JUST A LABORER CONSTRUCTION 2

Hei, maaf. Ini aku, Mile Phakpum Romsaithong. Si tokoh bos yang diceritakan Apo pada part pertama. Sengaja kisah ini kuambil alih untuk sementara waktu, sebab si empunya kini pingsan di ranjang perawatannya--dia kubius daripada memberontak semakin parah.

Aku adalah pria dari keluarga sendok perak, anak tunggal, tapi posisiku kini belum menjadi CEO. Di perusahaan, tampuk kepemimpinan masih dipegang Ayahku, Songkit. Sementara aku duduk satu tingkat di bawah beliau sebagai direktur operasional. Well, itu memang berlaku entah sampai kapan, tapi aku fine-fine saja selama Ayah sehat selalu. Karena kenaikan posisi berarti Ayah tersingkir. Entah alasan lelah, tua, sakit, atau justru meninggal. Aku lebih suka melihat Ayah oke setiap hari. Kami kerja bareng, bercanda, makan semeja, lalu menaikan rank perlahan serentak.

Aku memang family-man yang berfokus cinta keluarga. Maka jangan heran jika kucurahkan perhatian untuk mereka. Bagiku Ayah dan Ibu merupakan support system terkuat, kuturuti mau mereka, termasuk menikah dengan gadis kaya 5 tahun lalu.

Si gadis ini namanya Baifern Pimcanock Leuvispaidtbul. Sangat cantik, dan merupakan lulusan Stanford University yang terkenal itu. Kami dikaruniai anak di tahun pertama (Hmm ... terdengar sempurna sekali, bukan?) Namun Pim rupanya tipe obsesif. Kulihat dia juga lumayan boros, dan akhirnya terbukti korupsi kurang lebih 6,7 triliun baht dari perusahaan kami.

Aku heran kenapa Pim menyembunyikan hal seperti itu dariku, karena perasaan aku sudah memberikan nafkah berlebih. Akhirnya kami pun bertengkar hebat. Bukan cuma soal uang, tapi hal remeh ikut didebatkan juga. Belum lagi keluarganya sengaja mengadu domba. Akhirnya masalah itu pun makin menjadi. Pim memilih bercerai baik-baik daripada dilaporkan ke kantor polisi. Dia menyerah bertahan dengan keluargaku. Barulah belakangan ketahuan uang itu dipakai membengkakkan aset keluarganya.

Ayah jelas tak terima karena hasilnya begitu hebat, rank perusahaan mereka naik, tapi kenapa mengorbankan kami tanpa banyak pikir. Kami pun mengajukan petisi ini dan itu. Mulai denda, ganti rugi, dan lain-lain. Lalu melepaskan Pim daripada situasi semakin ricuh.

Peristiwa itu terjadi 4 tahun lalu. Tepatnya waktu Gabby anakku baru berusia 7 bulan. Aku pun mulai jadi single Daddy (Pin memang melepaskan hak asuh Gabby daripada nama baiknya dikorek habis) Dia mundur, aku dapatkan pewaris, tapi kami para Romsaithong mengalami krisis kepercayaan.

Ayah dan Ibu jelas tidak bisa diam saja. Lalu mereka berupaya mencarikanku istri baru lewat kencan-kencan buta. Menurut mereka Gabby masih membutuhkan sosok Mama. Namun, diantara semua kandidat entah kenapa tak ada yang cocok. Hampir semuanya materialistis, hidup sebagai serigala berbulu domba, dan akhirnya Ibuku bilang begini.

"Sudah cukup. Manusia memang punya sisi baik dan buruk. Itu wajar. Tapi kita kan tidak bisa membaca jelas kalau cuma hadir di depan mata. Jadi ... mulai besok biar Ibu yang carikan calon. Ayah jangan protes. Kita lakukan social eksperiment saja secara diam-diam."

"Apa, Bu?" tanya Ayah terheran-heran.

"Social eksperiment, Yah. Kita tes dulu semua calonnya lewat dibuntuti. Tentunya pakai akting yang direncanakan," jelas Ibu. "Paham tidak sih? Ayolah ... karena dari situ kita jadi tahu mereka seperti apa. Baik hati kah? Suka menolong kah? Bertingkah sopan kah? Luwes kah? Atau justru lebih sering tidak peduli."

"Oh."

"Kita juga perlu mengetes reaksi mereka jika dihadapkan uang. Apakah matanya akan melotot, mau menaruh hak-hak pada tempatnya, dan masih banyak yang lain."

