan pesan padanya, untuk secara langsung menemani Clara untuk mengecek emailnya. Jadi, di sinilah ia sekarang, duduk manis di ruang keluarga dan menunggu Clara yang sedang mengambil laptopnya di kamar. Rumahnya tampak sepi, hanya beberapa pekerja yang berlalu-lalang. Nerissa juga sempat ditawari minuman namun menolak, katanya bisa ambil sendiri.
Beberapa menit kemudian Clara datang dengan tergesa dan duduk di samping Nerissa di atas karpet berbulu dan bersandar di kaki sofa. Mulai mengaktifkan laptopnya.
"Sebenarnya ada apa sih kak?"
Nerissa menggelengkan kepala, "Mana aku tahu, Nara cuma menyuruhku untuk menemanimu mengecek email."
Clara membalasnya dengan anggukan paham, mengalihkan pandangannya kembali kepada laptop, mengarahkan kursor pada aplikasi email dan membukanya cepat. Menunggu proses, Clara menatap Nerissa lagi.
"Kak, ada yang ingin kukatakan padamu," ujarnya pelan dan sangat hati-hati.
Dengan pelan Nerissa mengangguk, "Katakan saja, memangnya ada apa?"
Clara tidak menjawab, pandangannya teralih pada laptopnya, sedetik setelah ia memperhatikan dengan teliti, keningnya mengerut heran, seingatnya ia tidak pernah mengirimkan email dengan menggunakan bahasa inggris. Kemudian ia membukanya dengan cepat.
Nerissa memperhatikan sepupunya itu dengan aneh, raut wajah Clara tampak kosong, pandangannya lurus.
"Ada apa?" Tanyanya.
Tidak ada jawaban dari Clara, membuatnya ikut mencuri pandang pada laptop itu. Ia membaca apa yang tertera di sana dengan hati-hati, takut salah baca setelah melihat logo yang tertera di sana. Kemudian, ia menatap Clara lagi. Nerissa ikut terdiam. Maksudnya, tidak pernah ia menyangka bahwa kejutan yang diberikan oleh Nara itu seluar biasa ini, ia sendiri, secara pribadi, tidak pernah menyangka bahwa ini akan terjadi.
Setelah beberapa menit terdiam, tidak melakukan apa-apa, mereka kembali saling pandang. Clara meletakkan laptopnya di atas karpet dengan pelan, sangat hati-hati, takut apa yang dilihatnya bisa lenyap seketika jika laptop itu mengalami benturan.
"Seriusan?"
Setelah mendapatkan dirinya yang hilang dengan banyak, Nerissa mengangguk dengan senyuman sebagai pemanisnya. "Aku juga tidak menyangka."
"Kok bisa?"
Nerissa tertawa pelan, "Aku kan sudah bilang, sahabatku itu seluar biasa itu. Tidak terduga."
Clara menatap Nerissa dengan mata merahnya, mengangkat tangannya dengan tidak percaya, kata-kata yang ingin diucapkannya tidak bisa keluar walaupun sudah dipaksakan.
"Tapi, aku saja tidak pernah terpikir sampai ke situ loh kak."
"Iya, memang. Jadi, bagaimana?"
Clara mengangguk, "Ya masa iya aku tolak sih kak? Kalau begini, enggak apa-apa enggak di universitas itu, ini bahkan lebih."
"Jadi, senang?"
"Sangat, enggak tahu lagi deh. Senang banget. Gak nyangka."
"Jadi sekarang mau apa? Kabari mama sama papamu atau bagaimana?"
"Mau hubungi Kak Nara dulu, aku bisa minta kontaknya kak?"
Sebelum Nerissa mengangguk, ponselnya sudah berdering terlebih dahulu, ada panggilan dari Nara. Ia mengangkatnya dan mengaktifkan loudspeaker.
"Jadi bagaimana?"
Clara tersenyum senang, walaupun Nara tidak bisa melihatnya, tetap ia lakukan.
"Katanya, lulus kak."
Ada suara helaan napas di seberang sana. "Alhamdulillah kalau begitu, jangan matikan ponselmu, nanti kamu akan dihubungi."
