"Nak, kalau besar nanti mau jadi apa?"
Gadis belia yang sedang tertawa riang karena belalang di tangannya segera berbalik dan duduk di dekat bapaknya dengan tergesa. Dengan napas terengah-engah tanpa menghilangkan senyumnya, ia berbicara kemudian.
"Apa pak? Saya enggak dengar."
"Kalau besar mau jadi apa?"
"Belum tahu pak, masih bingung. Masih jauh ini, saya masih SMP. Enggak mau pikir yang jauh-jauh dulu."
Sang bapak mengangguk, "Paham nak. Tapi begini, kalau ingin hasil yang bagus nantinya, harus buat rencana dulu. Direncanakan. Supaya jelas mau kemana. Tidak ke sana kemari dengan tujuan tidak jelas."
Gadis itu mengangguk paham. "Lagi dipikir nih pak, mau jadi apa. Sebenarnya, tidak ingin menyusahkan. Saya lulus SMP saja bagus."
Pria paruh baya dengan badan tegap dan kulit yang cokelat sebab terlalu sering terpapar cahaya matahari. Bahkan terbakar. Baju lusuhnya sudah basah dan kotor, oleh keringat dan lumpur. Kukunya menguning karena terlalu sering bersentuhan dengan tanah. Tapi, senyumannya lebar menampilkan gigi putihnya yang rata.
"Jangan begitu. Bapak sedang berusaha sekolahkan kamu tinggi-tinggi. Jangan seperti bapak."
"Maksudnya?"
"Bapak lulus SD saja tidak. Sekarang malu sama kalian, punya bapak yang tidak berpendidikan."
Gadis itu tersenyum pelan, masih belum terlalu mengerti dengan semuanya. Masih sulit untuk merangkai kata yang bagus sebagai balasan.
"Selalu ingat ilmu padi jika besar nanti. Semakin berisi semakin menunduk. Juga ingat, tidak masalah posisi melangit, tapi sikap dan segalanya harus membumi."
Ingin rasanya Nara kembali ke waktu itu dan mengatakan bahwa ia tidak pernah malu mempunyai bapak yang luar biasa sepertinya. Bapak yang selalu mengajarinya yang terbaik, mengajarinya menjadi manusia berkualitas, menjadi manusia sejati. Ingin rasanya, saat bapaknya mengatakan itu, ia segera menyela dengan tidak sopan dan mengatakan bahwa untuk apa malu punya bapak sepertinya, bapak itu hebat.
Pola pikir dan sikap Nara dipaksa dewasa sebelum waktunya. Nara tidak sama dengan anak-anak lain seumurannya.
***
Nerissa tersenyum senang melihat om dan tantenya yang saat ini sedang berkunjung, tumben-tumbenan sebenarnya. Mereka itu sibuknya minta ampun. Anaknya saja, suka ngeluh saking sibuknya. Beda kalau yang bisnisnya sudah ke kancah internasional. Selain itu, sang nyonya juga ikut-ikut saja. Katanya, mengawasi suaminya, biar tidak macam-macam. Cuma bercanda, karena memang si suami yang tidak tega meninggalkan istrinya, tapi meninggalkan anaknya tidak masalah. Nerissa saja heran.
"Ada angin apa nih?"
Pria paruh baya yang masih terlihat tampan diusianya yang tidak muda lagi itu terkekeh mendengar anak dari adiknya.
"Om dengar dari Clara kalau dia mau tunggu saja bantuan dari sahabatmu itu."
Nerissa mengangguk, "Iya om, katanya sih gitu."
Tantenya ikut-ikutan, "Padahal waktu ditelepon katanya enggak mau tunggu-tunggu. Maunya tahun ini."
"Iya, tapi setelah bicara sama sahabatku itu. Clara berubah pikiran."
"Sehebat apa sahabatmu itu?"
Nerissa menunjuk dirinya, "Kalau untukku," kemudian tersenyum lebar, "dia itu sangat hebat. Tidak pernah kutemui gadis yang sehebat dirinya."
"Bagus. Orang tuanya bangga."
Nerissa tersenyum lemah, "Harus bangga pokoknya."
Tapi wanita yang lebih tua sedikit peka, "Kenapa?"
