AFFAIR WITH INFIDELITY 1

".... pernahkah kau berpikir bahwa pernikahan faktanya rantai penjara?"

AFFAIR WITH INFIDELITY

by Kinnporche_STAND

Ini merupakan kisah tentangku: Apo Nattawin Wattanagitiphat. Seorang lelaki berusia 29, kelahiran Huahin, pekerjaan jaksa, memiliki satu istri, dan dua anak yang masih kecil.

Saat jenjang SMA, bayanganku soal pernikahan muncul ketika mulai jatuh cinta. Gadis cantik itu bernama Davikah, sangat memesona. Dan merupakan siswi pindahan dari kota sebelah. Davikah ini ramah, meski baru duduk di sebelahku. Perangainya lembut, tutur katanya baik. Dan tatapan matanya hangat hingga aku ingin memilikinya.

Sebagai lelaki, aku ingin bibir itu menyambutku dengan sebutan "Sayang" tiap pulang kerja, dan mata itu menatapku membara ketika bercinta. Karena itulah, kucoba untuk memahami apa maunya, dan aku jatuh bangun memperjuangkan profesi ini agar mengesankan dia. Dari segi gaji, menurutku ini cukup untuk mewujudkan resepsi besar ala impiannya. Kami menikah di ballroom hotel mewah dengan tema Disney Princess, sehingga aku seperti pangeran dan dirinya bak puteri raja.

Bagiku, ciuman kami di altar itu sangat menakjubkan, sebab akhirnya bisa kuekspresikan  keindahan cinta ini dengan cara sewajarnya. Sebagai lelaki aku merasa bangga pada diri sendiri, dan daguku naik saat menerima jabatan dari para tamu. Mereka yang terdiri dari keluarga, kerabat, teman kuliah, teman sekolah, sahabat dekat, dan lain sebagainya--semua memberikan selamat dengan amplop hadiah kepada kami. Dan kami pun menerima dengan suka cita.

Kupikir setelah itu aku bisa jadi kepala keluarga hebat. Sebab aku belajar parenting ketika Davikah hamil demi mempersiapkan menjadi Ayah. Setiap istriku muntah atau ngidam yang kurasa justru bahagia. Sebab bisa bisa kubayangkan anak pertama kami memanggilku "Daddy", tapi kehidupan pernikahan memang tak selalu mulus. Kami pernah debat karena masalah nama. Sebab aku ingin anak ini dipanggil "สิงห์" yang berarti Singa, tapi Davikah ngotot ingin memberinya nama "Chris" sebelum margaku.

Baiklah, karena aku tak ingin masalah akhirnya kubiarkan saja. Toh Davikah memang suka dengan film-film barat. Setiap akhir pekan dia sering mengajakku pergi ke bioskop, dan di sana aku tahu ada beberapa aktor tampan. Ada yang namanya Chris Evans, si pemeran Captain America. Ada juga yang bernama Chris Hemsworth, si pemeran Thor heroik dalam Kerajaan Asgard.

Aku hapal karena ingin masuk dunia Davikah, sehingga paham ketika mendengarkan dia cerita sepulang dari bioskop. Padahal jujur aku lebih suka serial Bollywood --Hei, jangan tertawa karena Hrithik Roshan sangat tampan, belum lagi cantiknya Kareena Kapoor. Namun, menjadi husband material itu sangat penting, sehingga kuharap Davikah merasa beruntung karena menikah denganku.

Aku sisihkan uang khusus untuk belanja bulanan--lengkap senang-senang Davikah. Dan kutabung uang demi merayakan ulang tahun serta anniversary kami. Urusan skincare-nya juga kujatah, sehingga istriku bisa  perawatan di salon setiap bulan.

Serius, Davikah adalah sumber kebahagiaanku. Karena dia tersenyum, aku jadi semangat berkerja. Dia dandan stunning aku betah sekali di rumah. Maka jangan hina jika kelahiran Chris membuatku menangis. Bahkan aku pingsan saat Davikah pendarahan hebat. Aku overthinking hampir kehilangan dia. Dan sebutlah lebay tak masalah. Tapi kakiku menari saat mendapat kabar dia berhasil melewati operasi caesar.

