AFFAIR WITH INFIDELITY 2

Sayang, ternyata aku keliru lagi.

Setelah pulang aku dihadang di teras rumah. Istriku tak tidur, malahan menanyakan kenapa aku mengangkat telepon Chris sebelum pergi. Davikah bilang dia kecewa karena Chris marah kepadanya, dan semua ini gara-gara aku.

Aku pun mencoba muluruskan tapi dia menuduhku. Lalu kami cek-cok parah karena sama-sama tak terima. Aku sebagai suami merasa dia yang keliru, dan dia sebagai istri mengakui bahwa perselingkuhannya nyata. Aku pun syok akhirnya Davikah  menyerah juga, seolah-olah upayaku mencari ketenangan tadi tak berguna. Istriku bilang dia kecewa setelah tiga bulan pernikahan kami. Bukan karena sodokanku kurang bertenaga, tapi lebih kepada masalah rasa.

Davikah merasa menikah denganku tak seindah saat berpacaran. Padahal kami sudah bertahan dalam romansa 9 tahun-an. Davikah berpikir aku beda orang sehingga hilang ekspektasi. Dan katanya aku memalukan jika betul-betul berekspresi cinta. Dia tak pernah bilang, tapi punya borok di dalam dada. Puncaknya Davikah bercerita tentang tarianku di lorong RS ketika Chris dilahirkan.

Usut punya usut videonya cuma beberapa detik. Tapi ada orang yang merekam kejadiannya hingga menjadi bahan ledekan (setidaknya pada waktu itu). ketika aku kerja dia menerima banyak godaan serupa (yang konteksnya bercanda tapi sangat menyinggung hati), dan para sohib Davikah menjadikannya bahan obrolan dimana-mana. Di grup chat, saat menjenguk bayi, di kantor .... tapi Davikah tak bilang padaku, melainkan menyimpan malu punya suami sepertiku.

"OKE! KAU TIDAK SERANDOM ITU KETIKA KITA BERPACARAN, AKU MASIH BIASA, APO. TAPI KENAPA KAU TIDAK BISA MENAHAN DIRI?! ITU TEMPAT UMUM! BISA PAHAM TIDAK?! AKU PIKIR KAU MASIH BISA MEMBEDAKAN!"

Hal yang membuatku sungguh tak mengerti. Sebab ini sepele tapi Davikah menerimanya serius sekali. Aku pun seketika benci diriku sendiri. Dan aku minta maaf sudah menjadi suami yang aneh baginya. Aku juga berjanji akan berubah, dan kuajak dia pindah kalau rasa malunya terlampau parah.

"Mari pergi ke tempat lain, Sayangku. Mari kita bertiga di tempat orang samasekali tidak mengenal kita."

Namun, rupa-rupanya solusi itu tidak diterima Davikah. Mungkin video hanya menjadi alasan saja. Sebab nyatanya istriku hilang  posisiku sudah terganti. Dan dia berharap hubungan kita cepat berakhir. Soal baby Chris, usut punya  usut dia akan diterima Chris, asal bayi itu dinamai sama dengan pacar istriku. Jadi (katanya) itu merupakan bukti Davikah serius ingin lepas dari seorang Apo Nattawin.

Ah, kurasa kekecewaan Davikah padaku melampui hal-hal yang bisa otakku mengerti. Bukankah itu menunjukkan hubungan gelap mereka jauh sebelumnya? Kenapa malah videoku yang disalahkan? Aku pun mencoba bertahan karena ini rasanya tak adil. Namun, menanggung cinta sendiri samasekali tak mudah.

Davikah akhirnya bicara semakin banyak--intinya dia bosan padaku--dan ingin membuang pernikahan kita. Ah ... bolehkah aku merasa sakit hati? Kenapa jika bosan dia mau-mau saja kunikahi? Atau melahirkan anak biologisku? Oh .... mungkin ini seperti lelucon baginya ya? Salahkah jika aku pantas diberikan kesempatan?

"TIDAK YA TIDAK, APO! HARUSNYA KITA TAK PERLU BERCERAI SAMPAI KAU MERECOKI HUBUNGAN KAMI!"

"Apa?"

Aku pun marah karena ini sudah keterlaluan. Lalu kubanting pintu kamar dan kukunci dari sisi dalam. Kuwawancarai Davikah lebih banyak soal hubungan gelapnya dengan si Chris itu, dan ternyata Chris merupakan atasannya di kantor sana.

Chris jelas memiliki gaji yang lebih besar dariku. Lebih mapan karena dia punya usaha pribadi, tapi status profesinya aman karena mereka beda divisi. Chris dan Davikah takkan dipecat jika memiliki hubungan romansa, lantas bagaimana peranku di sini karena tidak jadi pertimbangan?