Ayahku Songkit pun akhirnya mengangguk pelan. "Oke, Ayah paham. Tapi memang mau pakai cara apa?

Aku hanya memperhatikan mereka diskusi. Sebab topik ini telah bertahan bertahun-tahun (kami memang hanya membahasnya jika suasana kondusif) Jadi, pasangan sudah malas kupikirkan lagi. Toh Gabby yang sekarang sudah tumbuh besar. Dia dari bayi terbiasa diasuh babysitter-nya, bagai punya ibu banyak, jadi kurasa ini bukanlah hal prioritas.

"Banyak lah, Yah ... misal suruh orang cacat minta dibukakan tutup botol, atau orang hamil butuh tempat duduk, sengaja jatuhkan dompet di jalan, pura-pura mengantuk hingga menabrakkan mobil, lalu menumpahkan minuman ke barang mahal mereka ... bahkan kita bisa pakai orang tua pikun atau pemulung yang ada di jalan raya ...." kata Ibu yang lama-lama punya ide gila. "Targetnya tentu harus calon Mile, Yah. Kita lakukan 20 set tes sekaligus. Lalu lihat bagaimana tindakan mereka di belakang kita."

Oh, wow ... dari sini aku paham kenapa Ibu dinikahi Ayah. Sebab selain manis, beliau juga cerdas dengan pemikiran out of the box-nya.

"Tunggu, Bu? Apa 20 set tidak berlebihan?" tanyaku. "Maksudnya, 20 tes untuk tiap calonku, begitu kan?"

"Ya."

"Wah ...." desahku. "Tapi kita kan tak bisa minta malaikat juga. Muluk-muluk sekali, Bu. Memang ada orang yang sebaik itu?"

"Ya paling tidak yang skor-nya tertinggi lah! Toh social eksperiment yang kena kan bukan cuma calonmu," kata Ibu. "Maksud Ibu, tes-nya jelas ditempat umum. Di berbagai titik dan wilayah. So, kemana pun calon-calonmu pergi melipir, kita lakukan penyisirannya di sana."

Aku pun tak bisa berkata-kata.

"Ehem, kalau begitu bagaimana jika menyewa fotografer rahasia?" usul Ayah tiba-tiba. "Biar nanti dapat potret siapa saja yang berhasil. Berapa tes yang sudah dilewati. Lalu profil mana saja yang pantas menjadi istri Mile."

Ibuku pun mengangguk setuju. "Bagus juga kok. Itu juga sempat kupikirkan," katanya. "Nah ... jadi seandainya yang terjaring bukan calon, melainkan warga sipil. Kita nanti dapat visualnya, kira-kira umur berapa, dan setiap orang akan didata lengkap latar belakangnya."

Percayalah, aku merasa murahan untuk beberapa saat. Maksudku, hei ... ini kisah pewaris keluarga Romsaithong, paham? Diakui tak diakui kami ini tersohor, tapi kenapa mencari istri saja harus bertindak aneh-aneh?

"Semua ini gara-gara Baifern Pimcanock. Sekarang Ayah dan Ibu jadi ikut-ikutan kena trust issue," batinku jengkel. "Tapi tunggu, Bu. Tadi kan ada visual, kategori, dan umur juga. Lantas bagi jika yang lolos sensor malah laki-laki?"

"Uhuk! Apa?"

"Hah? Apa?"

Ayah dan Ibu pun tersedak syok.

"Ya, kan misalkan saja," kataku. "Karena dari tadi tak ada yang membahas itu."

Mereka berdua pun berpandangan. Tampaknya Ibu heran dengan perkataanku, tapi beliau tahu aku sempat pacaran dengan lelaki. Harusnya tak masalah dari segi seksualku. Toh Gabby lebih butuh Mama anti fake daripada gender perempuan.

"Ya ... boleh saja," kata Ibu kemudian. "Memang kenapa kalau itu yang terbaik?"

Ayah pun ikut menatapku. "Its okay kok. Laki-laki ikutkan saja pada kategori," katanya. "Siapa tahu pilihannya jadi lebih luas. Biar dirimu enak juga ketika proses pertimbangan."

Aku kembali menyuap makan. "Oke, ya. Beres ...." kataku. "Setelah ini programnya boleh dimulai. Tinggal kutunggu Ibu memberikan info siapa saja yang bertugas."

"Ya."

