_________________________
Aku pun benar-benar dibawa Mile makan malam bersama. Ada orangtuanya di sana. Ada anaknya yang bernama Gabby. Dan ketiga orang ini menatapku beda-beda. Bibi Nathanee senyum sewajarnya, Paman Songkit tampak welcome meski terasa lebih formal, sementara si Gabby menunjukku terang-terangan. "Daddy, itu siapa kok pakai piama-nya Mama."
Oh, shit! Jadi ini piama wanita? Pantas saja motifnya begini ....
"Dia? Perkenalkan namanya Phi Natta."
"Ai, halo ... Phi Natta ...." sapa Gabby dengan cengiran kecilnya. Aku pun mengangguk untuk membalas. Lalu berkenalan juga dengan kedua calon mertua (bisa kusebut begitu tidak?). Mereka ternyata baik, tidak seperti orang kaya dalam bayanganku. Pantas anaknya diizinkan menggunakan metode unik dalam mencari pasangan.
Ya, walau agak menyiksa karena aku tak paham cara makan sopan di meja itu. Aku bahkan takut memegang sendok yang mana, centong yang mana. Sebab garpu pun bermacam-macam. Ada yang untuk daging, ada yang untuk buah ... untung Mile membantuku sedikit. Dia mengambil piringku untuk diiriskan dagingnya. Ditukar lagi. Barulah dia makan miliknya sendiri.
"Terima kasih ...." kataku, yang diangguki Paman Songkit.
"Santai saja, Nak. Jangan tegang. Kami sudah tahu apa alasanmu di sini. Jadi, lakukanlah seperti biasa kau makan di rumah."
"Iya, Paman."
Mana bisa aku seenaknya begitu ....
Usai makan, aku pun ganti baju dari Mile. Lalu masuk mobilnya untuk diantarkan pulang. Namun, pria ini tidak langsung menuju rumahku. Dia belok dulu untuk membelikan ponsel, dan isinya langsung dilengkapi kartu paketan internet.
"Kulihat-lihat kau bisa memakai ponselku," kata Mile. "Berarti harusnya bukan masalah." Dia menyodorkan paper-bag itu padaku. "Pernah punya sebelumnya?"
"Iya." Aku pun menerima benda tersebut. "Terima kasih ...."
"Tapi dijual atau rusak?"
"Hm."
"Karena?"
"Belum ganti plat nomor pada waktu itu," kataku. "Belum bayar pembuatan SIM juga untuk mengemudi truck pasir."
"Oh ...."
"Saya yang penting tidak berhutang," kataku. "Dan soal ini akan Saya bayar kalau punya cukup uang."
"Kau pikir aku mau menerimanya?"
"Phi?"
Mile langsung berjalan keluar toko dengan gemerincing kunci mobilnya. "Ayo cepat. Aku tak sabar bertemu Ibu dan Bapakmu," katanya. "Dan hubungi aku pakai itu mulai sekarang. Set dial up. Kutunggu ...."
Aku pun segera menyusul dia. Namun, saat sampai rumah ternyata Ibu dan Bapak masih antri cuci darah di RS. Jadi, Mile hanya bisa melihat kondisi tempat tinggalku. Dia seperti menatap gubuk beras kebakaran, padahal menurutku tak seburuk itu. "Memang lebih luas kamar Anda daripada tempat ini," kataku. "Jadi, kalau menolak masuk pun tidak apa-apa."
Mile Phakpum malah nyelonong ke dalam. Pria itu menundukkan kepala agar tidak terantuk pintu masuknya, lalu duduk di kursi tamu meski lututnya menonjol ke atas. Tempat itu pasti sempit untuk dia, terlalu rendah. Jadi aku tidak bisa tak menahan tawa. "Pfft, mau minum? Tapi di sini cuma ada air putih."
"Boleh," kata Mile. "Aku bisa makan dan minum minuman apa saja. Aku kan suka mencoba banyak makanan."
"Serius?"
"Keluarkanlah apa yang kamu punya di rumah."
Sambil lirik-lirik penasaran, aku pun meletakkan paper-bag di sebelah galon tanpa porselin. Aku juga menyajikan segala yang masih tersisa (hanya biskuit pasar, setangkup roti, dan segelas air putih) Dia langsung memandangi isi nampanku.
"Serius kamu makannya begini setiap hari?"
