Happy reading! Happy for us!
________________
Pertama kali membuka mata, aku pun duduk dengan badan sakit semua. Ngilu ototku susah pulih karena kehabisan tenaga, apalagi kemarin dipakai berkelahi juga. Pegal membuatku memijiti leher, tapi adanya perban langsung menyadarkanku seratus persen. "Eh? Tunggu, tunggu. Aku di mana sekarang?" gumamku sambil menatap sekitar. Mataku menegang karena tempatnya mewah sekali, harum parfum ruangan, harum cairan pembersih lantai, dan kacanya tak berdebu sedikit pun. Namun, bukan cuma itu yang mengejutkan. Tubuhku kini berganti kostum, bajuku entah kemana, dan piama motif kucing lah yang kukenakan.
Hei! Sumpah ya! Apa aku masih bermimpi?
.... tapi rasa tamparanku di pipi sakit sekali.
Aku pun turun dari ranjang dan berjalan keluar. Namun, karena yakin ini rumah orang, otomatis tubuhku berjengit. Aku mengintip ke kanan dan ke kiri tanpa rasa aman. Sebab di sekitar banyak sekali pelayan. Ada yang menata bunga, ada yang memberi makan ikan, ada yang merawat kucing, ada juga yang bercanda dengan seorang bocah--
Oke, tenang. Jangan panik dulu karena aku belum tahu duduk perkaranya.
Aku pun kembali tenggelam ke balik pintu kamar. Lalu mengingat apa yang sebelumnya terjadi. Mulai saat aku di tempat kontruksi, berkelahi, dihukum, dapat uang, lalu berdebat dengan bosku sendiri. Hei, jangan bilang ....
"Jadi, ini rumah dia? Seriusan? Pasti iya karena ada bocah tadi!"
Tiba-tiba kenop pintu kamar diputar dari luar.
"Kau bangun?"
Jantungku serasa berdebar kencang.
"Pak?" tanyaku, saat wajah bosku muncul di hadapan.
"Hm? Baguslah kalau sudah. Aku mau bicara denganmu dulu ... kopi?"
Dia menyodoriku secangkir minuman serupa dengan miliknya. Namun, seharum apapun aroma kopi pemberiannya, aku ragu. Jadi tak kucicipi sama sekali.
"Tunggu dulu, Pak? Kita mau kemana? Bisa jelaskan sedikit? Situasi sekarang benar-benar membingungkan ...."
Dia justru menikmati penampilanku dalam piama lucu ini. "Kalau mau dijelaskan, makanya ikut ...." kata bosku dengan nada mendayu. Dia pun berjalan lagi, sementara aku ingat kata-katanya soal memperistri. Kemana sih otak manusia ini? Aku kan belum ingin menikah! Kepikiran saja tidak! Gila ya? Lagipula dimana amplop-ku yang tadi siang?
".... tapi kan Saya harus mengantar Bapak cuci darah segera!" imbuhku tak sabar. "Maksudku, Bapak-bapakku yang asli, Pak. Bukan Pak bos. Aku betul-betul harus pulang!"
Bosku pun menoleh dengan ekspresi julidnya. "Kamu berani denganku?" tanyanya.
"Ya--tidak berani sebetulnya," kataku. "Tapi ini kan di luar jam kerja, Pak! Anda tak bisa semena-mena!"
Dia pun tersenyum padaku. "Oh, iya? Kalau begitu bilang dimana alamat rumahmu."
"Hah?" Aku mundur selangkah karena dia maju selangkah.
"Aku akan mengirim orang sekarang. Utusanku. Biar dia saja yang mengantar Bapak-mu ke RS," katanya.
Aku pun tak bisa berkata-kata. Padahal itu alibi paling sopan untuk pulang segera. Namun pria ini sangat gigih. Terbukti dia menyodoriku ponsel untuk memasukkan alamat, walau rasanya absurd sekali.
"Nomormu sekalian kalau begitu."
"Eh?"
"Kenapa? Jangan bilang kau bahkan tak punya ponsel?"
Aku pun meneguk ludah. "Saya memang tidak punya," kataku saat mengembalikan benda tersebut. Bosku pun terheran-heran, tapi dia tidak berkomentar apapun. Aku kemudian mengikutinya seperti anak ayam, dan kulihat dia sibuk mengetik sepanjang jalan. Mungkin karena betulan menyuruh orang ke rumahku? Semua ini tidak masuk akal.