"Iya kak, terima kasih banyak."
"No problem, saya kan sudah bilang, jangan merasa tuhan tidak adil dulu, tunggu dan lihat apa yang akan diberikannya. Kamu akan dapat apa yang kamu inginkan, atau digantikan dengan yang lebih baik, atau kamu diminta untuk usaha dulu. Sekarang lihat kan?"
Clara mengangguk, "Sekali lagi, terima kasih banyak kak."
"Sekarang saya mau dengar ucapan syukur mu."
Clara menatap Nerissa sekilas yang hanya tersenyum melihatnya. Kemudian dengan cepat Clara mengangguk.
"Alhamdulillah."
"Bagus, saya tutup dulu. Kalau bingung dan butuh bantuan, kirim pesan saja. Nanti akan saya hubungi."
"Nara kamu ada di...
Tut...tut...tut...
Nerissa berdecak kesal, belum selesai apa yang ingin ia katakan, Nara sudah memutuskan sambungannya. Sesibuk apa sih gadis itu. Padahal Nerissa ingin sekali mendapat penjelasan sekarang, ia ingin mengetahui alasan dibalik kejadian mengancam itu.
"Sekarang kamu hubungi papa mamamu, kabari mereka, minta izin juga."
"Iya kak."
"Kalau perlu nih, suruh pulang, supaya bicaranya enak."
***
Dengan pelan Nara membawa tubuhnya untuk duduk dengan tenang di atas sofa empuk yang ada di ruangan keluarga, tv dibiarkan menyala dengan tenang, menampilkan perdebatan politik di salah satu stasiun tv nasional yang sudah beberapa kali menghubunginya untuk ikut berdiskusi atau sekadar melakukan wawancara. Sayangnya, ia tidak akan pernah mau melakukan itu. Ia tidak nyaman menjadi pusat perhatian, maksudnya, secara terang-terangan.
Tanpa memberikan atensi penuh pada layar kaca di depannya, Nara menyandarkan kepalanya dengan nyaman di sofa, sesekali memijat keningnya dengan gestur yang menandakan betapa pusingnya ia sekarang. Sudah jam sembilan malam, materi kuliahnya untuk besok sudah ia siapkan, matanya juga sudah membaca ratusan ribu kata sehingga butuh istirahat penuh. Apa lagi yang kurang? Otaknya sudah penuh, mulai dari yang paling tidak penting hingga yang paling penting. Terkadang Nara sendiri heran, bagaimana bisa otaknya masih bisa bekerja dengan baik sementara tubuhnya butuh istirahat. Sangat tidak sinkron. Terkadang ia kelimpungan sendiri, saat benar-benar lelah tapi otaknya secara sadis tidak bisa diajak kompromi.
Pernah, Nara pernah tidak tidur hingga nyaris menjelang subuh karena otaknya terus bekerja, sementara tubuhnya sungguh butuh istirahat. Bingung sendiri bagaimana kondisinya. Mungkin jika dirinya sangat banyak pikiran, itu akan terjadi.
Nara segera menegakkan tubuhnya dan memperbaiki duduknya segera setelah bunyi pintu dibuka. Sudah sangat siap ia untuk melontarkan kata-kata yang sedari tadi ia pendam.
"Nona Dira yang terhormat, sudah berapa kali saya katakan, jangan pulang malam," ujarnya tak tertahankan setelah melihat gadis muda ingin berjalan melaluinya.
Gadis itu berhenti dan menatap Nara dengan sinis, "Sejak kapan kamu peduli? Kerjaan mu kan yang lebih penting."
"Saya tidak ingin mengatakan bahwa itu adalah untuk kamu, karena itu tidak sepenuhnya benar. Tapi di sini, kamu juga dituntut untuk mengerti bahwa saya hanya seorang kakak yang ingin adiknya hidup dengan nyaman."
Dira menatap Nara semakin kesal, "Dituntut? Kamu yang meninggalkanku sendiri bersama kakak."
"Karena memang Kak Hendra yang menjadi wali mu, dia kakakmu, kamu harus mendengarkannya."