"Ya, tapi masih mendingan kok daripada tetangga sebelah," kataku. "Orang-orang di sini malah ada yang dikirimi tetangga 2-3 hari sekali. Beberapa karena sudah tua dan ditinggal anak. Ada juga yang cacat habis kecelakaan hingga tak bisa kerja sendiri. Palingan cuma menganyam bambu di rumah sambil mendengar radio."
"Oh ...."
"Untung Anda paham posisi Anda seberuntung itu."
Gantian Mile yang sering diam di sini. Dia hanya mencicipi biskuit dan roti dariku. Minum air. Lalu memandangku dari seberang sana.
"Kenapa?"
"...."
"Phi Mile berubah pikiran?"
"Tidak."
"Kok begitu lihatnya."
"Aku hanya heran orang sepertimu lahir di sini."
Sebelum aku membuka mulut, Ibu dan Bapak ternyata mendadak pulang. Aku pun langsung lari keluar, dan mereka tampak sumeringah karena diantar sebuah mobil. Ya, walau Bapak habis mabuk darat di tengah jalan. "Pak!" Aku segera datang padanya.
"Ha ha ha ha ha ... Bapak pulang," kata Bapak. "Kau sudah makan malam atau belum, Sayang? Tadi ada croissant yang kelihatannya enak. Lihat? Bapak beli satu karena ingat dirimu."
Aku pun menggantikan Ibu memapah Bapak, setelah menerima kresek putih tersebut. Senang sekali tampilan Bapak hari ini cerah! Begitu pun Ibu yang masuk duluan untuk menyiapkan bantal duduk. Namun, keheranan segera melanda ruang tamu karena Bapak melihat Mile, begitu pun Mile yang menghadapi orangtuaku.
"Halo ...." sapa Mile.
"Halo juga ... siapa ya?" tanya Bapak agak bingung. Untung sopir mobil yang tadi ikut masuk, namanya Peter, dan pria itu menenteng barang bawaan yang ketinggalan.
"Pak Wattanagitiphat, ini. Siapa tahu Anda tadi kelupaan!"
"Oh, iya ... terima kasih ...." kata Bapak, dan barangnya segera diterima Ibuku. Peter jelas tidak bisa langsung abai, sebab bosnya ada di sana dan langsung menghormat.
"Lho, Tuan Mile?" kata Peter. "Ahh, maaf baru melihat Anda di sini."
Dari situ Ibu dan Bapak pun paham situasi kami. Mereka ikut bertegur sama dengan Mile, walau aku sendiri ketar-ketir reaksinya. Aku pun memilih ke dapur dengan alasan menata barang Bapak dahulu. Kabur sebentar. Karena Bapak adalah orang yang pernah bilang ingin punya cucu. Beliau pasti tak menyangka aku setuju berhubungan dengan pria, tapi Bapak bukan jenis yang tak tahu sopan santun. Apapun pendapatnya, beliau takkan menghujat Mile karena sudah membantu keluarga kami. Tapi begitu bosku pamit aku langsung mengejarnya.
"Phi Mile!"
"Ya?"
"Kata Bapak tadi bagaimana? Phi sudah jujur kepada beliau?"
"Sudah."
"Terus?"
Aku merasa Ibu dan Bapak tetap menguping dari balik dinding kayu.
"Mereka ingin bicara denganmu dulu. Tak masalah," kata Mile sambil tersenyum. "Tapi besok tidak perlu datang di konstruksi, ya? Aku ingin bertemu kamu lebih lama."
"Oh."
"Besok dijemput Peter untuk menemaniku makan siang di kantor."
Aku pun tidak bilang apa-apa. Peter sendiri baru balik dari rumah Mile karena mengambil amplop-ku yang ketinggalan. Lalu menyerahkan benda tersebut padaku. Namun, Peter juga memberikan paper-bag lain. Isinya setelan baju baru, tentu dipakainya besok pas kami bertemu di luar.
Wah, aku tak menyangka Phi Mile berpikirnya sejauh itu. Cenayang ya? Dia tahu Bapak akan membiarkan atau bagaimana? Percaya diri sekali.
"Sayang, Natta."
"Oh, iya, Pak?"
