WebNovelAlufiru36.36%

Chapter 3

Nara menatap tidak suka pada dua manusia di hadapannya. Bukan bermaksud tidak sopan, tapi mau bagaimana lagi, ekspresinya untuk sekarang tidak bisa dikendalikan. Nara itu sedang marah, sangat marah hingga kata-katanya tidak bisa dikendalikan dengan baik. Niatnya untuk jalan-jalan cari jajanan di pinggir jalan, malah disuguhi dengan pandangan yang merusak matanya. Awalnya, tidak mau ikut campur. Tapi karena tidak tahan, makanya Nara segera menyela dua manusia itu dan tanpa banyak membuang waktu, dua manusia itu secara paksa disuruh ikut duduk di samping gerobak penjual gado-gado kesukaan Nara.

Memang begitu, gadis itu rela naik bus atau angkutan umum untuk datang ke kawasan ini. Banyak penjual makanannya. Jadi suka dianya, apalagi enak-enak semua. Terus, secara khusus Nara sudah meminta penjualnya untuk menjaga kebersihan yang syukurnya di-iya-kan tanpa protesan.

"Sudah berapa lama?"

Dua manusia di hadapan Nara terdiam. Yang satu seorang pria, yang masih terlihat rapi, satunya seorang gadis yang badannya bagus, aduhai, tipe kesukaan para pria. Bibirnya merah merona, senada dengan baju ketat yang digunakannya, mencetak lekuk tubuhnya yang bagus itu.

"Saya tanya, dijawab."

Pria itu berdehem pelan, "Aku bisa jelaskan."

"Jelaskan bagaimana?" Nara menunjuk tangan gadis itu yang memeluk erat lengan sang pria, "kamu pikir saya buta?"

"Bukan seperti itu ra."

"Saya tanya, sudah berapa lama?"

Pria itu kemudian menghela napas dalam, "Satu tahun terakhir, tapi serius aku ini cuma main main, seriusnya cuma..."

Nara menunjuk gadis itu yang sedang menatapnya tajam, tidak tahu diri sekali. "Kamu dengar? Cuma main-main, mau sama pria sepertinya?"

Gadis itu mendelik tidak suka pada Nara. "Main-main apanya? Kami sudah jalin hubungan selama satu tahun terakhir."

"Jadi serius? Pernah diajak nikah?"

Gadis itu terdiam. Malah menatap pria yang dipeluknya erat. Tapi pria itu menatap Nara dengan tatapan memelas.

Nara menunjuk gadis di hadapannya, "Lepaskan tanganmu, pria ini tidak akan pergi," ujarnya kesal. Bukannya dilepas, gadis itu mempererat pelukannya, pria itu sudah berusaha melepaskan tapi tidak berhasil.

"Saya tahu tidak punya hak, bukan siapa-siapa."

"Ra, jangan bicara begitu. Bukan siapa-siapa gimana sih, kamu itu..."

Nara mengangkat tangannya, mencoba menghentikan pria itu yang sedang berbicara. "Kamu itu sudah diberikan kepercayaan. Malah dihancurkan. Namanya apa?"

Tidak ada jawaban, membuat Nara mengangguk pelan, "Namanya itu tidak tahu diri. Ngerti kan?"

"Sekarang terserah kamu. Saya berikan kesempatan. Sebenarnya bukan ranah saya. Tapi serius, kalau saya dapati lagi, kamu habis. Saya tidak main-main."

Itu ancaman yang diperdengarkan dengan nada yang sangat serius. Bahkan penjual gado-gado yang sedang meracik bumbu, sampai tiba-tiba tersedak mendengarnya.

"Dan kamu," Nara menunjuk gadis bibir merah itu lagi, "saya tahu kamu itu masih muda, tapi mirip sama tante-tante. Masa depan masih panjang, kalau dikehendaki, kok mau-maunya sama pria ini. Seperti tidak ada pria lain saja."

Saat gadis itu ingin membalas. Nara tersenyum manis, memperbaiki posisi duduknya dengan tenang.

"Jangan bicara, kamu itu bukan tandingan saya. Apalagi, suaramu itu bisa menambah polusi, jadi diam saja."

Nara menunjuk pria itu lagi, "Sekarang pergi dari sini. Mau kemanapun terserah, tapi ingat, ini yang terakhir."

Setelahnya, pria itu segera berdiri dan meninggalkan Nara dengan langkah terburu-buru.

Penjual gado-gado itu berdehem pelan, "Aktingnya bagus dek."

Nara menatapnya heran, "Saya serius mang, bukan akting."

Sekali lagi, penjual itu tersedak angin.

