Bella pun dimonopoli Mile sejak direbut dariku. Dan meski tak paham fashion forecaster jenis pekerjaan apa, pasti gaji Mile lebih tinggi dariku. Terbukti dia tidak ragu membelikan barang-barang ratusan dolar per bijinya untuk Bella. Lalu menggandeng anakku kemana-mana.
Kartuku serasa unfaedah karena tiap bayar pasti didului, dan akhirnya aku paham dia bertingkah menjadi Sugar Daddy.
Hei, plis lah. Aku tak setolol itu karena biasanya ini berlaku di film gay yang beredar. Dan faktanya orang seperti Mile suka hinggap semalam untuk mencoba bokong orang lain. Dia takkan memikirkan urusan Bella dan perasaanku, atau seberapa besar efeknya didekati secara romantis oleh pria gay saat aku tak tertarik ke arah sana.
Otakku pun tak bisa berhenti overthinking saat mengekori seharian. Lalu sorenya kuajak Mile bicara saat Bella sudah naik mobil.
"Mana nomor rekeningmu, kuganti sekarang uangnya."
"Tidak akan kuberikan."
"Hei, Mile."
"Phi Mile--ya. Tolong jaga tata krama karena aku ini lebih tua."
"Apa? Itu kan cuma asumsimu. Siapa bilang aku ini lebih muda?"
Kami pun berdebat seperti bocah di samping mobilku, sementara Bella enak-enak unboxing hadiah yang bertumpuk di sekitarnya. Jok belakang bahkan tidak muat hingga ada yang mengungsi ke bagasi. Dan Mile meletakkan paper bag besar di bagian kursi kemudi pertanda aku punya jatah hadiah sendiri.
Dia ini mau mengesankan ya? Oh ... maaf. Gratis memang enak, tapi tidak kalau jalurnya begini.
"Baiklah, baiklah. Coba saja kalau kau sesayang itu kepada harga dirimu," kata Mile sambil mengirim nomor rekening kepadaku. Itu membuatku terpaksa mengirimkan kontak ponsel kepada Mile untuk konfirmasi pembayaran, padahal aku tidak pernah menghubungi si gay ini sejak diberikan nomor waktu itu. "Tapi sekali kau lunasi, jangan kurang ya. Kuberi kau waktu sampai besok, atau jika tidak terima saja sebagai hadiah."
"Hei, kau--"
"Ini kuberikan sekalian total belanjanya."
Aku pun pun syok karena screenshot hasil QR belanjaan Mile gila sekali (dia sedang mengurasku ya?) karena aku bisa jual mobil kalau begini caranya. "Tunggu, tunggu, tunggu, tunggu, tunggu ... kau ini sebenarnya membeli apa saja untuk kami?"
"Coba tebak?"
Aku pun menjilat bibir karena mulai ketar-ketir, lalu diam saja saat dia berpamitan pergi. "Baiklah, senang melihatmu sudah happy lagi. Dan jaga anakmu mulai sekarang, oke? Jangan sampai kulihat kau menangis lagi kita berpapasan. Itu akan membuatku kepikiran."
"Tunggu, seandainya aku tidak bisa kembalikan besok--?!" tanyaku mencoba negosiasi. Mumpung dia belum hilang dari sini, aku pun butuh keringanan karena menjual mobil butuh proses untuk dapatkan pembeli tepat. "Bisa kan aku menemuimu satu Minggu lagi? Tolonglah, Phi Mile. Ini bukan lelucon karena jumlahnya banyak sekali."
"A date?"
"Hah? Jangan."
"Kalau begitu tempatnya di Wall-hoover Street, nomor 327. Restoran Italia, La Carte Miami. Pukul 10-12 siang besok. Dan itu adalah kencan ganti rugi kalau tidak sanggup transfer tepat waktu," kata Mile memutuskan secara sepihak. Dia menyeringai nakal seolah aku ini permainan, dan radar jengkelku auto memikirkan berapa banyak orang yang dia jerat sebelum aku. "Pastikan kulihat kau memakai setelan yang ada di kotak. Luar dalam lengkap. Jadi, kita buktikan saja siapa yang menang di ronde kedua. Kau atau aku, hm? Ingat kita hari ini sudah skor 2:0."
"Mein-hot, shit--!"
"Ha ha ha ha ha ha ... tenang saja, tenang saja. Kau pasti akan menikmati permainan ini."
Kata-katanya pun terngiang saat berjalan pergi, dan aku masih mengingatnya sampai di rumah. Parahnya selama ini aku tidak punya banyak relasi, sehingga penjualan mobil pun jadi susah. Aku membuat website dadakan, dan menelepon beberapa orang. Tapi siapa yang mau membayar kontan dengan waktu yang sesingkat itu? Mile Phakphum pasti sudah gila.
