Selamat membaca! Semoga suka!
___________________________________
"Hmmmphh!" berontakku refleks karena terkejut. Mile pun terdorong mundur dan kupelototi, tapi kelopak mataku redup perlahan sejak dia memandangi bibirku. "Phi--"
"Aku ingin cium kamu," sela Mile tanpa mengalihkan pandangan. "Bukankah sejak di kontruksi pernah kubilang begitu? Aku --entah kenapa-- suka melihat bentuk bibirmu. Warnanya, tebalnya ... aku benar-benar tidak sabaran kalau soal ini," akunya lalu menaikkan fokus ke mataku. Jantungku pun jungkir balik dan didengar dia. Mile senang. Lalu mendekatiku sekali lagi.
"Hmm ...." Aku pun refleks mundur hingga kepalaku membentur kaca jendela. Namun, aku tidak melawan karena hubungan ini kusetujui. Tapi harus ya berciuman sekarang?! Perasaan waktu di restoran Mile bilang kita berpegangan dulu untuk percobaan. "Hmmp--" gumamku saat bibir Mile kembali menempel. Teksturnya lembut untuk ukuran milik pria, sehingga aku semakin gugup. Dia langsung mengecupku beberapa kali, sangat cepat. Dan belahan bibir Mile membelai syaraf sensitif di bibirku. Menekanku, menjepitku, anehnya lidah pria ini tak segera masuk. Dia menggodaiku dengan sapuan nakal pada rongga mulut. Memintaku membuka akses sendiri, barulah aku memberikannya. Antara geli dan kram bibir, aku pun meremas bahu Mile dan menjambak kerah bajunya. Sadar-sadar ludahku terteguk selama kami saling melumat. Ah--aku cukup menikmati kegiatan ini. "Hnngh ...." Napasku memburu diantara jarak wajah yang setipis tisu.
Hidung Mile pun terus menyeruduk diantara pipiku. Menghidu kulit kasar, dan menyedot rongga hangatku, tapi dia tidak memberikan kesempatan untuk aku bernapas. Tiap Mile bergerak aku dituntut pandai mencuri udara sendiri. Aku tersengal, dan kepalaku mendongak saat saliva turun setipis benang dari sudut bibir. Ini nyaris seperti kegiatan memakan makanan lezat. Tapi aku adalah hidangan bosku di sini. Dia juga maju untuk membelai pinggangku. Aku terkejut. Lalu terbelalak hingga tanpa sadar menggigit bibirnya.
"Akh--Natta ...."
"Eh! Eh! Ya ampun, Phi! Phi! Maaf ....!" kataku refleks menyentuh rahangnya. Mile pun terpejam sesaat. Darah mengalir tipis pada bibirnya. Lalu dia menatapku sebal.
"Obati ...." katanya sambil menarik tanganku.
"Hah?"
Aku yang terlolong pun bingung karena jarak kami semakin dekat. Aku nyaris menyusruk badannya, lalu kupandangi bibir terluka itu. Maksudnya bagaimana ya? Pikirku.
Aku pun menoleh untuk menilik dashboard mobil Mile (Apakah ada sesuatu yang bisa dipakai di sana) Tapi isinya hanyalah charger. Aku pun berpikir lagi, sementara Mile menungguku bertindak, dan mata itu masih menatap dengan lidahku terjulur. Meski ragu, aku kini menyapu bibirnya yang terluka perlahan. Pasalnya sejak dulu aku diajari Ibu ... kalau jatuh dan berdarah 'Sesap saja, Nak dengan air ludahmu! Nanti sembuh!', tapi tak kusangka Mile mau memakai caraku.
Kukira orang kaya seperti Mile akan sangat higienis, over-suci, tapi pria ini malah menciumku lagi. Dia bahkan lupa kami masih di jalan. Aku menubruknya, lalu Mile memeluk pinggangku yang ramping nan berotot. Dia melingkarinya menggunakan dua lengan. Menahanku. Lalu aku mengoyak kemeja bawahnya saat melampiaskan gejolak cemas. Krak! Bagian itu pun robek sedikit, aku takut.
