JUST A LABORER CONSTRUCTION 1

"Orang-orang memanggilku Apo, umur 27. Tidak kaya, tidak bergelimang harta, dan bukanlah tokoh legenda. Aku hanyalah laki-laki yang putus sekolah, tak kuat biaya, tapi bersyukur karena orangtuaku lengkap semua. Sudah tua."

"Oh, iya. Lupa cerita. Statusku sekarang adalah seorang kuli bangunan."

.

_______________________

Baiklah, ini aku. Apo Nattawin Wattanagitiphat. Aku hanya lelaki biasa dengan tinggi yang pantas dipandang mata. Umurku 27, dan domisiliku Desa Pyongdai, Huahin, Thailand. Kalau dilihat di cermin, mukaku lumayan sih, tidak jelek-jelek amat. Kulitku cokelat gelap karena sering kena matahari, tapi aku berotot dengan pak perut bukan karena nge-gym mahal per bulannya, melainkan tempaan keras kehidupan.

Kata para tetangga, sebetulnya lelaki seumuranku pantas menikah. Cari gadis, beranak pinak, lalu memberikan cucu Ibu-Bapak. Tapi maaf, dunia. Aku yang berkapasitas rendah, sempat putus sekolah, dan berkewajiban mengurus orangtua sepuh ini tidak sempat. Ijazahku yang hanya sampai tingkatan SMP tidak laku untuk cari pekerjaan. Jadi, kesimpulannya keluargaku tak semampu itu untuk memperjuangkan mahar dan lain-lain.

Namun, jika terlahir dengan tanpa sendok perak, bukan berarti aku langsung mati, kan? Toh orangtuaku bukan tipe yang suka aneh-aneh. Mereka hemat selama hidupnya. Tidak hobi berhutang, suka menabung. Sayang kata para pebisnis, menabung itu kesalahan fatal bagi umat manusia.

Mereka senang menggunakan semboyan "Jika kau tak bisa menghasilkan uang selama tidur, sampai kapan pun akan miskin. Dan jika kau terus-terusan menabung tanpa memutar uang takkan pernah merasakan kesuksesan." Tapi, ya ... ternyata dua kalimat itu terjadi dalam hidupku. Pertama, kami bertiga adalah golongan yang kurang bekal pendidikan. Kedua, kami sudah bingung memutar uang untuk bayar listrik, air, belanja harian, dan pajak motor setiap bulannya. Jadi, bisa menabung pun sudah bagus, tapi untuk memutar uang astaga sumpah tidak dulu.

Satu lagi, sebetulnya orang seperti aku tak biasa cerita tentang kehidupannya. Toh aku bukan legenda negara yang pantas berpamer maha karya. Profilku tak cocok dijepret dalam buku biografi. Aku hanya orang kecil, tapi jujur aku sering bermimpi memakai jas bagai anak konglomerat (hei, jangan-jangan aku bukan anak Ibu-Bapak asli?). Namun, itu pemikiran yang konyol, percayalah. Sebab dua tahun ini aku rutin donor darah. Karena Bapak punya penyakit ginjal. Jadi, tabungan pun menipis demi menutup pengeluaran khusus.

Niatku untuk membuka ruko pun jadi batal, aku lanjut menguli seperti dulu, dan syukurlah gajinya lumayan. Tampaknya proyek pembangunan hotel kali ini punya orang sultan (sultan yang benar-benar sultan, maksudku) karena uang yang kami (para kuli) terima hampir mencapai UMR. Aku senang karena si sultan ini dermawan. Mereka memberikan makanan sehat saat istirahat. Ada sayur mayur, daging ayam, dan nasi yang sangat banyak. Bahkan mereka juga membiarkan kami prasmanan setiap hari.

Bukankah ini kerjaan syurga? Kadang aku membawa plastik dari rumah. Intip-intip apakah ada lebihan lauk. Jadi si penjaga makanan pun memberiku sebagian. Aku berharap Ibu dan Bapak ikut merasakannya, walau saat pulang pastinya sudah mendingin. Mereka senang karena itu rezeki, dan langsung dimakan tanpa memanasi demi irit gas kompor dapur.

"Terima kasih, Nak Apo."

"Terima kasih, Sayang."

"Sama-sama ...."

Aku pun tersenyum melihat Ibu dan Bapak begitu lahap. Kami lalu bercengkerama, walau aku tidak bisa lama-lama. Aku selalu pamit istirahat awal untuk menyimpan tenaga. Tidurku tak pernah lebih dari jam 9, dan badan sakit semua adalah kebiasaan.