Aku segera masuk begitu mobil Mile dan Peter keluar gang secara gantian. Bapak memang betul-betul mewawancaraiku setelah itu. Ibu juga. Lalu kujelaskan kronologi Phi Mile berhasrat ingin menikahiku. Aku sendiri kaget kan kemarin? Nah, sekaget itu juga lah orangtuaku. Bagi mereka orang seperti Mile tidak nyata. Hampir mustahil, kecuali di serial tipi buram milik kami bertiga.
"Tapi orangtuanya, bagaimana? Betulan baik?" tanya Bapak.
Aku pun cerita apa adanya. Terutama obrolan kami ketika di meja makan. Faktanya kan memang sebaik itu Bibi Nathanee dan Paman Songkit? Mereka adalah tipe orangtua yang diinginkan seluruh anak di dunia ini. Tegas, baik, open-minded, penyayang ... belum lagi pengertian dan punya tutur kata yang halus.
"Hmm, bagaimana ya ...." kata Bapak sambil memandangku. "Sebelum itu, croissant dari Bapak sudah kau makan?" tanyanya.
"Belum," kataku. "Ahhh ... tapi pasti nanti Natta makan kok. Tadi kan ada tamu, Pak. Mana bisa langsung main hap, hap, hap ... ya kan?"
"Iya, tapi sekarang coba ambil dulu ...."
kata Bapak.
Aku pun bingung, tapi tetap kulaksanakan kemauan Bapak. Kemudian beliau menyuruhku makan di hadapannya. Kulihat, Ibu dan Bapak senang sekali melihatku mengunyah croissant, sebab mereka tahu aku menyukai jajanan ini. Mereka lantas berpandangan dengan pikiran yang tidak aku mengerti, lalu jajan itu habis dalam beberapa kali gigit saja. Ya, namanya kuli--kau takkan pernah tahu sebesar apa selera makanku yang asli ....
"Enak tidak?" tanya Ibu.
"Ya, iyalah. Ibu kan tahu croissant adalah favorit-ku."
"Ha ha ha ha ha ...." tawa Bapak. Dia lalu meraih pipiku. "Bagus. Senang sekali Bapak dengarnya."
"...."
Bapak berkaca-kaca menatap wajahku.
Ada apa sih?
Jadi dramatis sekali ....
"Pak?"
"Yaaa ... misal saja kalau punya uang lebih pasti kubelikan segerobaknya," kata Bapak. "Cuman, meski Bapak tahu kau suka croissant, jajan-jajan di kafe RS itu mahal sekali--ha ha ha ha ha ... jadi maaf cuma bawa pulang satu."
Beliau malah menangis.
"Eh--eh ... Pak?! Woe--PAK?! Aduh Natta tidak apa-apa ... kan memang biasanya begitu. PAK?!"
Aku pun segera bangkit dari jongkok untuk memeluknya. Entah siapa yang anak, siapa yang orangtua di sini ... yang pasti Bapak benar-benar merangkul perutku posesif. Beliau manja karena merasa bersalah padaku, dan katanya kesal punya anak di usia tua. Beliau bilang kenapa harus aku yang menggantikan posisi tulang punggung keluarga. Tapi mau apa kalau sudah begini?
"Bapak tadi bisik-bisik sebentar ...." kata Ibu mendadak mewakili. ".... Bapak bilang ambil saja yang kau mau selama bisa, Nak. Apapun. Entah itu croissant, baju, tas, sandal, suami--soalnya tidak semua hal bisa kami berikan sebaik keinginan yang seharusnya."
"...."
"Kalau Pak Mile dan keluarganya tidak menyakitimu, ya sudah. Jalan saja. Memang kenapa kalau lelaki? Yang baik hanya untuk yang baik. Jadi, harusnya kau tidak memikirkan kami sekeras itu, oke Sayang?"
"...."
"Dan kami siap membelamu kalau ada apa-apa di depan."
Aku pun memeluk Bapak semakin erat. Aku tidak tahu perasaan orangtuaku sedalam itu, karena selama ini mereka hanyalah dua orang yang bersahaja. Kupikir Ibu dan Bapak tidak pernah memikirkan masa depanku, tapi kata-kata soal cucu itu bukan omong kosong ternyata. Ibu dan Bapak hanya memikirkan pernikahanku, bagaimana jika mereka pergi sebelum bisa melihat hidupku mapan. Karena seumur-umur ... mereka merasa seperti jadi bebanku.
Bagaimana jika Natta mengurus kami sampai tak peduli dirinya sendiri?