Karena kau tak pernah tahu berapa juta harga baju yang dipakai oleh orang kaya ....
"Phi, berhenti dulu! Baju Anda ....!"
Mile Phakpum justru semakin beringas. Posisi dudukku sampai meleyot ke arahnya. Aku mundur. Barulah dia melepasku karena kesusahan napas. "Hh ... hhh ... hhh ...." desahku tersengal hebat. Aku pun langsung mengusap saliva bibir, menatapnya. Lalu Mile menatapku dengan senyuman.
"Hmm, sisi manismu makin kelihatan kalau begini ...." katanya, entah itu pujian, atau rasa bangga Mile saja aku tak bisa bedakan. Yang pasti Mile puas dengan pengalaman berciuman denganku. Sementara aku diam lama sekali di kursiku. Jujur, aku merasa perlu menenangkan diri beberapa menit. Ini kejutan, dan efeknya aku jadi sungkan menatap matanya. "Menyesal mau denganku?" tanyanya. "Aku memang bisa bernafsu kepada lelaki."
Aku pun segera menegakkan postur duduk. "Tidak, tidak. Bukan begitu juga mikirku ...." kataku, lalu menatap ke jalan raya. Aku heran dengan reaksi tubuhku sendiri, sementara Mile tertawa-tawa karena aku membuang muka setelah kami bertatapan di spion depan.
"Ha ha ha ha ha. Senang mendengarnya kalau begitu ...." kata Mile. Dia pun melajukan mobilnya kembali. Sangat santai, lalu mengajakku ngobrol agar suasana tidak tegang. Mile bilang aku tidak boleh ke kontruksi lagi, dia khawatir. Bahkan akan mengalihkanku ke pekerjaan yang menurutnya lebih dipercaya. Ikut ke toko, misalnya? Padahal kakiku ketiban batu bata ambruk saja pernah. Jatuh dari tangga kayu juga pernah. Bahkan nyaris terkena gergaji mesin. Namun, mulai sekarang aku harus lebih memperhatikan pria ini. Dia penting. Karena bagaimana pun aku yang sekarang tidak sendiri.
"Tunggu dulu, Phi? Saya baru sadar kalau jalannya menjauh?" kataku. "Mau kemana memangnya? Saya pikir akan menuju ke rumah Saya ...."
Mile pun terkekeh puas. "Wah, berhasil ...." katanya dengan nada jahil. "Selamat sudah diculik Om-om dengan metode hipnotis. Ha ha ha ha ha ...."
Aku pun melotot horor.
Namun, dalam waktu bersamaan aku sadar ini wajar (dia kan PDKT denganku). Tinggal gebuk saja kalau sampai melewati batas (.... maksudku, batas yang tidak akan pernah kuizinkan). Aku bukan seorang gadis yang punya selaput dara. Apalagi takut perawannya dirobek sebelum punya suami perdana. Aku tidak takut hamil, juga bisa berkelahi, tapi kuakui pria ini licik. Aku tahu dia menyuntik punggungku sebelum membawaku pulang. Hanya saja pikiranku dibanting karena orangtuanya berjiwa support system. Itu berarti aku tidak hanya diharapkan dia. Bahkan mereka bisa jadi membelaku jika ada apa-apa.
Maksudku, andai untuk memanfaatkan ... untuk apa sih susah-susah merecoki hidupku yang sudah susah? Mereka orang kaya harusnya tidak menghabiskan waktu denganku, kecuali memang berniat serius. "Tapi, Saya akan tetap dibawa pulang kan, Phi?" tanyaku. "Soalnya ini sudah jam 2 siang ...."
Alis tebal Mile pun naik sebelah. "Iya, benar. Tapi kenapa dengan jam 2 siang?"
"Ya, bukan apa-apa," kataku. "Saya hanya mengira Anda balik ke kantor setelah Saya temani ...."
"No ...." katanya. "Aku masih ingin sama kamu hari ini."
