AFFAIR WITH INFIDELITY 3

Dua Minggu kemudian, persiapan sidang cerai pun sudah siap. Dan sebagai jaksa aku paling paham cara melobi orang untuk mempercepat jadwal ketuk palu. Kini aku tidak ragu seperti dulu. Sebab baru menikah, Davikah sudah manipulatif padaku. Aku pun merasa wanita ini tak pantas jadi ibu anakku di masa depan. Toh usia kami masih sama-sama muda. Aku 35 dia baru 32. Biarlah dia rasakan menjadi wanita independen yang sejak dulu dia idamkan itu.

Kalau dia mau merawat Eden, silakan, atau kau menyebutku jahat betulan juga silahkan. Aku merasa harus menyelematkan mental health-ku sendiri, kecuali benar-benar mau dibuat gila oleh wanita ini.

"Kalau begitu terima kasih, Apo. Maaf selama ini aku sudah hadir dalam hidupmu," kata Davikah sambil menggendong Eden. Dia pun menjabat tanganku, sementara aku balas meremas tangannya dengan susah payah. Bukannya apa, tapi hak asuh Bella jatuh ke tanganku. Dan ini kita lakukan oleh kesepakatan bersama.

Davikah rela, karena dia merasa bersalah padaku. Sehingga petisi soal pembagian anak ini mau dia tanda tangani begitu saja. Kita pun akhirnya berpisah baik-baik. Lalu kuberikan jaminan 50% harta padanya untuk menata ulang hidup di kampung halaman.

Namun, aku sendiri menetap di Amerika karena terlampau nyaman. Apalagi kerjaanku sebagai jaksa sudah naik grade lagi pada tahun ini. Kartu green card juga sudah kukantungi bersamaan dengan Bella ulang tahun. Sehingga sebulan lagi kita resmi jadi warga baru di Negara Paman Sam ini.

Ya, walau tiga bulan pertama kujalani susah sekali. Sebab Bella menanyakan ibunya terus menerus, tapi maaf, Bella. Daddy memang sudah memisahkan kalian. Tapi suatu saat nanti kau pasti paham kenapa kulakukan ini.

"Dadddddyyyy! Mana hadiahu hali ini? Balbie balu? Au mau Ken si hensem yang waktu icu!" tanya Bella setelah terbiasa di bawah pengawasan babysitter. Aku memang sering memberikan hadiah setiap pulang. Apapun, sampai-sampai Bella bisa membuat toko mainannya sendiri.

"Iyaaaa, ada yang baru lhooo. Ini, lihat. Jreng! Jreng! Jreng! Taraaa! Barbie cantik Kareena Kapoor memakai sari! Ha ha ha ha ha! Keren kaaan?"

Bella 5 tahun yang baru melihat jenis ini pun tampak berkedip lucu. "Ih ih? Kok beda ya, Daddy? Dia ijak pacai gaun pesta dansa besal ...." komentarnya saat menerima benda tersebut.

Aku pun tertawa-tawa, lalu menggendong Bella ke dalam agar Bella tidak sangsi lagi. "Iya, memang beda, Honey. Tapi unik kan? Semua Barbie-Barbie-mu malah begitu saja."

"Oh ...."

"Kenapa? Kurang suka?"

Bella pun menggeleng pelan.

"Um, um. Tapi au iyin lihat pacalnya Kaleena Kapool  ...."

"Oh, ha ha ha ha ha! Adaaa! Dia masih di dalam ransel kok. Nanti Daddy tunjukkan lagi asal kamu sikat gigi dulu."

"Iyaa."

"Jangan lupa cuci muka dan kaki sebelum tidur! Pakai popok juga biar tidak ngompol lagi."

"Ugh, Dadddyyyy!"

"Ha ha ha ha ha ha ...."

Usai prosedur tidur dilakukan, aku pun menepati perkataanku. Kukeluarkan Ken versi Hritik Roshan. Lalu Bella memajang dua-duanya di atas nakas sebagai koleksi favorit. Dia tahu keseruan Bollywood sejak mulai kukenalkan, dan aku merasa lebih bahagia meskipun kini sendiri.

Kami sering nonton Bollywood bersama sejak aku beli TV 55 inch, dan Bella kadang menari random "Cubidu-bidu-bidu-bidu Rappa! Cubidu-bidu-bidu Rappa!" di rumah, padahal yang dia dipelajari dari guru les merupakan tarian balet. "HA HA HA HA HA HA! PINTAR! HA HA HA HA HA HA! KAU SUDAH MIRIP KAREENA KAPOOR! HA HA HA HA HA HA!"

Dari tali penjerat, Bella kini menjadi mood-booster-ku. Bahkan segala afeksi dan cinta kucurahkan kepada bocah manis tersebut. Kurayakan segala momen penting Bella tak hanya ulang tahunnya, dan tiap keinginan Bella pasti segera kupenuhi selama mampu.

"Daddy?"

"Hm?"

"Kita au kemana lagi? Bella kan tadi aunya beli ec klim! Kok pelginya malah ke cini?" tanya Bella sambil mengemut permen tusuknya. Di jok belakang, bocah itu menoleh ke luar jendela karena penasaran, sementara aku menyahut santai di balik kursi kemudi.

