WebNovelAlufiru18.18%

Chapter 1

"Peter Merkl mengatakan, politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan."

Seseorang mengangkat tangannya, ternyata, seorang pria dengan tampilan agak berantakan, padahal masih mahasiswa baru, tipe-tipe pemberontak muda yang terlalu banyak menerima doktrin. Belum memilah apa yang baik untuknya, tapi sebenarnya, walaupun begitu, baik buruk itu kan tergantung cara pandang masing-masing. Mahasiswa itu berpenampilan seperti itu karena dia menganggap itu baik, atau mungkin ada alasan lainnya.

"Kenapa?"

"Tapi bu, saya menggarisbawahi kata usaha, usaha untuk mencapai itu. Bisa saja usaha itu akan menyimpang nantinya."

Dosen muda itu mengangguk, "Benar. Ini semua tergantung dari bagaimana orang-orang memandang politik, tergantung siapa orangnya. Siapa yang menggerakkannya. Politik itu hadir untuk menciptakan tatanan yang baik bukan hadir sebagai perusak."

Gadis dengan rambut bob mengangkat tangannya juga, "Faktanya, yang sekarang ini semua itu tidak terjadi. Tatanan sosial yang baik dan berkeadilan itu timpang, cacat."

"Iya, itu mengapa kalian belajar politik kan? Niat kalian untuk belajar politik itu apa? Untuk memperbaiki tatanan dan mengarahkannya sesuai dengan citra politik yang sebenarnya, atau belajar untuk membodohi semua orang dan mengambil keuntungan sendiri. Itu pilihan."

Semua mahasiswanya mengangguk.

"Itu hanya satu dari sekian banyak pengertian politik. Kalian mau mengartikan politik bagaimanapun tidak masalah, tapi tidak keluar dari hakikatnya. Mau buruk atau baik itu memang kan bagaimana citranya sekarang."

"Kalian membodohi orang tua di kampung dengan mengatakan butuh uang untuk beli buku tapi membelanjakannya untuk hal yang tidak penting, itu juga politik atau bukan?"

"Mau mengatakan politik itu seni mengelabui orang juga tidak masalah. Karena memang begitu kan?"

Tidak ada yang menjawab.

"Peter Merkl juga mengatakan, politik dalam bentuk yang paling buruk adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri."

"Itu hanya contoh paling kecil dan mendasar. Sekarang ini, tidak, dari dulu sekali hingga sekarang ini memang politik menyandang citra itu, yang buruk sangat melekat."

"Nah, sebagai mahasiswa yang mempelajari politik itu, kalian yang akan mengembalikan citranya, bukan belajar untuk merusaknya. Tahu kan?"

"Kalian bisa membaca banyak pengertian politik, memahaminya dan menanyakan pada saya di pertemuan berikutnya. Pelan-pelan, kita belajar bersama-sama. Saya tidak ingin membatasi kalian untuk mengeluarkan pendapat."

"Dan jangan lupa membaca tentang konsep-konsep pokok dalam politik. Kita bertemu lagi minggu depan. Terima kasih."

Dosen muda itu berjalan keluar kelas, tersenyum saat ada yang menyapanya. Melangkah pelan ke arah tangga, dan menjajakinya satu per satu. Lift ada. Hanya saja, ia lebih memilih menggunakan tangga untuk menggerakkan sendi-sendinya yang biasanya kaku karena terlalu lama berdiri atau duduk. Lagi pula, tangga akan jadi pengangguran jika tidak ada yang memakai jasanya, itu sih yang ia katakan saat ditanya.

Sebelum mengisi kuliah tadi, sahabatnya yang cerewet itu meneleponnya, meminta bertemu, katanya ada sesuatu yang ingin dibicarakan. Mendesak, dan sangat genting. Ia tentu saja tidak percaya, sahabatnya itu memang bertingkah luar biasa padanya. Justru yang penting dianggap tidak penting olehnya, dan sebaliknya. Mereka bertemu saat duduk di bangku sekolah menengah, satu-satunya yang mau bersahabat dengannya, selebihnya, dipertanyakan. Ada banyak cerita diantara mereka.

***

Sedari tadi hingga selesai makan, ia tidak berhenti memasang tampang tidak terima atas apa yang dilakukan oleh sahabatnya. Pasalnya, ia agak sedikit merasa risih untuk duduk di kursi yang ia tebak mahal harganya. Interior cafe  ini memang klasik tapi terlihat sangat mewah, pengunjungnya juga banyak, tapi dilihat dari merk pakaiannya, ia bisa tebak, cafe yang mereka tempati sekarang adalah tempat tongkrongan orang-orang berkantong tebal. Ia itu, secara khusus alergi dengan bau-bau kemewahan. Tidak ekonomis.