***

Langkah kakinya bergerak dengan cepat, melompat sesekali saat ada cangkang siput yang bisa saja menggores telapak kakinya jika ia tidak berhati-hati. Panas matahari begitu terik, jilbabnya belum mampu menghalangi wajahnya dari sinar matahari di pagi menjelang siang. Tidak ada pohon untuk berteduh, semuanya lapang dan juga hijau. Meneduhkan mata.

Saat sampai di tujuannya, gadis itu mempercepat langkahnya dan duduk di samping pria paruh baya yang sedang mengipas-ipaskan bajunya, mungkin sangat panas. Badannya mengkilap karena keringat. Topi hitamnya yang tua masih bertengger nyaman di atas kepalanya. Di bawah pohon ketapang, yang ditanam sendiri, mereka duduk berteduh.

"Kenapa lari-lari segala, bapak kan enggak akan pergi."

Gadis itu tersenyum, "Bukan begitu pak, sudah hampir makan siang. Bapak pasti lapar."

"Bisa menunggu, daripada kamu jatuh lebih baik bapak tunggu."

Gadis itu mengangguk, "Kalau capek, istirahat pak. Sawahnya tidak akan lari."

Pria yang dipanggilnya bapak tertawa pelan, gigi putihnya sangat kontras dengan kulit wajahnya yang menghitam, terkena paparan sinar matahari sepanjang hari.

"Kamu bagaimana sekolahnya?"

Gadis itu mengangguk, "Lancar pak, tinggal menunggu pengumuman lulusnya."

"Berarti mau masuk SMA yah?"

"Iya."

"Bapak sekolahkan."

Gadis itu terdiam. Ada ada saja yang mengganggu pikirannya. Ia paham betul kondisi keluarganya. Tidak ingin memaksa, apapun keputusan orang tuanya, ia ikut.

"Jangan terbebani dengan biayanya. Kamu sekolah saja yang benar. Insya Allah bapak masih bisa."

"Iya pak, paham."

"Harus paham. Bapak suka, kamu selalu mendengarkan kalau bapak bicara. Tapi bukan berarti kamu harus selalu mendengarkan. Maksudnya, kalau bapak salah bicara, diingatkan, kalau ada yang kamu tidak setujui, bilang saja."

"Apanya yang tidak disetujui. Semua nasihat bapak, Nara dengarkan dengan baik, nanti dipraktekkan."

"Kalau ada yang buruk dari bapak, jangan dicontoh. Itu semua memang pada dasarnya bapak yang belum mampu. Misalkan, kamu lihat bapak memarahi kakakmu, bukan berarti suatu saat nanti karena kamu merasa benar, kamu akan memarahi mereka habis-habisan. Dengarkan dulu penjelasannya, bapak waktu itu terlalu emosi."

"Iya pak. Kakak omongannya tidak patut diucapkan kepada orang tua."

"Iya, selain itu. Nak, jaga ucapanmu, jaga tutur kalimatmu. Itu semua cerminan dari hatimu, juga dari bagaimana orang tuamu mengajarkan. Kalau tutur kata kakakmu belum bagus, berarti itu tugas bapak untuk mengajarinya lagi."

"Bapak kan sudah ajarkan semuanya. Kakak saja yang tidak mendengarkan."

"Iya, tapi kakakmu juga marah waktu itu. Minta dibelikan motor, bapak belum mampu ngasih. Mungkin dia malu, belum punya motor."

"Nanti Nara bantu untuk menabung uangnya biar cepat dapat."

Sang bapak hanya tertawa mendengarnya. Gadis itu mulai membuka rantang satu per satu. Menyiapkan nasi di atas piring, juga lauknya, ikan goreng dan sayur santan.

Nara menghela napas jengah, ponsel yang dipegangnya sudah panas, telinganya juga ikut-ikutan panas. Kakaknya tiba-tiba menelepon selepas isya. Karena jaringan di dalam rumah buruk, jadilah Nara keluar rumah, duduk di bangku taman di bawah pohon mangga. Terang, karena memang ada lampu taman juga, Nara yang punya ide.

"Iya... Nasihati baik-baik kak, jangan main tangan. Ingat, semarah apapun, jangan main tangan."

"Tapi ini loh adekmu, capek kakak mengingatkannya. Pulang malam terus, itu lagi, pakaiannya enggak benar semua, menurut kakak, uang yang kamu berikan dihabiskan buat beli yang tidak berguna."

"Tahu, bicara baik-baik. Saya belum bisa balik. Nanti saya telepon dia, bantu bicara. Kalau masih begitu, biar saya yang urus."