"OH YA TUHAAAAAAAAAN! TERIMA KASIH KAJOL-KU SELAMAAAAAAAAAT!"

Orang-orang di lorong RS pun tertawa, tapi mungkin itu hanya wujud dari perasaanku yang terlampau bahagia. Aku kelepasan koreo lagu "You're My Sonia", tapi jangan bohong kau tak tahu serial movie Kabhi Kushi Kabhi Gham.

Di situ lagunya tentang memuja kekasih. Dan Hrithik Roshan membawa gitar sambil fingerstyle. Dan aku menirunya saat menyanyi dan berputar seang  (bisa kau bayangkan betapa memalukan aku pada waktu itu bukan?). Usai dibersihkan kugendong baby Chris seperti piala. Lalu kuciumi pipi merahnya seolah baru saja menang. Aku pun menunjukkan Chris kepada orangtua dan mertuaku. Lantas kuadakan pesta besar untuk menyambut dirinya. Aku senang sekali, astaga! Aku sekarang menjadi Ayah! Apakah aku sekarang bermimpi? Dia betul-betul darah dagingku dengan Davikah!

"SAYAAAAAAANG! LIHAT AKU BAWA APAAAAAAAA!"

Sejak saat itu, kehidupan pernikahan kami pun lebih berwarna. Ada bayi, tangisan, tawa, memori, foto keluarga, dan tentu saja anggaran yang lebih besar. Memiliki bayi berarti aku bertanggung jawab atas stroller, susu, dan popoknya. Belum lagi babysitter karena Davikah ingin menyempatkan waktu untuk dirinya sendiri. Kulihat dia rajin olahraga usai melahirkan. Dan kurasa itu wajar karena dia  punya bentuk tubuh bodygoal. Kurasa itu harga sepadan jika aku ingin istri bidadari, maka kupotong uang sakuku sendiri jadi jarang jajan di luaran.

Jajan asli lho, maksudku. Aku ini pecinta kuliner manis seperti croissant, es krim, dan lain-lain. Maka tolong jangan berpikiran bahwa diriku melirik wanita lain jika konteks pikiranmu ke arah sana. Sayang, kebahagiaanku itu ternyata tak lama. Karena Davikah marah setelah tahu dia hamil anak kami yang kedua.

Jaraknya hanya 9 bulan, ya ampun. Dia kesal karena baru sukses diet, tapi harus melar lagi. Sehingga kami pun akhirnya berdebat hebat. Davikah ingin aborsi, tapi aku melarangnya. Dan dia memakiku karena pernah lupa memakai kondom seks. Padahal aku tak masalah menanggung satu bayi lagi, tapi namanya beda pemikiran tetap saja sulit.

Lagipula, kasihan Chris kan kalau nanti main sendiri? Aku ingin anakku punya teman saat kutinggal bekerja, tapi bagi Davikah yang merupakan pegawai, dia mau segera kembali ke kantor demi sisi dominasi dia.

Davikah memang tidak mau mengambil cuti lama-lama, dan aku menangis karena dia membanting pintu kamar di depan mataku.

"POKOKNYA AKU TIDAK MAU TAHU! BESOK ABORSI, APO! AKU AKAN BERANGKAT SENDIRI KALAU KAU TAK MAU MENGANTARKAN!"

"DAVIKAH! DAVIKAH! SAYANG! DAVIKAH! SAYANG!"

Davikah tetap tidak mau membukakan pintu. Jadilah aku berbaring di sofa ruang tamu untuk pertama kalinya. Namun, itu tidak lama. Baru saja 10 menit, Chris sudah menangis kencang dari kamar bayi. Sehingga aku pun berlari untuk menangani. Davikah yang tantrum pasti memberiku pelajaran lebih. Terbukti dia tak keluar saat aku menggendong Chris yang harus puas dengan susu botol saja.

"OEEEEEEEE!! OEEEEEEEE!! OEEEEEEE!! OEEEEEEEEEEEE!!"

jerit Chris di pelukanku.

Kupikir itu adalah momen aku kehilangan istri semalam. Tapi ternyata menjadi titik awal dimana kami harus berpisah selama-lamanya.