"Jadi, dia ini sepupuku," ujar gadis yang masih menggunakan setelan kantornya, rambutnya agak sedikit berantakan, tidak seperti biasanya. Ia menunjuk gadis di sampingnya, yang menggunakan dress selutut berwarna pastel yang cocok dengan kulit putihnya. Rambutnya digerai.

"Iya. Terus kenapa?"

"Baru lulus SMA. Mendaftar di universitas tempatmu mengajar."

Gadis yang mengenakan jilbab berwarna hitam itu mengangguk, "Bagus kalau begitu."

Sahabatnya tersenyum kecut mendengar balasannya, sudah menduga bahwa gadis yang duduk di hadapannya akan mengatakan seperti itu. Bukannya mudah ditebak, tapi memang karena ia seorang sahabat yang dalam artian sesungguhnya.

"Tapi, dari semua tes masuk," belum selesai ia mengatakan kalimatnya, pandangan gadis di hadapannya menajam, seperti sudah tahu kalimat selanjutnya dan kemana arah pembicaraan akan berlabuh, "dia tidak lulus semua."

"Terus, apa hubungannya denganku?"

"Dia ingin kamu membantunya."

"Bantu untuk apa?"

"Untuk dapat satu kursi, sebelum penyambutan mahasiswa baru dilakukan."

"Bu Nerissa yang terhormat, kamu kan tahu, saya ini bagaimana. Sudah berapa lama kamu jadi sahabatku? Kok masih belum mengerti bagaimana diriku sih?"

Gadis yang dipanggil dengan Nerissa itu mengangguk pelan dengan wajah kesal. Nerissa paham betul bagaimana sahabatnya, tapi sepupu bandelnya ini terus memaksanya untuk setidaknya mencoba. Padahal ia sendiri paham, mau dicoba berapa kali pun tidak akan berhasil. Sahabatnya itu absolut, untuk yang satu ini, masalah kejujuran, ia tidak akan mengotori prinsipnya hanya karena anggap saja sebagai 'koneksi dalam' menurutnya itu terlalu pengecut.

"Iya tahu. Tapi aku ini dipaksa loh, katanya coba saja dulu, siapa tahu luluh. Mau di bayar berapapun oke."

"Katanya sahabatku, pasti tahu, tidak mungkin saya mau mengotori tangan dengan masalah seperti itu. Bukannya saya sombong, tapi untuk sekadar uang itu, saya bisa mencarinya. Banyak jalan yang lebih elegan."

Nerissa melirik gadis muda di sampingnya, kemudian menghela napas pelan, "Kan sudah kukatakan, sahabatku ini beda dek. Tidak akan luluh walaupun uangmu yang seabrek itu kamu kasikan semua padanya."

Gadis muda itu mengangguk, kemudian menatap sahabat sepupunya lurus, menyiratkan banyak arti dari pandangannya itu. Salah satunya, pengharapan. Tapi, sayangnya, salah menaruh, salah orang.

"Namamu siapa kak?"

"Nara."

Oh, ternyata hanya sekadar basa basi. Gadis muda itu tidak menanyakan apapun lagi, walaupun Nara paham, seberapa kecewanya gadis itu.

"Dek, kenapa ingin kuliah di sana?"

Gadis muda itu sekali lagi menatap Nara dengan binar yang meredup. "Teman-temanku banyak di sana, juga karena universitas itu yang terbaik di sini."

"Hanya karena itu?"

"Yang terbaik berarti sudah masuk semuanya, aku ingin kuliah di sana."

"Yang terbaik itu sesuai rangking dari berbagai lembaga, juga masyarakat yang memberikan capnya. Kembali padamu, tujuanmu kuliah itu untuk belajar atau untuk pamer almamater?"

Tidak ada jawaban.

"Kalau memang mau belajar, cari universitas yang kualitas pengajarannya setara dengan universitas itu, atau bahkan yang lebih baik, ada kok."

"Yang kualitas pengajarnya di jurusan yang kamu pilih, menurutmu bisa memberikan ilmu yang kamu inginkan."

"Tapi, temanku banyak yang masuk dengan cara seperti ini."

"Jadi karena banyak yang melakukannya, kamu juga ingin coba? Padahal tahu ini tidak baik, tetap mau melakukannya?"

"Kamu seharusnya tahu, dari temanmu yang masuk itu, ada satu tempat orang berjuang yang digantikan, direbut tempatnya tanpa dia ketahui. Gimana jika itu tempatmu yang direbut?"