Bagaimana jika Natta mengurus kami hingga menunggu kami mati terlebih dahulu?
Bagaimana jika Natta merasa baru bisa menikah setelah itu?
Bagaimana jika Natta nanti terlalu tua untuk menikah?
.... dan masih banyak lainnya.
Aku bisa membayangkan bagaimana kecemasan mereka saat itu. Sampai-sampai tidurku tak datang semudah biasanya. Aku pun insomnia meski sudah berbaring di dipan teras, dan bintang-bintang di langit rasanya sedikit hambar.
Sebenarnya aku ini kenapa?
Kaget tiba-tiba diajak menikah?
Calonnya bukan tokoh sembarangan, pula.
Seorang pria yang muncul di novel-novel kesukaan wanita, bukan? Apa mereka tidak marah kalau aku menikah dengan Mile Phakpum Romsaithong?
"Halo, Pak. Siang ....." sapaku pada Mile pada keesokan hari.
"Apa?" kaget Mile di balik meja kantornya. Pria itu pun melepaskan kaca mata demi memandangku. Tentunya salty karena mendengar panggilan tersebut dariku. "Kamu lupa ya merubah panggilanku bagaimana? Atau sengaja me-roasting saja?" tanyanya.
Aku pun tertawa kecil. "Anda ini serius sekali ...." kataku, lalu duduk di sofa yang tak jauh dari sana. "Pantas keningnya sampai begitu waktu bekerja. Ha ha ... Phi Mile ini terlalu banyak berpikir."
Senyum tipis pun langsung kudapat dari bibirnya. Namun, pria ini tidak serta merta mengajak makan siang seperti kemarin, melainkan ke sekolah Gabby terlebih dahulu. Pukul 10:30 memang waktunya anak TK keluar, kami berdua menunggu 5 menitan. Barulah bocah itu berlari kencang dari gerbangnya.
"Daddddddyyyyy!!"
"Haiiii ....!"
Ngomong-ngomong soal Gabby ternyata cerewet sekali. Karena sejak berpeluk, hingga masuk ke mobil dia suka ngomong tanpa berjeda. Baik dengan Daddy-nya, denganku, atau dengan robot-robotannya.
Bocah ini cerita soal apa saja yang dia alami di sekolah tadi. Sampai-sampai babysitter-nya tertawa di kursi sebelah. Wanita itu telaten sekali menanggapinya. Lalu mereka diantar pulang ke rumah dahulu.
Oh, jadi Phi Mile ini senang menghabiskan waktu dengan anaknya ternyata ...
Kukira dia tipe Bapak-bapak yang sok sibuk 24/7.
"Biasanya kamu makannya di mana?" tanya Mile setelah melanjutkan perjalanan. Dia bilang ingin mencoba apa yang sering kunikmati, karena katanya makanan restoran ya begitu-begitu saja.
Aku pun bingung bagaimana cara menawari. Karena aku sendiri jarang makan di luar. Paling-paling setelah nguli beli sesuatu terus pulang? Aku selalu kepikiran Ibu-Bapak kalau makan sendiri tanpa memastikan mereka sudah.
"Hm? Tidak tahu? Seriusan?"
"Kalau cuma minum kopi Saya baru kumpul-kumpul bersama orang ...." kataku. Karena itu lebih irit bagi manusia yang jarang dapat hiburan sepertiku. Sehingga lagi-lagi Mile pun melirik heran, dia tampak berpikir. Sementara aku cukup menikmati ini. Seru juga membuat orang kaya ribet pada hal yang biasanya tidak mempengaruhi mereka ....
"Baiklah, kalau begitu mau mencoba makanan yang kusukai?" tawar Mile. "Tenang saja, nanti restorannya kupilih yang tempat privat. Kamu boleh makan sesuka hatimu di sana. I will pay for everything ...." katanya sambil tersenyum.
Aku pun iya-iya saja, tapi Mile rupanya peka mataku memerah. Dia bertanya kenapa aku kurang tidur, kujawab apa adanya. Untung makanannya belum sampai datang. Jika sudah, aku pasti kehilangan selera. Dan akhirnya kami bicara soal tadi malam. Mile senang karena reaksi orangtuaku bagus, aku juga. Hanya saja dariku sendiri aneh.