"Nara itu anak petani. Bapaknya, kerja apa saja. Tukang ojek, pernah. Penjual roti, pernah. Tukang gali kuburan, pernah. Tukang batu, pernah. Semuanya, yang jelas bisa dapat uang dan pastinya halal."
Tidak ada jawaban. Pasangan itu terdiam mendengarnya. Ada panah tak kasat mata yang membungkam mereka. Susah dijabarkan.
"Aku itu kagum sama Nara. Hebat dia."
Tantenya tersenyum pelan, "Kamu kalau begitu beruntung bertemu dengannya."
"Iya, beruntung. Bisa menguatkanku, kadang-kadang aku ini loh tan, banyak mengeluhnya, apa-apa mengeluh. Tapi dia itu ngerti, tetap menyemangatiku tanpa menghakimi."
"Sekarang sahabatmu tinggal sama siapa?"
"Sendiri om. Kakak sama adeknya tinggal di kampung."
"Kenapa tidak mengajaknya tinggal denganmu? Kan bisa tuh."
"Iya, sudah aku tawarkan. Dia menolak, Nara itu paling tidak ingin menyusahkan orang lain, padahal tidak. Paling tidak ingin merasa berhutang."
"Orang tuanya?"
Nerissa tersenyum miris, "Kalau bapak sudah meninggal, waktu kuliah."
"Ibunya?"
Nerissa tidak menjawab untuk beberapa saat. Sudut bibirnya terasa sulit dibentangkan.
"Ada kok tan."
Pasangan itu mengerti, tidak ingin melanjutkan lagi. Perubahan ekspresi Nerissa sudah cukup untuk membuat mereka paham bahwa gadis itu menolak untuk ditanya lebih.
Kalau keluarga Clara itu tidak beda jauh dengan dirinya, sudah kaya dari dulu. Ayahnya pemilik perusahaan teknologi, ibunya punya beberapa restoran berbintang, warisan juga, hanya melanjutkan. Ada lagi, anak sulung mereka, yang sedang berada di London, katanya sedang ada proyek besar, seorang arsitektur. Sekalian mengunjungi sanak keluarga juga, masih garis keturunan bangsawan.
"Tapi, aku mau nanya nih om, tan. Kalian itu bisa bayar orang lain loh, langsung dapat pokoknya tanpa neko-neko."
"Clara percaya diri bisa lulus, dia itu kamu tahu sendiri bagaimana. Selain itu, om enggak mau pakai jalan itu walau berlebih."
Nerissa mengangguk, "Tapi kenapa suruh datang ke aku om?"
"Kamu tidak ingat? Waktu itu kamu pernah cerita, sahabatmu itu jadi dosen di sana, gimana sih?"
"Aku pernah tan?"
Wanita itu mengangguk, "Pernah, waktu itu kamu lagi marah-marah gitu di telepon waktu pertemuan keluarga, terus cerita deh."
"Oh, yang itu. Ingat, ingat. Waktu itu Nara lagi ada masalah, nomor-nya enggak aktif, khawatir aku."
"Kapan-kapan ajak sahabatmu itu untuk menemui kami, penasaran sama orangnya gimana."
"Kalau kata Nara mah, gak gimana-gimana, biasa saja."
Pria paruh baya itu mengerutkan keningnya, "Apanya?"
"Ya si Nara itu. Dia sendiri yang bilang."
Wanita paruh baya itu tersenyum senang, "Pokoknya lain kali, ajak ketemu kita. Biar bisa ngobrol."
"Iya om, tan. Nanti deh, kalau bisa. Dia tuh, anaknya susah banget dibujuknya."
"Tante jadi penasaran."
"Penasaran bagaimana?" Tanya Nerissa sambil terkekeh pelan.
"Ya itu, kamu kalau cerita tentangnya tuh semangat, kayak semuanya menarik. Jadi penasaran."
"Iya, iya. Nanti diajak. Ini om sama tante dari mana?"
"Baru pulang dari kantor ini. Sekalian jemput si nyonya ini di restoran."
"Kirain dari mana. Oh iya, anak sulung kalian yang sok sibuk itu belum ada rencana mau pulang?"