"Terus, kenapa membawaku ke sini? Kenapa memaksaku untuk tinggal denganmu?" Teriak Dira tidak terkendali.
Nara menghela napas, "Tidak usah berteriak, kamu akan lelah sendiri. Itu, seharusnya pertanyaan yang bisa kamu jawab sendiri tanpa bertanya padaku."
"Kakak egois."
"Egois apa? Bagaimana? Saya mengorbankan masa muda yang biasa dipakai oleh anak seusiaku untuk melakukan apa yang mereka inginkan, saya mengorbankan semua itu."
"Kita tidak boleh manja, kamu tahu itu. Bapak mengatakan itu padamu, tapi, lihat, gadis muda dengan hijab polosnya telah hilang. Baju-bajumu itu, jika dipakai terus, di cuaca seperti ini, kamu akan masuk angin."
Dira menatap sengit kakaknya. "Kalau begitu, biarkan aku bebas. Aku ingin melakukan apapun yang kuinginkan tanpa kalian yang membatasi ku."
"Saya paham, kamu masih muda. Butuh ruang untuk bebas. Yang kamu maksud dengan bebas itu apa?" Tanya Nara sambil menatap adiknya lurus, mengunci mata hitam itu dengan telak.
"Pulang tengah malam? Bebas pacaran? Memakai apapun yang kamu inginkan? Ditelantarkan seperti gadis yang tidak punya keluarga? Itu yang kamu maksud dengan bebas?"
Dira diam, tapi tatapan matanya semakin menusuk, kepalan tangannya mengerat. Tanpa dikatakan dengan gamblang, siapapun yang melihatnya dapat tahu dengan segera seberapa bencinya Dira pada Nara.
"Dek, Bapak sudah mengajarkan padamu, bahwa seorang anak akan menentukan nama baik orang tuanya di luaran sana. Setiap langkahnya, ada tanggung jawab itu."
"Tidak peduli, bapak udah enggak ada."
Nara mengangguk pelan. "Tahu. Sebulan yang lalu, saya membawamu ke sini untuk mengajarimu apa yang belum bapak sempat ajarkan padamu."
"Tidak butuh."
"Tahu. Memang gadis bebas sepertimu tidak butuh nasihat kan? Tapi, saya sebagai kakakmu, ingin adiknya bebas dengan cara yang tidak menyalahi."
"Bapak memberikan amanah pada kami untuk menjagamu, jika Kak Hendra tida bisa melakukannya, saya yang akan lakukan. Kalau tidak bisa, saya usahakan. Saya bukan manusia yang tidak amanah."
Dira tidak menjawab, amarahnya menumpuk. Kebencian terpampang dengan jelas di sana. Tidak usah diragukan lagi seberapa marahnya gadis muda itu.
"Kakak melarang mu pulang malam karena khawatir kamu kenapa-napa. Apalagi dengan pakaian terbuka seperti itu--walaupun itu tidak memberikan pengaruh, tapi tetap saja. Kamu itu, harta kami, yang harus dijaga, kamu itu sangat berharga untuk kami."
"Kak Hendra merasa gagal karena tidak bisa menjagamu dengan baik, padahal saya tahu dia sudah bekerja keras."
"Nah sekarang, jika saya gagal, kamu masih tidak ingin mendengarkan kakak, berarti amanah yang diberikan bapak gagal kami jalankan. Kami butuh kerjasama mu."
Dira tidak mendengarkan, ia berdiri mematung dan memandang benci kakaknya. Ia hanya terlalu tidak suka dikekang, ia butuh bebas seperti teman-temannya, ia ingin menikmati masa mudanya. Memang seperti itu yang diinginkan oleh anak seusia dirinya.
Tatapan mata Nara sarat akan kelembutan, "Kakak tau kamu itu benci sekali pada kakak, tahu. Dira, saya juga tahu batasan ku, saya tahu kamu tidak suka dikekang, tapi, ini bukan ke-kangan. Memangnya, siapa yang ingin adiknya berkeliaran tengah malam? Dengan pria pula, siapa yang ingin?"