"Jadi, bagaimana Pak? Perasaan katanya tadi Saya mau dibawa ke RS. Kenapa malah di sini?" Aku tidak berani duduk di sebelahnya (Dia terlalu bau uang, untuk aku yang sering makan lauk lebihan).
"Ya, ini tandanya aku tidak main-main tadi siang. Kamu memang kubawa pulang untuk hubungan serius."
Aku diam karena tidak tahu kata-kata apa yang paling tepat. Cangkir di pangkuan pun kuelus-elus, aku menatapnya. Semua untuk meminimalisir kegelisahan. Jadi selama ini bosku gay? Pikirku. Terus bocah ucil waktu itu adalah anak angkatnya, ha? Aku perlu menganalisa banyak unsur rahasia.
"Oke, mungkin ini agak membingungkan untukmu, sorry lagi. Tapi aku sudah melihatmu sejak satu tahun lalu. Ya, walau kenal atau tidak itu pembahasan lain," kata bosku. Wah? Dia stalker? Aku jadi ngeri sendiri. "Sadar atau tidak sadar, sih. Sampai bawahanku bilang yang ini, ini, ini, dan ini adalah kamu, pekerjaku sendiri di kontruksi."
Mukaku datar saat dia mengeluarkan map dari laci meja. Benda itu berisi kumpulan fotoku. Cukup banyak, walau aku sendiri tidak ingat adegannya apa saja. Aku pun dibiarkan meniliknya satu per satu --walau gerakan jariku kaku-- barulah kusadari jepretan rapi itu disertai tanggal pengambilan.
Ada aku yang mengulurkan kaos untuk wanita tembus menstruasi. Ada aku yang membukakan pintu untuk pria buta. Ada aku yang mendorong kursi roda untuk lansia di zebra cross. Ada aku lagi yang menguncir rambut gadis bergips karena kelihatan patah tulang. Dan masih banyak lainnya. Kubalik-balik semua foto itu ada tulisannya "SOCIAL EKSPERIMENT RESULT || SUBJECT: APO/NATTA 18 OKT 2018" tapi rasanya masih seperti mimpi. Pasalnya semua kejadian ini tidak pada satu tempat. Tidak langsung. Terbukti bajuku berbeda-beda pada gambar itu.
"Sebenarnya bukan cuma kamu saja ditarik hasilnya," kata bosku. "Banyak orang selama ini. Mungkin ratusan. Pria, wanita. Tua, muda. Lajang, berpasangan. Tapi kupilih mana yang paling mungkin."
Aku masih tidak berkomentar.
"Dan ini tidak bisa dimasukkan dalam pelanggaran undang-undang. Toh aku tidak mengambil dari sudut pandang penghinaan," jelas bosku lagi. "Semua foto aman dan hanya diserahkan padaku saja. Tetap rahasia. Tidak ada publikasi di media massa."
Tenggorokanku rasanya mengering. "Terus Anda mau bilang kalau pemenangnya Saya, begitu?"
"Pemenang?" Bosku pun terkekeh-kekeh. "Boleh kok kamu sebut begitu. Toh memang kenyataannya iya. Aku hanya mencari yang terbaik untuk dijadikan pasangan."
"...."
"Zaman sekarang 90% manusia tidak peduli kepada sekitarnya. Berhati kecil. Berpikiran sempit. Bahkan untuk yang berpendidikan tinggi dengan almamater universitas besar pun bisa korupsi triliunan dari sebuah company," katanya, lalu menikmati kopi. Pria ini menatap ke depan dengan senyum di bibirnya. Benar-benar 180 derajat beda dengan yang pernah kuhadapi. "Racun dibalas racun, dan ular dibalas ular. Aku memang memakai cara licik untuk bertahan di dunia yang lebih licik. Tapi kalau kau menolak, aku berharap masih ada orang yang sepertimu di luar sana."
"...."
"Ya, walau penelitiannya dimulai dari awal lagi."
"...."
".... dan sulit. Jadi kau pantas untuk berbangga diri sekarang. Selamat."
Aku pun meletakkan foto-foto itu. Sejujurnya merinding juga kalau melihat tanggal-tanggal yang tertera. Apalagi aku tidak selalu dalam kondisi tampan. Namanya kuli, aku sering berkeringat banyak. Penuh debu, semen, pasir, dan tak mandi sebelum pulang kerja, tapi untuk foto yang terakhir lumayan juga. Si fotografer pasti menyukai pekerjaannya. Sangat obsesif. Karena dia mencari sudut pandang terbaik untuk menangkap momen-momen tersebut.