Aku pun memilih tidak menanggapi.
Gawat.
Ini yang Mile bilang baru tertarik? Tertarik mengusiliku atau tertarik yang lain-lain? Aku jadi ragu dengan pemikiranku sendiri.
"Phi, bisa kita balik saja?" tanyaku.
"Kenapa?"
"Saya belum membelikan Ibu dan Bapak makan siang."
Percayalah itu hanya sebuah alibi lain.
"Oh? Iya juga," kata Mile. "Tenang ... biar kukirimakan sesuatu ke rumahmu saja. Sebentar ...." Dia lalu menelpon Peter seperti yang waktu itu. Aku jadi tahu cara biasa tak akan efektif. Karena selain kuat finansial, posisi, dan pemikiran ... pria ini juga kuat dengan kuasanya. Aku jelas kalah dari sisi mana pun, jadi entah kenapa otakku makin berpikir aneh.
Apa menjalin hubungan dengannya aman, ya? Pikirku. Aku hanya seperti dipenjara dengan cara yang teramat halus.
"Sudah selesai, Natta. Sekarang kamu bisa jalan denganku lagi."
.... terbukti aku tidak bisa keluar dari genggamannya dengan mudah.
"Phi, tapi Saya masih harus pulang."
"Kenapa?" Mile pun menoleh padaku. "Masih ada urusan yang lain lagi? Bukankah pekerjaan hari ini libur?"
"Saya ada janji dengan teman Saya."
"Oh ...."
Aku menatap matanya demi meyakinkan. "Saya terlanjur pastikan jamnya sesuai, Phi," kataku. "Saya kira Anda benar-benar akan kembali. Makanya Saya bisa pergi dengan dia."
Maaf, aku benar-benar harus bohong dulu. Ini soalnya terasa tak beres ....
Mile pun menjilat bibir karena bertarung dengan isi otaknya sendiri. Dan akhirnya dia tersenyum sebelum berputar balik mengantarku. Tentu tidak menggunakan tangan kosong. Pria ini berhenti dulu di sebuah toko kue harum. Masuk sebentar, lalu membelikanku dua box croissant karena (mungkin) sempat melihat Bapak membawakannya. Kulihat-lihat gambar kotaknya juga beraneka rasa. Masih hangat. Pertanda baru keluar dari oven dengan kualitas terbaik. "Ini, dimakan ya. Bagi dengan temanmu kalau kalian nanti bertemu," katanya membuatku heran.
"Iya, Phi. Terima kasih."
"Good."
"...."
"Sorry kalau sempat mengganggu waktumu," kata Mile lagi. "Lain kali kubilang dulu keluarnya sampai jam berapa."
Aku pun memangku dua box tersebut sambil memandang keluar jendela. Dia memandangku (aku yakin) mungkin juga memperhatikan bagaimana ekspresiku. Yang kucemaskan adalah pria ini sangat peka. Bahkan mungkin dia sadar kalau dua kalimatku tadi hanyalah alasan. Apa dia akan kecewa? Aku hanya ingin memastikan zonaku tidak ada unsur tipu-tipu. Dia hebat, tapi bukan berarti aku bisa langsung percaya padanya.
Ini sungguh-sungguh bodoh ....
Sampai di rumah, aku pun tersenyum untuk Mile. Dia pamit, walau kulihat-lihat ekspresinya masam setelah mobilnya berbalik. Lewat spion, dia tampaknya tersinggung. Aku khawatir, tapi chat-nya tetap ramah seperti saat menghubungiku pertama kali.
[Phi Mile: Hari ini ini sangat menyenangkan. Thank you ....]
Aku pun segera membalas karena merasa bersalah.
[Apo: Sama-sama]
Tapi setelah itu tak ada balasan lagi. Ibu dan Bapak juga heran kenapa aku pulang cepat, karena sebelumnya Peter mengirim makan siang sambil bilang aku tidak bisa mengantarkannya sendiri.