Pasangan di depannya menampakkan wajah menyerah dan putus asa jika sudah membicarakan tentang putra sulung mereka. Mau bagaimana lagi? Anak itu paling susah disuruh pulang, ada saja alasannya. Ada proyek-lah, masih sibuk-lah. Semuanya dibuatkan alasan. Sampai bosan dengarnya.
"Susah kalau disuruh pulang, badung memang. Banyak alasan."
Nerissa tertawa pelan, "Siapa tahu ada pacar di sana, jadi susah mau pulangnya."
"Pacar apanya? Sibuk kerja, kata om kamu yang di sana, banyak yang mau. Tapi begitu, kalau ditanya, banyak alasannya."
"Atau enggak mau pulang karena pasti disuruh ngurus perusahaan kali jadi begitu."
"Iya mungkin."
Nerissa teringat sesuatu, pesan dari ibunya, "Tan, kata mama ada koleksi gamis baru di butik, suruh bilangin, siapa tau tante tertarik. Ada juga hijab baru katanya, praktis."
Wanita itu tersenyum, "Iya, nanti tante mampir. Siapa tau kepincut."
Sebenarnya pasangan itu ada tujuan tersendiri untuk datang. Untuk membujuk. Atau katakanlah untuk negoisasi secara baik-baik dengan keponakan mereka ini. Karena Nerissa sendiri itu keras kepalanya minta ampun. Susah dibujuknya kalau memang tidak ingin.
"Oh iya sa, ini loh, ada anak teman tante yang mau dikenalkan denganmu."
Nerissa memaksa dirinya untuk tersenyum tipis, menjaga kesopanan. Baru sadar, ternyata om dan tantenya itu tidak akan datang tanpa tujuan utama, menemuinya.
"Jangan dulu lah tan. Aku ini masih sibuk kerja. Lagi pula, aku ini punya pacar. Masa dikenalin."
Pasangan di hadapan Nerissa terlonjak kaget. Tidak menyangka saja bahwa gadis itu memiliki kekasih, soalnya tidak pernah dibahas. Kalau ditanya-tanya tentang masalah itu, cuma ketawa-ketiwi enggak jelas.
Nerissa mengangguk mantap, "Iya tan, sudah jalan beberapa tahun. Niatnya mau serius, tapi kami masing-masing sibuk dulu."
"Oh gitu. Kalau begitu om sama tante enggak akan bahas lagi. Kami kira kamu itu tidak punya kekasih."
Nerissa teringat sesuatu, "Bagaimana kalau kenalkan ke Nara saja om. Dia itu yang paling butuh."
Tantenya menggelengkan kepala cepat, "Kalau yang ini, cocoknya sama kamu. Kalau untuk sahabatmu itu biarkan tante ketemu dulu baru tante carikan."
"Nessa kasi fotonya deh."
Wanita itu masih kukuh, tidak ingin, harus bertemu. Yang tidak disadari atau sengaja dilupakan oleh Nerissa bahwa, sahabatnya yang ia cintai itu sudah jelas tidak akan menerima yang seperti ini. Padahal ia sendiri sudah mencoba mengenalkan Nara pada kolega-koleganya, yang menurut Nerissa masuk klasifikasi. Tapi si Nara ini, tetap saja menolak. Katanya, untuk apa, buang-buang waktu saja.
Setelah berbincang-bincang cukup lama. Pasangan itu memutuskan untuk pulang. Sudah disuguhi minuman oleh Nerissa, tapi menolak duluan karena katanya sudah sangat kenyang. Nerissa iya iya saja.
***
Walaupun di dalam universitas tempatnya mengajar ada banyak penjual makanan. Mulai dari yang paling mahal hingga murahnya standar, tetap saja, tidak ada yang bisa banyak mengomentari ingin makan dimana dirinya. Sudah dikatakan sebelumnya, Nara itu alergi dengan bau-bau kemewahan, istilahnya begitu. Jadi sekarang, ia terdampar di warung makan yang tidak jauh dari kampus. Katanya, kualitas, oke. Rasa, oke. Kebersihan, oke. Harga, sangat oke. Bukannya pelit sama diri sendiri, Nerissa sering mengatainya itu. Beda, Nara itu yah gitu-gitu aja. Mau yang biasa-biasa saja tapi bisa membuatnya kenyang dengan perasaan nyaman. Apalagi, jika ia makan di sana, sudah jelas membantu perekonomian si pemilik warung yang sering curhat kalau Nara datang.