Aku kesal karena ini merembet kemana-mana. Lalu kusetubuhi istriku secara paksa. Sebagai suami, kulampiaskan perasaan kecewa ini dengan meraup tubuhnya. Tapi sumpah demi Tuhan aku tidak menyakiti Davikah hanya karena emosi semata. Aku cukup mengikat istriku di atas ranjang dengan penisku di dalam. Walau, ya ... kupastikan sodokanku hebat hingga paha-pahanya gemetar senang.

Aku yakin, sebagai lelaki keperkasaanku tak selemah perasaanku, dan peranku sebagai suami sanggup memenuhi hasrat tiap kali vaginanya butuh dihangatkan. Aku tunjukkan dominasiku melebihi bayangan dirinya, dan dia menjerit minta ampun karena sisi liarku ternyata segelap itu.

Davikah pun menangis hingga wajahnya merah semua. Lalu aku bilang pasti dia kumaafkan asalkan kita kembali seperti dulu.

"Hiks, hiks, hiks ... hiks ... iya, pindah. Pindah ... aku tak mau di sini lagi ...." kata Davikah karena (katanya) kepalang malu. Padahal kata-katanya tak singkron, tapi aku tak masalah asalkan dia mau patuh padaku.

Lagipula si Chris ini sudah terlampau murka, sehingga pagi itu dia minta putus karena sudah terlampau kecewa. Tapi entah angin macam apa yang membuat lelaki itu berubah pikiran. Kini posisi istriku merupakan wanita yang tak diinginkan. Kecuali olehku suaminya yang masih memegang segala kendali. Mulai kehidupan normal, uang, harga diri, dan masih banyak lainnya ... terutama perlindungan yang masih dia butuhkan.

Davikah pun terserang mental karena penolakan dan rasa terasing. Sehingga mau tak mau harus bertahan denganku mulai sekarang. Istriku bilang dia tidak sanggup menunjukkan muka kepada Chris di kantor seperti dulu. Lalu Davikah menurut pada tahun berikut-berikutnya. Dari Bangkok kita menuju Washington agar sekalian jauh. Dan keputusan itu tepat karena Davikah langsung hamil anak kedua kami di sana.

Aku juga tidak pernah lagi menunjukkan sisi gilaku kepada Bollywood. Baik di dalam maupun di luar rumah, dan kurubah diriku demi istriku tercinta. Namun, menonton serialnya tetap kulakukan. Tapi cukup menggunakan ponsel atau laptop lengkap headphone agar percakapannya kudengar sendiri.

Lupakan hari-hari aku yang ekspresif seperti dulu. Sebab aku kini menjadi sosok suami yang lebih husband material. Biarkan Davikah mendapatkan sosok suami yang paling dirinya mau. Tentu saja, rutinitas menonton bioskop Barat tetap dilakukan pada wilayah sarangnya. Dan aku menyimak kesenangan Davikah seperti sebelumnya.

Sudah, begitu saja.

Kami pun menjadi suami-istri yang harmonis seperti dulu. Tapi kata harmonis tak selalu mewakili keutuhan hati. Aku sadar Davikah sering murung saat sendirian, tapi saat kutanya kenapa dia bilang tidak apa-apa. Istriku pun melahirkan anak perempuan kami setelah 9 bulan. Kali ini normal, dan dia tersenyum kecil karena aku menimang Bella tetap dengan suka cita.

Rasa-rasanya kudapatkan sisi Davikah yang kuingini sejak dulu (patuh dan menjadi ibu rumah tangga saja), tapi jujur aku sendiri mulai tidak bahagia. Aku sedih melihatnya suka menangis diam-diam, dan lagi-lagi tidak memakai dadaku sebagai sandaran.

Davikah mungkin menganggap aku sebagai penjara jahat, tapi percayalah ini kulakukan demi melindungi keluarga kami. Aku ingin Davikah tidak abai ke anak-anak hanya demi karir. Toh aku sendiri masih mampu menghidupi kami berempat.

Kubanting tulang selama di Washington meski pengeluaran semakin besar, dan tahun pertama kami di sana menghabiskan tabungan. Jujur aku butuh waktu untuk terbiasa dengan gaya hidup Amerika. Juga bagaimana cara mengira anggaran belanja berdasarkan dolar mahal.

Namun, bukan aku jika tidak tahan banting. Karena aku bisa menabung lagi di tahun kedua. Saat ini anak pertamaku sudah harus masuk usia sekolah (Chris kuganti namanya menjadi Eden agar tidak ada bayang-bayang si selingkuhan di KK baru) karena aku hanya mengizinkan nama Apo, Davikah, Eden, dan Bella menjadi satu pasukan Nattawin. Hanya saja kenangan hitam membayangi kami, dan itu terbukti setelah kebersamaan berlalu cukup lama.

