WebNovelAlufiru45.45%

Chapter 4

Suasana pusat perbelanjaan di pusat kota itu terlihat sedikit lebih ramai dari biasanya padahal masih weekdays. Atau memang begitu? Atau memang sudah lama begitu? Hanya ia saja yang tidak pernah tahu dan menyadarinya.

Postur tubuhnya yang tinggi dan tegap, membuatnya menjadi bahan lirikan oleh para perempuan, mulai dari gadis, tante-tante bahkan ibu-ibu yang sedang menggandeng anaknya. Ada-ada saja. Selain itu, memang karena wajahnya bersinar. Walaupun pakaiannya terlihat sederhana. Ia hanya menggunakan celana olahraga hitam dan baju kaos berwarna abu-abu, juga sandal khas pria, tidak ada pakaian mewah yang melekat.

Walaupun sebenarnya ia secara pribadi sadar bahwa pakaiannya itu salah tempat, tapi mau bagaimana lagi. Setelah makan siang, ia memutuskan untuk membeli kebutuhannya untuk sementara waktu. Tidak mungkin untuk pulang ke rumahnya sekarang. Luar biasanya, pusat perbelanjaan itu dekat dengan hotel tempatnya menginap. Jadi ia tidak perlu mengendarai apapun. Cukup jalan kaki dan sampai. Tidak akan membuatnya lelah, ia memang sudah terbiasa dengan itu.

Rencananya ia akan membeli pakaian dan perlengkapannya, lalu pulang. Agak canggung juga untuknya berjalan di tengah keramaian tanpa ada yang menemaninya. Apalagi tatapan orang-orang seperti ingin memakannya. Ia sudah bertingkah biasa, padahal. Tidak suka menarik perhatian tapi memang menarik untuk diperhatikan. Terkadang hidup memang se-menyebalkan itu.

Mencoba abai dengan semua tatapan orang, ia mulai berjalan dengan tempo yang sedikit dipercepat. Lagi pula, ia akan ada pertemuan dengan kliennya segera. Ada banyak hal yang ingin ia lakukan jika memiliki waktu senggang, nanti. Ia akan melakukan semua yang ia inginkan, lihat saja. Setelah pekerjaannya selesai, yang akan ia lakukan adalah menikmati waktunya. Rencana yang terdengar sempurna.

Atau setidaknya biarkan ia dengan tenang memilih barang-barang yang ingin ia beli. Tinggalkan saja.

***

Tidak ada hal yang harus dipertanyakan tentang senyuman dua sejoli yang sedang bersama di tengah panasnya matahari, bahkan pohon pohon yang berjajar rapi nampaknya tidak mampu menghalaunya. Jadilah mereka berakhir duduk di bangku bawah pohon yang paling rindang, sambil menatap jalan yang sangat ramai padahal sudah siang hari.

"Kamu dulu ingat kan? Waktu pertama kali kamu menyatakan perasaanmu padaku?"

Pria yang nampak gagah duduk di sampingnya mengangguk cepat disertai sebuah senyuman, "Iya, jelas. Momen yang tidak akan pernah aku lupakan."

"Bagus, karena aku juga begitu."

Pria itu mengangguk pelan, "Oh iya, kamu sudah selesaikan masalahmu?"

"Masalah apa?"

"Dengan Nara."

Gadis itu mendadak lesu, menghela napas pelan. "Belum. Nara sepertinya sangat sibuk, kami belum sempat bertemu."

Sesungguhnya, siapapun bisa melihat dengan sangat jelas bagaimana raut lega itu datang setelah mendengarkan kalimat yang baru saja terucap. Mungkin karena memang itu yang ia inginkan atau ada maksud lain yang diniatkan.

Pria itu menatap Nerissa dengan dalam, menggapai tangan gadis itu dan menggenggamnya erat, "Nessa, kamu cinta aku kan?"

"Gavin? Kamu ngomong apa sih? Iyalah aku cinta, gak usah nanya lagi."

Pria yang baru saja dipanggil Gavin adalah kekasih Nerissa sejak beberapa tahun belakangan ini, mungkin hampir empat tahun lamanya, atau mungkin belum genap, atau yah, mereka tidak terlalu menghitungnya. Tapi, yang jelas, katanya, mereka saling mencintai di tengah-tengah kesibukan mereka. Terkadang, ada banyak waktu yang ingin diluangkan tapi itu tidak pernah kesampaian. Gavin sendiri juga berkecimpung dibidang yang sama dengan Nerissa, mereka sempat beberapa kali mengadakan kerja sama. Gavin memiliki banyak aset, kaya, tampan, dan juga seorang cassanova. Menjadi incaran setiap wanita, tapi yang mampu menarik hatinya hanyalah Nerissa, seorang. Tapi tidak tahu sekarang, mungkin berubah atau mungkin tetap sama, bertambah kuat. Perasaan manusia siapa yang tahu.