"Hmm ... tidak apa-apa kok, Pak," kataku. Lalu meletakkan dua box croissant di atas meja. "Natta cuma ingin tidur siang ...."
Aku pun masuk ke kamar berdebuku untuk memejamkan mata.
***
[Peter: Sudah Saya pastikan, Pak. Seharian ini Tuan Natta tidak keluar sama sekali. Beliau tidak bertemu teman seperti yang Anda bilang]
[Peter: Apa kemungkinan hanya tidur? Saya juga tidak melihat ada pergerakan beliau. Maksudnya, sejak tadi cuma orangtuanya yang beraktivitas]
Baiklah, ini aku lagi. Mile Phakpum Romsaithong. Sementara kisah buku ini berikan padaku saja, karena kalian pasti penasaran dengan pendapatku. Lagipula, Peter bilang Natta sedang tidur, kan? Dia pasti takkan melanjutkan ceritanya. Biar kutulis, tapi kenapa ada kejanggalan?
Aku rasa pertemuan kami tadi baik-baik saja. Dia oke, bahkan setelah kucium pertama kali. Dia juga merespon diriku. Hanya agak syok, tapi sepertinya masih tahap wajar.
Sekarang kenapa memangnya?
Apo dua kali salah tingkah. Dia mencurigakan. Bahkan berani berbohong padaku. Ya, walau sebenarnya masih bisa kumaafkan. Toh Apo tidak keluar rumah. Dia diam di dalam sana. Jadi alasan selingkuh bisa kucoret.
Apa sebenarnya dia tidak nyaman?
Dia ke-trigger ya dengan sentuhanku yang tiba-tiba? Aku harusnya lebih sabar lagi. Hanya saja penisku lebih cepat daripada akal. Aku birahi, padahal dia kelihatan bermasalah. Bahkan sampai rumah aku ereksi karena memikirkan wajah takutnya. Dia lucu, seriusan. Tapi dalam waktu bersamaan aku juga sadar ini keterlaluan.
Oke, oke. Aku segera mandi setelah menuntaskan onani. Dan ya ... akhirnya seharian itu aku tidak bisa tidur.
Untung sudah kuhubungi Peter demi mengawasi Apo (aku perlu tahu siapa yang dia temui) semua demi memastikan dia bohong atau jujur. Namun, tentu akalku tak sesempit itu. Apo pasti punya alasan kenapa bertindak aneh. Maksudku, untuk ukuran lelaki yang lulus hingga 20 set sekaligus. Ditambah beberapa set yang diuji oleh Nadech dan Masu--kurasa Apo terlalu buru-buru untuk berubah pikiran.
Tadi siang Apo mungkin hanya tak ingin denganku. Dia kecewa. Sampai-sampai ingin cepat pergi begitu saja.
[Mile: Oh, iya. Lupa bilang. Besok kamu kerja di toko "A" ya. Sudah kukatakan kepada pemiliknya. Jadi, lakukanlah yang terbaik di sana]
[Mile: Hanya saja toko itu libur di akhir pekan. Mereka ganti kegiatan dengan memborong barang-barang pabrikan. Jadi, bisa luangkan waktu untukku, Natta?]
[Mile: Aku ingin ketemu kamu setiap Sabtu dan Minggu]
Pesanku tidak berbalas.
Namun, aku tidak menyalahkan karena ponselnya terakhir dipegang tadi pagi (mungkin sebelum siap-siap berangkat menemuiku), hanya saja ini tidak beres. Apo kabur-kaburan karena alasan tak jelas. Suatu hari pasti kutanyakan, tapi aku harus hati-hati. Jika tetap begini bisa berbahaya. Ujung-ujungnya dia akan berubah pikiran.
Aku rasa ... aku memang harus mengurangi ke-intens-an. Salahku juga tadi terlalu agresif. Namun harus kuakui bibir Apo benar-benar tidak buruk. Apa karena dia lelaki perjakaku yang pertama?
.... kata orang yang seperti ini memang menarik.