Saat Eden berusia 5 dan Bella 4 mereka lari-lari di halaman. Lalu keduanya jatuh bertimpaan hingga kepala Eden membentur sebuah batu. Dia mengalami pendarahan hingga harus dapat donor darah, tapi dokter bilang diantara aku dan Davikah tak ada yang cocok dengannya.

Aku pun syok karena menyadari alasannya jelas, dan masalah biologis ini tidak lagi bisa terbantahkan lagi. Saat Eden dinyatakan koma aku masih bersyukur orang baik yang darahnya sesuai, tapi tak kusangka prasangkaku dulu ikutan keliru.

"Hiks, hiks, hiks, hiks, hiks ... maafkan aku, Apo. Aku benar-benar minta maaf ...." rintih Davikah di kursi tunggu RS  itu. Dia berlutut padaku di lantai tanpa peduli, dan kedua lengannya memeluk pinggangku yang tengah duduk di atas.

"Oh, Tuhan. Aku sudah tidak tahu lagi," kataku. "Tapi bagaimana bisa kalian melakukan itu? Sejak kapan, Sayang? Kapan dan dimana sampai Eden jadi anak dia?" lanjutku penuh kekecewaan.

Padahal dulu aku sengaja tidak tes DNA agar hal tersebut tak pernah kutahu. Dan aku memilih percaya keluarga ini bisa utuh kembali dengan meyakini apa yang ingin kuyakini. Namun, pengkhianatan Davikah terlalu lama (mungkin saat kami benar-benar baru menikah?) Buktinya aku tidak punya ruang untuk menjadi yang pertama lagi.

Aku tahu, masalahnya sebetulnya bukan di aku ....

Saat itu air mataku bercucuran, tapi semua sudah terlanjur. Sehingga dengan kepercayaan terkikis aku pun tes DNA untuk Bella sekalian. Akhirnya terbukti bahwa anak itu memanglah puteriku. Lantas bagaimana jika keluarga kami terlihat cacatnya? Aku tak punya pilihan kecuali tetap tanggung jawab sebagai  ayah. Namun, jujur sakit melihat Eden mulai sekarang. Meski dia sembuh, kekecewaanku selalu timbul. Dan Davikah memaklumi jika aku melakukan semuanya.

"Apo, ini bekal makan siangnya. Hari ini kasus yang kau tangani besar kan? Kau pasti butuh banyak tenag--"

"Maaf, aku ada acara di luar," tukasku cepat sebelum Davikah keluar dapur.

"Eh?"

Istriku pun berhenti di ambang pintu, aku menyimpulkan dasi sendiri, lalu keluar rumah tanpa melirik bekal hasil masakannya.

Oh, Davikah, Davikah, Davikah ... maaf aku butuh waktu untuk tenang dulu. Tidak sanggup melihat wajah Eden di rumah. Atau makan hasil kreasi tanganmu yang menggamparku dari banyak sisi. Aku pun berangkat ke pengadilan tanpa sarapan. Melakukan tugas jaksa seperti biasa, lalu duduk linglung sendiri di sebuah restoran.

Ketiga piring pesanan tak menarik hati, padahal perutku lapar karena ini sudah pukul 2 siang. Aku pun ingin menangis hanya karena menyendok carbonara. Apalagi holy smokes mahal itu hanya menguras kantongku. Jariku pun gemetar karena harapan indah yang hancur, padahal saat kami pacaran minim drama yang seperti ini.

"Ha ha ha ha ha ha ...."

Apakah seharusnya dulu aku tak meminta Davikah kembali?

Mungkin Davikah setega itu karena tahu Eden bukanlah anakku. Dan dia pun berupaya menyakitiku agar menyerah saja di akhir. Dengan begitu Eden akan bersama ayah kandungnya, si Chris. Dan Davikah pun bisa mewujudkan impian bersama lelaki itu.

Aku sendiri tak perlu repot-repot mengajaknya pindah ke negeri orang. Bahkan Bella tidak perlu lahir karena hadirnya kini membebaniku. Bella ibarat tali terkuat yang menjerat leherku, tak memberikan pilihan. Karena dia memang darah dagingku sendiri. Bella membuatku berpikir harus bertahan meskipun muak, dan carbonara ini wajib kumakan walau gigiku tak kuat mengunyah lagi.

"Hei, jorok. Jangan makan sambil menangis begitu ...."

Aku pun mengabaikan suara di sekitar meja. Lanjut menyuap agar bisa tetap hidup. Karena aku berharap masa depan bisa lebih cerah. Bahkan meski sapu tangan disodorkan ke muka aku tak bisa melihat. Bola mataku kini sudah terlampau penuh, lalu kujejalkan fakta kehidupan ini seperti dulu aku menyuapi Eden.