Mile bilang mungkin karena pikiranku sudah kemana-mana, melebihi progress hubungan kami. Lalu dia mengulurkan tangan di atas meja. "Mau coba pegangan dulu?" tanyanya. "Kamu pasti panik karena belum pernah dengan pria sebelumnya."
Aku pun memandang lurus. "Anda belum suka ke Saya kan, Phi?" tanyaku demi memastikan.
"Ya, belum. Tapi kalau tertarik sudah," kata Mile. Masih membiarkan tangannya siap menyambut. "Kamu pikir kenapa aku menyortir ratusan orang? Tentu karena kupilih yang paling baik dan menarik terlebih dahulu ... masuk akal kan? Mana mungkin aku langsung cinta mati hanya karena 20 foto. Dongeng itu tak seindah kenyataan, paham? Aku juga pernah menikah sebelumnya."
Aku pun meletakkan tangan kiriku ke sana perlahan. Kutatap dia dengan denyut-denyut jantung aneh. Tidak kencang, biasa saja. Tapi cukup menguras emosi. Apalagi saat Mile balas menatapku. Pria ini punya senyum yang bahaya bagi semua mata, dan dia melakukan itu sambil mengelus punggung tanganku. Hangat sekali rasanya, serius. Kurasa Mile tahu bagaimana cara menangani perjaka. Dan mungkin pacar-pacar lelakinya dulu pun belum pernah dijamah orang.
Lama-lama aku pun menatap jariku sendiri, kubalas dia. Lalu kami saling menampakkan kekehan.
"Hhh ... bagaimana rasa tangan Saya? Kasar bukan? Saya bukan orang seperti Anda yang sering dalam ruangan ...."
Senyum Mile justru semakin menawan.
"It's not bad. I'm okay ... sudah resiko jika tertarik kepada lelaki," katanya. "Aku tidak akan memaksamu sok-sok gemulai seperti wanita. Jadilah dirimu sendiri saja. Dan kalau pun aku dapatkan versi nakalmu, itu pastinya kuanggap bonus ...."
Aku pun makin tertawa-tawa.
Sedikit banyak aku suka pemikiran pria ini. Dia realistis. Jadi sudah siap 100%, meski mantan istrinya wanita. Dari situ aku tahu ini juga tak mudah untuknya, dia hebat. Karena itu kubiarkan dia mencium telapak tanganku, meski sempat syok sesaat.
"Phi ...."
"Stay still ... aku terhibur ada aroma parfum juga di sini. Ha ha ha ...."
"Ya--ha ha ha ... tapi maaf kalau baunya begitu murah. Aku kan tahu diri jika bertemu Anda harusnya tak jelek amat."
"Apa itu? Kamu itu manis dan tampan. Jangan bilang aneh-aneh untuk memaki diri sendiri."
"Atau Anda kangen momen Saya memaki seseorang? Saya jago kalau dalam hal seperti itu ...."
Suasana pun lebih mencair. Kami jadi makan lebih santai. Lalu aku dijanjikan Mile latihan table manner. Dia bilang ingin mengajariku sendiri. Karena katanya kalau guru les, malahan aku tertekan. Namun, kegiatan itu juga tidak bisa langsung. Karena Mile harus meluangkan waktu dulu agar bisa tercapai. Pria ini minta aku menunggu chat darinya saja, kapan dan dimana. Lalu bertanya padaku hal yang tak pernah aku sangka.
"Sebenarnya apa cita-citamu?"
"Eh?"
"Tidak mungkin kan kamu aslinya tak punya yang seperti itu ...."
Waktu itu aku pun langsung terhenyak, padahal perjalanan pulang sebelumnya oke-oke saja. Tapi aku sendiri lupa karena (menurutku) topik ini sudah kadaluwarsa. Apalagi pendidikan terakhirku hanya sampai tingkatan SMP. Beruntung Ibu dan Bapak selalu mengedepankan moralitas, jadi mereka mendidikku hingga pantas duduk di tempat ini.
Di mobil Mile.
Di sebelahnya.
Tapi otakku kosong melompong.
"Saya hanya--apa ya ....?" gumamku sambil menatap Mile yang tengah menyetir. "Jujur Saya memang tidak punya, tapi ingat kok kalau dulu suka sekali IPS."
"Ho, ilmu sosial?" tanya Mile.
"Iya, dan Penjaskes karena Saya sering juara 1 pas lomba lari."