Oke, oke. Sebetulnya semua berawal begini. Pagi itu aku menunggu Davikah di pintu kamar untuk berbicara, lalu kubujuk dia untuk tidak melukai diri sendiri. Bagaimana pun aborsi beresiko pada pendarahan hebat lagi, dan aku tak mau membayangkan kematian memisahkan kita.

Davikah pun kuberikan berbagai macam pilihan, tapi ternyata aku tidak diberikan kesempatan. Istriku makin marah hingga dia pergi ke dokter sendiri. Dan dia ngotot masuk lift RS tanpa menungguku lagi. Tentu saja aku berteriak untuk menghentikan. Lalu naik tangga darurat demi menyusul langkahnya. Sayang nyatanya masih tak sempat. Sebab Davikah menghilang tanpa bisa menemukan dia.

"DAVIKAH! DAVIKAH! SAYANG!"

Aku malah ditegur oleh beberapa suster lewat. Sebab katanya aku berisik di areal yang dilarang. Seketika aku pun bingung di lorong tersebut, tahu-tahu Davikah pergi dari parkiran melalui dinding kaca. Ya Tuhan, seriusan?! Sejak kapan dia turun lagi? Dari mana? Kenapa aku tidak lihat?!

Singkat cerita, hari itu Davikah benar-benar aborsi di rumah sakit lain yang lain. Aku kecolongan, lalu dia memblokir nomorku sementara waktu. Istriku juga mematikan ponsel agar (mungkin) tak diganggu. Barulah dua hari kemudian dia pulang, tapi semua sudah berakhir.

Saat kami bertemu, dia menatapku penuh kebencian. Seolah-olah tujuannya aman tanpa kematian itu sudah terbukti. Posisiku sebagai suami pun seolah tersalahkan. Dan  menurutnya pendapatku malah keliru. Davikah pun semakin menunjukkan sisi dominasi dia. Wajahnya tampak kecewa karena aku tak melihat sudut pandang dia, tapi lihat ... Chris demam di pelukanku tanpa dia tahu, dan aku yang menangis karena Chris malah dikatai lemah.

"Dua Minggu lagi aku akan tetap bekerja. Jadi kau takkan bisa menghentikanku mulai sekarang," kata Davikah saat mengambil Chris dari tanganku.

Dia memang menyusui Chris setelah itu, kutatap dia, tapi menurutku peran Davikah tidak lebih dari ibu susu. Dia tidak peduli bagaimana pendidikan Chris di masa depan. Tetap keras kepala, sehingga aku pun memilih untuk menenangkan diri. "Kalau begitu maaf jika aku memang salah. Kita bicara lagi besok pagi. Sekarang aku pergi dulu untuk menyendiri."

"Hm."

Namun, Davikah samasekali tidak menghentikanku. Seolah pertengkaran ini ada unsur hilang cinta, bukannya cek-cok rumah tangga semata. Ya, setidaknya itu hanyalah firasat pada awalnya. Aku pun keluar kamar menggunakan tangga kayu, tapi sebelum keluar kulihat ponsel istriku bergetar-getar.

Benda itu berada di atas TV. Menyala dengan lampu layar yang berkedip. Lalu aku menilik siapa si penelepon. Nama kontak pun tertera begitu jelas (Chris Zeelenberg), membuatku terpatung sesaat dengan jantung kosong.

"Chris? Kenapa namanya mirip anakku?" gumamku, lalu mengangkat telepon tersebut. Tentu saja langsung dijawab. Tapi apa kau tahu bagaimana si Chris menyapa?

"Halo, Honey? Bagaimana kabarmu hari ini? Baik? Kita ketemu pekan depan bisa? Kau kan bilang mau aktif bekerja. Jangan dulu lah ... katanya mau jalan-jalan denganku ...."

Seperti tersambar petir, aku pun bingung dan langsung terdiam. Tapi bukan aku jika langsung kabur begitu saja. Kujawab, "Halo juga, ini aku Apo Nattawin. Aku suaminya Davikah. Jadi, kau sendiri sebetulnya kau siapa?"

.... tuuuts, tuuuts, tuuuts, tuuts ....

Dan jawabannya pun jelas ketika telepon berakhir. Hanya saja ini berat, karena aku tak pernah menyangka Davikah selingkuh.