"Hmm, bagaimana ya ...." gumamku. "Jadi orang-orang ini adalah setting-an saja, begitu? Mereka tidak benar-benar cacat atau sedang membutuhkan?"
"Benar."
"Mereka semua adalah suruhan Anda?"
"Ya, tapi selama penelitian saja," tegas bosku. "Kenyataannya ada jutaan manusia kesulitan di dunia ini, butuh uluran tangan orang lain, tapi masyarakat sekitar justru sering memilih berlalu."
Aku pun merasa bercampur aduk.
"Keluarga Anda tahu soal ini tidak?" tanyaku, mulai paham kenapa si bos melakukan hal yang konsepnya di luar bumi. Aku pun terkejut, karena ini malah usulan dari ibunya, disetujui ayahnya. Jadi, keputusan ini benar-benar tinggal menungguku.
Namun, aku juga mengatakan kelemahan yang kumiliki. Mulai pendidikan rendah, selera makan kampungan, hobi tidur sembarangan asal bisa baring, dan lain sebagainya. Hanya saja kata pak bos itu masih mudah diperbaiki. Karena sifat dan karakter manusia lebih sulit ditempa. Dari sana dia pun memilih sesuatu yang asli permata dari asalnya. Itu ringan, tapi aku tidak pernah merasa seistimewa yang dia bilang ....
"Sekarang bagaimana, Natta? Iya atau tidak, hm?" tanya bosku. "Jika iya, mari kita mulai saling mengenal. Tapi andai bukan, kuantar kau pulang setelah ini."
"...."
"Kita makan malam dulu, tentunya."
Aku pun menahan napas.
Ini sih pilihan yang sulit sekali ....
Pasalnya aku belum pernah berpikir akan menikah dengan lelaki, duda pula, dan kira-kira akan ditusuk pada bokongku. Aku pun membayangkan jika menolak nanti pulang akan bertemu Ibu dan Bapak seperti biasa. Tetap menguli, dan itu entah sampai kapan.
"Kok buru-buru sekali, ya?" tanyaku. "Bisa jangan langsung mengarah ke "iya", Pak? Maksud Saya, kalau Saya bilang menerima sekarang ... susahnya nanti terlanjur memberikan harapan ke Bapak."
"...."
"Saya kan sebelumnya cuma kepikiran menikahi wanita."
Bosku pun tertawa kecil. "Kamu pikir aku tidak begitu?" katanya. "Pas sekolah pacaranku dengan lelaki cuma main-main. Tapi setelah menikah, dan gagal. Yang mana saja lah. Gender nomor dua, karena prioritas utamaku sekarang cocok-cocokan saja."
Aku pun makin tersudutkan. "Hm ...." gumamku sambil memandangi kopi.
Tapi ini kesempatan bagus. Nanti kalau si Bapak dapat orang lain lagi, bagaimana?
"Saya tidak dikasih waktu dulu untuk berpikir, begitu?" tanyaku.
"Berapa lama?"
"Tidak tahu. Ya sampai Saya yakin mau dekat."
"Kamu tidak berpikir lebih baik aku segera cari lainnya?"
Benar-benar keterlaluan ....
"...."
"Bagimu baru, tapi aku sudah dicekoki masalah pasangan berikutnya sejak 4 tahun lalu. Kamu tidak memikirkan aku harus bertindak bagaimana?"
"Pak ...."
"...."
".... tapi Saya boleh menolak kan kalau akhirnya tidak yakin?"
Bosku pun menyesap kopinya lagi demi menghindari ketegangan. "Ya, boleh saja. Mau bagaimana lagi ...." katanya, tapi jelas kedengaran tidak rela. Sedikit banyak aku pun me-notice pria ini punya sisi lucu. Bahkan lebih menggemaskan dari aku sendiri yang memakai piama bermotif kucing.
"Oke, iya."
Bosku pun langsung menoleh.
"Tapi paling tidak kasih tahu dulu kan nama Bapak ini siapa?" tanyaku. "Dari tadi bicara sampai menikah, tapi hal itu saja masih rahasia."
"Oh ...." desahnya. Pria itu pun tertawa kecil. Merasa konyol. Lalu mengulurkan tangannya perlahan-lahan. "Namaku adalah Mile Phakpum Romsaithong. Usia 34."
"Oke."
Aku pun membalas jabatan tangan tersebut.
"Panggil "Phi" mulai sekarang, biar tidak kedengaran terlalu tua. Ha ha ha ha ha."
Hmm ...
Ternyata suara tawa Phi Mile ini bagus juga di telinga.
Bersambung ....