Namun manusia punya batas kesabaran juga. Aku terbeku karena sapu tangan itu tiba-tiba menyapu wajahku. Mataku pun terbuka sejak hembusan napas  si pelaku menerpa hidungku (dia ternyata si pria tampan yang waktu itu) bedanya kini tidak membawa rokok seperti dulu.

"Why, ha? Ini sudah 4 tahun sejak hari itu. Tapi stress-mu malah bertambah lagi."

Aku pun menerima sapu tangan itu darinya. Meremasnya. Lalu menoleh ke sekitar karena pemandangan gay biasa di sini. Orang-orang takkan sungkan menunjukkan orientasi seksualnya. Bahkan ada yang lebih romantis karena mereka telah memakai cincin pasangan. Well, kurasa inilah bedanya Thailand dengan Amerika. Sebab di sini LGBT legal secara hukum dan dilindungi. Bukannya cuma sok-sok punya hubungan tapi sulit menuju ke peresmian.

"Kau ingat aku?"

"Tentu. Sejauh ini kan cuma kau lelaki Asia yang sangat cengeng?" kata pria itu, padahal sendirinya pun orang Asia. Dia kini duduk di depanku tanpa permisi, tapi aku paham sisi kasar itu tak sejalan dengan hati baiknya. Orang ini bahkan mengambil alih sendokku. Mencicipi hawaiian bistro pesananku. Barulah dia mengangkat tangan ke waiter karena inginkan menu yang sama.

"Iyakah? Sorry."

Aku pun mengusap air mataku. Lalu ikut makan dengan garpu yang masih tersisa. Dia tak kularang ikutan nimbrung terus menerus. Toh akhirnya pria ini membagi piring pesanannya denganku juga. Secara aneh kami akhirnya makan bersama. Satu sendok, satu garpu. Dan dia sengaja menjatuhkan piranti makannya ke lantai agar tetap gantian denganku.

Hei, kenapa? Jangan bilang lelaki ini pun sebenarnya gay seperti mereka?

"Kau benar. Aku gay. Kenapa? Apa kau takut padaku?" tanyanya seolah bisa menembus isi kepalaku. Aku pun  tersedak karena dia menatapku lurus. Lalu segera mundur untuk minum pelan-pelan. Secara jujur aku pun menggeleng-geleng, toh sebetulnya aku sudah menikah. Kuterangkan bahwa aku adalah seorang Ayah. Punya anak-istri, dan mereka masih lengkap di rumah.

"Ha ha ha, oke. Tapi kau tidak terlihat selengkap keluargamu?" cibirnya, tapi aneh aku tidak marah karena memang begitulah kebenarannya. Malahan kami lanjut makan hingga suapan terakhir. Seolah-olah pertanyaan ini tak pernah kudengar saja.

Begitu kenyang, aku pun berterima kasih sebelum pergi. Bedanya dia tidak melepaskanku seperti dulu. Pria ini mengejarku sampai ke parkiran. Tak peduli uangnya ada kembalian. Lalu menangkap tanganku sambil bertanya, "Apa kalau kuabaikan kau akan begini lagi?"

.... tetapi aku hanya terdiam.

Ralat, diam sambil mengizinkan dia terus menggenggamku lebih tepatnya. Namun, sebagai lelaki otak logikaku masih gencar. Sehingga kulepas dirinya karena realita di depan mata. "Well, bukankah ini samasekali bukan urusanmu?" kataku. Berharap ini segera berakhir.

"Ponselmu."

"Apa."

"Kalau begitu biar kumasukkan dulu nomorku ke sana," kata pria itu sambil meraba bokongku. Dia tidak sungkan mencari gadged bahkan meski banyak orang lewat. Lalu berkata dia bisa dihubungi kapan pun butuh bantuan.

Shit! Tapi bantuan seperti apa yang akan pria gay berikan?

Aku pun hanya mengangguk paham, tapi kurasa ada yang lebih penting kulakukan daripada menerima bantuannya.

"Aku ingin kita bercerai," kataku pada Davikah setelah pulang. Kini kubuat cinta pertamaku ikut merasakan sambaran petir yang perih. Dia pun menangis, tapi maaf aku tidak bisa lagi berpijak di tempat ini.

"Hiks, hiks, hiks ... tidak! Apo! Tidak! Tidak! Aku akan berubah untukmu, ya? Aku janji akan lebih baik mulai sekarang ... hiks, hiks, hiks ...."

"Maaf."

Sore itu, aku pun membanting pintu untuk Davikah seperti dia pernah melakukannya padaku. Walau dada ini sakit juga saat membalik meja di dalam kamar

"ARRRGHHHHHHHHHHHH! BRENGSEK! MATI SAJA KAU ATAU MENGHILANG DARI MATAKU!" teriakku sambil memporak-porandakan segala benda.

Bersambung ....