Apakah ini bercanda?
Jawabannya adalah tidak. Sebab aku keluar rumah untuk menyetop taksi. Pergi ke tempat pertemuan tanpa berpikir, dan tujuanku adalah meminta maaf secara langsung kepada Mile.
Aku merasa tidak sopan telah menaruh prasangka beruntun padanya, padahal pria sebaik Mile sungguh eksis di dunia. Dia hidup, tapi dipandang sebelah mata oleh orang-orang sepertiku. Maka akan kukembalikan hak-haknya sebagai manusia siang ini.
Namun, ekspektasiku ternyata keliru lagi. Kupikir kita akan bertemu di restoran seperti dulu (tidak kulihat jeli lokasinya) tapi si sopir taksi membawaku ke tempat berbeda. Itu adalah gedung seni The Brook Heroism di Barker Street nomor 746. Sangat sepi, karena ramainya adalah di malam hari. Biasanya orang akan menonton show lukis pasir di dalam. Kadang juga Opera kecil tentang kisah cinta.
Kulihat Mile berdiri menunggu di sayap kiri sambil merokok. Tapi dia kelihatan gelisah. Terbukti bagaimana Mile melempar puntung rokoknya yang masih panjang. Lalu menggantinya dengan baru tanpa alasan. Dia menyalakan korek berulang kali karena emosional. Lalu mengembuskan asapnya ke udara sambil terpejam.
Hei, ada apa dengan pria ini?
Aku pun mendekat dengan langkah hati-hati. Tidak ada lagi Bella di tengah kami berdua. Tapi pernyataan Mile waktu itu tetap membuatku terperanjat.
"Hai, Phi Mile--"
"Boleh aku menciummu untuk terakhir kalinya?"
".... hah? Apa?"
"Aku ingin menciummu untuk terakhir kalinya," kata Mile untuk menekankan sekali lagi. Dia menatapku seolah memendam rindu yang amat dalam, tapi kakinya tetap di tempat dengan rokok diantara sela jari.
Aku yakin pria ini sudah di batas akhirnya, ingin melepasku. Tapi mungkin akan jadi gila jika aku tetap tidak mengizinkan.
"Aku janji takkan mengganggumu setelah ini."
"...."
Napasku pun tertahan sesaat. Sesak sekali, dan jujur ini lebih menegangkan daripada saat aku menembak Davikah. Jantungku berdebar hingga gemuruhnya seperti badai, dan keringatku merembes di telapak tangan layaknya hujan. Padahal usiaku sekarang 37 dan beranak satu, tapi menghadapi pria ini kuakui benar-benar kebingungan.
"Apo--"
"Kenapa Phi bisa menyukaiku?" tanyaku sekali lagi. "Maksudku, ini sudah cukup lama dari pertemuan terakhir, kan? Harusnya kau bisa menghabiskan banyak waktu untuk menemukan seseorang."
Mile pun menginjak rokoknya lagi. "Kau pikir aku tidak pernah melakukan itu?" Dia bilang. "Aku sendiri lupa berapa bokong yang kusewa setelahnya. Tapi mentalku sakit karena muka-mu yang ada di atas ranjang."
".... what?"
"Cinta itu apa, Nattawin?" kata Mile. "Aku hanya tahu seks dan kehidupan. Jadi kuartikan saja ini hanya karena bernafsu padamu. Sederhana kan?" lanjutnya. "Aku memang ingin kau membuka kaki untukku. Sering muncul di sekitarku bersama bocahmu. Lakukan apapun terserah. Kau makan dan tidur saja tidak masalah."
"...."
".... tapi mau bagaimana kalau kau sekeras kepala itu? Aku tak berhak mendoktrin pria dewasa beranak satu sepertimu. Juga tidak punya waktu kejar-kejaran ala kucing birahi untuk mendapatkanmu," kata Mile. "Pria seusiaku terlalu lelah basa-basi, paham? Kalau kau tidak mau, baiklah aku akan pergi nanti. Tapi semisal bisa, akan kuberi ruang kau untuk belajar menerimaku."
"...."
"Apa semuanya sudah cukup jelas?" tanya Mile. "Aku butuh sedikit bekal jika ingin bisa melupakanmu, Nattawin--hhh ... hh ... hh ...."
Benar-benar tidak bisa kupahami.
Kenapa seorang pria gay bisa mengatakan isi hatinya sehebat itu? Cara yang Mile lakukan bahkan melebihiku kepada Davikah dulu. Dan matanya jujur ingin membukakan pintu bahagia kepadaku bersama Bella. Sayang, aku sendiri justru menahan dia. Membuat napasnya berisik dan bola matanya berair. Padahal aku sendiri pria, jadi aku paling tahu kenapa bisa sebegitunya.
"B-Bagaimana menurutmu kalau cium tangan saja?" tawarku mendadak sangking paniknya.
"Apa? Ha ha ha ha ha!" tawa Mile dengan air mata yang menetes.