Semakin hari kurasakan ototku makin meliat. Aku sanggup meremukkan genting jika terlampau semangat memikul. Bahkan si mandor pernah memarahi berkali-kali. Ha ha ... baiklah. Sekarang aku akan lebih hati-hati. Jangan sampai kehilangan pekerjaan ini, tapi suatu hari datanglah satu kuli baru. Namanya Masu. Dia lelaki seumuranku dengan tubuh lebih pendek. Perawakan yang kalah dariku. Wajah manis, dan sering kena omel karena tenaganya letoy. Usut punya usut si Masu adalah anak bos tahu yang baru bangkrut. Dia terpaksa menguli, jadilah tak punya tenaga kuda.

Aku kasihan sebetulnya. Dia dicibir banyak rekanku karena sering menyusahkan. Sebab mengaduk semen saja tak bisa. "Ini bukan sekolahan anak TK, Bodoh! Datang berarti kau harus bisa kerja! Kami lambat karena malah mengajarimu dulu!" teriak mereka bersahutan. Namun, aku tidak tega pada akhirnya. Kuletakkan kereta pasirku sebentar. Lalu kuajari dia menyerok semen.

"Begini lho, Masu--ehem ... namamu benar Masu kan?"

"Iya ...."

"Caranya lenganmu harus lurus dengan seroknya. Punggungmu turun, condong ke bawah. Lalu srap! Nah ... kalau begini kau akan lebih bertenaga saat melakukannya."

"Oke, terima kasih--anu ...."

"Apo Nattawin," selaku sambil tersenyum. "Panggil aku Apo, ya. Dan tanya saja padaku kalau ada sesuatu."

"Wah, senang sekali bisa dibantu .... Pasti, Apo! Dan maaf kalau nanti merepotkan lagi."

"Hm, tak masalah. Sana kerja," kataku lalu kembali mendorong kereta pasir.

Namun, sejak meninggalkannya aku kepikiran. Masu ini pembawaannya terlalu inferior. Apa karena dia dulunya anak rumahan? Yang pasti Masu datang ke tempat konstruksi dengan baju panjang ribet. Dia tak pernah bertelanjang dada (beda denganku yang pamer saja seperti lainnya) malahan cenderung melindungi aset kulitnya.

Kadang Masu juga digodai Bapak-bapak napsuan di tempat ini. Akunya sampai ikutan risih. Bukan karena geli, tapi lebih kepada ingin memarahi (cuman itu bisa lebih memperlambat pekerjaanku).

Aku pun tak mau terlalu memikirkannya. Tetap bekerja, daripada kena omel lagi. Namun, kesabaran manusia juga ada batasnya. Saat aku enak-enak mengambil makan, malah mendengar suara desahan. Arahnya dari dalam tenda mandor. Bahkan ada suara pecahan gelas ribut karena perlawanan sengit. Prang!

"Ahhh! Tolong Pak, bisa jangan sentuh itu! Aku ini bukannya gay seperti Bapak!" teriak Masu hingga membuatku tersedak.

Seketika rekan-rekan kuli pun menoleh padaku, aku meringis. Tapi mereka lanjut makan saja. Sudah terlalu capek sih ... sebetulnya. Bagaimana pun kami ditarget waktu menyelesaikan proyek demi bonus. Jadi jangan sampai molor atau gajinya tidak ditambah.

Nah ... akhirnya sejak saat itu kami pun sepakat kerja keras. Namun, ketika aku mendengar Masu diperkosa hatiku tidak sampai lagi. Masu pun menjerit-jerit karena ditusuk penis. Mulutnya dibekap dengan alasan tak becus. Bahkan aku mendengar suara tamparan muka. Hei, bapak mandor! Ini sih sudah keterlaluan!

"HEI, NATTAWIN BRENGSEK! APA YANG SEDANG KAMU LAKUKAN?! MAU TINJU YA?! BERANI-BERANINYA KAMU SAMA SAYA!" bentak si mandor murka. Aku pun mundur setelah menggebrak kepalanya dengan nampan. Dia berhenti menggenjot Masu dengan pelototan tajam. Lalu aku menoleh Masu prihatin. Ya ampun ... lubangnya bahkan berdarah karena tanpa pelumas.

"APA?! TIDAK SUKA?! BAPAK INI YANG HARUSNYA TAHU DIRI! KALAU PUN MASU MEMANG MAU JUAL BADAN, TIDAK PERLU LAH SUSAH-SUSAH NGULI DI SINI! PAHAM TIDAK?! MENDING DIA JADI PENARI STRIPING YANG DI KELAB SEJAK AWAL! KAN ENAK DAPAT UANG SAGEPOK HANYA DENGAN SATU MALAM! AYO MAJU!" kataku menantang balik.