Dari situ aku jadi sadar bahwa selama ini terlalu fokus pada Davikah, sehingga duniaku berputar padanya sampai tidak memperhatikan diri sendiri. Mile seperti menyadarkanku untuk lebih peduli kepada sekitar, teman, relasi, lingkungan, dan masih banyak lainnya. Walau cara Mile memang terasa kekanakan, tapi bisa kupahami alasan dia melakukannya.
"Oh, ayolah, Tuan. Jangan terlalu semurah itu oke? Mobilku masih bagus, loh. Kau tidak bisa menawarnya sangat rendah hanya karena--"
"Kau ini sebetulnya butuh uang tidak sih?! Heran. Ingin A tapi banyak maunya. Sekalian saja tidak perlu kau tawarkan kendaraan itu--!!" hardik satu-satunya calon pembeliku yang datang semena-mena. Dia membandrol kendaraanku dengan separuh harga, padahal harusnya tidak sebegitunya.
"Ah! Kalau begitu, iya! Iya! Tak masalah! Maaf aku berubah pikiran! Cepat berikan saja uangnya, Tuan. Maaf aku tadi tidak berpikir sampai ke sana--"
"Alah! Tidak usahlah! Malas! Orang sepertimu ini akan selalu keras kepala!"
"Tidak, tunggu--"
Tuan O'Neill pun keluar rumah tanpa pamitan. Langsung pergi, sementara jantungku berdebar keras karena rasanya seperti mimpi. Tunggu, kenapa sih?
"Aku kan tidak harus menjualnya dahulu. Langsung diberikan saja kan masih bisa ...." gumamku karena tak mau terjepit. Percayalah seumur-umur aku tak pernah berhutang, kecuali saat tak sengaja menceburkan ponsel teman ketika SMA. Aku pun dimarahi Ibu habis-habisan. Membuatnya menangis karena kecerobohanku, tapi sejak itu kuterapkan kerja keras. Menjadi tertindas dan terpaksa bukanlah gayaku, kecuali aku sendiri memang mengizinkannya.
Ya, walaupun harga mobil ini pasti ada kelebihan uangnya. Namun, aku memilih tidak mau terbebani. Siap naik trem tiap pulang pergi kerja, semua demi eksistensiku sebagai lelaki.
"Oh, kau datang?"
"Iya, aku datang. Tapi tolong ambil kunci mobilku dan bawalah pulang," kataku pada keesokan pagi (atau menjelang siang?) waktu itu restoran La Carte Miami sedang ramai-ramainya. Karena memang masanya persiapan makan siang. "Tidak apa-apa, Phi Mile. Aku tak peduli dengan kelebihan uangnya. Jadi juallah sendiri, dan terima kasih juga atas kepedulianmu kemarin. Hanya saja, cukup. Kau tidak perlu lakukan hal ini lagi. Kita hentikan permainannya, dan kuharap kita tidak bertemu lagi."
"Ho ...."
Mile pun meletakkan buku menu untuk fokus padaku. Tapi rautnya tenang seolah sedang nonton pertunjukan saja. Dia notice aku pemberontak karena tidak mengenakan pakaian yang dia berikan (kok memakai, box-nya kubuka saja tidak sama sekali) karena aku berjanji akan menyelesaikan permasalahan terlebih dahulu baru melihat sumber konfliknya.
"Oke," kata Mile. Lalu mengantungi kunci mobilku. "Pembayaran masih bisa diterima. Tapi, kau yakin baik-baik saja setelah ini?"
"Apa?"
"Kau terlihat masih ingin menangis di depan mataku."
Sumpah Demi Tuhan cara Mile menyilangkan tangan sangat memuakkan, karena dia benar meski ini seolah bisa kulalui. Aku pun mengangguk dan pamit darinya. Seolah-olah momen dia mengusap air mataku dulu tak pernah ada.
Ini benar-benar selesai seperti yang kuinginkan, kan? Harusnya tanganku ringan saat mengayun ke arah taksi. Tapi rasanya tetap aneh karena aku tidak punya kendaraan lagi.
Jahatnya taksi-taksi itu tak ada yang mendekatiku. Sehingga aku harus berputar untuk pergi ke stasiun kereta (Ah, bedebah sekali dengan jam sibuk) Kuharap ada Mr. A di film Doom 3 datang di saat seperti ini. Dengan begitu aku bisa ikut dia pergi sambil bermotor Ducati merah. Melewati Silent Hill yang penuh kabut, mungkin? Lalu berteriak sesuka hati--
"Tunggu, jangan naik."
Plakh!
"Apa. Siapa--"
"Aku, ini aku."