Sejak saat itu, selain berkas kerja, aku pun mendaftar hasil social eksperiment. Baik lelaki atau perempuan. Baik asli calon, maupun warga sipil. Kemudian aku menyisihkan mereka berdasarkan seleraku. Aku senang karena utusan Ibu bernama Nodt memberikan laporan apa adanya, dia teliti, dan kerjanya bagus karena menyusun foto berdasarkan data juga.

Sayang jarang sekali yang bisa menembus 15 set (aku memberikan target minimal sendiri). Baik dari segi visual, kategori, maupun latar belakangnya. Dan sekalinya dapat pasti sudah berpasangan. Baik punya suami, istri, tunangan, maupun baru berpacaran.

Well, sebetulnya kalau bertunangan atau pacaran sih masih bisa kusalip. Toh siapa juga yang mau menolak aku? Ibu bahkan tidak lagi membatasi status sosial. Mau kaya, sedang-sedang atau miskin terserah, yang penting orang ini bisa dimasukkan dalam keluarga kami.

Layak.

Berprinsip.

Baik hati.

.... dan tentunya memikat mataku juga.

"Tuan Mile."

"Ya?"

"Hari ini Saya rasa Anda beruntung ...." kata Nodt pada suatu hari. Tumben dia datang dengan wajah sumeringah. Bahkan begitu masuk ruanganku langsung menyisihkan satu foto. Benda itu ditaruh di atas map penelitiannya bulan ini. Isinya potret seorang lelaki muda, tapi saat kuperhatikan badannya kekar sekali.

"Siapa dia?"

"Saya belum pastikan namanya, Tuan. Yang pasti ada dua panggilan. Apo atau Natta, belum tahu mana yang benar. Tapi orang ini lulus 20 set sekaligus," kata Nodt. Dia lantas menunjukkan map yang lain pertanda penemuan ini memiliki data kronologis. "Berikut 20 foto yang diambil sejak programnya dimulai. Sejak tanggal 12 Desember 2017 hingga 18 Oktober 2018 ... tapi tempatnya berbeda-beda."

Aku pun mengambil foto itu agar bisa melihatnya lebih dekat lagi. "Terus?"

"Ya, awalnya Saya sendiri merasa pernah menjepret dia beberapa kali. Tapi kan hasil social eksperiment biasanya cuma kebetulan satu atau dua tempat," jelas Nodt.

"Ho ... lalu?"

"Lalu Saya cek-cek lagi lah ...." kata Nodt. "Ternyata orang ini seorang kuli. Pantas saja sering berpindah tempat untuk ikut kerja serabutan."

"...."

"Kadang saat proyek dia difungsikan sebagai pengawas truck semen. Pernah juga menjadi sopir untuk pengantaran batu-batu ... tapi paling sering mengaduk pasir dan naik ke pondasi dalam proses memasang atap."

Aku pun menatap potret itu sekali lagi.

Hmm ... kuli ya. Pantas gelap sekali kulitnya ....

Namun setelah kuperhatikan orang ini manis juga. Malahan aku berpikir kenapa dia tidak jadi model saja? Apakah si Apo ini tak punya koneksi? Dia miskin ya? Atau -setidaknya- apa dia tak pernah berpikir sampai ke sana?

Sayang sekali dunia luas jika tidak melihatnya.

"Anda suka, Tuan?"

Aku malah melirik Nodt curiga. "Suka, lumayan. Tapi kau melakukan ini bukan karena alasan khusus, kan?" tanyaku.

"Eh? Maksudnya?"

"Siapa tahu si Apo ini justru temanmu," kataku. "Bisa jadi kau lah yang mengatur hasil social eksperiment dia, mengajukan dia sebagai rekomendasi, tapi seolah-olah ini hari keberuntunganku."

Seketika Nodt pun gelagapan menampik tuduhanku. Dia bilang "Tidak, Tuan! Ya ampun ... sumpah Saya ini tidak berani! Kalau pun Saya lakukan, kenapa tidak dari dulu saja? Ini bahkan hampir setahun sendiri ...."

"Ya, siapa tahu ...."

"Tidak, Tuan! Serius! Dan ... bla ... bla ... bla ... bla ... bla ... bla ...." kata Nodt lanjut membela diri.

Aku pun berpikir itu masuk akal. Tapi tidak serta merta menerima begitu saja.

Usai Nodt dihentikan Ibu dari tugasnya, aku pun menyewa bawahan lain untuk berburu informasi. Namanya Bible Wichapas Sumettikul. Dia adalah seorang ahli di bidangnya. Seorang hacker, sekaligus teman lama. Jadi masalah ini bisa kupercayakan padanya.