Sampai-sampai mahasiswanya kalau ketemu Nara di warung makan itu suka heran sendiri. Tapi, sama Naranya dibayarin.
"Eh, kamu sini dulu."
Nara memanggil pria berambut agak gondrong, baju kaos lusuhnya dipadukan dengan kemeja kotak-kotak khas anak muda, sudah lecek juga. Apalagi, celana jins-nya robek-robek di bagian lutut, jangan lupakan sandal jepitnya yang mulai menipis.
"Sudah selesai makan?" Tanya Nara.
Pria itu mengangguk pelan sambil tersenyum tipis, "Sudah bu, barusan."
"Bagus, memang harus banyak makan biar otaknya juga lancar jaya."
Mendengar itu, pria yang duduk di hadapan Nara hanya tersenyum tipis. Siapa sih yang tidak mengenal dosen muda ini. Populernya mengalahkan rektor sendiri. Terkenal sangat disiplin, tapi cara mengajarnya bagus. Kelasnya selalu penuh, walaupun tugasnya susah-susah. Soalnya, kata mereka, kapan lagi bisa diajari dosen muda, cantik lagi, itu bonus.
"Rendra, kenapa enggak pernah masuk kelas saya lagi?"
Yang dipanggil Rendra terlonjak kaget, cukup mengejutkan bahwa dosennya itu mampu mengingat namanya dari sekian banyak mahasiswa yang diajarnya.
"Atau bukan hanya kelas saya? Kamu kenapa tidak pernah masuk kuliah lagi?"
Rendra tersenyum canggung, "Ada sedikit masalah bu."
"Masalah apa?"
Nara itu memang begitu. Walaupun agak sedikit tidak sopan, atau mungkin tidak sopannya memang banyak, tetap saja ia akan melakukannya. Suka mencampuri urusan orang lain dalam artian yang baik kok. Tidak mungkin juga Nara mau mencampuri orang lain dan membuat susah hidup orang itu. Lagi pula, Nara hanya melakukan itu pada orang yang dikenalnya. Bukannya mau sok dekat, tapi kalau memang Nara merasa perlu melakukannya, akan ia lakukan dengan segera. Karena kebetulan, mahasiswa ini yang paling ia cari-cari, kelasnya lumayan tidak seproduktif biasanya. Karena ia itu aktif di kelas. Paling suka menanggapinya.
"Ini..."
Nara menatap mahasiswa itu dengan heran, tercetak kerutan dikeningnya, "Saya ini dosenmu. Walaupun di luar kampus, saya tetap dosenmu kan?"
"Saya cuma mau tanyakan, masalah apa yang membuat mahasiswa saya tidak masuk kuliah, sudah tiga minggu. Absensi kamu itu lumayan penting untuk akademik. Jangan buang uang orang tuamu lah."
Rendra tersenyum tipis, "Maka dari itu bu, saya tidak ingin buang uang orang tua. Makanya berhenti kuliah."
"Loh kenapa? Kalau tidak ingin buang uang orang tua tuh, seharusnya tidak usah kuliah dari awal. Jangan di tengah jalan seperti ini. Jujur sama saya, kalau bohong enggak dapat uang."
"Bapak meninggal tiga minggu yang lalu, saya harus cari kerja untuk ibu di rumah. Kasian kalau banting tulang untuk saya bu."
Nara terdiam sejenak, kemudian menatap Rendra lagi.
"Kalau begitu saya tidak bisa membantah. Keputusanmu. Tapi, kamu terima beasiswa dari kampus kan?"
Rendra mengangguk, "Sudah dicabut. Saya ikut aksi waktu itu, terus rusuh."
Nara menghela napas, "Kamu yang buat rusuh?"
Tatapan Rendra sedikit tidak terima, "Kok saya? Kami itu mau menyampaikan aspirasi bukannya mau rusuh."
"Jadi maumu sekarang bagaimana?" Tanya Nara.
"Saya mau cari kerja dulu, nanti kalau sudah dapat, saya urus cuti."
"Bagus. Tapi saya mau kasi bantuan. Mau terima atau tidak?"
"Bantuan apa bu?"