Pria itu pun langsung melepaskan Masu, mengantungi penis ereksinya ke dalam celana, lalu kami bertarung seperti hewan. Dari dalam tenda keluar. Tendanya ambruk. Bahkan meja makan kuli ikutan menjadi sasaran.

Ya, pokoknya begitu. Aku tidak ingat gerakan apa saja yang kulakukan selama bertarung. Yang pasti jika dia meninju, aku balas meninju. Dan jika dia menendang, aku balas menendang.

Akhirnya kami pun dipisahkan oleh para kuli. Kuludahkan darah dari mulut karena rahangku rasanya geser. Tapi aku menyeringai puas karena si mandor jatuh. Dia kesakitan karena penisnya kuremas, kupukul, lalu kubanting dia ke tanah hingga orang-orang diam.

"BERHENTI! BERHENTI! SEBENARNYA ADA APA DI SINI?!" teriak seorang pria tiba-tiba. Suaranya menggelegar hingga kami menoleh, dan tampaklah potretnya yang gagah perkasa. Pria ini mengenakan seragam hitam necis. Berdasi, memakai earpiece, tapi kalau dilihat-lihat jabatannya ternyata supir (wah ... apa aku bisa begitu jika kuliah S2?) Rasa-rasanya supir sultan masa kini harus multi-fungsi.

"LAPOR, PAK! TADI ADA ...."

Habis, sudah.

Salah satu kuli yang paling jujur, adil, nan bijaksana pun cerita tentang detail kejadian tadi. Aku pun gentar. Apalagi tokoh yang masih berdiri adalah aku. Jantungku berdebar kencang karena bos si sopir keluar (pastinya dia si pemilik hotel). Dengan penampilan lebih rapi lagi, kelihatan mahal, bau uang, super tampan, tinggi putih, parfumnya kemana-mana, tapi ekspresi kerasnya jadi lunak ketika seorang bocah memanggil.

"Daddy, ada apa di luar sana?" tanya bocah lelaki itu. Dia meletakkan dua mainan robotnya. Ikut keluar. Lalu digandeng si bos karena lompatannya cukup tajam.

"Hei, Gabby! Hati-hati!" kata si bos overprotektif. Padahal si bocah tertawa-tawa. Lalu memaksa lihat keadaan sekitar.

"Daddy! Jangan tutupi mataku! Ahh!" protes bocah rewel. Dia pun dibiarkan si bos karena keras kepala. Tapi malu-ku makin bertumpuk akibat dimarahi di depan dirinya. Wah, maaf bocah. Kelakuanku pasti menjadi contoh burukmu.

Aku pun dituduh si mandor karena pacaran di tempat kerja (oh, siapa yang disebut pacarku? Masu?), membela pacarku karena disetubuhi dia, padahal menurut kesaksiannya, Masu ini malah menggodanya demi gaji lebih. Ya ampun, setan memang! Kurasa memukul penis mandor ini belum cukup! Karena harusnya dipotong menggunakan gergaji saja!

"HEI! BUKTI APA YANG KAU PUNYA SAMPAI BILANG BEGITU! KALAU BERANI BUKA CELANAMU SEKARANG, PAK! KITA LIHAT MANA YANG TADINYA SEMPAT MUNCRAT AIR MANI!" kataku tidak sabaran.

Orang-orang pun ricuh karena lebih penasaran dengan pertunjukan. Bahkan kami disoraki agar adu penis di tempat umum untuk membuktikan (Well, Masu waktu itu pingsan. Jadi dia tidak bisa ditanyai). Aku sempat panik, tapi ya sudahlah ayo saja daripada nanti dapat denda atau dipenjara. Bagiku adu penis tidak buruk-buruk amat. Penisku besar. Tak masalah kalau mau main pelorotan.

"AYO! AYO! AYO! AYO! AYO! AYO! AYO!"

Sudah gila orang-orang yang ada di sini ...

Kulihat beberapa kuli gay sangat semangat melihatku. Mereka penasaran bagaimana bokong dan penisku, tapi si mandor pucat karena takut ketahuan. Untung saja si bos lebih bijaksana. Dia mengehentikan kekacauan karena katanya ada Gabby anak dia. Tidak sopan main tunjuk penis di depan mata sucinya.

"Ya sudah, bawa mereka berdua ke hadapanku. Naik ke kantor pengawasan. Biar aku sendiri yang melihatnya."

APA KATANYA BARUSAN?!

Sial ... mendadak sekali harus tunjuk penis secara rahasia. Ini sih makin membuatku malu berat! Mending rame-rame kan biar kesannya biasa!