"Ya, ya ... aku mau si Apo ini diuji beberapa kali lagi," kataku lewat telepon. "Aku tak mau menikahi kuli dadakan, harus jelas. Jadi lakukanlah social eksperiment tanpa memberitahu Ibuku."

"Baik."

"Kalau bisa kali ini caranya di luar nalar," kataku sambil mengetukkan kuku ke meja kantor. "Dengan apa, terserah. Yang pasti aku harus dapat kepastian dia tak punya homophobia."

"Baik, Pak."

"Kalau perlu aku harus melihat luar dalamnya. Bukan cuma sifat dan wataknya ... jadi lakukanlah program ini sebaik-baiknya."

Ada jeda yang cukup lama.

".... hah? Bagaimana, Pak?" tanya Bible setelah loading sesaat. Dia tidak paham karena aku ambigu, sampai-sampai aku harus mendecih karena menghadapi lelaki ini.

"Bokongnya, Bib--shit. Kau pasti paham apa maksudku," kataku tegas. "Itu kan aset lelaki yang paling berharga. Maksudku, jika nanti dia kujadikan istri. Karena itu atur saja skenarionya. Buat proyek atau sesuatu untuk memancingnya, jangan lupa suruh orang menawari dia pekerjaan."

Bible pun langsung mengangguk-angguk. "Oh ... begitu. Tentu, tentu. Tapi Saya pikirkan dulu alurnya."

"Hm. Dan pastikan gaji kulinya lumayan," imbuhku. "Dengan begitu siapa pun akan tertarik datang, termasuk dia. Lalu buat mereka betah dengan makanan yang baik-baik."

"Oke, Pak. Ada lagi selain itu?"

"Ada."

"Ya?"

"Hubungi aku untuk datang jika hari tesnya siap semua," kataku. "Kuberi kau satu kesempatan. Jangan sampai gagal. Karena itu bisa sangat membuang waktuku."

Bible pun bersalut ria. Mematuhiku, lalu mulai merancang program kedua ini. Dalam 1 bulan, aku pun menyetujui ide gila Bible membangun hotel di Huahin (toh ini bisa jadi lahan bisnisku juga) lalu dia mengirim beberapa foto-foto khusus.

[Bible: Pak, ini mandor palsu yang nantinya bertugas di tempat Bapak. Namanya Nadech. Dia sudah kusuruh kerja sama dengan pacarnya, Masu. Dan mereka kompak memulai jebakan ini tanggal 21 November 2018]

Aku pun segera membalas dia.

[Aku: Oke. Sudah kuingat wajahnya. Apa ada hal yang lain lagi?]

[Bible: Ada. Kejadian ini akan dilakukan saat istirahat makan siang. Sekitar pukul 1-2. Tapi Anda datangnya jangan sendiri]

[Aku: Harus bawa?]

[Bible: Maaf sebelumnya, tapi Gabby anak Bapak. Dia penting dalam skenario ini. Jadi waktu Gabby keluar, si Apo bisa dibawa naik. Bapak tidak akan melihat asetnya rame-rame bersama orang]

Aku tidak tahu drama macam apa yang sedang Bible pikirkan. Yang pasti ini cukup menarik. Dia bahkan perhatian soal keinginanku tidak bagi-bagi aset.

[Aku: Tentu, nanti kubawa. Apa sudah itu saja?]

[Bible: Belum. Pastikan Anda dandan lebih rapi daripada biasanya. Pakai parfum sebotol :D tapi jangan lupa kantongi suntik bius juga]

Aku pun diam berpikir ....

[Bible: Hati-hati, Pak. Orang ini bisa gampang main pukul, sangat tegas jika dia merasa benar. Jadi suntik saja kalau tidak mau mendengarkan Bapak :D]

Bibirku miring perlahan. Aku suka dengan cara main orang ini ....

[Bible: Sekarang sudah selesai. Anda tinggal menunggu panggilan Saya soal aba-aba. Jadi datanglah dengan tanpa telat sama sekali]

[Bible: Ingat, Pak. Saya wajib dapat gaji lebih kalau kejadiannya sesuai dengan yang saya pikirkan :D]

Aku pun tertawa-tawa tanpa membalas lagi. Dan makin terbahak karena ini seperti permainan bocah anak TK saja.

Oh, tak masalah ...

Mau kekanakan atau bukan ....

Aku memang harus melihat semuanya langsung jika hari itu tiba ....

Bersambung ....