Tiba-tiba saja Mile menangkap tanganku sebelum melewati loket. Lalu dia menarikku pergi diantara kerumunan orang-orang. Aku pun protes karena hilang kesempatan pulang cepat, apalagi tiketku menganggur karena keretanya pergi.
"Phi Mile! Hei, Phi--! Mile! Phi--!"
"Apa kau benar-benar benci dengan gay supertiku?"
"Hah?"
"Aku tanya apa kau se-homopobia itu sampai menilaiku negatif?"
Aku pun terdiam dan ikut saja kemana langkahnya pergi. Lalu memasukkanku ke dalam mobil sesampainya di parkiran resto. Sayang aku keluar lagi lewat pintu yang satunya. Barulah dia bengong, dan berteriak padaku. "HEI, BERHENTI TIDAK KAU APO NATTAWIN!"
Aku pun terkesiap sampai menoleh, dan mata Mile yang terluka betul-betul jauh dari ekspektasi.
"Aku hanya ingin bicara denganmu ...."
Oke? Jika benar begitu lantas apa selanjutnya?
Maksudku, buat apa dia bicara padaku? Urusan apa? Bukankah kita dua orang yang teramat asing? Memangnya ada masalah lain ya selain hutang kemarin?
Namun, aku tetap mengangguk dan menurutinya. Toh tak kegiatan lain juga. Hatiku terasa ringan karena tak ada beban hutang padanya lagi. Maka ini bisa diartikan dengan obrolan biasa.
"Oke, apa? Aku sudah di sini dan siap mendengarkanmu."
"Aku tertarik padamu."
.... what?
Tunggu--kenapa langsung to the point seperti itu? Dia sama sekali tidak memikirkan mental health-ku ya? Atau respon dariku, mungkin?
"Oh, sudah mengira kok. Terus kenapa? Aku tidak bisa berhubungan denganmu."
"Karena kau tidak menerima seks sesama pria?"
"Ya, tentu itu salah satu alasan terkuatnya."
"Selain itu?"
"Aku masih senang menjalani kehidupan sebagai single Daddy sementara ini. Fase jeda, Phi Mile. Aku capek berurusan dengan hubungan romansa karena ingat toxic-nya. Lagipula Bella tidak menuntut kehadiran Mama lagi setelah setahun ini."
"Oke, apa lagi selain itu?"
"Hah?"
"Kita di sini bicara sebagai dua orang dewasa, kan? Kurasa aku paham kenapa kau tidak suka meladeni permainanku."
"Oh ...."
Kuakui aku memang tipe orang yang serius di masalah serius, tapi random pada hal-hal yang sangat kusuka. Bagiku Mile ini benar-benar di luar garis, maka menurutku sudah benar kalau kuabaikan begitu saja.
"Ya, apa ya ... kau dan aku tidak saling mengenal? Kau orang dari antah berantah. Aku tidak paham sifat dan pemikiranmu seperti apa. Belum lagi aku trauma dengan istriku," jelasku. "Kami yang pacaran selama 9 tahun saja nyatanya gagal. Terus kau? Maaf ya. Beli kucing dalam karung bukanlah gayaku, apalagi main-main seperti ini."
"Ho, baik. Terus apa kau tak punya rencana menikah lagi?"
"Bisa jadi?"
"Terus dengan apa kau berencana menyelesaikan diri jika bergairah?"
"Apa katamu barusan?"
"Ya, kita realistis saja lah. Karena kupikir tipe setia sepertimu bukanlah orang yang menyewa pelacur. Jadi kupikir palingan solo sendiri ...."
Fuck, man! Kenapa lagi-lagi dia benar saat menilai diriku? Jangan-jangan Mile ini adalah psikolog? Aku curiga karena fashion forecaster itu pekerjaan yang belum pernah kudengar, maka perhatianku pun 100% menyelidiki dia. Sama seperti Mile yang penasaran padaku.
"Iya, kan kepuasan seksual sekarang bisa didapatkan dari apa saja. Caranya banyak dan alat yang membantu juga beragam. Kenapa aku harus memusingkan itu?"
"Terus?"
"Pokoknya berhubungan bagiku nomor sekian. Aku juga tidak harus ketergantungan lagi dengan manusia, toh aku masih bisa kerja sendiri."
"Dengan menyerahkan mobil dan besok siap bersusah payah?"
"Kenapa tidak? Semua orang pun biasa mengalami naik turun," kataku, walau mulai lelah dengan obrolan yang aneh ini. ".... bukan berarti dunia kiamat jika aku single, kan? Lagipula aku masih bernapas ...."
"Kau benar-benar suami pekerja keras ...."
"Aku tahu."