"Kita tidak tahu apa yang akan terjadi bukan? Dan saya tidak ingin itu terjadi. Kamu itu masih muda, kamu bisa bebas dengan cara yang lebih luar biasa dari caramu yang sekarang. Pemberontakan itu bukan bebas, Dira. Itu penjara kedua yang lebih mengerikan, kamu hanya belum paham itu."
Dira mendengus sinis, "Iya aku juga paham, yang paling sempurna di sini kan kamu kak? Yang lainnya, salah. Begitu kan?"
Nara menghela napas pelan, "Dengan cara apa sehingga kamu bisa mendengarkan ku?"
"Biarkan aku tinggal sendiri, biarkan aku melakukan apapun yang kuinginkan."
"Minta apapun selain itu. Kamu ingin kasih sayang akan saya berikan, akan kami berikan."
Dira menggelengkan kepalanya, "Sudah tidak butuh. Itu sudah lewat."
Nara mengerutkan keningnya heran, "Memangnya kasih sayang ada yang kadaluarsa yah? Kok saya baru tahu?"
Tolong, Nara itu benar-benar. Manusia paling tidak tahu tempat, ia tidak paham situasi. Bisa-bisanya ia menanyakan hal seperti itu disaat perdebatan sengit seperti ini, nyaris saja Dira tertawa mendengarnya, seandainya ia tidak dilingkupi dengan amarah yang kelewatan.
Dira berlalu dari sana, kakaknya itu, menyebalkan sekali. Secara khusus, dari segala aspek. Ia merasa bahwa Nara itu, manusia yang paling harus dihindari dari segala manusia yang ada.
Nara mencoba mengerti bahwa Dira begitu karena ia adalah korban broken home, ia adalah anak yang sangat disayangi oleh ibu, tapi tiba-tiba, secara tidak terduga, wanita itu pergi tanpa jejak, tidak membawa apapun, tidak mengucapkan salam perpisahan. Tanpa jejak. Tapi meninggalkan luka yang mendalam. Separah itu dampaknya. Anak akan merasa tidak diperhatikan, tidak dibutuhkan dan ditelantarkan.
"Saya tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan sayang dengan cara yang benar. Mungkin saya akan belajar pada Nessa. Ya, ide yang bagus."
***
Interior rumah yang klasik namun megah dan terlihat elegan, perpaduan warna putih dan hitam juga abu-abu, jelas sangat apik dipandang mata. Kesan angkuh yang sangat kentara pada setiap sentuhan interiornya. Luar biasa. Tapi, untuk sekarang, ada yang lebih menarik dari rumah yang harganya tidak usah ditanyakan itu. Pria tempo lalu--yang berbelanja sendirian di pusat perbelanjaan seperti orang hilang--sedang duduk di sofa berwarna hitam yang sangat empuk, bisa dibilang pria itu secara tiba-tiba ingin menghilang saja.
Setelah salat isya, pria itu tiba-tiba diseret ke ruang keluarga oleh adiknya yang masih kaget melihat keberadaannya di rumah. Dengan langkah tergesa namun pasti, mereka bisa sampai di ruang keluarga tanpa cacat karena berhasil menuruni tangga terburu-buru. Sekarang, ia dengan keadaan sadar, sedang duduk di sofa meladeni segala tatapan tajam yang diarahkan padanya.
Pria itu memutar bola matanya malas, menguap beberapa kali karena masih mengantuk, pekerjaannya dilakukan selama sebulan, selesai dengan dirinya yang sangat butuh istirahat, tapi, sepertinya, karena terpaksa pulang ke rumah, ia tidak akan mendapatkan itu.
"Kapan kamu pulang?" Tanya nyonya di rumah itu dengan nada yang sangat gemas, ingin sekali ia menjewer telinga anaknya sampai merah.
"Tadi pagi."
Clara menatap kakaknya tidak percaya, "Tadi pagi? Kok aku enggak lihat sih?"
Pria itu mengacak rambut adiknya, "Iyalah, enggak lihat. Kamu sibuk bengong sama Nessa di sini tadi."
"Berarti sudah lama dong? Terus, kamu di mana saja kak? Dalam kamarmu terus?"