Gavin mengangguk lega, "Kamu mau nunggu aku kan? Sebentar lagi."

Nerissa mengangguk sambil memberikan senyuman terbaiknya, "Iya, aku sudah menunggu selama ini. Tidak mungkin berhenti."

"Kamu harus percaya sama aku yah? Jangan dengarkan siapapun oke?"

Nerissa mengerutkan keningnya dalam, merasakan genggaman kekasihnya menguat. Pria di hadapannya nampak sangat serius.

"Iya, kenapa sih? Kamu kenapa?"

Gavin menggelengkan kepala sambil tersenyum, meraih kepala Nerissa dan mencium pucuk kepalanya berulang kali. Sebenarnya jika perlu diingatkan lagi, mereka sedang berada di ruang terbuka, sangat terbuka, tapi sepertinya kekuatan cinta mengaburkan semua itu. Tidak bisa dipercaya sebenarnya, bagaimana mereka menebarkan bunga-bunga cinta di tempat publik, padahal, di sana bukan hanya pasangan saja yang ada. Di bangku sebelahnya ada seorang anak muda yang bersandar lelah dengan wajah suntuk. Kasihan sekali.

"Selalu ingat, jangan pernah percaya dengan ucapan orang lain."

"Iya, enggak."

"Bahkan Nara."

"Apa?"

Gavin tersenyum tipis, "Kamu kan tahu sendiri, dia itu yang paling tidak suka dengan hubungan kita. Aku tidak ingin gara-gara dia, kita berpisah."

Nerissa menatap Gavin lurus, "Kenapa? Nara bukan orang yang seperti itu. Tidak akan pernah dia lakukan cara murahan seperti itu."

"Tapi, lihat sendiri kan? Dia mengancamku."

"Pasti ada alasannya kan?"

Raut wajah Gavin menjadi kaku, senyumannya dipaksakan untuk hadir, "Kamu tidak percaya padaku?"

"Percaya. Tapi ini Nara loh. Dia itu paling anti dengan mengarang-ngarang cerita, apalagi berbohong."

Gavin jelas tahu. Nara itu berkarakter kuat, hingga ia merasa bahwa gadis itu terlalu menakutkan. Terlebih sangat cerdas, gadis sepertinya, tidak akan mudah dikelabui. Nerissa sering menceritakan sahabatnya itu pada dirinya. Jadi Gavin cukup paham bagaimana gadis itu sebenarnya.

"Pokoknya kamu harus percaya padaku," ujar Gavin lagi, cukup memaksa, membuat Nerissa menatapnya agak curiga.

Gavin tersenyum lebar, "Aku hanya takut ada orang yang berusaha untuk memisahkan kita."

"Iya, tenang saja. Kita sudah sejauh ini."

Gavin mengangguk, "Ya, sudah sejauh ini. Tunggu aku sebentar lagi."

"Tentu."

"Jangan lelah, sebentar lagi," kalimat itu terucap kembali dari mulut Gavin, penuh pengharapan.

Nerissa jelas mengangguk, memangnya apa lagi yang ia butuhkan? Hubungannya dengan Gavin, sejauh ini, baik-baik saja. Mereka melalui semuanya dengan baik, mungkin ada beberapa halangan, tapi semuanya bisa diatasi dengan mudah. Intinya memang karena memang masih cinta dan percaya. Nerissa juga memegang itu, semuanya baik-baik saja, sejauh ini, itu yang ia pikirkan dan jelas inginkan selalu.

***

Seharusnya, yang ia lakukan, adalah segera pergi secepat mungkin setelah membeli semua kebutuhannya, tetapi, sayangnya, hati nuraninya mengatakan tidak. Ia berakhir duduk di dalam restoran mewah, dengan pakaian yang salah tempat. Mendengarkan wanita di depannya berbicara dengan nada sedih yang sangat kentara, walaupun sudah berusaha ditutupi oleh senyumannya yang masih cantik walaupun sudah berusia.

Ia secara kebetulan bertemu dengan teman ibunya, juga kolega ayahnya, jelas juga ibu dari sahabatnya. Wanita itu sedang berjalan sendirian dengan raut sedih. Lalu diajaklah dirinya untuk singgah sebentar, untuk menemani wanita itu menunggu seseorang yang kalau dari ceritanya sejauh ini, orang itu sangat berarti bagi wanita itu.

"Jadi tante sudah berapa lama menunggunya?"

Wanita itu mengangguk lesu, "Sekitar 4 atau 5 jam-an."