Terlepas siapa Chris sebelum dan sesudah kita menikah, sebetulnya aku ingin tahu bagaimana perasaan Davikah selama ini. Apakah sebetulnya si Chris tidak tahu istriku punya bayi. Sehingga aku meletakkan ponsel dan mencoba tenang.

Bagiku ini aneh karena mungkin aku punya suatu kesalahan. Sehingga kupikir ada sesuatu yang mungkin terlewat selama ini--tunggu, apakah aku tak cukup memberikan uang belanja? Atau aku masih kurang perhatian dengan body-care Davikah tiap di salon?

Aku pun mencoba menemukan apa masalahnya, tapi otak ini rasanya buntu sekali. Kurasa kita hanya membutuhkan suatu komunikasi, karena selain anak aku memikirkan mahligai rumah tangga ini. Bagaimana jika orangtuaku nanti tahu? Apakah mereka akan kecewa padaku karena gagal menjadi suami? Atau justru menghina aku tak becus memilih spek istri selama ini? Aku pun tak bisa tenang hingga insomnia. Lalu keluar untuk jalan-jalan sebentar di sebuah taman kota.

Kubeli rokok untuk melepaskan beban hati, tapi aku bukan pecandu melainkan hanya butuh pelampiasan. Mungkin dengan begitu dadaku nanti mendingan. Sadar-sadar aku menghabiskan dua puntung rokok, lalu berniat pulang setelah menambah satu.

Ah, setidaknya itu memang ada niatan. Sayang saat puntung ketiga, seseorang memanggilku dari belakang, padahal itu sudah pukul 12 lebih. heiii! "Hei, kau. Punya pemantik tidak?" tanyanya.  "Aku juga ingin merokok di sini. Tapi sepertinya punyaku tertinggal di rumah  ...."

"Oh ... ada," kataku setelah menoleh. Ternyata itu adalah pria yang amat tampan. Bersetelan suit hitam-hitam, tapi kulitnya putih sehingga makin menawan karena badan yang kekar. "Sebentar, tadi sepertinya masuk kantor ...." Aku pun segera meraba saku.

"Ah, kelamaan."

"Eh--"

Pria itu malah menjambak kerahku, mengadu rokok kami agar bara-nya berpindah, lalu matanya terpejam teduh hingga aku tidak bisa mengalihkan perhatian.

"Hmm, lezat. Hmm ...." desah pria itu setelah rokoknya menyala. Dia pun menjauh dan kembali berdiri tegak, sementara aku terbengong karena sadar sosok itu lebih tampan dari jarak dekat. "Kenapa? Ada yang salah dengan wajahku?" tanyanya sambil menghembuskan asap lewat hidung.

"Ah, tidak-tidak. Aku hanya heran kenapa kau ada di sini--I mean, dengan penampilan yang seperti itu? Kau seperti baru menghadiri pesta atau semacamnya."

"Ya, memang. Ada yang salah kalau aku mencari udara segar?"

"Tidak juga, cuman kan--"

"Aku ini fashion forecaster, Bung. Kerjaanku pindah-pindah sesuai projek penyewa. Sebab aku freelancer, tapi ada juga orang sepertiku yang ikut agensi."

"Hah? Fashion apa--?"

Pria itu memutar matanya. "Sudahlah, lupakan. Kau takkan paham meski kujabarkan. Lagipula kau sendiri kenapa? Matamu merah seperti orang kurang tidur, padahal kulihat usiamu pasti lebih muda dariku. So what?" tanyanya seolah tanpa beban.

Aku menilai pria ini mungkin masih lajang, tipe semaunya. Tapi kalau melihat cara bicaranya, kemungkinan sisi kasar itu muncul bukan berarti tanpa tanggung jawab. Sayang, menceritakan kesedihan pada orang asing bukanlah gayaku. Maka lebih baik tersenyum saja lalu cepat pergi dari sini.

"Ah, anu ... terima kasih sudah bertanya. Aku tidak apa-apa kok. Besok pasti ada kabar baik. Selamat malam ...."

"Ha?"

"Senang sudah bertemu denganmu malam ini ..."

Aku pun masuk ke mobil. Cepat menjauh, dan kupikir itu adalah pertama dan terakhir kami bertemu dalam hidup ini.

Bersambung ....