"Iya, kamu hati-hati di sana. Jaga diri. Kakak ini masih khawatir kalau kamu jauh."

"Iya, sampaikan salam sama Kak Indri. Jaga si jagoan baik-baik."

"Iya, kamu jangan lupa istirahat kalau capek. Jaga diri, kakak jauh, tidak bisa mengawasi."

"Paham kak, paham. Sudah yah, Assalamualaikum."

"Iya, Waalaikumsalam."

Tahulah kakak Nara itu, dulu, badungnya minta ampun, susah dibilangin, tempramental juga, pokoknya bagaimanalah definisi anak yang menyusahkan orang tua. Kalau ada yang diinginkan, harus segera dibelikan, padahal kakaknya itu paham betul, keluarga mereka bukan yang seperti itu. Nara juga berperan penting dalam proses berubah kakaknya, yang paling sering mengingatkan walaupun akan dibentak, Nara akan bentak balik. Dulu, kalau kakaknya kumat, alias, marahnya meledak-ledak, Nara akan lebih marah. Tidak kenal istilah api sama api itu tidak akan bisa padam, harus dengan salah satunya jadi air. Nara tidak begitu, ia akan menunjuk balik saat kakaknya menunjuknya. Tapi setelahnya, ia akan memenangkan pertengkaran. Sadar, dulu ia sangat kurang ajar, tidak mendengarkan amanat bapaknya khusus yang satu itu. Nara tahu bagaimana kakaknya, tidak akan mengerti kalau tidak dikerasi.

Tapi, entah mengapa, suatu hari, ditengah malam. Kakaknya pulang, wajahnya suntuk, banyak pikiran. Nara waktu itu marah, tidak peduli. Besok hingga seterusnya kakaknya berubah.

Beda lagi dengan adiknya, gadis muda itu, dulunya baik, patuh, apa-apa pasti bisa dipercaya. Baru-baru ini masuk sekolah menengah atas, semakin bertingkah. Suka bikin masalah. Entah pengaruh hormon atau lingkungan, atau mungkin keduanya. Bikin pusing. Nanti Nara pikirkan bagaimana caranya untuk menjinakkan anak itu. Harus cari cara yang terbaik pokoknya. Masih muda, gejolak muda dan amarahnya itu meledak-ledak, tersinggung sedikit sudah ada pikiran untuk kabur dari sana.

Untuk sementara, dari dulu hingga detik ini. Hanya masalah keluarga yang bisa membuatnya sangat kacau, ditambah dengan Nerissa kalau dianya sedang kambuh.

Bunyi pagar yang dihempaskan dengan keras berbunyi mengisi heningnya malam. Nara melihat ke arah sahabatnya yang sedang berjalan tergesa ke arahnya. Dengan begini, lengkap sudah bagaimana penderitaannya. Nara tahu, Nerissa akan datang padanya, tapi kenapa harus sekarang? Kenapa harus malam ini? Bukankah sekarang waktunya beristirahat, seharusnya menunggu saja hingga besok? Kepalanya pusing.

Nara memijat keningnya berulang kali, bersamaan dengan Nerissa yang berdiri di hadapannya dengan berkacak pinggang. Wajahnya menyiratkan amarah. Setidaknya, biarkan Nara mempersiapkan dirinya untuk tidak emosi. Sudah tiga kali, dihitung dengan yang sekarang. Kalau sedang kacau, Nara itu kadang-kadang meledak-ledak juga. Bawaan dari dulu yang belum bisa ia hilangkan sepenuhnya. Memang kebiasaan buruk, tapi butuh waktu untuk menghilangkannya. Sementara waktu, ia sudah berusaha mengendalikannya.

"Kamu kenapa sih ra?"

Nara menatap Nerissa sekilas, kemudian bersandar ke bangku dengan pasrah, mukenahnya ia tarik agar tidak menyentuh tanah.

"Saya enggak kenapa-napa. Aman."

Terdengar hembusan napas kasar dari Nerissa, "Kamu kan sudah janji tidak akan membuat masalah lagi."

"Iya, saya salah."

"Loh kok tanggapannya begitu?"

Nara menatap Nerissa jengah, apa sih maunya anak satu ini. Tidak diakui malah dituduh terus, diakui malah dikira kenapa begitu. Jadi serba salah. Jangan jangan sahabatnya ini juga sedang datang bulan. Jangan sampai. Bisa-bisa kacau semuanya.

"Sekarang begini, saya beri penawaran. Kalau kamu sudah tenang akan saya luruskan masalah ini."

"Sekarang aku butuh penjelasan. Aku sahabatmu kan?"