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Aku tak mau gajiku bulan ini dicabut (amit-amit karena Bapak masih harus cuci darah) lalu naik ke tempat yang ditunjuk sesuai instruksi. Selama perjalanan si mandor kelihatannya dendam padaku. Dia melirik padaku, tapi tidak berani berulah karena kami dipegangi masing-masing satu kuli.

Saat di kantor pengawasan, si bos pun duduk di balik kursinya. Dia siapa menatap bukti perselisihan (padahal kali iini dia mengecek konstruksi). Hei, ngomong-ngomong kenapa tak menunggu si Masu siuman saja?! Wawancaranya kan masih bisa besok, misalnya? Ketiban tenda kan harusnya tidak sesakit itu ...

"Buka celana kalian, sekarang ...." kata si bos sambil menatap kami berdua.

Hanya 3 orang di dalam ruangan itu. Dua kuli lainnya sudah keluar. Sementara Gabby dipegangi sopirnya dalam mobil agar tak ikut melihat penis.

"Oke, Pak. Sebentar ... kenapa tidak tunggu besok saja?" tanyaku belum mau mempermalukan diri sendiri. Topik tentang menunggu Masu sadar pun jadi usulan, sayang si bos punya sisi sadis juga. "Apa?"

"Kuulangi sekali lagi, itu pun kalau kau tuli. Aku tidak punya banyak waktu, paham? Beda dengan orang-orang seperti kalian. Jadi jangan membuatku makin sibuk, karena setelah ini masih harus pindah ke tempat lain. Ada konstruksi kedua, ketiga, keempat ... tapi masalah barusan harus dipertanggung jawabkan," tegasnya. "Bisa-bisanya bangunan pojok yang pondasinya jadi sampai roboh. Kalian pikir kayu pancangan itu tidak beli?! Hah? Kalau mau memperbaiki pun butuh waktu dan tenaga lagi! HERAN!"

Aku pun menahan napas. Sebab si bos ini melempar map yang dia cek ke atas meja, pertanda dia serius. Ketar-ketir nekad aku pun membuka kancing celana. Menurunkan luaran dan bagian dalamnya, cukup selutut. Toh akhirnya akan terbukti kalau aku tidak salah.

Oh, shit! Angin bangunan sialan! Ini sih di luar rencana! Batinku segera menutupi penis. Sebab aku tidak ingin juniorku berdiri. Setidaknya sampai si bos menyuruh bapak mandor juga melakukan ini.

"Jangan ditutupi! Siapa tahu yang salah kalian berdua!" teriak si bos marah marah. Cih, kutandai kau. Awas saja aku tahu namamu. Akan kubawa nanti ke kuil. Kudoakan dalam persembahan bunga dengan kutukan--

"Saya mengaku kalau Saya salah! Saya salah! Memang pelakunya Saya! Tapi tolong tak usah dibuka-buka!" kata si mandor mendadak.

"APA KATAMU BARUSAN?! BEDEBAH BRENGSEK--!"

"HEI! JANGAN BERTENGKAR LAGI DI SINI!"

Aku dan si mandor pun terkesiap. Kami diam oleh gebrakan tersebut, tapi aku masih waras untuk segera menaikkan celana.

"Y-Ya kan si Apo ini sudah buka-buka. Kelihatan kan Pak, kalau penis dia tak basah? Saya yang salah! SAYA! TOLONG HUKUM DAN PECAT SAYA TERSERAH! Yang penting jangan menyuruh Saya melakukan itu! Saya malu!"

Ha? Malu, katanya? Tapi memperkosa anak orang tidak tanggung-tanggung? Dunia pasti hampir kiamat ....

"Kau--"

"SUDAH! AKU BILANG BERHENTI!" kata si bos naik pitam lagi.

Aku pun mengatur napas, nyaris meninju pria ini sekalian. Tapi aku puas karena si mandor diberikan putusan pecat, gajinya ditarik tiga perempat, diberikan kepadaku. Semua karena penyelewengan kekuasaan di tempat kerja, serta reward atas keberanianku membela rekan.

"Terima kasih, Pak!" kataku dengan cengiran. Tanpa sadar aku begitu sangking senangnya. Lalu kami disuruh menunggu agar pihak bendahara memberikan amplop. Untuk si mandor tentunya tipis karena jatahnya dikurangi. Sementara untukku jadi 4 kali lipat UMR sehingga ini merupakan berkah besar.

Wah ... Bapak! Apo nanti bisa langsung antarkan ke rumah sakit, Pak! Kita cuci darah sore ini juga! Batinku saat menerima. Aku kira setelah itu kami berdua disuruh keluar. Semua aman, tapi ternyata cuma si mandor yang diperintah pergi.