"M-Maksudku, ya--aku paham dengan hal yang kau katakan. Cuman permintaanmu tadi sangat dadakan tahu," belaku. "Bella ingin gaun saja pesan 12 hari sebelum acara. Tapi kau? Ingin bibir dengan tiba-tiba bilang. Aku kan ... bukan pria 37 tahun untuk hal-hal seperti ini ...."
Mile pun diam sejenak. Lalu secara ajaib tertawa sambil menangis keras. Dia bahkan menendang batu sambil tertawa terbahak, lalu mondar-mandir di depan mataku dengan punggung kokoh itu. Kulihat Mile terlampau stress tapi tidak menunjukkannya. Hanya saja pertahanan itu sekarang runtuh. Dia melepas dasi untuk bisa digunakan mengelap mata (posisi membelakangi diriku) lalu membuang benda berjepit mahal itu ke tempat sampah.
"Oke, maaf," kata Mile setelah reda. "Perhatianku memang kurang untuk hal-hal yang seperti itu. Tapi bisa kuartikan yang barusan kau tidak masalah?"
"Hah? Oh ... mungkin? Tapi aku tidak pernah bilang iya padam--"
"No prob, yang terpenting sekarang kemarikan tanganmu."
Aku pun merinding saat langkah Mile mendatangiku. Menarik tanganku, lalu kedua mata tajamnya menyorotku sebelum menundukkan kepala. Dia membawa punggung tanganku pada hidungnya. Benar-benar mau mengecup--ralat bukan!--lebih tepatnya menyedot dan menghirup dengan beringas. Seolah-olah sejam lagi aku hilang jika dia tidak melakukannya.
Tangan kiriku pun mengepal untuk menahan sensasi anehnya. Sangat sakral hingga jantungku terbalik di dalam dada, dan lidahku menjilat bibir sangking panasnya efek pada selangkanganku.
Padahal Mile sama sekali tidak meraba bagian itu, percayalah. Dia hanya menguasai bagian yang kuizinkan, tapi segera kutarik tanganku saat lidahnya mulai terjulur.
"Oke, stop," kataku sambil melangkah mundur. Mataku berkedip bingung karena pria ini agak kecewa, tapi dadaku hangat karena dia tersenyum setelah itu.
"Jadi sebenarnya aku masih punya kesempatan? Mungkin?" tanya Mile mencoba memahami setiap detail reaksi tubuhku.
"Tidak tahu. Dan jangan mengajakku diskusi sekarang," larangku sambil mengepalkan tangan di sisi tubuh. Mile pun tahu aku bisa saja menghajar, jadi dia memilih menurunkan egonya sekarang.
"Baiklah, baiklah. Sekali lagi aku minta maaf soal barusan," kata Mile. "Tapi bagaimana jika beri aku waktu 12 bulan?"
"Lama seka--tunggu-tunggu, untuk apa?"
"Untuk memesanmu sebelum acara pernikahan, tentu saja? Aku kan hanya meniru Bella," kata Mile yang sekarang mundur untuk menghormatiku. Dia juga mengatakan segala hal untuk bernegosiasi denganku. Membuatku terserang pusing, tapi masih bertahan sadar di tempat itu.
Aku tahu jenis Mile mungkin akan sulit ditemukan di tempat lain, tapi apa bisa semuanya betul-betul kulakukan? Aku benci merasa bahwa ini memang yang terbaik, padahal akal sehatku bilang tidak, tidak, dan tidak seribu kali.
"Menikah, Phi bilang? Denganku?"
"Tentu, itu pun kalau berhasil? Lagipula kita bukan anak muda lagi."
"...."
"Kau bilang kan tidak mau beli kucing dalam karung sampai kapan pun ...."
Giliran aku yang sesak napas kali ini. Namun, rasanya bukan Apo Nattawin jika menyerah begitu saja. Akhirnya benar-benar kuberikan dia persyaratan jika memang serius.
"Oke, apa?" tanya Mile dengan nada sarat penasaran.
"Aku mau Phi berhenti merokok mulai sekarang. Jangan mencandu. Tapi lakukan di luar tidak masalah," kataku dengan mata menatap nanar. "Ini untuk anakku, Phi. Takkan kuizinkan kau kau membuat Bella terbatuk lagi. Dan jangan harap kau bisa jadi ayah baik jika tidak menghargai posisinya seperti aku."
".... oke," kata Mile, walau raut wajahnya bercampur aduk. Bagaimana pun Mile tidak pernah membayangkan kehadiran anak, tapi Bella betul-betul bagian dari Apo Nattawin sendiri. "Setidaknya akan kucoba dulu yang satu itu. Tapi apa masih ada yang lainnya?"
"Ada."
"Apa itu."
"Jangan pernah gunakan harta lagi untuk menaklukkanku, tidak suka. Apalagi Phi bukanlah siapa-siapaku ...." tegasku hingga Mile menahan napas.
"Fine, terus?"
"Yang terpenting jangan ada model selingkuhan lagi. Aku capek. Atau kau akan kuanggap Davikah kedua jika sampai ada yang seperti itu."
Ajaibnya Mile sungguh menerima semua persyaratan itu, tapi dia juga meminta satu hal padaku. Bahwa kapan pun bila ada waktu, Mile ingin diperbolehkan berkunjung ke rumah. Entah ada atau tidaknya aku.