Melihat gestur yang ditunjukkan sepupunya, Nerissa menghela napas, "Aku sudah bilang padamu yah, sisanya kamu tanggung sendiri."

"Sekarang saya tanya, masih mau kuliah di sana?"

Sepupu Nerissa mengangguk pelan, "Sangat ingin."

Nara menghela napas, "Kalau begitu tunggu tahun depan, jika ingin, saya bisa mengajarimu. Itu tawaranku, kalau mau yang lain-lain, tidak bisa saya berikan."

"Tapi, aku enggak terima. Aku sudah bayar bimbingan mahal-mahal, belajar keras. Nilaiku juga oke, prestasiku juga oke, terus apa yang kurang? Aku juga yakin jawabanku di tesnya benar sampai 95%. Sudah jauh di atas standar nilai kelulusan."

"Berarti apa?" Tanya Nara.

"Apa?"

"Dua kemungkinan, pertama tempatmu diambil tanpa kamu ketahui, kedua memang belum rezekimu."

"Tidak adil."

"Nah, kamu merasa seperti itu. Jika saja saya mengiyakan keinginanmu itu, bagaimana dengan orang yang tempatnya kamu ambil?"

Nerissa menengahi, kasihan juga melihat sepupunya hampir menangis. "Sudah dek. Memang belum rezekimu, kita pulang dulu, tenangkan pikiranmu."

"Tapi kak, aku ini ingin sekali kuliah di sana."

"Kalau tetap kukuh, dan mau gunakan cara ini. Cari orang lain, bukan datang ke saya. Kamu salah orang."

Tidak ada jawaban. Musik mellow, mengalun mengisi setiap sudut ruangan. Para pengunjung mendengarkan dengan seksama, tapi ada juga yang sibuk berbincang bahkan sesekali tertawa dengan keras.

"Saya punya tawaran lain. Mau kuliah di universitas terbaik kan?"

Gadis itu mengangguk pelan, kehilangan semangat mudanya.

Nara tersenyum tipis, walaupun tahu tidak akan mampu menguatkan. "Saya bantu, semua berkas yang kamu anggap bisa membantumu untuk dapat berkuliah di universitas terbaik, kirimkan ke saya."

"Untuk apa?"

"Jawabannya ya atau tidak. Ini penawaran terakhir saya. Bukan bertanya untuk apa."

Gadis itu mengangguk ragu, masih bingung dengan Nara yang menurutnya tidak pernah ia temui manusia seperti dirinya.

"Kirim ke email saya, bisa minta sama Nessa. Kalau ini tidak berhasil, tunggu tahun depan saya ajari, atau cari orang lain untuk cara curang."

"Iya paham."

Nerissa tersenyum. Tidak ada salahnya, kenapa Nara bertahan dengan dirinya. Ia itu gadis bijaksana yang pernah dikenalnya, ditempa dengan keras sedari dulu. Ia juga tahu, bagaimana perjuangan gadis itu untuk sampai di titik ini. Tidak mudah. Dan ia secara pribadi, merasa bangga karena mampu bertahan di sisi Nara dalam segala keadaan.

Nerissa sendiri tidak sama dengan Nara. Sifat yang sangat jauh berbeda. Tingkah pun tidak ada samanya. Nerissa seorang anak dari pengusaha batu bara terkenal, ibunya juga punya butik tersebar di beberapa daerah, cukup terkenal. Banyak koneksilah. Tapi, Nerissa, buka usahanya sendiri. Ia merintis bisnis properti yang cukup sukses. Walaupun masih terbilang baru, nyatanya bisa bersaing di bidang itu. Memang semuanya kan tentang komitmen dan rencana, usaha keras untuk mencapainya.

"Dek, dulu sekali, saya mau masuk di universitas ini juga. Memang nilai pas-pasan, tidak ada prestasi, nol. Tapi saya tidak peduli, loh itu bukan yang dinilai. Semua tergantung hasil dari tesnya nanti. Coba tebak saya lulus atau tidak?"

Gadis itu mengangguk, "Seharusnya sih lulus."

Nara tersenyum tipis, "Enggak. Saya enggak lulus. Sama, saya belajar keras, bedanya kamu itu ada yang ajari, saya belajar sendiri. Apa-apa serba sendiri. Waktu lepas ujian, saya yakin saya lulus, loh saya kerjakan dengan baik. Waktu pengumuman, nama saya enggak ada. Sangat kecewa."

"Apa yang kamu lakukan kak?"

"Tenangkan diri dulu. Walaupun tidak lulus di universitas itu, saya lulus di universitas yang biasa biasa saja menurut orang lain."

Nerissa terkekeh pelan, "Bapak ngomong apa sih ra? Aku lupa loh."