"Untuk membiayai kuliahmu."
Rendra tentu saja kaget, tidak akan pernah dalam hidupnya menyangka bahwa ia akan mendapat tawaran seperti itu. Tapi bukan berarti ia ingin terima, ia itu takut menyusahkan.
"Tidak usah bu. Jangan aneh-aneh, saya bisa urus cuti dulu."
"Kok aneh?" Nara agak sedikit tidak terima dikatai aneh, mau tawarkan bantuan dibilang aneh. "Kamu sisa berapa semester?"
"Tiga bu. Sekarang masuk semester lima."
"Makanya saya tawarkan ini, sia-sia kalau kamu ambil cuti. Lagi pula, saya tidak punya maksud apa-apa menawarkan ini. Murni karena saya ingin."
"Tapi saya yang tidak enak bu. Menyusahkan."
"Menyusahkan bagaimana? Kamu itu cerdas, kritis, sangat disayangkan kalau kamu berhenti kuliah. Kamu itu tipe manusia yang harus mengisi bumi."
Selain disiplin, Rendra banyak mendengar bahwa dosennya ini, tanpa alasan, sering dikira sombong, arogan. Tapi entah mengapa, setelah duduk bersama selama beberapa menit belakangan, cap itu seperti sia-sia. Tidak ada arogannya sama sekali. Jika diberi kesempatan, Rendra akan meluruskan pada teman-temannya.
"Begini. Kalau sudah lulus nanti, dapat kerja. Kamu bisa ganti, tapi seharusnya jangan. Saya serius memang mau bantu kamu."
"Nanti saya pikirkan lagi bu."
Nara mengangguk pelan. Mencoba mengerti bahwa pria di hadapannya ini memang tidak ingin menyusahkan. Mungkin juga cukup kaget dan caranya yang langsung saja sedikit menyinggung perasaannya.
"Saya minta maaf kalau membuatmu tersinggung. Tidak ada maksud untuk merendahkan. Ini murni karena saya ingin."
"Iya bu. Saya tahu. Nanti saya pikirkan lagi."
"Bapak saya pernah bilang, nak kalau sukses nanti, uangmu itu dimanfaatkan baik baik, bantu orang lain yang sedang butuh, percuma jadi manusia kalau tidak bisa membantu yang lainnya, juga, rezeki yang diberikan padamu itu, bukan semuanya milikmu, dititipkan padamu untuk diberikan kepada orang lain."
"Semuanya diawali dengan niat. Jangan bantu karena ingin ada balasan. Jangan bantu karena ingin orang lain memuji. Jangan bantu karena ingin merendahkan orang lain. Bantulah karena memang merasa bahwa kamu itu harus membantu. Saya cuma mau mengikuti kata bapak saya."
"Kalau berubah pikiran, datang langsung ke ruangan saya. Bawa transkrip nilai sementaramu, juga bawa foto copy pembayaran UKT-mu."
"Iya bu, terima kasih sebelumnya."
"Tetap belajar, banyakin baca buku juga minta catatan temanmu. Jangan buat otakmu berkarat."
Sejatinya, Rendra terkekeh pelan, ingin sekali ia tertawa lepas, tapi, karena masih tahu sopan santun walaupun ia serampangan, jadi ia menahan tawanya. Ajaib sekali dosennya ini.
"Satu lagi, banggakan bapak sama ibumu. Beliau menyekolahkanmu karena ingin kamu lebih baik dari mereka. Tapi kalau sukses, jangan lupakan mereka. Mereka yang mengajarimu berjalan maka jangan sekali-kali tinggalkan mereka. Paham kan maksud saya?"
Rendra mengangguk patuh, "Paham bu."
"Bagus. Satu lagi, jika memang ingin. Berarti kamu sudah bantu saya, berarti simbiosis mutualisme. Kalau sudah saya bantu, kamu jaga kepercayaan yang saya berikan. Jadilah manusia yang benar benar manusia."
"Iya bu."
"Nah sekarang kamu pergi sana. Ngapain masih di sini? Saya tidak suka dilihatin kalau makan."
Dengan menahan tawanya, Rendra beranjak dari sana dengan terburu-buru, takut mengganggu. Nanti ada cerita yang bisa ia bagi tentang dosen mereka itu.