Mile bilang ingin mendekati Bella, sekaligus belajar paham interaksi dengan anak gadis. Sehingga aku pun bilang terserah. Toh profil Mile sudah lebih berada dariku. Kurasa harta pasti tak menarik lagi untuknya. Dan aku harusnya tidak sewaspada itu ....
"Baiklah, berarti mulai besok ya." Usai bicara, Mile pun tampak cerah daripada sebelumnya.
"Hm, dan aku minta maaf juga kepada Phi soal yang dulu-dulu ...."
"Oke."
Sudah?
Ya, memang sesederhana itu. Aku sendiri tidak menyangka pertemuan tadi terjadi, apalagi obrolan kami kemana-mana. Tapi percayalah, saat diantar pulang bekas ciumannya masih terasa pada tanganku. Dan itu membuatku membayangkan bagaimana jika pria ini sudah menjajah seluruh tubuhku.
Benar-benar menakutkan ....
Tapi rasa takut itu jadi aneh karena pelakunya manusia baik hati, maka detik itu juga mindset-ku tentang pria gay berubah. Mereka memang mesum karena naluri dasarnya pejantan (aku sendiri begitu kalau dengan wanita), tapi masalah rasa bisa menandingi. Dimulai dari sifat, karakter, kinerja, kesungguhan, effort, pengorbanan, dan masih banyak hal lainnya ... menurutku Mile bisa digolongkan dalam sisi yang layak diberikan kesempatan.
"Oh, iya. Apo ... sebenarnya aku masih menyimpan sesuatu."
"Apa?" tanyaku saat baru saja keluar mobilnya. Wajahku pun melongok ke dalam untuk melihatnya, sementara Mile mengambil segenggam benda mungil dari dalam dashboard dia.
"Ini, milikmu."
"Oh, shit."
Itu benar-benar kunci mobilku ...
"Sebenarnya kau bawa pun tidak masalah, memang itu mauku. Tapi kau sendiri bagaimana?" tanya Mile. "Aku benar-benar tidak berniat menaklukkanmu karena ini."
Aku pun berpikir sebentar. "Tidak dulu. Jangan," kataku tetap teguh pendirian. "Simpan saja, Phi Mile. Kan sudah kuberikan untukmu--"
"Tapi apa aku benar-benar tidak boleh memberimu apapun?" tanya Mile. "Itu aneh kan? Bagaimana jika ada keringanan saat hari jadi?"
"Maksudnya?"
"Ya, misal kau ulang tahun atau semacamnya? Aku merasa beban kalau tidak menghadiahkan sesuatu kepadamu."
Berhubung ulang tahunku masih 4 bulan lagi, kurasa itu baik-baik saja. "Baiklah, terserah," kataku. "Tapi selain itu tidak diterima. Jadi sementara begitu saja."
"Oke--"
"Kalau begitu aku duluan, dingin tahu." Kusela perkataannya karena salju menumpuk pada jaketku. Lalu kutinggalkan dia diantara angin kencang di Washington DC.
"Tunggu dulu, Nattawin!"
"Apa?"
Tepat saat kudengar pintu mobil dibanting begitu keras. Tiba-tiba saja Mile datang dari belakangku untuk menabrak peluk tanpa peduli. Brugh!
"Hei--Phi Mile!"
Kita ini masih di luar rumah!
"Peduli setan, pokoknya kau harus dengarkan aku sekarang," kata Mile sambil mempererat dekapan pada tubuhku. Napas hangat kami pun menghempas putih pada bagian leherku. Dan aku merinding kaku saat dia berbisik tepat di telingaku. "Aku pasti akan memilikimu, hhh ... hhh ... hhh ... nanti--dua belas bulan lagi. Aku pasti akan membawamu ke rumahku, dan kuperkenalkan kau kepada keluargaku."
Oh my goodness ....
"Ya ...." kataku sambil lirik-lirik ke sekitar. Aku takut Bella atau babysitter-nya melihatku begini, tapi ternyata tidak ada orang sama sekali.
"Atau apakah harus 12 bulan? Bagaimana kalau aku berhasil sebelum waktunya habis?"
Sumpah demi Tuhan Mile akan semakin serakah kalau aku terus menerus menurutinya.
"Tolong tetap beri aku waktu, hhh ... hhh ... hhh ...." kataku ikutan tersengal. Yakin pria ini pasti dengar debaran jantungku.
Tapi aku berusaha tak berbalik karena telingaku sudah memerah.
"Oh--fuck. Ya, baiklah ... oke. Tapi aku benar-benar tidak mau makin gila."
"Eh--!"
"Maaf aku ingin mengambilmu sedikit lagi untuk hari ini."
Detik itu, siang itu. Tubuhku pun digebrak ke pintu yang masih terkunci. Nyaris terbentur kasar, tapi Mile sudah melindungi dadaku dengan lengan-lengan kekarnya yang keras. Pria ini benar-benar seperti binatang yang memenjaraku. Lalu dia menarik daguku kasar untuk menautkan bibir kami menjadi satu.
TAMAT