"Eh, maaf, Pak? Bagaimana?"

"Aku bilang masih ingin bicara denganmu ... dengar tidak? Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan secara pribadi."

"Hah? Oh ... oke," kataku, meski merasa merinding. Si mandor pun keluar setelah berpamit. Aku meneguk ludah. Apalagi pria ini menatapku lurus setelah pintu tertutup.

"Jadi, namamu siapa tadi? Apo? Mandorku kan sempat menyebutmu begitu ...."

Aku mencoba biasa saja. Bedebah ... kenapa berdua begini malah makin menakutkan?

"Apo Nattawin Wattanagitiphat, Pak," kataku. "Bapak bisa panggil Saya Apo seperti yang lain, walau orang rumah dan tetangga sering pakai Natta."

"Ho ... bagus," kata si bos sambil mengangguk. "Natta, ya? Makin bagus kalau begitu ...."

Hah?

Kenapa sih?

Makin tidak beres saja ....

"Iya, Pak. Tapi ngomong-ngomong Anda ini mau bicara soal apa, ya? Masu?" tanyaku. "Masu itu bukan pacar Saya, sumpah. Saya tidak mau sembarangan di tempat kerja. Lagipula nanti malah tidak fokus. Dan ... hm .... maksud Saya konfirmasi begini biar Bapak tidak salah paham. Soalnya gaji ini betul-betul Saya butuhkan, ya? Tolong jangan ditarik lagi cuma karena kasus pacar-pacaran ...." kataku tanpa filter sedikit pun. Aku berharap, dengan kejujuran si bos ini mau memberikan ampun. Langsung menyuruhku keluar, tapi pertanyaan berikutnya makin aneh-aneh.

"Oh, bukan ya? Jadi siapa sebenarnya pacar kamu?"

Keringatku pun mengucur deras. "Eh? Ya tidak ada lah. Saya kan memang tidak punya pacar--"

"Kalau begitu mau jadi istri Saya?"

"Is--APA?!"

Bola mataku nyaris melompat keluar.

"Istri," kata si bos makin memperjelas. Aku sendiri tak tahu apakah baut otak pria ini ada yang copot, yaang pasti dia berdiri dari meja betulan untuk mendekatiku (padahal tubuh ini masih kondisi berlumur darah). "Jika kau tidak tahu, istri itu maknanya pasangan hidup. Dipasangi cincin. Dibawa ke altar nikah. Lalu dinafkahi sejak bersumpah bersama ... paham sekarang? Jadi jawablah iya atau tidak?"

Sambil meremas amplop, aku pun refleks mundur-mundur, padahal kekuatanku harusnya lebih dari mampu untuk menggampar jatuh pria ini. "Astaga, Pak. Tunggu, tunggu, tunggu ... sepertinya ada kesalahpahaman di sini."

"Tidak. Tidak ada."

"Pasti ada! PASTI! Soalnya maksud Saya kan bukan begitu--!"

"Mau bicara baik-baik dulu atau kita bertarung di sini?" tanya si bos sambil mendempet ke dinding. Tenaganya besi saat mencengkeram karena mungkin punya keahlian bela diri. Amplopku pun jatuh ke lantai, maka apalah aku jika cuma mengandalkan tenaga kuli?

"B-Bicara ... bicara. Setidaknya bilang kenapa Anda begini," kataku tak mau memancing masalah. Kan tidak lucu habis dapat berkah malah masuk penjara karena menghajar sultan. "Tapi harap maklum Saya tak berniat bilang iya. Karena ini rasanya tak masuk akal ...."

"...."

Kami berhadap-hadapan.

"Pak?"

"...."

"Pak, bisa tolong jangan begini? Saya cuma berpikir Anda pasti punya tujuan karena terlalu tiba-tiba."

Aku pun menahan napas karena wajah tampannya di depan mata. Aromanya kuat. Harumnya memikat, dan pastinya penuh nostalgia rasa yang berbeda dengan makhluk sepertiku. Hei, tolong. Kalau pun jadi miskin, aku tak mau hidupku dijadikan mainan pria tidak dikenal--

BRAKHH!

"PAAAAK--!"

"Aku ingin cium kamu, tapi aku bukanlah mandorku, mengerti?"

Aku terkesiap setelah dia menggebrak bahuku ke dinding.

"Apa?"

"Ikut saja untuk sekarang," katanya. "Kita obati lukamu, baru nanti berbicara. Jangan lupa hubungi rumahmu dulu dan bilang ke orangtua bahwa hari ini tidak pulang ...."

Bersambung ....