"Hm? Memangnya Bella tidak kangen kepada Mama? Sekarang kan ulang tahunnya kakakmu ...."

"Eh? Ummm ...."

Secara ajaib Bella tampak tidak ketergantungan lagi. Bahkan mukanya datar saja saat bertemu Davikah dan kakak (bukan kandung) nya.

"Selamat ulang tahun! Selamat ulang tahun! Selamat ulang tahun! Selamat untuk Eden sayang!" kata Davikah yang bertepuk tangan diantara yang lain.

Siang itu aku dan mantan istriku setuju bertemu, sebab Eden masih menanyakanku meski sudah punya calon ayah baru. Davikah rasa aku memang cinta pertamanya Eden. Hubungan kami sakral, maka jangan heran bila aku melihat seorang pria hanya menunggu di parkiran restoran.

"Siapa namanya, Davikah?" tanyaku di sela-sela mengunyah. "Apa sudah kau pastikan dia benar-benar tepat kali ini?"

Davikah pun berdehem karena tahu arah pembicaraan mereka. "Mario. Namanya Mario Maurer, Po. Kami bertemu di stasiun, tapi dia belum diterima Eden."

"Oh, kukira kau akan bersama Chris lagi."

Davikah pun tersenyum kecut, tapi dia lebih lega hati, meski disindir setiap kami bertemu. Aku sengaja melakukan itu agar ingat posisi kegagalan pernikahan itu, dan maaf saja aku bukan manusia yang terlalu baik.

Saat pulang, Aku pun menggandeng Bella keluar resto dengan wajah yang sama angkuhnya. Bak pasukan duo, tapi seorang pria justru tertawa melihat pemandangan yang kami ciptakan.

"Ha ha ha ha ha ha, kalian makin manis kalau akting seperti itu ...."  katanya, lalu muncul dari balik mobilku. Dia tampak merokok seperti pria yang familiar waktu itu, bedanya kini mengenakan baju santai. Setelah kutuduh menguntit dia justru menunjukkan kartu undangan kerja di tempat ini.

"Oh, seriusan?"

"Iya. Kau pikir kapan aku sengaja bertemu denganmu? Ha ha, tidak ya. Tapi beda lagi kalau kita memang jodoh ...."

"Apa katamu?"

"Sudahlah, terserah. Yang penting aku menyapamu. Bagus kalau kalian sudah mendapatkan kehidupan masing-masing."

Aku pun terpekur mendengar ocehan pria tampan ini. "...."

"So, kurasa aku paham apa yang sudah terjadi, walau tadi cuma melihat sekilas kalian makan semeja sambil menggosipkan pria tampan lain."

"Cih ... asapmu itu berbahaya untuk anakku," kataku segera ngeles. Aku menggandeng Bella untuk mendekati mobil, tapi pria itu malah menghadang anakku dengan berjongkok padanya.

"Oh, tidak. Tidak. Kenapa kau buru-buru? Aku kan mau menyapa calon anakku juga."

"What the fuck--?!"

"Hello, baby girl ...." kata pria itu sambil melemparkan puntung dari sela bibirnya. Pria ini bahkan berani menghembuskan napas di depan Bella, tapi rupanya dia tidak takut pelototanku, meski Bella batuk-batuk.

"Uhuk! Uhuk! Uhuk! Daddy ...."

"Wah, maaf ya, cantik. Kau terlalu cantik untuk kulewatkan begitu saja."

"Uhuk! Uhuk! Uhuk! Uhuk!"

Bella pun reda setelah beberapa detik, lalu dia menatap pria yang memperkenalkan diri sebagai "Mile Phakpum Anderson." Dia merupakan blasteran Thailand Amerika, pantas bisa tinggi dan putih seperti itu. Aku juga bingung kenapa kata-kata Mile bisa membius, bahkan kami rebutan Bella karena anakku memilih Mile setelah dijanjikan hadiah besar.

"Tidak, ya, Honey. Kita pulang sekarang. Daddy masih bisa belikan sendiri itu untukmu."

"Ijak au! Daddy jaat kalena belinya acih besok-besok!

"Hah?"

"Lihat kan? Dia aku menang 1:0, ha ha ha ha ha ...." kata Mile sambil menggandeng si bocah. "Ayo, Bella. Ikut Uncle ... kita borong banyak mainan keren di swalayan sekarang."

"AYO! HOLEEEEEEEEEEEEEE! YAAAAAAYYY!" seru Bella yang ikutan memutar ke mobil Mile. Aku pun melotot horor karena anaknya berubah seperti itu, padahal ke umumnya orang dia paling malas berekspresi bebas.

Apakah dia menyukaiku? Sial, jangan bilang bokongku akan terancam.

Tidak, ya. Tidak! Kalau sampai iya si gay ini main-main denganku, kupastikan dia yang kutusuk bukannya aku yang jadi korbannya--hei, enak saja kau remehkan burung yang sudah  menghasilkan anak ini.

Bersambung ....