Yang ditanya hanya mengangguk malas, dengan tenang ia berdiri dari duduknya, ingin beranjak dari sana, karena sangat mengantuk.
"Zachery Arkana, duduk."
Dan sialnya, kepala keluarga sepertinya tidak akan membiarkannya lolos dengan mudah seperti itu. Dengan pelan, Zachery kembali duduk dan bersandar pada sofa, mencoba mencari posisi yang nyaman.
"Sudah berapa lama kamu di sini?" Suara berat itu kembali mendominasi ruangan.
Zachery berdecak kesal, "Satu bulan."
Ibunya melotot tidak percaya, "Kamu sudah ada di sini satu bulan dan baru pulang? Anak macam apa kamu ini? Astagfirullah."
"Ma, aku pulang karena ada kerjaan. Aku ingin menyelesaikan semua itu dulu."
Sang ibu melotot kesal, "Tapi, kenapa tidak mengabari sih? Kamu juga bisa tinggal di rumah saja, heran tuh mama sama kamu."
"Nanti aku enggak fokus kerjanya ma, jadi mau selesaikan semuanya dulu baru nganggur."
Sang kepala keluarga melotot kesal pada anak sulungnya itu, tidak habis pikir kenapa anaknya yang satu itu kalau di nasihati seperti ini.
"Kamu itu bisa pulang, lagi pula papa tidak akan menyuruhmu bekerja di perusahaan tanpa persiapan."
Zachery mendelik tidak suka pada ayahnya, "Apanya yang tidak, papa kan yang paling ngotot suruh aku pulang. Lagi pula, selain kuliah arsitek aku juga kuliah bisnis pa, papa yang maksa."
Ayahnya mengangguk pelan, memang dirinya yang membuat inisiatif itu, tapi memang harus ia lakukan agar perusahaannya tidak ditelantarkan nantinya. Harus pokoknya. Memangnya siapa yang mau jadi pemimpin di sana nantinya.
"Memangnya siapa lagi yang bisa selain kamu?" Tanya ayahnya agak kesal.
Zachery melirik Clara yang sedang menatapnya tidak suka, membuat Zachery menghela napas jengah. Ia itu manusia malas, makanya jadi arsitek, tidak ada hubungannya padahal, tapi biarkan saja begitu.
Ibunya melempar Zachery dengan bantal sofa, mendarat mulus di kepala anaknya, membuat peci hitamnya miring.
"Enak saja, adikmu itu tidak boleh ngurus-ngurus perusahaan. Mama enggak setuju."
Clara mengangguk cepat, "Iya. Aku ada impian yang harus dicapai. Kamu kan sudah kak, sudah berhenti bersenang-senangnya."
Zachery mendelik tidak suka pada adik tersayangnya yang sangat dimanja melebihi dirinya. "Aku ini dek bukan bersenang-senang, aku kerja."
"Enggak mau tahu aku."
Sang kepala keluarga mengangguk setuju, "Papa kasi kamu waktu untuk pikirkan masa depan perusahaan. Kamu harus putuskan dengan segera dan papa ingin kamu siap jadi pemimpin selanjutnya."
"Bukan begitu pa."
Sang ibu menggelengkan kepala tidak percaya melihat sikap anaknya, "Bukan begitu bagaimana? Kalau begitu mama kasi pilihan. Mau ambil perusahaan atau kamu mama jodohkan, tidak ada bantahan."
Zachery mengerutkan keningnya dalam, memikirkan bagaimana teganya pasangan yang duduk di hadapannya dengan tenang, begitu angkuh dan tak terbantahkan. Sayangnya, mereka adalah orang tuanya.
"Ma, jangan begitulah. Jangan dijodohkan segala."
"Tidak ada bantahan. Dan jangan sekali-kali kamu coba kabur dari negara ini lagi, mama hapus kamu dari kartu keluarga."
"Ma, Astagfirullah."
Clara yang melihat kakaknya hanya menahan tawa, merasa lucu pada ekspresi kakaknya. Pasalnya, ia tahu, hanya dua hal itu yang dapat menghilangkan wibawa seorang Zachery Arkana.