"Seharusnya tante itu udah pulang, jangan menunggu lagi. Pasti enggak datang."

"Tapi, tante itu sangat berharap. Sudah lama tante tidak bertemu dengannya."

Pria itu menghela napas, "Siapa?"

"Orang yang tante kecewakan, sangat kecewakan. Dunianya hancur."

"Lalu kenapa tante masih mau menemuinya?"

Wanita paruh baya itu menatap pria muda di hadapannya dengan lurus, agak tidak percaya bahwa kalimat tanya itu akan sedikit banyak membungkam mulutnya, "Tante ingin melihatnya, kangen."

"Suami tante tahu?"

Kembali, wanita itu menggelengkan kepala, jika suaminya tahu, mungkin ia tidak akan berada di pusat perbelanjaan ini sekarang, tidak akan berada di restoran dan duduk bersama anak temannya. Mungkin jika suaminya tahu, ceritanya akan berbeda.

Pria muda itu menghela napas, "Harusnya tante minta izin dulu, bagaimanapun, om itu suami tante."

"Tapi, jika itu terjadi. Tante tidak akan dibiarkan untuk bertemu dengannya."

"Kenapa?"

"Dia itu berbahaya, kalau kata suamiku. Anak itu berbahaya, kemampuan berbicaranya bisa membuat siapapun kehabisan kata-kata."

Pria itu mengerutkan keningnya heran, "Anak?"

"Iya, anak tante."

"Tante ingin melihatnya, terakhir tante bertemu dengannya itu dua tahun yang lalu. Setelahnya, dia tidak ingin bertemu denganku lagi."

"Dia bilang, sudah memaafkan. Tapi tidak ingin bertemu dengan tante lagi. Bingung, mau bagaimana lagi. Tante cuma ingin tahu kabarnya, melihatnya secara langsung."

Pria itu mengangguk pelan, sebenarnya, tidak menyangka juga akan mendengar hal yang menurutnya sangat pribadi ini. Terlebih mereka itu tidak pernah berbincang terlalu lama, hanya sekadar saling menyapa, selebihnya tidak ada. Itupun, sudah sangat lama, dulu sekali.

"Saya tidak tahu apa masalah kalian. Tapi, menurutku tan, seorang anak tidak akan memperlakukan ibunya dengan begitu bukan?"

"Iya, tapi ini berbeda."

Pria itu mengangguk, "Iya, kalau memang belum. Ini masalah waktu, lukanya biarkan disembuhkan dulu, mungkin butuh sedikit lagi."

Wanita itu menunduk pelan, matanya memerah, wajah cantiknya yang dipercantik dengan make up yang elegan membuatnya terlihat masih muda dari seusianya.

"Tapi sudah sangat lama, butuh berapa lama lagi?"

"Tergantung dari luka apa yang telah ditorehkan."

"Pasti sangat lama," ujar wanita itu sangat lirih, menghilang bersama hiruk pikuk tawa yang menggema diruangan yang sangat mewah itu.

"Tante masih ingin menunggu?"

Wanita itu mengangguk ragu, "Iya, sebentar lagi. Kalau memang tidak datang, tante akan pulang."

"Kalau begitu kutemani tan, tidak enak juga, tante sendiri begini."

Wanita itu tersenyum, "Kalau ada urusan, pergi saja. Kamu itu kan orang sibuk."

"Biasa tan. Sibuk apanya, anak tante saja bilangnya saya ini pengangguran."

Wanita itu tertawa, "Pengangguran apanya? Pengangguran yang penghasilannya selangit begitu?"

Pria itu menanggapi dengan tawa canggung. Tidak seberlebihan itu kok, benar kata sahabatnya itu, ia ini hanya pengangguran, bahkan bisa menganggur hingga berbulan-bulan lamanya. Tapi kalau sudah dapat proyek, tidurnya tidak teratur, terkadang lupa untuk makan, kantong matanya hitam, pokoknya tidak ada hal yang lebih ia butuhkan selain tidur dan banyak minum.

"Bagaimana kabar ibumu? Udah sebulan lebih nih tante enggak ketemu."

"Baik, Alhamdulillah," -kayaknya, sambungnya dalam hati.

Bukannya tidak peduli dengan orang tuanya, ia hanya ingin fokus menyelesaikan pekerjaannya dulu. Soalnya kalau ibunya sudah mengoceh di telepon, satu jam tidak cukup, butuh waktu yang banyak hingga ibunya selesai. Pembicaraan pun itu itu saja, seputar kapan nikah, kapan mau pulang, kapan mau mengenalkan kekasih, pokoknya, bagian itu yang paling ia hindari sekarang, sangat.

"Kamu baru pulang? Tante enggak pernah lihat kamu."

"Iya tan, baru kemarin."