"Ha ha ha ha ha ... pantas ...." kata Mile. Tapi dia tidak melanjutkan kata-katanya. Aku sendiri tidak tersinggung karena siap siaga, bagaimana pun dia kaya dan aku ini rakyat jelata. Dari dulu aku memang punya kekuatan fisik hebat, tapi sayang ranking-ku hanya pernah 10 besar sekali. Well, itu tidak buruk. Aku masih kenal Bahasa Inggris yang paling dasar. Tidak bodoh-bodoh amat. Tapi beginilah jadinya bentukan "Apo/Natta".
Aku tidak bisa dikatakan permata seperti yang Mile bilang, karena sisi minusku sudah terlampau parah. Aku bahkan berharap Mile memberiku kesempatan belajar dari awal untuk mengejar ketertinggalanku. Karena dia orang penting yang pastinya mustahil tidak memamerkan pasangan ke orang lain. Namun, Mile ternyata tidak setuju. Dia menolakku dengan sangat tegas. Barulah bilang seperti ini:
"Aku lebih memilih menikahimu dahulu dan diam-diam tidak masalah."
"Phi?!" kagetku. "Apa itu tak terlalu beresiko--maksud Saya ...."
"Justru lebih beresiko kalau kamu melajang sampai disukai orang ...." kata Mile, lalu melirikku lewat spion depan. "Jadi belajarlah saja di rumahku, di sisiku. Kita adakan resepsinya kalau kau nanti siap semua. Bagaimana?"
Sial, ini lebih membuatku berdebar daripada momen mana pun!
"J-Jadi ... Saya harus kejar paket C, begitu?" tanyaku benar-benar panik. "D-Dan kuliah, misalnya? Saya hanya sudah terlalu lama tidak menggunakan otak ...."
Mile pun menghentikan mobil sejenak. Mungkin karena pria ini merasa obrolan kami serius. Jadi, dia pun langsung menoleh padaku, meraih tanganku. Toh memang hanya itu jenis sentuhan yang sementara ini bisa kuterima.
"Tenang, tenang. Aku kan tak pernah bilang ke kamu begitu ...." kata Mile. "Kalau pun kamu tak mau, tidak masalah. Jadi jangan pernah memaksakan diri sendiri. Cukup pelajari apa-apa saja yang sungguhan penting. Tetap baik seperti dirimu sekarang. Ingatlah itu sudah lebih dari yang aku inginkan."
Debaran jantungku pun perlahan melambat. "Anda serius?"
"Ya ...."
"Anda tidak malu melanjutkan hubungan ini dengan Saya?"
Mile pun mendekat, aku menahan napas. Kemudian dia menegaskan sesuatu. "Dengar, Natta. Bagi orang-orang sepertiku ... justru mudah melakukan tipuan andaikan mau. Sebab zaman sekarang ijazah bisa saja dibeli ...."
"...."
"Baik sekolah, kuliah, bahkan kerja sekali pun ...." kata Mile. "Semua akan dilicinkan dengan uang, orang dalam, kekuasaan, dan relasi. Jadi kamu boleh melakukan apa yang kamu mau."
"...."
".... hanya tetaplah berani seperti lelaki yang kulihat di kontruksi itu. Percaya diri, lalu pelajari apapun yang kamu suka nantinya, oke?"
Aku pun tak bisa berkata-kata. Aku hanya diam dengan punggung terdempet ke pintu mobil. Lalu Mile meremas tanganku di kecupannya. Rupanya pria ini lebih idaman daripada yang kukira, tapi kenapa istrinya dulu menyia-nyiakan? Apakah sisi materialistis benar-benar segelap itu?
Aku tidak tahu manusia tamak akan ditakuti orang-orang kaya ....
"Oke ...." kataku.
"Bagus ...."
"Tapi, Phi. Saya tetap boleh bekerja kan kalau tidak dipanggil begini?"
"Apa?"
"Di kontruksi ...." tegasku. "Teman-teman pasti heran apakah Saya dipecat juga. Maksud Saya, kalau soal habis berkelahi kan wajar cuti sebentar. Cuman kan Saya sudah terdaftar sebagai kuli di sana--"
Aku pun diam saat Mile menarik kerah bajuku. Apalagi ada luka memar berperban yang masih basah di sana. Matanya pun melotot karena perkataanku, dia jengkel. Lalu menggerbak punggungku lagi sebelum bibir kami menyatu.
Bersambung ....