Nara mengangguk, "Memang. Tapi, kalau kamu emosi saya emosi, masalah ini tidak selesai. Kalau kamu ingin teriak-teriakan di sini, saya ladeni sekarang."

Tidak ada balasan dari Nerissa. Tangannya yang di pinggang sudah meluruh. Pundaknya juga tidak setegap tadi.

"Aku marah. Kamu selalu melakukan hal ini berulang kali, dari tiga tahun lalu sampai sekarang. Tidak pernah berubah."

"Iya, tidak akan saya lakukan lagi. Tidak akan saya campuri lagi. Sekarang, kamu pulang. Tidur."

Sejujurnya, Nerissa masih tidak terima, ada banyak yang ingin ia katakan berulang kali. Tapi, melihat wajah sahabatnya, ia sedikit menyerah. Dengan pelan ia mengangguk.

"Bagus, sekarang kamu pulang. Datang kalau sudah tidak marah lagi, kalau masih marah jangan datang dulu. Saya juga banyak masalah."

Nara menatap Nerissa dengan penuh perhatian. Sekarang, untuk kali ini, biarkan ia beristirahat dulu. Ia juga perlu mendinginkan kepalanya. Penuh, serasa ingin meledak. Tinggal diberikan pemantik dan duar, tidak tertolong. Percekcokan mereka akan berlanjut hingga tak terhitung hari jika tidak ada yang ingin mengalah. Ini masalah rumit, Nerissa juga tidak akan mentolerir. Tapi biarkan dulu seperti ini. Persahabatan mereka juga tidak semulus itu, ada banyak bumbu-bumbunya. Mulai dari yang sedikit hingga yang paling banyak. Biasalah. Tapi sepertinya Nerissa sangat kecewa.

"Aku marah sama kamu, tahu kan?"

Nara mengangguk, "Sangat tahu, kalau masih marah tidak akan saya ganggu. Ingat, kamu itu marah."

Agak lucu sebenarnya. Tapi biarkan saja.

***

Suasananya memang agak sedikit asing. Bayangkan berapa lama ia tidak menginjak tanah yang katanya ia cintai tapi kalau disuruh pulang, sulitnya minta ampun.

Tidak akan ia rentangkan kedua tangannya, menghirup dalam-dalam udaranya, karena, sudah pasti banyak sekali polusi di udara. Sangat kotor. Terlebih lagi, sinar matahari menerpa kulit wajahnya tanpa ampun. Seperti mendapat ucapan selamat datang.

Tapi yang terpenting adalah, sekarang ia pulang, dan akan menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu. Iya, jelas, jika bukan karena urusan pekerjaan, ia tidak akan pulang. Tidak ada yang perlu dirindukan. Tidak ada yang menunggunya dan semuanya omong kosong.

"Kamu tahu, aku itu akan mati jika ada yang tahu ini," ternyata kalimat itu yang menyambutnya, pertama kali.

Padahal yang ia pikirkan, akan lebih buruk dari itu. Tapi, mungkin setelahnya ada lanjutan lagi.

"Aku sedang banyak pekerjaan dan kamu mengacaukan semuanya. Mulai dari sekarang, kamu harus mandiri. Aku yakin kamu tidak akan lupa jalan pulang kan?"

Pria yang sedang dimarahi mengangguk pelan, "I know, sekarang antar aku ke hotel."

"Pulang saja yah? Aku ini banyak masalah, jangan ditambahi dulu."

Tapi siapa yang bisa menolaknya, dari dulu hingga sekarang, memang tidak ada yang bisa melakukannya. Untuk sementara, perjalanan hidupnya masih panjang, akan dilihat nanti ke depannya bagaimana.

"Jangan katakan pada siapa-siapa dulu. Aku ingin memberi kejutan."

"Kejutan palamu!"

"Apa salahnya? Aku ini mau menyelesaikan pekerjaanku dulu tanpa gangguan. Aku yakin, jika mereka tahu, ada banyak masalah yang akan datang."

"Seharusnya aku tidak peduli," rutuk pria satunya dengan kesal. Pekerjaannya diganggu secara dadakan. Seharusnya ia tidak berada di bandara dan menunggu sangat lama untuk tuan muda ini.

"Tapi hanya kau yang mengangkat teleponku. Jadi memang ini diperuntukkan untukmu. Terima sajalah. Apa susahnya menjemput sahabatmu sendiri."

Pria yang datang menjemput itu menunjuk pria yang dijemput dengan tidak sopan. "Aku ini sibuk, banyak kerjaan. Beda denganmu yang pengangguran."

"Terserahlah. Sekarang antar, aku mau istirahat dulu."

"Tuan pemaksa," cibiran itu dianggap angin lalu.