Maksudku, dulu saat bersama Pim saja dia tidak virgin (lagipula mana ada wanita seusianya virgin?) Jadi ini semakin menantang, walau aku bingung mencari jalan keluar.
Sebenarnya apa masalah dia?
Cuma itu atau ada lagi?
Aku khawatir ada unsur yang tidak kutahu sampai sekarang.
[Natta: Terima kasih]
[Natta: Iya, bisa. Jadi, Sabtu-Minggu setiap jam makan siang, ya Phi?]
[Natta: Anda langsung balik, atau ada batasan di lain hari?]
Aku pun lega waktu dia membalasku.
[Mile: Iya, begitu]
[Mile: Tapi soal batas waktu setiap bertemu akan kukonfirmasi]
[Mile: Kalau mau, next week kita belajar table manner-nya. Bagaimana? Jadi kita langsung ke rumahku makan siang, kemudian belajar sebentar]
[Mile: Kalau beruntung bisa selesaikan kerjaan cepat, mungkin kita bisa bertemu dua hari penuh. With no work. Kamu cukup siap-siap saja]
[Natta: Iya, Phi]
Sudah, begitu saja.
Kutunggu-tunggu tak ada balasan lagi.
Apo juga langsung tidak aktif. Tanda 'Terakhir dilihat'-nya seketika muncul, tapi aku benar-benar gemas. Aku merasa butuh orang lain untuk bisa dihubungi. Setidaknya biar aku tahu kegiatannya di rumah sedang apa. Namun, ide memberikan ponsel ke Ibu dan Bapaknya itu sangat buruk. Mereka sudah tua. Mana mungkin paham sistem pegang ponsel?
Aku pun merasa gila sendiri, baru kali ini. Untung anakku menyadarkan dari ambang pintu. "Dadddddy! How are you? Is everything ok? Gabby wants Daddy to read this fairy tale book!" katanya dalam Bahasa Inggris sempurna. Kadang-kadang anakku memang bicara seperti native, pintar sekali. Sebab dia dicekoki tontonan kartun, lagu Inggris, dan percakapannya sejak umur 1 tahun.
"Oh ... ha ha ha, give it to Daddy, please. Sini ... naik," kataku sambil menepuki ranjangku sendiri. "Memang mau judul apa? Hm? Kemarin kan soal anak itik ...."
Gabby seketika bersorak. "Horeeee! Aku mau yang Alice in Wonderland! Ini, Dad!" katanya sambil menyodorkan buku dongengnya kepadaku. Kulihat-lihat isinya seperti teater buatan. Sebab dihiasi dengan pop-up juga selain tulisan menarik.
"Oke, bagus. Biar Daddy bacakan dari awal dulu ...."
"Otay!"
Aku pun memeluk Gabby yang naik ke pangkuanku. Dia menyimak. Lalu memandangi antusias buku yang dia pilih.
"So, once upon a time ... there was a beautiful girl named Alice who was walking in the middle of the forest ...."
Selama waktu-waktu itu aku pun fokus pada cerita. Terus menjawab pertanyaan cerewet Gabby. Tahu-tahu anakku tidur begitu saja di lenganku. Kepalanya bersandar pada dadaku. Dia mimpi. Seolah-olah dagu gemasnya merupakan hiasan yang tersampir pada teralis.
"Hmm ... dasar. Ya sudah kalau begitu. Good night ...." kataku sambil menutup bukunya. Kusayang pipi bocah ini hingga bulu matanya bergerak. Dia terusik. Untung tidak sampai bangun jadi bisa kubaringkan di sebelah. Gabby kadang memang ikut bersamaku, ingin dimanja. Tapi lebih sering tidur sendiri di kamarnya.
[Natta: Phi Mile, masih bangun?]
[Natta: Jika sudah tidur tidak apa-apa. Saya oke. Toh pesannya masih bisa dibaca besok]
[Natta: Phi, bisa kita break sebentar? Bapak kambuh tadi jam 10. Sekarang sudah di RS, tapi Saya ingin fokus ke beliau saja mulai sekarang]
Bersambung ....