"Terus kenapa ada di kawasan ini? Rumahmu kan agak jauh dari sini."

"Ya, mau belanja tan. Mau apa lagi."

Wanita itu mengerutkan keningnya heran, "Enggak biasa saja, kata ibumu, kamu itu paling malas kalau diajak keluar."

"Itu ibu saja yang berlebihan."

"Kamu kapan ada rencana untuk menikah? Jangan kayak Ridho, kerjaannya main-main terus."

Pria itu tersenyum tipis, seharusnya ia tidak berhenti berbicara sehingga pertanyaan seperti ini tidak akan muncul, pertanyaan yang sangat ia hindari, siapapun yang bertanya.

"Padahal kamu ini, lihat, kamu itu udah cocok untuk menikah. Agama, tidak usah ditanyakan. Kerjaan juga bagus, tampang bahkan melebihi standar. Tinggal cari pendamping."

"Iya nih tan, belum ada yang mau. Lagi cari juga."

Wanita itu memasang raut jenaka mendengarnya, yang benar saja belum ada yang mau pada pria yang sepertinya. Semua gadis akan rela mengantri untuknya. Sempurna.

"Belum ada yang mau atau memang kamu yang pilih-pilih?".

"Enggak kok tan. Saya sih kalau jodoh yah jodoh."

"Iya, tapi kalau sudah ada yang datang, diterima."

Pria itu mengangguk sekali lagi, "Iya tan, kalau saya bukan masalah itu juga. Saya mau merasakan jatuh cinta dulu, walaupun orang-orang biasa mengatakan cinta itu bisa datang nanti, tapi saya secara khusus mau merasakannya dulu."

"Kenapa?"

"Karena dengan cinta, semuanya mungkin nih yah tan, mungkin bisa dilalui dengan baik walaupun situasi tersulit."

Wanita itu terdiam mendengar kalimat yang dilontarkan sahabat anaknya.

"Cinta itu ibaratnya sebagai pengikat, sebagai jaminan bahwa kita saling mencintai jadi tidak akan mudah terprovokasi oleh hal-hal yang seharusnya tidak diperlukan," lanjut pria itu.

Jawabannya secara telak membuat wanita paruh baya yang duduk di hadapannya terdiam. Pandangan matanya menyiratkan banyak hal, tapi, yang paling terlihat jelas adalah rasa terluka yang sangat kentara dipadukan dengan rasa bersalah yang jika diistilahkan mampu menggerogoti setiap jengkal dari wanita itu.

Kemudian wanita paruh baya itu tersenyum tipis. "Bagus, jaga itu. Yang nantinya mendapatkan kamu itu beruntung sekali."

Pria itu tertawa ringan, "Enggak tan, kalaupun nanti disegerakan, saya yang beruntung mendapatkannya, hebat dia bisa buat saya jatuh cinta."

"Kalau begitu kalian berdua yang hebat, tante doakan semoga dapat jodohnya cepat."

"Iya tan. Kalau mauku sih tan, Ridho yang duluan, dia kan banyak cewek."

"Enggak bener semua, Ridho tuh yah, nyarinya enggak tahu atau memang dia yang sembarangan pilih."

Pria muda itu tertawa pelan, nyaris terbahak jika tidak mengingat mereka berada di tempat umum. Pasalnya, sahabatnya itu, yang satu itu, memang benar, paling sering main cewek, paling sering gonta-ganti pacar.

"Coba deh kamu ceramahin, dia itu ibunya enggak didengerin, sampai mulut kaku juga enggak akan didengerin."

"Loh gimana tan? Saya ini cuma sahabat. Tante yang ibunya saja diabaikan, gimana saya tan? Masuk telinganya saja enggak."

"Memang tuh anak, kerja aja sering bolos. Papanya sampai marah-marah, kerjanya enggak ada yang bener."

"Dimaklumi lah tan, Ridho masih muda."

"Masih muda gimana? Coba deh, kamu bilangin yah, siapa tau dapat hidayah terus tobat."

Pria itu tertawa pelan, merasa tidak yakin bahwa sahabatnya yang satu itu akan mendengarkannya. Pria bebal itu, yang sudah playboy, kerjaannya enggak benar semua, memang katanya nih, masih mau menikmati masa muda. Padahal waktunya sudah lewat. Lewatnya kebangetan lagi. Sampai ia heran sendiri, bisa-bisanya punya sahabat seperti pria itu. Langka.

Dulu memang ia juga seperti Ridho lah gambarannya. Pembangkang dan badung, tapi sekarang walaupun tidak baik-baik amat, ia berusaha untuk menjadi lebih baik lagi setiap detiknya. Siapa yang tahu bagaimana takdirnya nanti.