Usai menjawab pertanyaan, Mile pun memesan minum untuk kami berdua. Dia membiarkanku ganti rasa dengan air putih saja. Karena aku mending menanggung malu, daripada bahaya. Apalagi aku belum percaya dengan pria gay ini.
Mile mulai rileks, meski mata tetap jelalatan ke arahku. Sementara aku yang tadinya risih, kini mulai mengabaikan. Kami pun menikmati beberapa tegukan sebelum membuka obrolan lagi. Karena Mile bilang ingin mengutarakan sudut pandangnya.
"Ok? I'm trying to be ready for whatever you're going to say ...." kataku sambil meletakkan gelas yang habis separuh.
Mile memandangi gelas itu dengan mata yang tersinggung, tapi dia menyembunyikan emosi semacam itu begitu rapi.
"Aku tertarik padamu sejak kemarin."
Wah, jadi baru?
"Kenapa?"
Mile justru menggeleng dengan ekspresi datarnya. "Tidak tahu. Kepikiran saja kenapa kita bertemu berkali-kali?"
"For real?" Aku pun langsung tertawa. "Alasan lucu apa yang kudengar tadi? Orang lain rasanya juga begitu. Dunia kan memang sempit sekali."
"You're right, tapi tidak dengan yang berkali-kali menangis ...."
Aku pun terdiam saja. Padahal dalam hati ingin kusanggah Mile dengan perkataan 'tidak selalu menangis ya!' tapi maksud dia, mungkin tatapanku yang sedang terluka. Aku memang punya masalah sejak menikahi Davikah, dan faktanya Mile mengawalku di saat-saat gentingnya. Padahal pria ini tidak campur tangan dalam menghancurkan hubungan kami berdua, melainkan hanya muncul seperti cameo film.
.... atau jodoh?
Tidak, tidak. Aku tak sanggup berpikir ke arah sana. Karena jelas-jelas Mile itu berjakun dengan penis yang menggantung di dalam celananya.
"Oke, anggap saja itu seperti keajaiban," kataku pada akhirnya. "Terus poin apa lagi yang kau dapat dariku? Masak cuma karena aku bermasalah. Perceraianku kan selesai dan tinggal menunggu waktu sembuhnya. Ini sama sekali bukan wilayahmu."
"Ya, tapi aku merasa tidak bisa lama-lama menunggumu begitu."
"Ehem, sebentar ...." Aku pun minum untuk melegakan tenggorokan, juga karena kaget berdebar mendadak oleh perkataan sesama jenis.
"Aku kemarin hanya ingin menghiburmu."
".... terus membawaku ke hotel untuk berpedang?"
"Kalau mau?"
"Apa kau sering melakukan itu kepada pria lain juga?"
"Tentu, tapi kalau menolak pun tidak masalah. Aku bukan tipe pemaksa yang senang menyeret partner untuk one night stand jika dia tak mau."
"Oh ...."
"Lagipula apa enaknya kalau cuma asyik sendiri."
Sampai sini Mile membuktikan dia menang diriku 3:0, karena nyatanya aku betul-betul sempat berprasangka buruk padanya.
"Baik, noted. Tapi tujuanmu apa setelah itu?" tanyaku. "Misal kuterima hadiahnya tanpa jaminan, lalu kutolak ajakanmu juga ke hotel. Apa kau tak merasa rugi sudah mengejarku?"
"Sedikit."
"Kenapa sedikit?"
"Setidaknya aku pergi setelah memastikan kau baik-baik saja."
"Ehem, oke ...."
Sadar-sadar aku pun menandaskan isi gelasku. Sebab ke-intens-an obrolan kami benar-benar terasa sesaknya. Dia menyadari lalu memesankan gelas air minum lain, padahal aku tidak meminta sama sekali padanya.
Oke, Apo. Tenang dulu. Tenang ... ini tidak seperti aku benar-benar menyerahkan bokong kepadanya.
"Kalau yang kau tanyakan konteksnya serius atau tidak, jujur aku sendiri pun belum tahu," kata Mile tiba-tiba. "Tapi kau orang pertama yang kukejar setelah menolak permainanku. Jadi tinggal artikan saja yang kemarin sesukamu." Dia seolah berusaha membersihkan nama sebaik mungkin. Tidak mau membuatku salah paham lagi, dan penolakanku mungkin bencana baginya.
Seriusan?
"Hmm ... baik, baik. Terima kasih sudah meluruskan segalanya," kataku sambil menggenggam gelas air baru. "Tapi, Mile. Jawabanku masih tetap sama. Tidak dulu. Jadi semoga kau temukan pria lainnya."
"Hm ...."
Aku pun tersenyum manis padanya, pamit pulang baik-baik. Dan permainan pun berakhir di tempat itu.
Bersambung ....