"Bapakku bilangnya begini bapak tahu kamu itu sangat kecewa, belajar siang malam sampai tidur sama buku-bukumu itu, tapi kalau bukan rezekimu bagaimana nak? Sekarang, rezekimu itu yang itu tuh. Kalau ikhlas menerimanya, nanti diberikan yang lebih besar."

"Tapi waktu itu kamu masih tidak terima kan? Katanya, enggak suka jurusannya, salah pilih," sambung Nerissa.

Nara mengangguk, "Iya, kata bapak lagi, salah pilih itu bukan semerta-merta salah pilih, tidak ada yang tahu kalau salah pilih dan kamu lulus di sana, berarti sudah digariskan, dari dulu, nanti begini, Nara akan lulus disalah pilih itu. Ngerti kan nak."

"Saya jalani, tau-taunya tertarik, nyaman belajarnya, tidak ingin pindah lagi. Ternyata memang dipilihkan sesuai yang saya butuhkan, bukan yang saya inginkan."

"Jadi gini dek, jangan merasa tuhan tidak adil dulu. Tunggu dan lihat apa yang akan Dia berikan, tentu dibarengi usaha dan doa. Jangan jadi sombong sama tuhan, kita semua ini bukan apa-apa."

Gadis muda itu mengangguk, kali ini yakin, binar dimatanya telah kembali. Senyumannya juga sudah terlihat tulus. Auranya membaik, bahunya kembali tegak. Nerissa juga terkena virusnya.

"Orang tua kamu hebat kak."

Mendengar itu, Nerissa terlonjak kaget, takut-takut pada respon yang akan diberikan oleh sahabatnya.

"Hebat kenapa?"

"Punya anak sepertimu."

"Iya hebat. Semuanya diajarkan dengan baik."

Nerissa tersenyum. Waktu ternyata mendewasakan, contoh nyatanya itu sahabatnya sendiri.

"Jadi gimana?" Tanya Nerissa.

Gadis itu mengangguk, "Iya, tunggu dulu dari Kak Nara, kalau tidak ada jalan, aku tunggu tahun depan dan diajari sama Kak Nara."

"Bagus kalau begitu, beri tahu mama papamu nanti, jangan merengek lagi ya, jangan menyusahkan. Mama papamu juga pusing nantinya, mereka banyak kerjaan."

"Iya kak, paham."

Nerissa mengalihkan pandangannya pada Nara. Sahabatnya itu, begitu sulit digambarkan. Wajahnya itu, ngerinya, punya dua ekspresi disaat yang bersamaan. Yang sebelah kiri terlihat friendly, yang sebelah kanan terlihat dingin. Nerissa sendiri tahu saat tidak sengaja memperbesar foto Nara, betapa terkejutnya ia menemukan fakta itu. Setelah dibuktikan, memang benar. Tidak akan disadari jika tidak diperhatikan dengan baik. Nara itu diciptakan dengan porsi yang pas, tidak berlebihan tidak kekurangan, enak juga dipandang, wajahnya bersinar tanpa make up.

Nara juga tidak pernah lupa kewajibannya, diajarkan oleh ibu dan bapaknya, untuk tidak pernah meninggalkan yang wajib itu. Pokoknya, jadi sahabat saja Nerissa sudah bangga, bagaimana orang tuanya.

"Kamu habis ini pulang atau bagaimana?"

Nara mengangguk, "Iya, langsung pulang. Tidak usah diantar, soalnya mau singgah dulu."

Anggukan paham dari Nerissa diberikan, "Titip salam, maaf belum bisa ke sana lagi. Kapan-kapan deh."

"Iya."

Sebelum Nara melangkah lebih jauh, Nerissa mencegatnya. "Tidak usah bayarkan, biar aku saja. Kali ini nurut sama aku."

Nara terkekeh pelan, "Ge-er kamu, memangnya siapa yang mau bayarkan? Itu tugasmu, karena sudah panggil saya sebagai konsultan dadakan. Capek bicaranya."

"Enggak ikhlas," cibir Nerissa.

"Terserah lah. Saya duluan. Hati-hati kalau pulang."

"Paham bu."

Nara berlalu dari sana dengan langkah yang santai dan ringan. Dua gadis berbeda umur itu masih menatap Nara hingga gadis itu benar-benar hilang, tidak bisa dijangkau oleh penglihatan mereka lagi.

"Sahabatmu keren kak."

Nerissa mengangguk, "Tahu, Nara kan memang begitu."

Gadis muda itu mengangguk, "Tapi kak seriusan, enggak pernah aku temui gadis macam sahabatmu."

"Iyalah, one and only."